Sphere [Second Sight]

SPHERE ORI

Title: SPHERE Chapter 2 [Cryophobia]| Genre: Romance; Mystery; School Life |

|Cast: Oh Sehun [EXO] and Sara Winslet [OC] | Rating: General|

Scriptwriter: sellynaretuya||Duration: Chaptered|

Previous: 1

.

.

.

Sara Winslet—manusia blasteran Korea-Amerika, memutuskan untuk pindah ke Seogwipo demi Ayah nya. Tidak disangka, gadis bermata hijau zamrud itu bertemu dengan cowok misterius yang memukau di sekolah baru nya. Semakin dalam jatuhnya Sara pada pesona senior tampan itu, semakin besar pula resiko yang bakal ditanggung oleh nya. Lama-kelamaan Sara mulai mengerti siapa dan makhluk jenis apa Oh Sehun itu. Namun, setelah Sara terlanjur menelan cinta, maka tak lama pula ia akan memakan kematian. Jadi, apakah gadis berlesung pipi itu benar-benar tidak punya pilihan akan hidupnya ?

.

.

.

Kevin berjalan di tengah para gadis yang terpana melihat nya. Sebagian dari mereka mengeluarkan ponsel untuk memotret wajah dan postur tubuh Kevin yang memang maco. Di belakang Kevin, anak-anak cewek cekikikan sambil mengikutinya. Apalagi, saat Kevin menyisir rambut menggunakan jemari ke belakang—para perempuan itu langsung mengeluarkan suara tanda terpukau. Abang ku nampak seperti super star yang dikerubuni para paparazi.

Kevin tetap terlihat tenang meskipun gadis-gadis lain mulai berani mendekati nya. Ketika kakak ku menoleh ke belakang, mereka langsung berhenti bergerak dan berusaha bersikap normal. Tetapi dari rahang nya yang mengencang, Kevin pasti benar-benar jengkel sekarang. Aku tersenyum saat Kevin melihat keberadaan ku. Ia buru-buru lari ke arah ku dan meraih tangan ku.

“Ayo.” Dari nada bicaranya, Kevin mau cepat-cepat pergi.

“Wah, lihat Kevin. Kau hebat sekali menarik perhatian.” Aku menyikut perut nya. Anak perempuan melihat ku dengan sorot penuh tanda tanya. Tatapan mereka secara bergantian mengawasi genggaman tangan Kevin lalu beralih pada muka ku. “Aku rasa mereka akan salah paham.” Bisik ku khawatir.

“Oh, itu bagus.” Dengan sengaja, Kevin mengangkat wajah ku dan mengecup pipi ku.

Aku mendengar salah satu dari mereka nyaris menjerit, sementara yang lain sibuk berbisik-bisik. Seperti nya akan ada klub penggemar abang ku nantinya. Kevin memang ganteng, tapi ia bukan tipikal artis yang  melayani penggemarnya dengan baik. Alih-alih senang disukai orang, Kevin justru cenderung merasa risih. Mom pernah cerita, Kevin pernah meninju teman laki-laki nya semasa sekolah. Aku kenal betul dengan Kevin dan kakak ku yang satu ini termasuk anak laki-laki tahan emosi. Kata Mom, setiap hari Kevin diledekin teman sekelas nya dan dijodoh-jodohkan dengan gadis yang namanya Hanee. Kevin bilang Hanee adalah anak cewek yang sangat buruk—meskipun Mom menilai anak itu adalah gadis yang manis. Suatu hari, teman cowok Kevin menyebarkan gosip kalau Kevin jadian dengan Hanee. Lalu, saat itulah satu hantaman melayang di sekitar mata anak itu. Jadi, kuperingatkan hati-hati dengan Kevin.

Setelah aku memasuki Monkyu, udara hangat langsung menyentuh pipi ku. Kevin dengan cepat menyalakan pendingin udara. Ia melepas jaket kulit nya dan menaruhnya di jok belakang. Seketika kami menghembuskan napas bebarengan—merasa lebih rileks daripada sebelum nya.

“Bagaimana dengan hari pertama mu ?” tanya Kevin ketika perjalanan di mulai.

“Menyenangkan dan baik.” Aku sengaja tidak cerita kalau aku tersesat. Tapi, hal itu dengan otomatisnya mengingatkan aku pada sosok Oh Sehun. “Aku sudah punya banyak teman.” Sebenarnya, aku baru berkenalan dengan beberapa nama saja. Dan tidak sepatutnya kusebut teman. Tapi untuk membuat Kevin tidak khawatir, aku berani bohong.

“Itu bagus. Tapi kau harus hati-hati, dear.” Kevin mengerutkan kening tanda khawatir.

“Hati-hati seperti apa ?”

“Kau harus pintar-pintar memilah teman.” Kata Kevin hati-hati.

“Jadi maksutmu aku harus bergaul secara pilih-pilih ?” aku merasa tersinggung. Kevin berkata seperti aku tidak bisa menilai orang saja.

“Bukan, bukan begitu. Kau tahu kan, jaman sekarang, teman membawa dampak yang lebih besar daripada keluarga di kelangsungan hidup anak remaja. Jadi, aku menyarankan kau agar berteman dengan anak yang membawa pengaruh positif bagi mu.” Kevin menatapku dengan hangat. “Aku tidak mau kehilangan adik ku yang satu ini.”

“Kau takut ya aku direnggut oleh pergaulan bebas ?” aku tersenyum—sekarang mengerti apa maksud Kevin. Kevin, menjawabku dengan sebuah anggukan.

“Jangan khawatir, toh sejak dulu aku tidak terlalu nyaman menghabiskan waktu dengan teman-teman.” Yeah, aku memang begitu. Menurutku, lebih baik aku bermain-main dengan adik kecil ku—Lily, waktu di Seattle. Atau aku akan membantu Mom membuat adonan kue, memasak, memijat Mom dan ikut-ikut merawat tubuh berduaan dengan nya di akhir pekan. Mom juga kadang meminta ku agar menemaninya ke swalayan dan mengantar Lily ke sekolah. Untuk acara berkencan, aku sama sekali belum pernah melakukan tradisi anak muda tersebut. Apalagi mengingat sosok Ben yang begitu protektif terhadap anaknya, hal itu begitu mustahil bagi ku.

Kevin membawaku ke rumah sakit besar dimana Dad telah dirawat cukup lama disana. Ketika kami sampai di muka rumah sakit, Kevin memintaku untuk menunggu sebentar sementara ia pergi ke meja administrasi untuk mengurus sesuatu. Aroma obat-obatan tercium kuat disini. Banyak orang yang menunggu di kursi dengan ekspresi yang macam-macam. Yang menurutku tergantung dengan kondisi orang yang dijenguk mereka. Aku bertanya pada diri sendiri, seperti apa ya rawut muka ku setelah melihat keadaan Dad ?

Setelah itu, Kevin menuntun ku menuju sebuah kamar khusus bernomor 389. Di sepanjang lorong dipajang lukisan bunga anggrek dan mereka berjejer dengan jarak yang teratur. Saat sampai, kami terdiam beberapa waktu di depan pintu besi berwarna abu-abu. “Kau bersedia ?” tanya Kevin padaku. Karena aku mengangguk, Kevin langsung membukakan pintu. Aku tidak pernah membayangkan keadaan Dad akan seperti apa. Setelah satu tahun yang lalu aku menerima kabar Dad jatuh sakit, saat ini lah untuk pertama kali nya aku datang. Datang untuk menemuinya. Aku tidak mau bilang kalau aku kesini untuk menjenguk ayahku, aku ingin bilang kalau aku pindah adalah karena aku sangat mencintai Dad.

Tiba-tiba hati ku dijejali perasaan bersalah ketika melihat Dad yang wujud nya sudah seperti robot. Rasa sakit langsung menusuk ke dalam tulang. Alat-alat medis yang tidak terhitung jumlahnya, tertanam rapi di tubuh Dad. Seolah tanpa mereka, nyawa ayah ku sudah melayang entah kemana. Di samping tempat tidur, ada sebuah kursi yang di taruh sekenanya.

“Hai, Dad.” Sapa ku seceria mungkin. “Kau pasti sangat merindukan Sara, bukan ?”

Kugenggam tangan Dad yang dipasang tiga saluran cairan yang tak kuketahui apa itu. Yang satu bening, yang satu kebiruan dan yang lain kekuningan. “Aku senang bisa disini.” Kupandangi wajah ayah ku yang masih tampan. Kuingat-ingat berbagai ekspresi yang pernah muncul disana.

“Sebenarnya aku lebih merindukan mu, Dad.” Seperti manusia yang berbincang dengan angin dan seperti itulah aku sekarang. “Aku bahagia dan bangga jadi anak mu. Aku tumbuh cantik kata Dalton. Aku sudah besar sekarang.” Aku terkekeh mengingat masa lalu, saat Dad mendudukkan aku di atas bahu nya. Hal itu dengan jelas tidak akan terjadi lagi. Aku sebal karena kenapa otak anak kecil tidak berkerja secara rasional. Kalau bisa, aku ingin secara berkala menghabiskan masa kecil ku dengan Mom lalu bergantian dengan Dad.

Aku menceritakan semuanya. Semua yang ingin kuceritakan. Aku telah pisah dengan Dad selama sembilan tahun dan tentu saja begitu banyak cerita yang kusimpan untuk nya. Kubeberkan segalanya mulai dari aku masuk sekolah menengah pertama hingga berakhir dimana aku bertemu Oh Sehun. Aku nyaris kehabisan nafas setelah itu dan khawatir akan membuat telinga Dad rusak. Tapi aku tertawa melihat sebuah air yang mengalir melalui sudut mata Dad. Aku mengusapnya lembut-lembut dan mencium mata Dad. “Dad yakin kan akan sembuh ?” tanya ku yang kedengarannya agak pesimis. Dulu, ketika aku mau nangis, Dad pasti buru-buru berjongkok di depan ku dan dengan kikuk nya bertanya padaku. Mempertanyakan apa yang kuinginkan agar aku cepat terdiam.

Setelah aku benar-benar puas menemani Dad, sekitar pukul lima sore, aku pulang. Sebelum pergi, aku menaruh frame foto di samping tempat tidur ayah ku. Disana, dipasang fotoku dan Dad saat kami menghabiskan musim panas bersama di Indonesia. Saat itu aku berumur sepuluh tahun dengan dua gigi kelinci yang copot. Disitu, rasanya lesung pipiku benar-benar dalam.

.

.

.

Malam nya, kami fokus pada sesuatu yang berbeda. Dalton sibuk membaca buku tebalnya di depan perapian, Kevin sedang menyelesaikan tugas ujian semester nya di kamar dan aku sendiri tengah menghidangkan makan malam. Entah mengapa, rasanya aku kangen makan pasta. Jadi aku sajikan saja spageti dengan tumpahan saus bolognes di atas meja. Aku menaburkan parutan keju dan beberapa potongan seledri di atas nya dengan hati-hati. Ini adalah hidangan pertama ku di Korea. Jadi harus spesial.

Aku mengambil jeruk dari lemari es—yang sebelumnya kukira lemari es itu kosong, mengirisnya dan menautkan potongan jeruk itu di bibir segelas jus jeruk. Tidak lama, Kevin dan Dalton datang setelah aku mendentingkan sendok di piring. Kevin yang selalu enggan menunjukkan ekspresi nya, nampak terkesan dengan masakan ku. Dalton mengangkat alisnya dengan rawut wajah memuji.

“Jadi kau minta imbalan apa, Sara ?” tanya Dalton di tengah kegiatan nya.

“Imbalan ?” sejak tadi, aku tidak makan. Kenyang sudah rasanya melihat kedua abangku yang rakus menyantap spageti.

“Kau memasak ini semua. Kau butuh bayaran pasti.” Aku tersenyum mendengar ucapan Dalton yang menyenangkan. Terkadang aku ingin memiliki sesuatu bukan pada waktu yang tepat dan saat ini lah saatnya untuk memanfaatkan tawaran Dalton.

“Akan kupikirkan lain waktu mungkin. Terima kasih,” Perkataan ku tidak tahu mengapa membuat Dalton tertawa.

“Ngomong-ngomong, kata Kevin kau sudah punya banyak teman, uh ?” kali ini, Dalton meletakkan sendok dan garpunya. Seperti ingin memulai sebuah pembicaraan yang mendalam.

“Um, sepertinya. Mereka baik dan juga seru.” Kecuali cowok yang namanya Oh Sehun. “Aku punya satu teman yang paling dekat, dia Kang Yeseol.” Aku tidak mampu membaca pikiran kedua kakak ku, hal itu membuatku kadang bertanya-tanya alasan apa yang kadang membuatnya bertindak aneh. Lihat saja, sekarang Kevin dan Dalton sedang bertatapan dengan wajah khawatir.

“Apa pekerjaan orang tua nya ?” aku tidak paham kenapa Dalton bertanya seperti itu.

“Tentu saja aku tidak tahu. Aku tidak berani menanyakan hal semacam itu, Dalton.”

“Lantas dia belum menjadi seorang teman.” Dalton mengucapkan kata-katanya dengan muka penuh kemenangan.

“Apa ?” suaraku naik satu oktaf.

“Aku ingin tahu bagaimana kau mendefinisikan seorang teman dalam pikiran mu, Sara.” Katanya dengan lembut.

“Maksudmu apa, Dalton ?”

“Setelah kau berkenalan dan mungkin sedikit berbincang-bincang dengan orang, belum pasti dia seorang teman dalam kenyataan nya.” Aku mengkerutkan kening yang semakin lama semakin dalam.

“Kau.., jadi terdengar tidak suka kalau aku punya teman.” Mereka tertawa melihat wajah ku. Lagi-lagi aku merasa sebal. “Jangan ketawa. Ini tidak lucu,” kataku geram.

“Sara, sayang, bukan begitu maksud ku,” Dalton menggulung sweater nya hingga ke siku. Nampak lebih santai. Dan itu membuat ku lega. Setidaknya aku merasa Dalton hanya bercanda soal teman. “Pendek nya kami mau kau cari aman.”

“Cari aman dari zona apa ?” aku mulai merasa konyol dan dipermainkan.

“Zona pergaulan.” Sahut Kevin sambil mengunyah. Aku menoleh, melemparkan tatapan bertanya tapi dia hanya tersenyum. Kevin menudingkan jari ke arah Dalton agar aku beralih.

“Kami mau kau hati-hati dan jangan mudah percaya dengan anak-anak di sekolah. Berteman yang sewajarnya saja, ok?” aku tergelak. Lantaran aku sudah mengalami semua peringatan semacam ini dan segala ultimatum yang di kecam oleh Ben sejak kelas empat sd.

“Tentu, tentu. Aku paham maksud kalian. Oh, hei? Apakah kau lupa bagaimana sifat Ben kepadaku ?” aku berhenti tertawa melihat kedua kakak ku membisu.

“Oke. Aku lupa kalian tidak dekat dengan Ben.” Aku berbicara seolah-olah kucing yang kuajak bicara tidak mengerti candaan ku.

“Jadi begitu saja inti nya.” Dalton kembali berucap.

“Tentu saja aku mengerti.”

“Kalau berteman merupakan hal yang dianggap bahaya, apa aku tentu tidak boleh jatuh cinta ?” ucap ku setelah ragu-ragu ingin berkata begitu. Dalton langsung mendongak dan buru-buru menatap ku. Tatapan nya tajam, tapi cukup tenang. “Maaf, hanya iseng.” Aku menginggit bibir bawah ku. Melihat respon kakak ku, sepertinya hal itu dilarang.

Setelah mencuci piring, aku bergegas mengerjakaan pekerjaan rumah. Hanya butuh setengah jam mengerjakaan pe-er kalkulus ku. Sisa nya aku terduduk melamun di depan jendela—melihat hamparan laut luas yang gelap. Kupikir untuk bisa menjadi dekat dengan Oh Sehun adalah hal yang mustahil. Aku punya dua alasan. Pertama, Sehun tidak mudah didekati. Dan dia adalah cowok penyendiri yang menyebalkan. Kedua, keluarga ku menjaga ku begitu waspada. Mereka bisa menelan ku habis-habis kalau suatu waktu aku bisa mengenal Sehun lebih dalam dan pacaran dengan nya. Ok, semua ini gila. Aku tidak patut memikirkan hal bodoh semacam ini. Oh Sehun itu tidak normal dan aku bisa stres kalau benar-benar menyukai nya.

.

.

.

Hari ini, aku mengenakan mantel merah muda ku yang lawas. Saat bercermin, agak lucu saat melihat pantulan diriku mengenakan sesuatu berwarna sok imut seperti ini, tapi Dalton bilang aku kelihatan cantik memakai nya. Jadi, aku langsung percaya diri dan buru-buru berangkat. Kevin mengantarku lebih pagi daripada kemarin. Lantas aku sudah sampai di loker tanpa tergesa-gesa. Ketika aku merapikan tempat pensil sambil menjejalkan alat tulis ke dalam nya, sebuah suara mengagetkan ku.

“Kwon Sara.” Begitu mengejutkan sampai-sampai aku menjatuhkan pensil ke lantai. Dengan perasaan malu, aku segera memungutnya. “Kau anak baru itu kan ?” aku mendapati Sehun berdiri di depan ku. Hari ini ia mengenakan sweater coklat yang pas ditubuh kaku nya dan jam sport hitam ditangan kanan. Aroma paco black rabanne mengikutinya seperti dayang dayang.

“Ya, kau benar.” Jawab ku tanpa berani menatap nya.

“Kau dipanggil ke ruang tata usaha.” Suaranya singkat-jelas-padat. Jenis suara yang membuatmu ingin menyentuh nya. Kali ini ia berdiri cukup dengan ku, sehingga aku bisa melihat sulur sulur perak di mata biru nya yang jernih. Seperti air laut. Dingin dan memesona. Namun juga menakutkan.

“Tata usaha ?” ia memandangi ku seolah aku tuli atau apa. Dan kemudian ia mengangguk—sebuah gerakan yang samar.

“Oke, terima kasih—sunbae.” Sehun terperangah mendengar kata terakhirku—seperti sesuatu yang menggelikan. Tapi dia menyembunyikan ekspresinya dan kembali datar. Lagi-lagi ia mengangguk. Ada suatu perasaan menelusup di hati ku saat melihatnya berlalu. Aku tersenyum gemas di balik punggung nya.

Hari ini bakal jadi hari yang istimewa bukan ?

Sesampai nya di tata usaha—sesuai dengan dugaan ku, Song Hae Min langsung mendekat. Kantor tata usaha kali ini hanya dijaga dua orang, termasuk Hae Min. Wanita ini membungkuk kepadaku dengan senyum seceria mungkin. Senyumnya manis, ditemani bintik hitam di bawah bibirnya.

“Kudengar, aku dipanggil kesini, eum, benar kah?” aku mendapati diriku seolah tidak menaruh kepercayaan pada Sehun. Seolah pria itu mengerjaiku saja. Siapa tau dibalik sikapnya yang dingin itu ada sifat jail ? siapa tau kalau ada tradisi tertentu di sekolah ini yang mengharuskan anggota kesiswaan mengerjai anak baru ? who knows.

“Oh tentu saja kami memanggil mu, manis. Nah ini ada sesuatu yang harus kau isi.” Song Hae Min membongkar isi laci hingga berantakan, membuat kegaduhan kecil dan ia tersenyum meminta maaf padaku. “Ini formulir peminatan.”

“Oh, dikumpulkan kapan ?” tanya ku begitu menerima selembar kertas putih kaku.

“Kalau bisa secepatnya—“ aku langsung berpikir secepat apa yang dimaksud Hae Min ? “Eum, paling lambat besok, sayang.” Katanya menangkap ekspresi ku.

“Baiklah. Terimakasih banyak.”

“Sama-sama sayang.”

.

.

.

Kelas sejarah berlangsung menyenangkan dengan Mr. Nickolas Harris. Ia humoris dan lumayan tampan. Ia menanyai tentang keluarga kecil ku dan Seattle. Itu bermula sejak aku selalu menjawab pertanyaan nya. Yeseol bilang Mr. Nickolas bisa menghapal 100 digit nomor dalam waktu satu menit.

“Hari ini kau mau makan apa ?” Tiba-tiba kami sudah sampai di kafetaria dan Yeseol berdiri di depan ku agar aku berhenti melangkah.

Maybe, soy beans and pork.” Jawab ku sambil memandangi daftar saji. Setelah itu Yeseol melesat untuk memesan. Tidak jauh dari sini, aku melihat Mirae melambai padaku. Aku buru-buru ambil tempat di samping nya.

“Hai.” Sapa ku—turut tersenyum melihat Mirae.

“Hai, Sara!” tiada sangka, Celine menjawabku lebih cepat. Ia duduk di samping Mirae. Dan di depan nya, ada Wol yang menatapku seperti orang kesurupan.

“Hai, cantik.” Dan sedetik kemudian baru di susul Mirae.

“Hei, Wol. Ada apa dengan mata mu ?” tanya ku ngeri melihat bayangan hitam keunguan di bawah mata nya. Ia meringis.

“Bola.” Wol tersenyum kecil—membuat kerutan di sekitar matanya terbentuk.

“Jadi, kau hanya tidur berapa jam hari ini ?” tanya ku khawatir. Bola kan di mulai pagi-pagi benar ? apa tidak baik baik saja anak perempuan seperti itu?

“Sekitar satu setengah jam.” Jawab nya acuh sambil mengunyah makanan.

“Wow, itu hebat.” Aku nyengir dengan tatapan ketakutan menyebutnya hebat. Lantas bagaimana ia masih bisa membuka matanya sekuat itu hingga saat ini ?

“Wol memang gila dan tidak waras. Jangan dipikirkan.” Sahut Mirae sebal. Hari ini Mirae membuat rambutnya curly. Dan itu kelihatan menarik dipadu dengan wajah berani nya.

“Sara, Wol pernah lima hari empat malam tidak tidur karena taruhan konyol bersama kakak nya.” Celine mengutarakan pengalaman Wol seolah-olah hal itu sama penting nya dengan gempa bumi di Jepang.

“Ya ampun, itu keren.” Aku langsung menatap Wol. Ia nyengir meskipun aku menyebutnya keren dengan maksud yang beda. Maksud ku Wol benar-benar gila.

“Itu sinting.” Kata Celine sambil tertawa. Tawanya indah dan semua orang pasti berpikir begitu. Celine kalau dilihat-lihat, seperti sosok balita yang tubuhnya besar. Jika ku tatap matanya, seolah tidak ada satupun berat beban pikiran disana. Semua nampak ringan dan menyenangkan.

“Oh, Wol. Jadi kau latihan tidak ?” tanya Mirae dengan nada menebak.

“Sepertinya tidak—eh tidak, aku harus latihan.” Wol menggerakkan jari telunjuknya—menggambar lingkaran kecil di udara dengan mata kosong.

“Latihan apa ?” tanya ku.

“Basket.” Ya ampun, aku jadi ingat belum memutuskan akan mengikuti ekstrakurikuler apa.

“Wol ikut basket. Kalau kau, Mirae ?”

“Aku ikut cheerleader.” Jawab Mirae penuh kebanggaan.

“Aku renang. Kau mau ikut apa, Sara ?” sahut Celine.

“Aku belum memutuskan. Masih bingung.” Kukeluarkan selembar kertas peminatan yang ku lipat kecil dari saku dan membuka nya di atas meja. “Dulu aku ikut club bahasa inggris di Seattle, sayang nya sekarang aku bosan jika harus memulai nya lagi.”

“Basket keren kok.” Tawar Wol dengan sedikit senyuman nakal. Mirae langsung menyikut perut Wol.

“Badan selangsing dan semulus Sara sayang sekali untuk olahraga sekuat itu.” Mirae memprotes tawaran Wol.

“Tapi itu bagus untuk melatih otot badan Sara yang lembek.” Aku bercanda dengan pura-pura melotot pada Wol.

“Sara cocok nya ikut cheerleader saja dengan aku? Bagaimana ?” Mirae mengangkat alisnya sambil memandangiku penuh harap. Aku merengut, sayang sekali bahwa aku tidak menyukai bersorak sorai layaknya mereka. Menyemangati anak cowok bermain basket itu konyol bagiku.

“Aku kurang cocok dengan itu.” Kataku. Mirae tertawa.

“Meskipun wajah mu kalem dan menggemaskan, sudah kutebak jiwa mu setipe dengan jiwa Wol.” Sahut Mirae. Celine masih diam memikirkan sebuah ide. Aku terkekeh menanggapai perkataan Mirae.

“Kenapa tidak renang saja ? itu tidak terlalu feminim.” Celine kembali bersuara.

“Eum, sebenarnya aku takut dengan sesuatu yang berhubungan dengan banyak air.” Aku bahkan tak berani mandi di bathup terlalu lama.

“Kau phobia dengan itu?” tanya Celine tidak menyangka.

“Apa kau takut dengan kolam juga?” Mirae menyentuh pundak ku khawatir.

“Yeah, begitu lah.”

“MAKANAN DATANG!” Yeseol datang dengan sebaki makanan di kedua tangan. “Ini untuk mu, dan ini punya ku.”

“Kenapa kau bisa takut ?” tanya Celine penasaran.

“Terima kasih, Yeseol.” Aku mengambil punya ku dan mempersilahkan Yeseol di samping ku.

“Takut apa?” Yeseol duduk dengan penuh tanda tanya.

“Kau diam dulu!” Mirae menyubit lengan Yeseol—merasa terganggu.

“Ya ampun aku hanya ingin tau.”

“Sara, kenapa kau bisa phobia dengan air-airan ?” tanya Mirae sekali lagi.

“Aku sudah konsul dengan psikolog dan sejenisnya, tapi ia tidak menemukan alasan nya. Aku juga tidak pernah mengalami suatu tragedi sama sekali dengan air-airan.” Aku menjawabnya dengan cukup santai, walau membuatku merinding membayangkan bagaimana ketakutan ku terhadap itu semua.

“Mungkin tragedi itu terjadi di tubuh yang sebelumnya.” Tiba-tiba Wol bersuara.

“Apa maksud mu?” tanya Mirae—wajahnya ngeri karena jiwa mistis Wol keluar.

“Tubuh sebelum nya?”

“Aku percaya reinkarnasi. Bisa saja itu terjadi kepadamu. Tragedi besar yang menimpamu di tubuh sebelum nya.” Wol menatap ku dalam-dalam. Matanya membesar tiga kali lipat. “Kau mungkin pernah mati tenggelam dan hanyut di samudra antartika.” Katanya masih dengan serius.

“Wol.” Aku terdiam sesaat. Lalu kami bertiga terbelalak karena tiba-tiba Wol terbahak-bahak.

“Yak! Tidak lucu!” Mirae menjitak kepala Wol.

“Kau menakut-nakuti anak baru, bodoh!” Yeseol melempar tatapan tajam pada Wol.

“Jangan seperti itu, dasar cewek jadi-jadian!” Celine ikut membelaku. Padahal aku sama sekali tak merasa takut.

“Apakah bisa terjadi seperti itu, sungguhan ?” rupanya yang masih bertahan serius dan penasaran adalah aku sendiri.

“Y-yeah, mungkin bisa.” Aku mendapati Wol berpikir keras. “Aku pernah baca tentang kisah Edward Austrian.”

“Siapa dia ?” tanya Celine semangat. Ternyata gadis manis itu juga tertarik akan hal hal seperti ini.

“Edward Austrian adalah anak berumur 4 tahun. Dia takut dengan hari mendung dan awan kelabu. Selain itu dia juga mempunyai masalah dengan tenggorokannya dan sering mengeluh kesakitan. Setiap kali tenggorokannya terasa sakit, Edward selalu mengeluh, “Terkena tembakan itu sakit”. Dan setelah diselidiki, ternyata di kehidupan sebelum nya, Edward bertugas sebagai tentara saat perang dunia pertama dimana akhirnya dia tewas karena terkena tembakan di tenggorokan. Di hari ketika dia tewas, mendung kelabu sedang menyelimuti langit. Itu adalah alasan nya mengapa ia phobia terhadap awan kelabu atau mendung.” Semua terhanyut diam mendengar kisah yang diceritakan Wol.

“Aku bisa saja mengalami itu juga.” Aku pertama kali angkat bicara dengan perasaan setengah ngeri setengah tertarik.

“Kalau benar, itu keren.” Wol tersenyum menantang, ia adalah gadis yang cantik namun tak pernah menyadari itu.

“Aku jadi merinding.” Sahut Celine. Sementara Yeseol dan Mirae entah sejak kapan sudah duduk bersampingan.

“Sebenarnya aku juga pengidap cryophobia.” Aku ku.

“Ya ampun, Sara. Apa yang sebenarnya terjadi pada mu ?” tanya Celine lembut. Aku menanggapinya dengan senyuman miring.

“Takut akan apa itu?”

“Takut pada dingin yang ekstrim, es atau beku ‘kan?” aku benar-benar menyukai Wol sekarang.

“Wol benar.”

“Kalau yang ini, apa kau pernah mengalami suatu kejadian hingga begitu takut dengan es ?” tanya Mirae.

“Hmm.” Aku menggeleng.

“Oke fix. Menurut ku itu benar-benar terjadi di kehidupan Sara yang sebelumnya.” Wol mengambil keputusan sendiri.

Setelahnya, kami tidak sempat mengobrol lebih lama karena bel langsung berbunyi. Aku, Yeseol dan Mirae kebetulan masuk kelas yang sama. Kelas bahasa Inggris tenang dan damai bersama Mrs. Anna Pfeiffer. Tapi di jam terakhir, aku agak mengantuk karena suara nya yang lembut dan tipis itu mulai membosan kan.

Tepat satu menit bel pulang berhenti berdering, aku menerima sms dari Kevin. Ia bilang akan ada diskusi penting di kampus nya dan Kevin benar-benar tidak bisa menjemputku hingga satu jam ke depan. Ia bilang aku boleh pulang dengan bus, tapi berhubung baru tiga hari menetap disini, aku benar-benar ragu untuk naik kendaraan umum ke rumah. Jadi aku rela menunggu nya di sekolah.

Yeseol sempat menemaniku setengah jam. Sampai akhirnya ia menyerah dan pulang karena tidak kuat menahan kantuk. Mirae, Celine dan Wol pulang setelah meminta maaf padaku—mereka harus mencari bahan buat presentasi bahasa Prancis.

Aku keliling-keliling disini. Melewati lapangan bola, lapangan basket, kolam renang dan bahkan sempat membaca buku di perpus. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin berkunjung ke ruang musik. KIS punya 14 ruang musik dan kesenian. Saat aku berjalan di koridor, aku mendengar sebuah piano yang di mainkan. Dari 14 ruang yang sunyi, aku menemukan 1 ruang yang berpenghuni.

Diam-diam, aku mengintip melalui jendela. Berjinjit-jinjit penuh rasa ingin tahu. Di tengah ruangan, seorang pria berambut hitam legam menunduk memainkan piano putih yang mewah. Ia sengaja tidak menyalakan lampu, tapi cahaya matahari berhasil masuk dan menyorotnya penuh keindahan. Wajahnya silau diterpa mentari. Tapi dari bentuh tubuhnya, aku mengenal cowok itu. Dia adalah Oh Sehun.

Tangan nya menari nari di atas tuts. Menghasilkan serangkaian nada yang lama kelamaan membentuk sebuah instrumental lagu. Semua orang pasti mengenal ‘My heart will go on’ yang dinyanyikan Celine Dion kan?

Aku berdoa agar Sehun tidak melihat ke arah ku. Agar aku bisa menikmati pertunjukan kecil ini hingga selesai. Aneh nya, setiap melodi yang di mainkan Sehun langsung membuat pisau-pisau kecil menancap sampai ke relung hati. Ada perasaan senang sekaligus sedih di dalam nya. Mengenang memori lama bisa sangat menyakitkan. Sesakit itulah diriku sekarang. Menusuk hingga ke dalam tulang. Aku tidak tahu sampai kapan Sehun berhenti, karena ia terus berputar dan berputar. Tidak ada kesan bosan. Malah aku ketagihan untuk mendengar nya.

Kali ini aku mendapati sosok Sehun yang penuh luka. Dari pertama, aku tidak percaya Sehun adalah lelaki yang kejam—seperti yang di ceritakan Yeseol. Aku yakin Sehun adalah tipikal cowok yang menutupi kesedihan nya dengan berpura-pura menyebalkan. Tiba-tiba Sehun berhenti. Aku nyaris terjengkang karena terkejut. Karena terlalu panik, aku menahan napas.

“Aku tau kau disana.” Sehun membuat ruang itu bergema oleh suaranya. Aku yang dimaksud oleh Sehun, hanya berani terbeku layaknya patung. Sehun berdecak melihat ku.

“Maaf. Tapi, itu tadi cukup—cukup mengesankan.” Aku buru buru turun dan merapikan rok ku. Sehun melongok, memandangiku lewat jendela pintu dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Mata biru nya berkilau di bawah cahaya matahari dan aku yakin tidak bisa menghapus eksresi terpukau di wajah ku.

“Seharusnya kau pulang.” Kali ini Sehun bertindak sebagai anggota kesiswaan sekaligus senior.

“Kakak ku telat menjemput. Jadi aku menunggu.” Aku tidak tau harus menatap apa selain wajah nya.

“Daripada menunggu sambil menguntit, kau lebih baik melakukan sesuatu.” Eh? Siapa yang menguntit?

“Aku tidak menguntit.” Protes ku.

“Kemarilah,” aku hanya diam. Mungkin otak ku tidak mampu merespon apa yang ia katakan. “Kau tidak ingin bermain ?” ia bertanya setelah agak lama kita saling beradu pandang.

“Aku tidak bisa.” Entah sejak kapan kaki ku sudah melangkah mendekatinya.

“Tapi kau nampak tertarik.” Sehun menekan salah satu tuts sambil setengah tersenyum. Aku benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari sosok malaikat ini.

“Hm, memang.” Aku tidak tertarik dengan piano nya, aku tertarik padamu.

“Kami sedang mencari orang yang berbakat dan berniat besar.” Ia bangkit, menggendong tas nya. Menghampiri ku, lagi lagi aroma tubuhnya langsung tercium dan sangat menggoda. Saat ia berdiri di hadapan ku, aku terpana melihat dada nya yang bidang tercetak sempurna dibalik seragam putih nya. Ia mengangkat tangan ku, menyelipkan sebuah kertas ke dalam genggam tangan ku. Aku masih tercengang merasakan sebuah sengatan saat kulit kami bersentuhan. Lantaran saat ia menyentuh tangan ku, sekelebat ingatan datang mengejutkan ku. Saat itu lah aku berasumsi bahwa Sehun tidak asing bagi ku. Aneh rasanya jika kau mengenal seseorang tapi kau tidak mengetahui nama nya. Hal seperti itu kini sedang terjadi pada ku. Sebelum aku sempat berbicara lagi dengan nya, Sehun sudah hilang layaknya hantu.

.

.

.

Hanya kegelapan yang kulihat. Semuanya dingin dan hitam. Aku tak sanggup bernapas. Meskipun tidak sendiri, aku benar-benar ketakutan. Yang lain juga tenggelam di sekeliling ku. Semuanya beku. Tapi aku masih bisa menangis. Di redam dingin yang menusuk tulang, aku berusaha menjerit. Meminta pertolongan. Tapi semuanya sia-sia. Orang yang ku cari dan ku harapkan tak kunjung menarik tangan ku. Aku jatuh semakin dalam. Semakin hitam hingga aku tak mampu menatap cahaya bintang yang berkedut. Dan tak lama, aku sungguh percaya bahwa tubuh ku tak mungkin diselamatkan.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Bagaimana? Kalo kemarin kepanjangan yang sekarang udah di persingkat. Pada penasaran gak kenapa Sara dan Sehun kayak ada suatu koneksi misterius gitu? Terus mau tau kan kenapa Sara takut banget sama laut dan udara dingin ? bener gak si ada suatu hubungan antara Sara dan Sehun di kehidupan sebelum nya ? keep waiting ;))

Jangan lupa untuk komentar! I HATE SILENT READER.

7 tanggapan untuk “Sphere [Second Sight]”

  1. Pnasaran sma klanjutannya,, sbenernya Sehun itu siapa? Apa Sehun pnya hubungan sma Sara? Apa bner kalo Sara takut sma air nd dingin itu ada hubungannya sma kehidupan masa lalunya?

    Ditunggu bgt klanjutannya kak!!! Fighting yaa bwat ffnya 😉

    Suka

  2. Aku udh baca part sebelumnya,komennya skln disini aja ya,😊
    Soal bhsnya kyk novel terjemahan,kyk bukan baca ff.😆bnrn deh!!
    Part ini nyimpen misteri nih,sara kyk udh kenal sehun lama,apa dulu mrk pernah ketemu sm berhubungan di masa lalu?trs soal phobia airnya sara jg ada yg aneh,ga mgkn dia phobia kalo ga ada penyebabnya
    Uh,pgn cpt2 tahu hubungan mrk berdua😆😆wah ini mgkn berhubungan dg reinkarnasi,soalnya di paragraf terakhir kyk nyeritain sosok sara di masa lalu..

    Suka

  3. Apa mgkn Sara n Sehun sama2 hsl reinkarnsi, atau emang Sehun ada di dunia cuma buat menjaga Sara???😂
    Seru kak kaya baca novel fantasiii! Huahaha daebak! Lanjut yaaah!

    Suka

Leave Your Review Here!