[Oneshot] Frater

1428576712790

FRATER

a movie by tsukiyamarisa

starring [BTS] Jung Hoseok (J-Hope) & [OC] Jung Mia genre AU, Family, Fluff, Life, slight!Childhood duration Oneshot rating 13

.


frater

(noun.) brother: a person who will play with you, argue with you, protect you, and always be there for you


.

.

Umurnya enam tahun.

Jung Hoseok baru saja merayakan ulang tahunnya minggu lalu, dan hari ini, ia duduk di teras rumahnya dengan hati berdebar. Menunggu mobil sedan orangtuanya muncul, ingin tahu kado macam apa yang akan ia terima. Ayah dan ibunya sudah berkata bahwa hadiah Hoseok untuk tahun ini adalah sesuatu yang istimewa, kejutan yang sayangnya tak bisa ia terima tepat waktu. Awalnya, ia memang sempat cemberut saat mendengar hal itu.

Namun, sekarang….

 .

.

Tiiin!

.

.

Suara klakson itu membuatnya terlonjak, dengan cepat bangkit berdiri dan berlari menyeberangi halaman rumah. Menghampiri mobil hitam itu dengan tak sabar, kedua manik melebar saat ibunya membuka pintu belakang. Ada seorang gadis kecil yang duduk di sana, dengan rambut lurus sepanjang punggung dan jepit rambut berbentuk kelinci. Ia mengenakan terusan warna kuning cerah yang sederhana, begitu kontras dengan ekspresi ragu dan bingung di wajahnya.

“Itu siapa?”

Hoseok menelengkan kepalanya, ingin tahu. Pertanyaannya barusan ditujukan pada orangtuanya, tetapi si gadis cilik lebih dulu mengangkat kepala sebagai reaksi. Membiarkan irisnya yang sedikit kecokelatan bertemu dengan tatap penasaran Hoseok, sebelum akhirnya kembali berpaling untuk menyembunyikan wajahnya.

“Hoseok-a…” Sang ibu kini berkata perlahan, lirih tapi mampu menarik atensi Hoseok sepenuhnya. “Katanya, kamu ingin seorang adik, ‘kan?”

“Yap!” jawab Hoseok, semangatnya mendadak meluap-luap lagi. “Apa dia—“

“Namanya Mia.” Kali ini, ayah Hoseok yang berbicara, menepuk puncak kepala anak lelakinya. “Jung Mia. Mulai hari ini, dia adalah adik perempuanmu. Kamu akan menjaganya, bukan?”

Yang ditanya spontan mengangguk mantap, mengacungkan ibu jari tanda bahwa ia tidak akan berulah. Detik berikutnya, Hoseok bahkan sudah memanjat naik ke atas kursi belakang, mendudukkan diri di samping Mia yang masih menyembunyikan wajah. Gadis itu agaknya tidak tahu harus bagaimana, sampai Hoseok memutuskan untuk mengulurkan tangan ke hadapan Mia dan membuka konversasi pertama mereka dengan lantang.

“Namaku Hoseok. Mulai sekarang, panggil aku dengan sebutan ‘Kakak’, ya?”

.

-o-

.

Mia tidak pernah tahu siapa orangtuanya.

Yang ia tahu, ia selalu tinggal di sebuah panti asuhan kecil bersama anak-anak lainnya. Anak-anak yang kebanyakan berusia lebih muda dibandingkan dirinya, sementara segelintir lainnya malah jauh lebih tua dan sudah mulai bersekolah. Mau tidak mau, Mia pun jadi tidak punya teman bermain. Adik-adiknya, terutama mereka yang masih bayi, tidak bisa Mia ajak bermain boneka atau berlari di halaman. Lalu, kakak-kakaknya pun selalu berada di sekolah mulai dari pagi hingga menjelang sore.

Mia bosan. Tetapi, sebagai anak yang baik, ia harus mengerti dan mengalah. Ia terkadang membantu menenangkan adiknya yang menangis di pagi hari, atau ikut menyiapkan makan malam di kala kakaknya sedang mengerjakan tugas sekolah. Rutinitasnya berjalan seperti itu, sampai Tuan dan Nyonya Jung datang untuk mengulurkan tangan pada dirinya.

Gadis kecil itu tidak pernah menyangka kalau dirinya akan diadopsi. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Di sinilah ia berada sekarang, duduk di sofa ruang tengah rumah keluarga Jung selagi kedua orangtua barunya menyiapkan makan malam. Mia tidak tahu harus bagaimana, semua ini baru baginya, dan—

“Mau main denganku?”

Menolehkan kepala, Mia melihat sosok lelaki itu—kakak barunya—yang mengulurkan sebuah boneka beruang berbulu cokelat gelap. Menunggu sampai Mia menerimanya, sebelum ia mendudukkan diri di samping sang gadis dan menunjukkan mobil-mobilan yang dibawanya.

“Anak laki-laki tidak main boneka,” jelas Hoseok, tangan mengangkat mobil-mobilan dan mulai menggerakkannya di sekeliling Mia. “Tetapi, kalau kamu tidak menghindar, nanti bonekanya kena tabrak.”

Mendengarnya, Mia bengong sejenak. Tidak tahu harus bagaimana, tetapi ketika Hoseok menabrakkan mobilnya pada kepala si boneka, ia pun bergumam, “Kalau ditabrak, apa yang terjadi?”

Eumm…” Hoseok mengerutkan keningnya, berpikir. Ujung telunjuknya diketuk-ketukkan di dagu, selagi Mia menatapnya dengan sorot polos dan ingin tahu. Satu menit penuh berlalu, dan seakan menunggu momen itu, Hoseok tahu-tahu mengarahkan jemarinya untuk menggelitik pinggang Mia sambil berteriak, “Kalau ditabrak, hukumannya adalah serangan geli ala Hoseok!”

Lantas, gelak tawa pun terdengar dari mulut keduanya. Aksi Hoseok itu sukses membuat rasa canggung Mia seketika menguap, berusaha untuk menghindar sembari memeluk bonekanya erat-erat. Mereka berlarian di ruang tengah, sampai gadis itu nyaris tersandung karpet dan Hoseok lekas mengulurkan lengan untuk menangkapnya.

Dan tanpa disangka-sangka, kalimat itu pun meluncur keluar dari bibir Mia dengan tulus.

“Terima kasih, Kak.”

.

-o-

.

Tetapi, ada kalanya pula Mia masih merasa tak terbiasa dengan hidupnya sekarang.

Contohnya seperti hari ini, ketika hujan deras turun beserta petir hingga Mia tak bisa tidur.

Biasanya, ada anak-anak lain yang berbagi kamar dengannya. Yang akan menemaninya mengobrol, berbagi canda tawa, serta kehangatan di tengah dinginnya hujan. Bukannya Mia tidak menyukai keluarga barunya, tetapi ia hanya merasa sedikit rindu pada suasana di panti dulu. Saat ketika kamarnya tidak terasa begitu luas, ketika dirinya tidak perlu memandang jendela yang menampakkan kegelapan di luar sana, serta…

“Mia?”

Suara itu terdengar mengiringi pintu kamarnya yang berderit terbuka, menampakkan sosok Hoseok yang juga sudah terbalut piama warna kuning. Kakak angkatnya itu lantas melangkah masuk, menutup pintu dengan hati-hati, sebelum berjingkat naik ke atas kasur Mia.

“Kakak… belum tidur?”

Terkadang, Mia masih belum biasa memanggil lelaki di sampingnya ini dengan sebutan kakak. Namun, kendati demikian, cengiran lebar yang ada di wajah Hoseok tiap kali Mia memanggilnya dengan sebutan kakak itu selalu bisa mengusir kecanggungan. Begitu pula halnya dengan malam ini, lantaran Hoseok langsung tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Kamu sendiri?”

“Tidak bisa tidur.” Mia menjawab, lirikan matanya mengarah pada jendela di sisi ranjang. “Hujannya deras sekali jadi—“

“Kamu takut?”

Tebakan Hoseok itu agaknya tepat pada sasaran, lantaran bunyi gemuruh petir yang terdengar di detik berikutnya sukses membuat Mia terlonjak. Terlebih, keduanya sama-sama mengeluarkan pekikan kaget, spontan menarik selimut yang ada untuk menutupi kepala. Tubuh gemetaran, selagi hujan makin menderas di luar sana.

“Kakak…”

“Sebenarnya, Kakak juga takut, Mia-ya….”

Pengakuan itu terlontar dalam bentuk bisikan, keduanya saling pandang di tengah keremangan yang ada. Butuh waktu kurang lebih lima menit sampai keduanya kembali memunculkan kepala dari balik selimut, seraya Mia lamat-lamat mengulurkan tangannya untuk menggenggam jemari Hoseok.

“Mia?”

“Dulu, kalau aku takut, aku tidur bergandengan tangan dengan temanku di panti asuhan,” sahut Mia, menggeser tubuh untuk memberi Hoseok tempat berbaring di sisinya. “Sekarang, Kakak masih takut?”

Ditanya seperti itu, rasa gengsi Hoseok sebagai kakak dan lelaki pun muncul ke permukaan. Menggelengkan kepalanya cepat-cepat, sang bocah lelaki pun mengulurkan telapak tangannya yang lain untuk menangkup tangan Mia. Memberi kehangatan, lengkap dengan senyum menenangkan tatkala ia berujar, “Tidak. Kakak tidak takut. Kakak akan melindungi Mia, oke?”

Sebuah anggukan diberikan, dan suara petir yang terdengar di luar sana mendadak tidak semenakutkan sebelumnya. Kedua anak itu kini berbaring bersisian, masih dengan tangan yang saling menggenggam sementara kantuk mulai datang menggelayuti.

“Mia?”

“Iya?”

“Tidur yang nyenyak, ya?” gumam Hoseok, menjungkitkan ujung-ujung bibirnya untuk kali terakhir sebelum pergi ke alam mimpi. “Jangan khawatir. Sekarang, kamu tidak sendiri lagi.”

.

-o-

.

Mia memang tidak pernah sendirian lagi.

Kini, umurnya telah menyentuh angka tujuh. Ia sudah tinggal di rumah ini selama hampir tiga tahun, dan selama itu pula, ia tak lagi merasa kesepian. Ia punya orangtua yang menyayangi dan mengajarinya macam-macam, ia memiliki Hoseok yang senantiasa berusaha menjadi kakak lelaki yang baik. Lelaki itu tahu persis apa yang disukai dan tidak disukai Mia, melindunginya layaknya mereka adalah saudara kandung.

Maka, Mia pun memutuskan untuk melakukan hal serupa.

Pukul delapan malam, dan ibunya keluar dari kamar Hoseok dengan ekspresi cemas. Berkata kalau anak lelakinya itu demam dan flu akibat kehujanan, cukup jelas untuk didengar Mia yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sang gadis lekas menolehkan kepalanya, melihat pintu kamar Hoseok yang sedikit terbuka sementara ibu mereka berjalan menuju dapur.

Tanpa pikir panjang, Mia pun menyelinap masuk ke sana.

Hoseok terbaring di kasurnya dengan hidung memerah seperti rusa Natal, beberapa kali bersin sambil menggerutu sebal. Jelas sekali kalau ia juga ingin menonton televisi atau bermain bersama Mia, bukan malah terkurung di kamarnya dengan selimut tebal membalut tubuh. Namun, ia bisa apa? Kepalanya pusing sekali. Mau membaca cerita favoritnya pun Hoseok tidak sanggup.

Tapi, itu tadi.

Karena sekarang, ada Mia yang tengah meraih salah satu buku dongeng favorit Hoseok dari atas meja. Sang gadis lalu mendudukkan dirinya di samping Hoseok, membuka buku itu sebelum membacakannya perlahan-lahan. Untung saja, Mia sudah belajar membaca dengan rajin di sekolah. Walau ia belum bisa membaca sebaik ibu atau ayahnya, itu tidak masalah. Yang penting, ia bisa melihat kakaknya tersenyum. Senang, lantaran Hoseok mulai lupa akan flu yang menderanya dan berganti membayangkan kisah petualangan ke tempat-tempat ajaib.

“Mia memang adik yang paling hebat.”

Begitu kata Hoseok tatkala Mia akhirnya selesai membaca, sebelum akhirnya melangkah keluar karena dipanggil sang ibu. Katanya, ia tidak seharusnya dekat-dekat Hoseok yang sedang sakit. Tapi, apa boleh buat, Mia sudah terlanjur melakukannya.

Jadi, bukan hal aneh kalau hari berikutnya Mia ikut terserang flu. Menemani Hoseok yang masih belum berhenti bersin, namun keduanya malah terkikik sembari bermain ular tangga di atas kasur.

“Maaf ya, Mia…”

“Tidak apa-apa, Kak.” Mia buru-buru menggeleng, memeluk Hoseok sekilas sebelum memasang cengiran. “Lagi pula, kalau sama-sama sakit, kita jadi bisa bermain bersama, ‘kan?”

Hoseok tak langsung mengangguk. Alih-alih, ia menelengkan kepalanya sejenak. Berpikir, kemudian menggeleng untuk menyatakan rasa tidak setujunya.

“Kakak?”

“Lain kali, biar aku saja yang sakit, Mia,” ucap Hoseok sambil mengacak puncak kepala adiknya. “Kakak yang baik seharusnya tidak membuat adiknya sakit, bukan?”

.

-o-

.

Kakak yang baik memang tidak akan menyakiti adiknya.

Kakak yang baik juga akan senantiasa melindungi sang adik, tak peduli apa pun bahaya atau masalah yang menghadang.

Namun, ketika usia Mia tiga belas tahun dan Hoseok empat belas, gadis itu menemukan sebuah fakta yang menarik.

Mereka hanya berdua di rumah, enggan ikut orangtua mereka berbelanja lantaran salju sedang turun di luar sana. Udara dingin, sehingga sepasang kakak-beradik itu lebih memilih untuk duduk di sofa ditemani kukis dan susu hangat. Tambahkan televisi yang tengah menyiarkan film-film khas liburan, Hoseok rasa, ia akan betah untuk berdiam diri di rumah dan—

“Wah, ada film horor!”

Oh, tidak.

Entah apa yang dipikirkan stasiun televisi satu itu, menayangkan film horor di siang bolong begini. Dan sialnya—sial bagi Hoseok maksudnya—Mia malah berhenti memindah channel. Kedua iris terpancang pada adegan di depan sana, ekspresi wajahnya sama sekali tidak terlihat takut kendati kedua tangannya memeluk bantal sofa erat. Sepengetahuan Hoseok, adiknya itu memang mudah kaget. Tetapi, siapa yang sangka kalau ia…

“Kamu tidak takut?”

Mia menoleh sekilas, lalu menggeleng. Atensinya kembali teralih pada film di layar televisi, sementara suara menegangkan dan seram ala film horor terdengar menggema. Duh, rasa-rasanya, Hoseok ingin sekali meraih remote televisi itu dan bergegas mengganti channel-nya. Tetapi, Mia terlihat begitu asyik menonton. Dan Hoseok tidak begitu ingin memancing pertengkaran.

Sampai sesosok hantu tahu-tahu terlihat jelas di layar, membuat Hoseok berteriak keras dan langsung melompat turun dari tempatnya duduk. Kedua kaki membawanya berlari ke balik sofa, meringkuk di sana dengan bantal di atas kepala.

“Kak Hoseok?”

Suara Mia yang memanggilnya beberapa sekon kemudian terdengar serak, dan Hoseok menyadari bahwa adiknya itu juga berteriak. Bukan karena takut, melainkan karena ia terkejut mendengar jeritan Hoseok yang sangat-tidak-lelaki-sekali itu tadi. Sang adik kini melongokkan kepalanya ke balik sofa, dengan geli memandang Hoseok yang masih berjongkok di sana.

“Seharusnya, Kakak bilang kalau takut.”

Hoseok hanya mendengus sebagai jawaban, tetapi Mia tampaknya paham bahwa kakak lelakinya itu merasa takut sekaligus malu pada saat yang sama. Mengalah, ia pun memutuskan untuk segera memindah channel televisi. Menggantikan suara-suara seram tadi dengan irama lagu yang terdengar ceria, lantas menyandarkan kepala pada bahu Hoseok ketika sang lelaki sudah kembali duduk di sampingnya.

“Aku tidak takut, tahu.” Hoseok akhirnya angkat suara, sementara Mia hanya mengulum senyum. “Sungguh, aku—“

“Iya, iya, Kakak tidak takut,” potong Mia, memutuskan untuk tidak meledek Hoseok kendati ia sangat ingin melakukannya. Sebagai ganti, ia pun mengubah topik pembicaraan dan mulai mengoceh soal tokoh kartun yang silih berganti memenuhi layar. Membiarkan Hoseok untuk lupa akan rasa takutnya tadi, lamat-lamat mengizinkan tawa untuk kembali mengisi suasana.

Lagi pula, itu gunanya saudara, bukan?

Bukan Hoseok saja yang harus melindungi Mia atau memastikan adiknya itu tidak merasa ketakutan.

Sesekali, Mia pun juga bisa ‘kan, berbuat demikian?

.

-o-

.

Namun, bukan berarti mereka tak pernah bertengkar.

Ada masa-masa ketika mereka beradu argumen karena masalah sepele, yang kemudian disusul dengan permintaan maaf beberapa menit setelahnya. Ada juga saat ketika perdebatan mereka berujung pada Mia yang merajuk atau Hoseok yang tak mau keluar dari kamar, kendati pada akhirnya mereka kembali berbaikan saat jam makan malam tiba. Dan hari ini, tepat satu hari sebelum lomba dance yang akan diikuti Hoseok, pertengkaran itu terjadi.

Mia tahu ini kekanak-kanakkan, ia sudah kelas tiga SMA dan tidak seharusnya ia marah-marah seperti ini. Tetapi, perpaduan dari ulangan harian yang menumpuk, tugas, serta suara musik bertempo cepat yang sedang diputar oleh Hoseok itu sama sekali tak membantu. Kepalanya makin pening, dan kecemasan serta kegelisahan kakaknya yang akan menghadapi lomba itu agaknya menular.

“Kak, kecilkan sedikit, dong!”

“Aku sedang berlatih, Mia!”

“Besok aku ada ulangan, nih.” Mia masih teguh memprotes, berdiri di ambang pintu kamar Hoseok dengan lengan tersilang. “Ayolah, Kak. Kak Hoseok tega kalau aku harus ikut remidi?”

Mia kira, kalimat permohonannya itu akan berhasil untuk meluluhkan hati Hoseok. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Hoseok hanya mematikan musik itu sebentar untuk melempar pandang kesal, tak lupa mengimbuhinya dengan ucapan, “Kamu tega kalau Kakak kalah?”

Mendengarnya, Mia hanya mengerjap. Tak percaya, tetapi terlanjur malas berdebat karena emosinya sudah mulai naik ke permukaan. Memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah, Mia pun langsung membalikkan badannya dan berderap pergi. Membiarkan pintu depan berdebam pelan, selagi dirinya cepat-cepat melangkah menuju rumah sahabatnya untuk menumpang belajar.

Mereka masih tidak saling berbicara sampai malam menjelang. Sama-sama terdiam saat jam makan, sukses menghadirkan teguran singkat dari sang ayah. Tetapi, baik Mia maupun Hoseok hanya menggeleng dan berkata kalau semua baik-baik saja. Mereka memilih untuk menyendiri setelah itu; Mia sibuk belajar di kamarnya dengan telinga tersumpal headset, Hoseok masih berusaha keras menyempurnakan tariannya untuk lomba esok hari.

Barulah ketika lomba itu selesai, Mia paham mengapa Hoseok begitu ingin memenangkan pertandingan dance tersebut.

Sang kakak ternyata menghampiri Mia yang sudah terlelap pada malam setelah pengumuman lomba, menyelimuti adiknya serta merapikan buku-buku tugas yang bertebaran di atas kasur. Lalu, dengan hati-hati, Hoseok meletakkan sebuah bingkisan di atas nakas. Isinya adalah jam tangan, hadiah khusus untuk Mia yang dibeli Hoseok dengan uang hadiah lomba.

Jadi, tidak heran kalau Mia berakhir mengetuk pintu kamar Hoseok pagi berikutnya dengan mata sedikit sembab.

“Mia?”

“Kenapa tidak bilang sih, Kak?” Mia mengerucutkan bibirnya, memasang tampang cemberut yang membuat Hoseok—anehnya—malah merasa lega. “Aku ‘kan, jadi merasa bersalah. Seharusnya Kakak—“

“Kamu senang dengan hadiahnya?” Hoseok menginterupsi, yang langsung dibalas Mia dengan anggukan. “Kalau begitu—“

“Aku senang.” Mia ganti memotong, kepalanya ditundukkan untuk menyembunyikan matanya yang memerah. “Tapi, ini untuk apa? Ulang tahunku sudah lewat dan—“

“Kalau kamu tidak ingat, ini adalah hari di mana kita bertemu untuk kali pertama.”

Oh.

Ya ampun.

“Waktu itu, kamu sangat pemalu dan aku harus memikirkan sejuta cara untuk memancing senyummu,” lanjut Hoseok, sudut-sudut bibirnya berjungkit naik selagi tangannya mengacak surai rambut Mia yang masih dibiarkan tergerai. “Siapa sangka kalau kamu sekarang sudah mau lulus SMA dan bahkan bisa bertengkar denganku, hm?”

Tidak ada maksud menyindir dalam ucapan itu—Hoseok mengucapkannya dengan nada ringan dan menggoda seperti biasa. Namun, itu cukup untuk membuat kedua pipi adiknya bersemu sebagai reaksi, diikuti dengan dorongan kecil di pundak Hoseok dan entakkan kaki di atas lantai.

“Kakak menyebalkan!”

“Mau bertengkar lagi, nih?”

“Bukan itu maksudku.” Mia mengangkat kepalanya, dan satu bulir air itu tahu-tahu saja menetes turun. Semua sikap Hoseok ini berhasil membuatnya terharu, sekaligus tak menyangka bahwa kakak angkatnya itu masih mengingat pertemuan pertama mereka dulu. Pertemuan yang menjadi awal perubahan bagi hidup Mia, yang membuatnya yakin bahwa keluarga itu tak harus terbentuk berdasarkan ikatan darah.

“Kamu menangis?”

“Siapa yang menangis?” bantah Mia, tetapi toh ia membiarkan Hoseok mengusap air matanya. Keduanya lantas saling bertukar pandang sejenak, sebelum akhirnya sama-sama tergelak dan saling menertawakan kebodohan masing-masing.

“Kak Hoseok?”

“Ya?”

“Aku minta maaf.”

Satu anggukan, dan pertengkaran mereka pun resmi berakhir. Digantikan dengan senyuman, serta rangkulan di pundak seraya keduanya berjalan menuju meja makan untuk sarapan pagi.

“Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi membeli kue cokelat sepulang kamu sekolah nanti, Mia?”

.

-o-

.

“Bagaimana dengan ayam goreng?”

“Tapi aku sedang ingin makan sesuatu yang manis,” kata Mia, mengedarkan pandangnya pada toko serta kedai makanan yang berderet. Hari ini, ia memang sudah memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan sang kakak. Sudah lama mereka tidak pergi berdua saja, mengingat kesibukan Mia sebagai mahasiswa baru serta betapa seringnya Hoseok menghabiskan waktu di studio. Ada begitu banyak hal yang berubah, namun sebuah persetujuan dari Hoseok membuat Mia sadar bahwa kakaknya itu masih sama seperti dulu.

“Oke, bagaimana dengan cake dan es krim?”

“Dan smoothies?” Mia menawar, selagi Hoseok memasang muka memelas dan menepuk-nepuk saku tempat ia menyimpan dompetnya. “Ayolah, Kak… biasanya, Kakak juga menghabiskan waktu dengan Jinhee, ‘kan?”

“Kamu juga sukanya menghabiskan waktu dengan Joshua,” balas Hoseok, sedikit meleletkan lidahnya tanda tak terima. Kendati demikian, ia tetap tak menolak saat Mia mengajaknya masuk ke sebuah kafe dan mulai memesan menu favorit mereka. Menunggu sampai si pelayan beranjak pergi, sebelum menopangkan dagu pada kedua tangan dan kembali membuka konversasi.

“Jung Mia.”

Yeah?”

Hoseok tak langsung menjawab. Ia membiarkan irisnya mengamati penampilan sang adik sejenak, dalam hati bertanya-tanya apakah benar waktu telah berlalu secepat itu. Mia bukan lagi anak yang pemalu, tidak percaya diri, serta senantiasa membutuhkan Hoseok di sisinya. Mia yang ada di hadapannya sekarang adalah seorang gadis dewasa, yang umurnya sudah dua puluh tahun dan sedang mengejar mimpinya sendiri. Adiknya itu bahkan sudah punya kekasih, dan Hoseok juga bisa mengajaknya bertukar pendapat soal cinta—bukannya membicarakan menu makan malam atau buku bacaan favorit lagi.

Banyak hal berubah, tetapi….

“Kakak mau bilang apa, sih?”

Yang ditanya hanya bisa menggeleng. Tidak yakin apakah ia harus mengakui isi hatinya barusan, lantaran yang meluncur keluar dari bibirnya adalah, “Aku sedang berpikir, apakah aku sudah menyerahkan adikku ke tangan lelaki yang tepat atau belum.”

“Memang, siapa yang akan menikah?” Mia menaikkan alis, merasa pernyataan Hoseok barusan itu konyol. Sang gadis tampaknya belum sadar jika Hoseok tengah menyelipkan makna yang tersembunyi di balik ucapannya, sehingga Hoseok hanya bisa mengulum senyum sembari mengangkat bahu.

“Itu hanya pikiran selintas,” gumam Hoseok cepat. “Maksudku, tahu-tahu saja kita sudah dewasa. Mungkin, akan tiba waktunya kita tidak lagi tinggal serumah dan….”

“Kakak tetap yang paling hebat, kok.” Mia menyahut, menghentikan pengakuan Hoseok barusan dengan senyum di wajah. “Oke, mungkin tidak nomor satu karena tempat itu untuk Ayah, tetapi….”

“Tapi aku lebih baik dibandingkan Joshua atau siapa pun pria yang mendekatimu, ‘kan?”

Mia tergelak sejenak mendengarnya, sebelum mengangguk mantap dan memberikan senyuman termanisnya untuk Hoseok. Lagi pula, dari sekian banyak lelaki di hidupnya, siapa lagi yang telah menemaninya selama ini dan selalu berusaha membuatnya bahagia? Maka, Mia rasa, ia tak perlu ragu lagi untuk mengutarakan satu kalimat itu dan membuat Hoseok berhenti mencemaskan masa depan.

“Tentu saja. Terlebih…”

.

.

.

“…siapa lagi yang akan menjadi kakak lelakiku kalau bukan Kak Hoseok?”

.

.

fin.

Akhirnya Mia sama Hoseok punya fic sendiri juga! *throws confetti*

Buat yang udah baca series Mia-Joshua, pasti tahu kalau kak Hoseok pernah disebut-sebut di sana. Nah, fic ini bercerita tentang kisah lengkapnya Jung Sibs, dari awal ketemu sampai sekarang 😀 Dan in case kalian bingung, Hoseok dan Mia itu beda 22 bulan, Februari 94 dan Desember 95 ^^

Okay, thanks for reading! Will be back again with xmas fic and some bday fic! See ya! ❤

15 tanggapan untuk “[Oneshot] Frater”

  1. terus Narin terharu
    terus Narin gelindingan
    terus Narin pengen punya kakak kayak Hoseok.
    KAK HOSEOK JADI KAKAK NARIN DONG! *dikemplang Mia*

    As always yaaa fic Amer maaaaaniiiiiiiiiisssssss biarpun ini family ><b
    Ditunggu JoshuMinyaaaaaa wkwkwk

    Disukai oleh 1 orang

  2. Astaga…dari dulu pengen punya abang dan baca fic ini makin pengen punya abang apalagi model-model Hoseok begini. Astaga…aku ikhlas jadi adik tiri asalkan abangnya Jung Hoseok. Hahaha 😀
    Btw asik banget ya hidup Mia. Adeknya Hoseok, Pacarnya Jojo wkwk

    Suka

  3. ……mia desember 95…………………..sama kaya tea dong mer XD
    yess! tea punya cecinguan satu bulan /APA INI/ hahahahaha
    duh mer aku baper, ini hosok kenapa begini banget bang……../lalu riris ngakak inget obrolan amer yang kelupaan ada JUNG taekwoon/ hahahaha udah mer gitu aja. See ya, Amer! ^^)/

    Suka

  4. tissue mana tissueee /berurai airmata/
    tembok mana tembok /garuk saking gregetnya/
    ga kuat sama story-story sibs gini, ah, jadi senyum senyum tapi endingnya cengeng haru gitu deh wkwk /sobs
    ternyata anak-anak bangtan itu semuanya oppa yang baik yah, duh bisa kali yang belum kamu bikinin adek aku culik satu HAHA
    nice as always, mer!

    Suka

  5. Kenapa jadi terharu gini. Dan aku makin pengen punya kakak laki2 😦 engga tau kenapa suka banget sama ff kakak beradik. Kkk~ suka banget lah. Apalagi kalo kakaknya cowok, adeknya cewek. Seru gitu bacanya 🙂

    Suka

  6. aku baru baca fic ini dan…….. jujur aku langsung diam tanpa kata karna bingung harus gimana nanggapin fic ini. antara baper senyum senyum sendiri bayangin punya abang sampe akhirnya inget kalo ga punya abang…
    .
    .
    .
    adopsi adek bang :”””” ((langsung diusir))

    suka sama penjabaran di fic ini kalo anak angkat ga selamanya dibully kayak cinderella, tapi juga dapet kasih sayang dan…. terharu kenapa bisa hoseok jadi abang yang manis kek gini :(( fix baper maksimal.

    Suka

  7. YA ALLAH, HAMBA PALING SUKA KALO DI SUATU FIC ADA HUBUNGAN TIDAK SEDARAH SEPERTI INI.

    kak amerku cintaku padamu:’))))) Aku selalu suka yang tiri-tiri akrab (bahkan gak akrab pun aku suka) soalnya entah kenapa di kepalaku tuh jadinya real banget so menyentuh! Dan aku baru nyambung Mia ini Mianya Josh! HAHAHAHA baru nyambung pas Hoseok nyinggung nama Joshua. AIGU. So manis! Kusuka kusuka kusenang! :)))))))

    Hoseok manis banget aw. beneran deh aku mau ngomonginnya takut kepanjangan hahahahahahahaha.

    Kangen fic kakmer
    kangen komen di fic kakmer
    kangen tsukiyamarisa’s chamber
    Kangen tulisan kakmer
    Kangen berbincang dengan kakmer

    TSUKIYAMARISA JJANG!

    Suka

  8. hai author. kami sedang ada penelitian tentang fanfiction. boleh tidak jika kami menggunakan fanfict ini untuk bahan penelitian. kami akan tetap menuliskan sumber dan nama author. tolong fast respont. terima kasih.

    Suka

Leave Your Review Here!