Postmortem

postmortem

 Author namtaegenic Casts Wei – Lee Sungjoon [UP10TION], Anaïs Blanc [OC] Genre Tragedy, mystery, slightly romance Length 2000+ wordcount Rating PG-17

© 2015 namtaegenic

You are the fatal fantasy that cannot be found.

:::::

:::::

“Seymour Peterson minta dibuatkan memento mori1 bersama mendiang istrinya,” Matt berujar sembari memasukkan foto-foto pariwisata hasil cuci cetak ke amplop bertuliskan nama Chantal Peterson—putri bungsu Tuan Peterson.

“Kamu dengar, kan? Wei?”

Yang disebut namanya lantas menghentikan kegiatan mengamati rol kamera usang.

“Harus berapa kali kukatakan,” Wei kini menghadap Matt seraya bersedekap. “Aku tidak memotret postmortem2. Memangnya ini era Victoria?”

Matt terkekeh. Ia meregangkan otot-ototnya. Berada terlalu lama di kamar gelap demi mencuci cetak foto pesanan dari keluarga Lacey membuatnya lelah setengah mati.

“Seymour itu teman lama ayahku, Wei. Dan aku menghabiskan dua tahun sekolah menengah dengan berteman dengan Chantal. Haruskah kujelaskan mengapa kita memiliki kewajiban untuk melakukan apa yang ia inginkan?” Matt meneguk sisa kopi tadi subuh sembari mempertimbangkan bahwa mungkin ia akan tidur dulu dan memercayakan Wei menjaga studionya.

“Tidak lantas aku bersedia memotret orang mati.” Wei berbalik, mendorong kamar gelap untuk mencuci cetak hingga debam pintu terdengar seakan mengisyaratkan bahwa ia menuntaskan pembicaraan soal memento mori. Lagi pula betapa anehnya Tuan Peterson. Ini sudah abad 21 dan ia masih saja bermain-main dengan mayat keluarganya. Entah ke mana perginya rasa hormat.

Dari luar terdengar samar-samar suara Matt kembali, memberitahu bahwa jika Wei sudah selesai, ia sebaiknya menjaga studio foto selama Matt memulihkan rasa lelahnya akibat begadang menyelesaikan pesanan.

Lahir dan tumbuh mengikuti arus nomaden keluarganya, membuat Wei bahkan tak lagi peduli kenapa semua orang memanggilnya dengan nama itu. Ia dititipkan pada keluarga dari adik ayahnya sejak kecil, yang mana mereka sering berpindah tempat, tergantung di tempat mana Paman Hyuksung ditugaskan. Negara yang paling lama mereka tempati hingga sekarang adalah Inggris, sejak Wei berusia dua belas tahun, dan di sinilah ia mendapatkan julukan Wei alih-alih Sungjoon—nama aslinya. Way—jalan, cara, dan semacamnya. Entah bagaimana bisa kakek di sebelah rumah dinas pamannya itu menjulukinya demikian, padahal yang Wei kerjakan hanyalah memanjat pohon kesemek di taman kompleks dan melempari orang yang lewat dengan buahnya. Bagaimanapun, Wei suka nama itu. Jadi ia menetapkan nama itu menjadi nama yang akan diperkenalkannya pada khalayak, setelah diubahnya ke tulisan kanji Korea, 웨이—Wei.

Omong-omong, sekeluarnya Wei dari kamar gelap, Matt sudah merebahkan diri di karpet pojok, menanti giliran jaga pemuda itu. Wei memindai ruangan dalam sekali pandang dan ia menggeleng-gelengkan kepala. Matt menjalankan usaha studio foto ini sejak dua tahun yang lalu, tapi hingga sekarang masih belum mampu mempekerjakan seorang tukang bersih-bersih.

Wei meraih gulungan kalender baru tahun 1997—bonus dari optik sebelah ketika Matt mengganti bingkai kacamatanya—lalu menggantungkannya di dinding dekat lampu, sebagai pengganti kalender tahun lalu yang belum Matt turunkan sejak Februari kemarin. Matt tak pernah peduli soal tanggal. Ia suka menikmati hari dengan lambat dan tenang. Berbeda dengan Wei yang seakan senantiasa mengejar laju kereta.

Pintu yang dibuka membunyikan hiasan lonceng gantung di atasnya. Perhatian Wei refleks teralih pada yang membuka portal masuk studio mereka.

Bonjour, c’est ouvert?3?” seorang gadis melangkahkan kakinya ke dalam. Ia mengenakan terusan denim setumit yang melapisi kaus putih polosnya. Sepasang mary-jane membungkus kaki rampingnya. Entah kenapa, tapi bagi Wei, gadis ini beraroma musim semi—kebetulan sekali karena ini toh masih bulan Maret.

Bonjour. Je viens d’ouvrir. S’il vous plaît, mademoiselle. Pourrais-je vous aider4?” Wei membalas. Aduh, orang Prancis. Wei tak terlalu pandai berbicara bahasa Prancis. Frase Prancis yang dipahaminya sebatas menyambut tamu karena itulah yang ia dan Matt lakukan tiap hari. Namun lain hal dengannya, Matt mengencani banyak pelancong Prancis di London, jadi bukan hanya bahasa yang dikuasainya jika bicara mengenai negara itu. Ia bahkan pandai memasak makanan khasnya.

Gadis itu maju beberapa langkah lagi, hingga ia bisa meletakkan sikunya di meja penerima tamu.

Je voux prendre un ordre au nom de Chantal Peterson. Mon amie5—“

“Akan saya ambilkan segera, Nona. Mohon tunggu sebentar,” Wei buru-buru menimpali sebelum gadis ini semakin jauh berbicara. Matilah ia, Matt tak kunjung terbangun—mungkin salah satu mimpi indahnya adalah sedang berciuman dengan katak yang menjelma jadi gadis perawat. Matt selalu takluk pada gadis berseragam.

Si gadis mengamati Wei yang sedang memunggunginya. Pemuda itu tampak sedikit kewalahan mencari nama Chantal Peterson di tumpukan pesanan foto yang sudah dicuci cetak. Desisan-desisan gugup pemuda itu makin terdengar ketika jemarinya berada di tumpukan terakhir.

“Santai saja.”

Sejenak Wei terpaku, lantas ia menoleh. Gadis itu sedang memandangnya dengan alis terangkat.

“Kenapa tidak bilang kalau kamu bisa bahasa Inggris?” gerutu Wei, nyaris tak bisa menahan kekesalannya jika tak ingat bahwa ia sedang berhadapan dengan pelanggan. Gadis itu terkekeh, “kamu tidak tanya.”

Merasa lebih rileks, Wei ikut tertawa, meskipun tidak lama. Lengkungan manis di wajahnya itu langsung surut begitu ingat bahwa studio Matt tidak menyediakan satu set sofa dan meja untuk tamu. Wei menorehkan pesan di dalam memorinya agar sesegera mungkin mendesak Matt untuk membeli sofa, meja, dan—kalau bisa—dispenser baru, karena yang satu ini tidak lagi bisa memanaskan air dengan baik. Kadang Wei minum kopi yang hanya terseduh setengah jadi dan berakhir dengan membeli kopi kalengan di minimarket.

Wei lega sekali karena gadis itu tanpa ragu duduk di satu dari dua bangku lipat yang catnya sudah terkelupas dan diletakkan di pojok studio. Ia menyatukan lututnya dan bergeming untuk beberapa saat sebelum akhirnya membuka konversasi.

“Jadi, kamu fotografernya?” tanyanya. Wei menyahut sembari masih mencari—sial, di mana Matt meletakkan pesanan yang lain?

Vous venez?

“Hah?”

“Kamu dari mana? Jepang?” si gadis mengulangi pertanyaannya.

“Oh, aku orang Korea Selatan. Namaku Lee Sungjoon, tapi semua orang memanggilku Wei. Dan Anda adalah…”

“Anaïs Blanc,” si gadis tersenyum cerah.

Wei mengangguk-angguk. Separuh menanggapi, separuhnya lagi karena merasa lega sudah menemukan amplop kertas bertuliskan nama yang dimaksud gadis itu. Pemuda itu menyerahkan pesanan cuci cetak foto berikut nota berwarna merah muda berstempelkan lunas pada Anaïs. Gadis itu mengucapkan terima kasih, dan baru hendak beranjak pergi, ketika langkahnya terhenti. Matanya tiba-tiba membanjiri Wei dengan tatapan ingin tahu.

“Kamu pernah memotret postmortem?”

Wei memutar bola matanya. Postmortem lagi. Ada apa dengan masyarakat Inggris modern zaman sekarang? Serepot itukah mengingat kematian?

Namun sebelum Wei mengemukakan pendapatnya soal itu, Anaïs sudah membuka mulut lagi.

“Ini aneh tapi, karena kamu satu-satunya fotografer di Inggris yang kukenal dengan cukup baik dan kupikir kamu ramah…maukah kamu memotret kematianku, suatu hari nanti?”

.

.

“Barangkali ia pergi ke ahli nujum dan mendapatkan ramalan berupa tarot bergambar tengkorak. Kamu tahulah, beberapa gadis Prancis percaya sekali pada takhayul,” demikian tanggapan Matt ketika Wei menceritakan kedatangan Anaïs ke studio mereka tadi pagi.

“Ini sudah tahun 1997, Bung! Aku tidak heran jika Peterson tua itu yang memintaku memotret siapa pun yang sudah mati—dia memang sedikit aneh, ‘kan? Tapi Anaïs Blanc tampak masih, entahlah, sembilan belas, dua puluh?”

Matt terbahak-bahak hingga nyaris tersedak kukis Beli-Satu-Kotak-Gratis-Satu-Kotak nyaris kedaluwarsa yang mereka beli minggu lalu.

“Kamu tidak berhak menghakiminya, Wei. Kalian kan, baru bertemu. Kecuali kalau kamu menyimpan perasaan padanya—yang benar saja!” Matt mencemooh wajah Wei yang entah kenapa bisa merona. Anaïs Blanc memang cantik sekali, tapi dia sama seperti pengunjung lain—kecuali permintaan anehnya.

Matt masih ingin menggoda Wei lagi, tapi ucapannya terpotong oleh bunyi lonceng pintu yang terbuka. Mereka berdua kontan bangkit dan membereskan remah-remah kukis yang menempel di sweater begitu melihat siapa yang datang. Tepat di depan pintu, Anaïs Blanc berdiri anggun berbalut terusan berbahan satin warna biru muda dan mary jane hitam.

“Silakan masuk, Nona Blanc. Saya bisa meninggalkan Anda berdua saja dengan Wei, jika Anda bersedia,” Matt berbicara dengan manis sekali—yang mana adalah salah satu keunggulannya ketika mendekati wanita.

“Itu sungguh tidak perlu, Matt,” Wei mencuri-curi delik ke arah Matt yang bersikap pura-pura tidak melihat. Tapi Anaïs mengangguk pada Matt lalu duduk di bangku lipat. Gadis itu menepuk tangannya ke dudukan bangku lipat di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa ia ingin bicara. Wei menghela napas. Anaïs tak akan bisa memaksanya berjanji soal postmortem itu. Tidak akan.

“Aku tidak akan memaksamu untuk berjanji soal postmortem itu,” ucapan Anaïs membuat Wei tersentak dari pergumulan pikiran di benaknya. Gadis itu tersenyum, seakan bisa membaca isi pikiran si pemuda. “Maaf sudah merepotkan. Kamu pasti begitu memikirkannya.”

Wei merasa jantungnya berdebar sengit, melompat-lompat seakan sudah bosan tinggal di klepnya, begitu Anaïs mengungkapkan penyesalannya yang membuatnya terlihat semakin, entahlah, cantik. Ini bukan tentang helai-helai sehitam tinta yang menghiasi kepalanya lalu menjuntai melewati bahu, bukan juga tentang hidung bangir dan bibir mungilnya yang kemerahan.

Gadis itu cantik sekali. Wei sering melihat pelancong asal Prancis bercengkerama dengan Matt, tapi ia belum pernah melihat yang seindah ini. Anaïs begitu sulit ditolak sekaligus digapai. Gadis itu seperti fantasi luar biasa yang tidak bisa Wei temukan di mana pun—potongan-potongan yang apabila disusun, akan membentuk suatu lukisan surealis. Tak akan bosan netra kaum Adam memaku pandangan padanya, namun tak dapat pula mereka mengintervensi kehidupannya.

Dan semua kekaguman itu membawa Wei pada pretensi lain.

“Mau mengitari alun-alun Trafalgar?”

Sekilas dilihatnya Anaïs tertawa. Gadis itu bangkit dari bangku dan membuka pintu studio lebar-lebar.

“Aku belum pernah ke alun-alun Trafalgar. Ayo!” sebuah senyuman kekanakan menghiasi wajah Anaïs, menimbulkan desiran penuh kelegaan di seluruh persendian pemuda itu. Wei meraih jaketnya lalu memanggil Matt untuk menggantikannya di studio barang satu jam saja. Lantas ia mendorong pintu untuk Anaïs, dan melambai pada Matt yang memandangnya dengan geli.

“Jadi,” Wei membuka konversasi begitu mereka sudah melewati gerbang alun-alun. “Apa benar kamu pergi ke ahli nujum dan dapat ramalan yang tidak-tidak mengenai sesuatu yang buruk?”

Anaïs tergelak, “bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu?”

“Karena tidak ada yang lebih aneh lagi selain permintaanmu soal postmortem itu. Kupikir ketika memasuki tahun sembilan puluhan, orang-orang akan menganggap postmortem sebagai sejarah—yang harus ditinggalkan.”

“Entahlah,” Anaïs menghindari sekelompok turis dari Jepang yang sedang dorong-dorongan penuh canda. “Kupikir itu romantis saja.”

“Romantis?”

Anaïs mengangguk, “apa yang lebih romantis dari berada di dalam bingkai yang sama dengan keluargamu bahkan saat kamu sudah mati?”

“Berada dalam bingkai yang sama dengan keluargamu saat kamu masih hidup, misalnya?” Wei mendebat. “Lagi pula, kalau kamu memang menginginkannya, datang memesan padaku bukan pilihan yang tepat. Siapa yang tahu soal siapa yang akan pergi lebih dulu antara kamu dan aku?”

Anaïs mengangkat alisnya dengan jenaka. “Aku lebih dulu.”

“Ternyata benar, kamu pergi ke ahli nujum.”

Mereka berdua tertawa terkekeh-kekeh. Wei dan Anaïs mengomentari patung Sir Henry Havelock dan memberi makan merpati. Lantas usai membahas kisah historikal dari alun-alun ini dan teringat akan Matt yang pastinya akan mengomel karena mereka terlambat satu jam dari durasi yang dijanjikan, mereka mengakhiri acara jalan-jalan hari itu. Wei membelikan mereka berdua crepes cokelat untuk dimakan di jalan.

Lantas Anaïs berhenti.

Alis Wei terangkat penuh tanya.

“Kamu pemuda yang baik hati,” ujarnya. Wei mendengus tersipu sembari mengusap tengkuknya. Kemudian Anaïs bicara lagi.

“Tapi aku harus pergi.”

“Akan kuantar.”

“Tidak perlu. Aku buru-buru.”

“Baiklah, akan kuantar dengan berlari…?”

Anaïs menggeleng, menolak desakan Wei dengan senyuman yang sudah sejuta kali membuat jantung Wei berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Kamu akan pulang ke Bordeaux? Bisakah setidaknya kita…”

Ada yang mengguncang bahu Wei. Tadinya ia pikir itu tangan milik aparat keamanan yang menegur dirinya karena sudah mengganggu kenyamanan pengguna jalan dengan berdiri di tengah-tengah jalur atau apalah.

Namun ternyata itu tangan Matt. Wei memicingkan matanya, mengumpulkan seluruh kesadaran dan menemukan dirinya berada di—

“Ketiduran di kamar gelap bukan kebiasaanmu. Kamu perlu kopi?” Matt menepuk-nepuk bahunya. “Omong-omong kamu mengigau. Soal postmortem, entahlah.”

“Kenapa aku bisa di sini?” Wei tak peduli apakah ia mengigau atau tidak. Ia yakin sekali ia tadi sedang berada di depan gerbang alun-alun Trafalgar, makan crepes dengan seorang gadis bernama—

“Mana Anaïs?” Wei bangkit, menahan rasa pusing yang menyerangnya tanpa ampun. Sementara Matt mengerutkan dahi.

“Anaïs?”

“Pelanggan kita. Anaïs Blanc? Orang Prancis?” Wei mendesak Matt. Air muka Matt berubah. Temannya itu tidak lagi kebingungan, melainkan ketakutan.

“Belakangan ini tak ada pelanggan kita yang namanya begitu Prancis,”

Lantas, begitu menyadari semuanya bahwa ini hanyalah mimpi—yang mana sangat Wei sayangkan karena Anaïs tampak begitu nyata dan menyenangkan—ia menceritakan soal kejadian-kejadian beserta percakapan yang ada dalam mimpinya pada Matt.

“Padahal selangkah lagi aku bisa dapat pacar!” Wei merengut, mengusak rambutnya, dan keluar kamar gelap tanpa peduli pada foto-foto pesanan yang sedang digantungkan di temali.

Masih dibayangi oleh mimpi indah, Wei berujar pada Matt, “jadi, ada lagi yang harus kukerjakan, tidak?”

“Wei…” Matt masih menghadiahkan tatapan aneh padanya. “Ini tidak masuk akal tapi… Anaïs Blanc sudah punya suami,”

“Oh, masa bodohlah. Toh itu cuma mim—tunggu, dari mana kamu bisa menyimpulkan bahwa…” Wei mendekat Matt. “Bung, ada apa, sih?”

Matt tidak menjawab. Ia menyambar tasnya, dan mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. Foto masa kecilnya bersama sebuah keluarga yang bukan keluarganya—karena Matt berkulit coklat, ia seorang hispanik. Di sana ada seorang lelaki tampan dengan garis-garis rahang yang menunjukkan kewibawaan. Matt memperkenalkannya sebagai Seymour Peterson muda. Dua anak kecil itu pastilah Matt dan Chantal. Dan wanita yang menggamit lengan Seymour adalah…

Seketika Wei terperanjat.

“Tu-tunggu, jangan ceritakan sesuatu yang seram,”

“Anaïs Blanc itu nama gadis Nyonya Besar Peterson sebelum menikah dengan Seymour. Orang Prancis, istrinya itu. Kupikir aku tidak perlu membahas penyebab kematiannya…” Matt menghela napas. “Nyonya Peterson…pecandu kokain. Beberapa hari sebelum dia tewas karena overdosis, ia berpesan pada suaminya agar dibuatkan memento mori berupa postmortem. Ia pecinta kebudayaan era Victoria, omong-omong.”

Wei mundur beberapa langkah, lalu semua percakapannya dengan Anaïs terulang kembali, seakan ada yang memutar film tepat di hadapannya. Bagaimana Anaïs menyapanya dalam bahasa Prancis, mengambil pesanannya yang entah kenapa ada di sana, dan—

“Kamu bertemu dengan mendiang,”

—meminta dengan khusus agar Wei mau memotret postmortem untuknya. Ia tidak bertemu ahli nujum. Tidak pula melihat tarot dan sebagainya.

Postmortem adalah permintaan terakhirnya sendiri, alih-alih keinginan suaminya.

“Seymour bilang istrinya berpendapat bahwa postmortem itu sangat romantis.” Matt ikut-ikutan memandang foto masa kecilnya yang tak lagi terjamah sejak ia pindah rumah. Anaïs sedang tersenyum sembari menyandarkan kepalanya ke bahu Seymour. Wanita yang hidup dalam angan-angan romantis sebelum hidupnya berakhir dengan tragis.

Wei meletakkan foto itu di etalase, lantas memandang Matt. Pemuda itu tidak percaya ia akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sangat tidak ingin ia lakukan.

“Kuharap ini yang pertama dan terakhir kalinya, Bung.” Lantas Wei meraih jaketnya dari gantungan, dan mengenakannya. Kemudian ia menyambar tas kameranya.

“Temani aku menemui Seymour Peterson. Ada yang harus kuselesaikan sebelum istrinya dimakamkan.”

.

| FIN.

 

Keterangan:

  1. Fanfiksi ini telah diikutsertakan dalam open recruitment di UP10TION Fanfiction Indonesia. Quote pada fanfiksi adalah lirik dari salah satu trek UP10TION dan dijadikan sebagai prompt. Dan resmi di-post di blog yang sama.
  2. Memento mori = Dari sumber mengakubackpacker.blogspot.com, memento mori diartikan sebagai kebiasaan membuat foto untuk mengenang mereka yang sudah meninggal pada masa Victoria ini kerap disebut dengan istilah “Memento Mori”, bahasa Latin untuk “ingatlah kematianmu”. Tak jarang, keluarga ikut berfoto bersama jenazah orang yang mereka sayangi sebagai kenang-kenangan. Tapi saya tangkap, memento mori ini tidak hanya foto bareng keluarga yang sudah mati, tapi juga gambar-gambar yang mengingatkan kita pada kematian. Contohnya gambar seorang pemuda sedang memegang tengkorak, dan lain-lain (yang saya lihat sih gambar tengkorak cukup mendominasi memento mori ya) bisa dilihat di sumbernya: artofmanliness.com
  3. Postmortem = foto yang berisi jenazah yang dipotret bersama keluarganya.
  4. Selamat pagi, apakah sudah buka
  5. Baru saja. Silakan masuk, Nona. Ada yang bisa saya bantu
  6. Saya hendak mengambil pesanan atas nama Chantal Peterson. Teman saya—
  7. Percakapan bahasa Perancis diterjemahkan oleh Miichan

8 tanggapan untuk “Postmortem”

    1. yeap. jadi kalo zaman victoria, posmortem itu dilakukan oleh keluarga almarhum/ah, mereka foto bareng anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. kalo di-search, fotonya kayak foto keluarga biasa sih, soalnya jenazahnya dipakein baju layaknya orang biasa.
      makasih sudah mampir, cachalpannia ^^

      Disukai oleh 1 orang

  1. Waa FF ini ME-NGA-GUM-KAN! Serius! Kenapa mengagumkan?
    Pertama, setting tempat yg digunakan itu di luar negeri (dlm arti, bukan Korea Selatan) dan itu ga gampang, aku tahu. Nah karena ga gampang makanya mengagumkan.
    Kedua, diksinya profesional punya! Sederhana, gampang dipahami, dan jelas.
    Ketiga, setting waktunya. Khas bgt tahun 90-an. Berasa ikut berada di tahun itu jg.
    Keempat, ending yg tak terduga. Kupikir hantunya biasa (?) aja, yg seumuran gitu sm Wei. Eh trnyta lintas generasi.
    Pokoknya keren deh! Kebetulan atau apa, aku ga tau yg pasti sehari atau dua hari lalu aku baru selesai baca novel detektif-kriminal yg jg bnyk istilah postmortem kemudian nemu ff ini. Langsung deh excited 😀 *curcol*
    Overall, ini ff jempolan (y)

    Suka

    1. halo, asuka ^^ iya jadi awalnya aku pernah jalan2 ke mengakubackpacker.blogspot.com dan nemuin artikel tentang memento mori, di mana menurut aku penyampaiannya agak berbeda dengan artikel memento mori di situs lain. di mengakubackpacker itu memento morinya langsung ditunjukin lewat postmortem. na postmortem itulah yang aku ambil sebagai tema.
      perihal setting lokasi, aku malah nggak memahami wilayah korea selatan, dan lagi postmortem itu kan tradisi era victoria which is outside korea jadi ya udah sekalian aja.
      by the way ini fanfiksi yang aku ikutsertakan dalam audisi author tetap di up10tionffindo, dan dapet prompt yang beraroma misteri-misterian jadi yaudah kutulislah tentang ini. hehehe.
      asuka, makasih banyak ya sudah mampir ^^

      Suka

  2. Aku suka banget sama alur ceritanya. Ga kebayang dia harus motret orang meninggal, terus diksinya juga bagus. Dan buat latar ditahun 90-an itu masih kerasa waktu baca sama tempatnya pun udah beda, asik aja….aku suka banget sama fanfictnya^^

    Suka

Leave Your Review Here!