[Oneshot] A Fine Line

a-fine-line

a fine line.

part of birthday project, for other post(s), click here

Min Yoongi x Park Minha

with

Kim Namjoon, Jung Hoseok, and Park Jimin

Fluff, Romance, Hurt/Comfort, AU, slight!Friendship | Oneshot | 15

.

.

Kamu tahu, afeksi dan beban itu tipis batasnya.”

.

.

.

“Kau pasti sudah tak waras.”

“Kautahu kalau aku sudah sering dengar itu kan, Namjoon?”

Satu decakan, dikeluarkan oleh Namjoon yang kini langsung memutar kursi tempat ia duduk. Mengarahkannya pada seorang Min Yoongi, selagi ekspresi wajahnya terlihat kesal sekaligus cemas. Ini bukan kali pertama kekeraskepalaan sang kawan membuat ia terpaksa melibatkan diri, tak peduli kendati makian atau sedikit pertengkaranlah yang akan ia terima berikutnya. Sungguh, Namjoon tak peduli akan itu. Ia adalah sahabat yang baik, dan sahabat tidak akan—

“Kerjakan saja bagianmu kalau kauingin melihatku waras kembali.”

Hyung…

“Ini sudah satu bulan lebih, Namjoon,” sambar Yoongi, manik bergulir untuk melirik Hoseok yang sama sekali tak bergabung dalam percakapan. “Selama itu, dan kita sama sekali belum bisa menyelesaikannya. Deadline kita untuk kompetisi mixtape ini adalah sebulan lagi.”

“Sebulan itu cukup lama, Hyung.”

“Lalu, kau memilih untuk membuang-buang waktu, begitu?” Yoongi balik berargumen, mengerutkan keningnya. “Setidaknya, daripada mengurusi hidupku, kau bisa menggunakan energimu untuk menulis lirik. Hoseok saja bisa—“

“Aku kenapa?”

“Aku baru saja akan memuji keseriusanmu, tahu?” Yoongi menghela napas, lantas menggeleng-geleng ketika ia melihat cengiran lebar Hoseok. “Uh, kurasa tidak jadi.”

Mendengarnya, Hoseok hanya tergelak. Sama sekali tak merasa tersinggung, lantaran ia memang sudah terbiasa melihat Yoongi berlaku demikian. Temannya itu memang ahli melontarkan kata-kata tajam, tetapi untuk kali ini, Hoseok tahu apa penyebab Yoongi terlihat berkali lipat lebih kesal. Caranya merespon pertanyaan Namjoon tadi adalah salah satu pertanda, dan ia pikir, mungkin sudah saatnya ia ikut turun tangan.

“Kalau rindu bilang saja, Hyung.

Yoongi memberinya pelototan sebal.

“Nah, reaksimu baru saja memberitahuku kalau kau memang rindu,” imbuh Hoseok, sementara Namjoon diam-diam mengangkat jempolnya tanda setuju. “Satu bulan lebih, dan selama itu kau tidak bertemu dengannya. Oh, bukan hanya tidak bertemu saja, ‘kan? Kau bahkan—“

“Jung Hoseok.”

“—tidak mau menelepon, mengirim pesan, atau semacamnya. Kalian ini bertengkar atau apa?”

“Siapa yang bertengkar?” Yoongi balik bertanya, mengembuskan napas panjang-panjang sebelum memasang sikap defensif. “Jangan berpikiran macam-macam, Hoseok-a.”

Yeah, mereka tidak mungkin bertengkar, tahu,” sahut Namjoon, memberi cengiran kecil seraya menambahkan, “terakhir bertemu saja, mereka pergi berlibur ke pantai berdua, ‘kan? Daripada bertengkar, mungkin lebih tepat dibilang kalau Yoongi Hyung yang bersikap mengesalkan.”

“Kupikir kau mau membantu.”

Well—“ Namjoon mengangkat bahu. “Aku yang memulai konversasi ini, untuk apa aku membantumu?”

Yoongi membalas tanya retoris itu dengan satu jitakan di kepala, membuat Namjoon mengaduh selagi Hoseok menggeleng-geleng pelan. Bingung harus merasa geli atau kembali menyerang Yoongi dengan berbagai macam pertanyaan, mengingat percakapan mereka ini mulai berputar-putar tanpa hasil. Lagi pula, Hoseok sendiri juga tahu kalau maksud Namjoon itu baik.

Oh, mencoba sekali lagi tak ada salahnya, bukan?

Hyung.”

“Apa kita belum akan menyudahi percakapan ini?”

Hoseok merespon dengan menggeser kursinya mendekat ke arah Yoongi, menatap temannya itu dengan serius sembari berucap, “Belum. Dan kalau kau malas mendengar tebakan-tebakan tidak masuk akal dari kami, bagaimana kalau kau menceritakannya saja?”

“Cerita apa?”

“Cerita tentang mengapa kau dan Minha seperti saling menghindar begitu,” balas Namjoon, memutar bola mata seakan hal itu sudah jelas. “Ayolah, Hyung. Kami tahu kalau kalian memang jarang pergi berkencan atau bertemu. Tetapi, biasanya tidak seperti ini, bukan?”

Kali ini, Yoongi memilih untuk bungkam. Niatnya untuk langsung membantah mendadak hilang, digantikan dengan tanya terakhir dari Namjoon yang bergema di dalam benak. Dari semua kata-kata yang telah dilontarkan kedua kawannya, entah mengapa kalimat itu mampu mengusik dirinya. Membuatnya terpaksa diam, dengan enggan mengakui kalau keadaannya dan Minha saat ini memang tidak bisa dikategorikan ‘biasa-biasa saja’.

Tapi, mereka juga tidak sedang bertengkar, kok.

Yoongi tahu kalau itu benar, mengingat mereka memang tidak sedang beradu pendapat atau saling menyalahkan. Seperti kata Namjoon tadi, perjumpaan terakhir mereka malah bisa dibilang menyenangkan. Tidak ada satu pun hal yang salah, kecuali….

Hyung?”

“Aku tidak—“ Yoongi otomatis membuka mulut, tetapi membungkamnya kembali kala ia mendapati tatap sangsi Hoseok dan Namjoon. Ragu untuk menyangkal, sehingga jawaban yang mampu ia berikan hanyalah sekadar ‘aku tidak tahu’.

“Tidak tahu? Kau tidak tahu mengapa kau menghindari kekasihmu sendiri?”

“Aku hanya….” Yoongi memulai lagi, kening berkerut seraya ia menelusuri ingatannya. Mencari setiap alasan dan pemikiran yang melintas, yang membuat ia jadi enggan berbicara dengan Minha. Hoseok mungkin benar, kondisi ini sama sekali tidak biasa. Min Yoongi yang dulu tidak akan mengabaikan sang gadis sampai sedemikian rupa, tetapi untuk kali ini, Yoongi punya alasan tersendiri. Ya, ia pasti punya. Sebuah pembenaran atas tindakannya, apa pun untuk meyakinkan kedua sahabatnya bahwa ia tidak sedang bertingkah konyol semata.

Maka, lamat-lamat, Yoongi pun membuka mulutnya lagi.

“Aku hanya tidak ingin mengganggu.”

Serentak, Hoseok dan Namjoon pun bertukar pandang. Saling menatap penuh arti, sebelum akhirnya menganggukkan kepala dan memberi Yoongi isyarat untuk melanjutkan.

“Kalian tahu kan, berapa lama kita saling mengenal?” tanya Yoongi, yang dibalas gumaman singkat oleh Namjoon. “Sepuluh tahun, bahkan mungkin lebih. Aku mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri, dan hal semacam itu… yah, itu tidak selamanya menguntungkan, tahu.”

“Apa ini semacam rasa bosan?” Namjoon menyela, dahi berkerut tanda tak paham. “Kalian jarang bertemu, dan sekarang kalian memutuskan untuk menambah intensitasnya?”

“Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana harus menamainya; meskipun sembilan puluh persen dari diriku yakin kalau ini bukan rasa bosan,” balas Yoongi datar, menggulirkan maniknya ke langit-langit studio sambil menarik napas dalam. “Bukan, ini bukan rasa bosan, Namjoon-a. Ini sesuatu yang berbeda.”

“Sesuatu seperti apa?”

“Seperti….” Yoongi mengambil jeda lagi, berusaha mencari cara yang mudah untuk mendeskripsikan. “Aku sudah bilang kan, soal berapa lama kita saling kenal?”

Yeah.

“Nah, ketika kau mengenal seseorang selama itu, kau akan mulai menyadari perubahan barang sekecil apa pun. Kau akan tahu kalau dia sedang senang, kau bisa paham ketika ia sedang punya masalah. Singkatnya, kau akan selalu tahu bagaimana suasana hatinya, dan otomatis kau pun akan berusaha untuk bersikap sesuai keadaan. Apa itu susah dimengerti?”

“Tidak, sih,” balas Hoseok, tetapi lekas menambahkan, “hanya saja, aku belum paham. Lalu apa hubungannya—“

“Hubungannya adalah, aku jadi tidak bisa menahan diri untuk tak mencemaskannya,” sahut Yoongi tanpa menunggu Hoseok selesai berbicara, memijat keningnya dengan sebelah tangan. “Kami ingin bertemu untuk melepas penat, tetapi setiap aku melihatnya, aku merasa harus bertanya ‘apa kamu baik-baik saja?’, ‘apa ada yang membuatmu sedih?’, dan semacamnya. Bahkan, ketika ia menolak menjawab pun, aku akan tetap bisa menebaknya. Konversasi kami lantas akan berputar-putar pada berbagai perkara yang ada, dan itu….”

“Melelahkan?”

“Aku tidak akan lelah hanya karena itu, Kim Namjoon,” sambar Yoongi tanpa jeda, menghadiahi sang kawan dengan tatap sadis. “Masalahnya, Minha pun sama denganku. Setiap kali kami bertemu dan aku memasang wajah lelah, maka ia akan mencemaskan keadaaanku. Itu pasti membebaninya.”

“Dan juga membebanimu,” imbuh Hoseok, mengangkat sebelah tangan untuk menahan Yoongi agar tidak membantahnya lebih dulu. “Dengar, aku tahu kalau itu membebanimu juga, Hyung. Tempo hari aku bertemu Minha, dan kautahu apa katanya? ‘Aku tidak mau mengganggu Yoongi, aku akan menunggu sampai kesibukan kami sama-sama selesai’. Kalian itu serupa, dan meskipun niatnya baik, aku tidak merasa kalau ini harus dipertahankan.”

“Apa yang dipertahankan?”

“Intinya, kalian tidak mau bertemu karena takut saling membebani, ‘kan?” jawab Hoseok tak sabar. “Tapi, menurutku, itu bukan jalan keluar yang baik.”

“Aku setuju,” ucap Namjoon, buru-buru angkat suara sebelum Yoongi bisa menyela. “Oke, oke, aku paham kalau kalian ingin bisa bertemu tanpa perlu saling mencemaskan satu sama lain. Jenis kencan yang dipenuhi senyuman dan obrolan ringan, bukannya kencan yang malah membuat pikiran kalian makin dipenuhi masalah. Itu wajar, tetapi bisakah kau melihat kondisimu saat ini, Hyung?”

“Memang aku kenapa?”

Serentak, kedua sahabat Yoongi pun mengeluarkan decak tak sabaran.

“Perlu kuambilkan kaca?” balas Namjoon sarkastis. “Tidak bertemu hanya makin memperparah rasa cemasmu, Hyung. Kau terlihat seperti mayat hidup, tahu.”

Yoongi hanya mendengus mendengarnya. Untuk yang kesekian kalinya berniat membantah, namun lekas bungkam tatkala Hoseok melangkah mendekat dan menunjukkan kalender di ponselnya. Tanggal tujuh Maret tertera di sana, membuat Yoongi sedikit bingung sampai Hoseok kembali buka suara.

“Selain itu, ulang tahunmu tinggal dua hari lagi. Jangan bilang kalau merayakan ulang tahun itu kekanak-kanakan, karena maksud kami baik. Apa kalian akan terus saling menghindar sampai hari itu tiba? Apa menurutmu Minha akan tetap diam saja?”

Tak ada jawaban, lantaran Yoongi sadar benar kalau kata-kata Hoseok dan Namjoon itu tepat pada sasaran. Semua obrolan ini bahkan membuat ia mulai meragukan keputusannya; apakah menghindari Minha karena ia tidak mau membebani gadisnya adalah suatu hal yang benar. Bagaimanapun juga, sebagai dua orang yang sudah sering berbagi masalah sejak kecil, saling menghindar itu terasa aneh dan tidak mengenakkan. Bohong kalau Yoongi tidak ingin melihat rupa sang gadis saat ini, pun kalau ia tidak khawatir akan keadaan Minha selama sebulan terakhir. Firasat buruk mendadak menderanya, dan alih-alih bisa kembali berkonsentrasi pada pekerjaan, Yoongi malah mendapati dirinya menyambar hoodie hitam tebal yang ada di sandaran kursi.

Hyung? Mau ke mana malam-malam—“

“Semua ini gara-gara kalian, tahu.”

Diiringi ungkapan kekesalan itu, Yoongi pun lekas berderap keluar dari studio. Abaikan Namjoon dan Hoseok yang saling bertukar tos serta berteriak menyemangati, mengingat sebagian kecil dari egonya masih belum mau mengakui kebenaran di balik kata-kata kedua temannya. Mereka itu menyebalkan, tetapi….

oh, baiklah. Mungkin Yoongi harus mentraktir Namjoon dan Hoseok nanti.

.

-o-

.

Eum, dia sedang tidak enak badan. Kauyakin mau masuk, Hyung?”

Yoongi membalas pertanyaan Jimin itu dengan anggukan singkat, tanpa sadar menggigiti bibirnya lantaran cemas. Mengikuti langkah kaki kakak kembar Minha itu, ia memasuki apartemen dengan setumpuk perasaan bersalah menggelayuti. Pria macam apa dia ini, tak bisa memperhatikan atau menanyakan kabar gadisnya barang sekali saja?

Bahkan, semisal Jimin mengomeli atau memukulnya saat ini juga, Yoongi rela.

Ia rela, lantaran ia tidak akan pernah mampu melihat senyum raib dari wajah Minha. Yoongi merasa kalau ia berhak disalahkan di sini, tetapi—

“Jangan terlalu dipikirkan, Hyung. Hanya demam ringan, kok.”

“Jimin-a, aku—“

“Aku sudah menyuruhnya minum obat dan tidur, jadi semua pasti baik-baik saja. Beberapa hari belakangan, ia memang tidak bisa tidur nyenyak. Sepertinya ia hanya butuh istirahat.”

Penjelasan itu memang bernada menenangkan, tanpa sedikit pun tuduhan atau celaan untuk Yoongi. Tetapi, bukannya merasa lega, beban di hati lelaki itu malah makin bertambah. Seakan Jimin sedang menegurnya dengan halus, tak bermaksud menyindir tapi sukses menohoknya lebih dalam lagi. Melihat gadisnya itu berbaring dan tak menyadari kehadirannya juga malah memperparah keadaan, mengingat Yoongi sendiri sebenarnya amat merindukan ocehan serta tawa Minha dalam hidupnya.

“Jangan beritahu Minha kalau aku kemari,” ucap Yoongi setelah beberapa saat berlalu, mendudukkan diri di atas kasur seraya melarikan jemari di rambut sang gadis. “Aku akan—“

“Minha sudah cerita padaku. Soal keputusannya, dan juga keputusanmu,” potong Jimin, nada tajam sedikit terdengar untuk pertama kalinya. “Aku tidak sepenuhnya menyalahkan, tetapi apa ini salah satu usahamu untuk menghindarinya juga?”

Tak ada jawaban, karena Yoongi memilih saat itu untuk mengamati raut wajah Minha lekat-lekat. Tangan bergerak turun untuk membelai pipi tembamnya, merasakan sedikit suhu panas yang menguar dari sana. Perlakuan itu mampu membuat gumam kecil meluncur keluar dari bibir sang gadis, kendati kedua kelopaknya masih terpejam erat, lelap di bawah pengaruh obat. Bukan masalah, lantaran Yoongi sendiri juga tidak berniat membangunkannya. Yang ia lakukan hanyalah menundukkan kepala untuk mendaratkan satu kecupan di kening Minha, membisikkan ucapan ‘cepat sembuh’ sebelum berbalik menghadapi Jimin.

“Aku tidak mau menghindarinya lagi,” kata Yoongi akhirnya, menjawab tanya yang sempat tergantung di udara. “Malam ini, aku ingin memperbaiki hal itu. Aku ingin berbicara dengannya, bahkan mungkin mengaku kalau aku memang rindu presensinya. Namun…”

“Namun?”

“Namun, melihat keadaannya saat ini, menurutmu apa yang akan terjadi kalau ia sampai tahu?”

Jimin memilih untuk bungkam, enggan bersuara lantaran ia ingin mendengar penjelasan Yoongi lebih dulu. Hanya kedikan kepala sajalah yang ia berikan, selagi kedua lengannya tersilang di depan dada. Manik bergerak untuk melirik Minha sejenak, dalam hati tak paham mengapa kedua orang di hadapannya saat ini bisa memiliki pikiran untuk saling menghindar.

“Aku tidak mau membebaninya.”

Tuh kan, batin Jimin langsung menyahut, kenapa sih lagi-lagi—

“Kau boleh kesal padaku,” sambung Yoongi, seakan ia bisa membaca pikiran Jimin, “tapi, alasanku kali ini cukup masuk akal.”

“Alasan apa lagi?”

“Kau tahu sendiri bagaimana adikmu itu,” balas Yoongi, seulas senyum sendu tanda meminta maaf tampak di wajahnya. “Meskipun ia tidak melakukan apa-apa, ia pasti akan merasa bersalah. Karena tidak dapat menemuiku, karena aku kemari saat ia sedang sakit. Ia tetap akan marah pada dirinya sendiri karena telah membuatku khawatir, tak peduli walau aku datang atas kemauan sendiri. Dan aku tidak mau itu terjadi, Jimin-a.

Hyung….

“Kau bisa melakukan itu untukku, bukan?”

“Aku tidak yakin kalau itu—“

“Aku berjanji akan menghubunginya,” ucap Yoongi mantap, memotong argumen Jimin. “Mungkin besok atau lusa, kemudian kami bisa bertemu dan memperbaiki segalanya. Kedengarannya oke, ‘kan?”

Jimin tidak membantah, tidak pula mengiakan. Tapi, Yoongi sendiri juga tak menunggu jawaban. Ia toh tahu kalau Jimin pasti akan mengambil keputusan terbaik, sehingga tak ada gunanya jika mereka berdebat malam-malam begini dan malah membangunkan sang gadis. Maka, seraya menyatakan ulang janjinya untuk mengirim pesan pada Minha, Yoongi pun memilih berpamitan. Dengan sedikit rasa kecewa melangkah kembali ke studio, dalam hati memikirkan apa yang akan mereka lakukan saat bertemu nanti.

Lagi pula, ia hanya perlu menunggu satu atau dua hari saja.

Bukan hal yang susah, bukan?

.

-o-

.

Ternyata, ia salah.

Oke, menunggu memang bukan hal yang susah. Ia sudah sebulan tidak berbicara dengan Minha, sehingga dua hari seharusnya tak akan menjadi masalah besar. Tetapi, dua hari tanpa pesan balasan dari sang gadis telah mengubah pendapatnya. Semua ajakan Yoongi untuk bertemu diabaikan, pun dengan pesan chat terakhirnya yang berisi permintaan maaf. Seolah-olah niat Yoongi untuk memperbaiki keadaan sama sekali bukan hal yang patut diberi perhatian, sehingga wajar jika lelaki itu merasa sedikit frustasi karenanya.

Rasa kesalnya bahkan makin memuncak ketika ia terbangun pagi ini, badan dan leher pegal akibat tidur dalam posisi menelungkup di atas meja. Ia pasti tak sengaja terlelap ketika mengaransemen lagu, dan kini, ia sendirian di dalam studio. Tak ada tanda-tanda keberadaan Namjoon atau Hoseok, sehingga Yoongi mengasumsikan jika kedua sahabatnya itu pasti sudah lebih dulu pulang. Bukan hal baru, tetapi tatkala ia beranjak untuk meraih ponselnya dan melihat tanggal yang tertera, erangan sebal pun seketika terdengar.

Damn it.

Yoongi baru ingat jika ini adalah hari ulang tahunnya.

Ini adalah ulang tahunnya, dan tampaknya ia terpaksa menghadapi hari ini dengan suasana hati yang buruk. Sama sekali bukan kado yang bagus, kendati Yoongi sendiri juga bukan tipe orang yang mengharapkan ucapan selamat atau berbagai macam hadiah. Namun, setidaknya, Yoongi masih normal. Ia masih ingin melewati hari spesial ini dengan senyum di wajah. Dengan perasaan bahagia, dan bukan dengan—

“Apa kamu tahu seberapa menyebalkannya dirimu, Min Yoongi?”

Memotong jalan pikiran Yoongi, sapaan itu menyentakkannya bersamaan dengan derit pintu studio yang terbuka. Spontan membuatnya bangkit berdiri, manik dilebarkan tatkala ia melihat sosok yang berdiri di sana. Emosinya mendadak makin terasa campur aduk—marah, kecewa, lega, senang—semuanya berputar-putar selagi ia melangkah lamat-lamat untuk mendekati sang pemilik suara.

“Minha-ya?”

“Tahu tidak kalau kamu itu menyebalkan?”

“Kamu sedang apa di sini? Apa kamu sudah sembuh? Apa kamu—“ Yoongi menarik napas panjang, merasakan kata-kata berhamburan keluar sebelum bisa dicegah. “Kenapa kamu tidak membalas pesanku?”

“Itu karena kamu membuatku kesal!” sambar Minha dengan nada tinggi, tahu-tahu saja menghambur maju untuk memukuli tubuh Yoongi. Mendaratkan kepalan tangannya berulang kali, sukses membuat Yoongi sedikit terdorong mundur karena kaget. Bibir terbuka tanpa suara, lantaran bukan pertemuan macam inilah yang ia harapkan.

Namun, ia juga tidak mengharapkan Minha tahu-tahu menghentikan pukulannya dan mulai menangis.

“H-hei, Minha-ya….”

“Kamu menyebalkan, Min Yoongi,” ujar Minha dalam suara serupa bisikan, tak lagi penuh dengan teriakan seperti tadi. Sang gadis kini telah merapatkan jarak di antara mereka, kedua lengan melingkari tubuh Yoongi erat-erat. Membawa keduanya dalam satu rengkuhan, seraya isakan masih terdengar mengiringi kata-katanya. “Kamu menyebalkan, t-tapi….”

“Tapi?”

“Aku merindukanmu, Yoongi-ya.”

Pengakuan itu meluncur keluar begitu saja, lirih namun dapat didengar dengan jelas. Sebuah kalimat yang mampu membuat Yoongi tertegun sejenak, sebelum akhirnya mengangkat sebelah tangan untuk menepuk-nepuk puncak kepala gadisnya. Memilih untuk bungkam dan bertahan dalam posisi itu, enggan memecah keheningan sampai Minha berhenti menangis dan siap berbicara lagi.

“A-aku….”

It’s okay, Minha,” balas Yoongi cepat, berhenti menepuk-nepuk kepala Minha dan beralih untuk membalas pelukannya. “Pelan-pelan saja. Aku akan mendengar penjelasanmu.”

Aneh memang, bagaimana rasa kesal dan amarah Yoongi meluap begitu saja akibat kejadian barusan. Seakan ia tidak punya hak untuk menuntut dan menyalahkan, lantaran Minha pasti punya alasan di balik semua ini. Pasti ada lebih dari sekadar rasa rindu, mengingat Park Minha yang Yoongi kenal bukanlah seorang gadis yang akan menangis hanya karena rindu semata.

Kalau begitu, mungkinkah…?

“Kak Jimin memberitahuku, meskipun kamu tidak mengizinkannya.” Minha tahu-tahu buka suara, mengonfirmasi kecurigaan Yoongi dalam satu kalimat sekaligus mengimbuhinya dengan tanya, “Kenapa kamu melakukan itu?”

“Karena aku tahu akibatnya akan seperti ini,” balas Yoongi tanpa jeda, embusan napas terdengar jelas sembari ia menarik diri dan meletakkan kedua tangannya pada bahu Minha. “Aku benar, ‘kan? Kamu jadi merasa terbebani, sampai-sampai—“

“Kamu salah.”

“Apa?”

“Kamu salah, Min Yoongi,” ulang Minha, mendongakkan kepalanya agar ia dapat bertukar tatap dengan sang lelaki. “Awalnya aku memang berpikir demikian, tetapi setelah mendengar apa kata Kak Jimin….”

“Apa yang Jimin katakan?” Yoongi menjungkitkan kedua alisnya, tak sabaran. Terlepas dari amarahnya yang memang sudah pergi, agaknya ia masih belum bisa menghilangkan rasa frustasi yang terlanjur menumpuk. “Apa ia berkata kalau aku bodoh dan tidak rasional?”

Mendengar sarkasme itu, mau tak mau Minha pun sedikit tertawa. Sebelah tangan terangkat untuk menghapus sisa-sisa air mata di pipinya, yang dilanjutkan dengan ucapan, “Kak Jimin bilang, kamu pasti benar-benar peduli padaku.”

“Sungguh?”

Yeah.” Minha mengangguk-angguk. “Kak Jimin juga berkata kalau kita melakukan ini karena kita saling menyayangi. Tidak ada maksud membuat masalah atau menyakiti, hanya saja mungkin kita perlu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Menghindarimu membuatku lelah, dan kurasa kamu berpikir serupa, ‘kan?”

Yoongi mengiakannya tanpa perlu berpikir. Lagi pula, ia memang setuju dengan pernyataan terakhir itu. Saling menghindar hanya membuat mereka makin lelah, makin cemas karena tak tahu keadaan satu sama lain. Selain itu, pertemuan tidak selamanya harus menjadi beban pikiran, bukan? Perkataan Minha soal “sudut pandang yang berbeda” tadi telah menyadarkannya akan sesuatu.

“Minha-ya.”

Mmm?”

“Kurasa, saling bertemu itu bukan sesuatu yang buruk.” Yoongi memulai, mengulurkan jemari untuk merapikan anak-anak rambut Minha dan menyelipkan seberkas surai ke balik telinga. “Siapa tahu, kita malah bisa memberi semangat untuk satu sama lain, ‘kan? Bukan untuk saling membebani, tetapi untuk menghibur dan menyemangati.”

Kali ini, ganti Minha yang mengangguk setuju. Sudut-sudut bibir terangkat untuk mengulas senyum simpul, senang karena masalah ini sudah selesai. Pikirnya, ia sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi.

Sampai Yoongi tahu-tahu menarik tangannya, lantas menyedekapkan kedua lengan itu di depan dada.

“Kenapa?”

“Satu hal lagi, Nona Park.”

“Apa?”

“Jadi, kenapa aku menyebalkan? Kenapa kamu marah-marah saat datang tadi?”

“Bukannya sudah jelas?”

“Jelas dari mana?”

“Aku kan, sudah menjelaskan,” Minha menjawab seraya mengacak-acak rambut cokelat sebahunya, merusak usaha Yoongi untuk merapikannya tadi. “Itu karena kamu tidak mau memberitahuku soal kunjungan itu. Kalau katamu pertemuan adalah sebentuk penyemangat, bukankah seharusnya kamu memberitahuku? Dengan begitu, aku akan tahu kalau kamu peduli. Itu… well, siapa tahu itu bisa membuatku lebih cepat membaik, ‘kan? Selain itu, aku benar-benar merindukanmu, bodoh.”

“Tentu saja,” balas Yoongi, sedikit terkekeh kala ia menyadari betapa cepatnya Minha mengucapkan semua kata-kata tadi. “Tentu saja aku peduli padamu, Park Minha. Maaf, ya, kalau aku tidak pandai menunjukkan kepedulianku itu?”

“Kalau aku tidak bisa memaafkanmu, mungkin aku sudah tidak mau kenal denganmu, tahu.”

Tanggapan itu terdengar tak acuh, namun Yoongi bisa melihat bagaimana gadisnya berusaha menghindari kontak mata. Sebisa mungkin tak menunjukkan rasa malunya, terlebih karena mereka tidak biasanya mengakui perasaan yang ada secara gamblang. Minha jelas-jelas tak mau situasi ini berubah menjadi canggung, tetapi harapannya itu lekas runtuh ketika Yoongi menundukkan kepala dan menghapus jarak di antara mereka.

“Katanya kamu tidak mau menghindariku lagi?”

“A-aku tidak—“

“Terima kasih sudah memaafkanku dan menerimaku,” ucap Yoongi lamat-lamat, sementara Minha menggerakkan bola matanya demi bertukar tatap dengan sang lelaki. Mengunci kontak yang ada, seakan tanpa kata-kata pun mereka bisa saling mengerti isi pikiran satu sama lain. Gadis itu bahkan tak perlu mengangguk untuk menanggapi kalimat terakhir Yoongi, membiarkan tubuhnya tetap terpaku sampai lelaki di hadapannya meluncurkan satu tanya lain.

“Bolehkah?”

Sayang, untuk kali ini, ia tak akan bisa tetap bungkam.

Tidak karena iris hitam Yoongi masih setia mengamatinya, dan Minha sendiri bukanlah anak kecil yang tak mampu menebak apa mau lelaki itu. Oh, Minha tahu persis apa maksud dari satu pertanyaan singkat barusan. Itu bukanlah kuriositas, melainkan sebuah permintaan yang menunggu untuk dikabulkan.

Permintaan yang—Minha pikir—tak ada salahnya untuk disetujui.

Maka, ia pun memberi Yoongi satu anggukan kecil. Lengkap dengan kelopak yang serta-merta terpejam, selagi Yoongi sepenuhnya membuang jarak yang tersisa dan mendaratkan kecupan di bibir gadisnya. Membiarkan kehangatan yang ada bertahan selama beberapa sekon; rasa panas menyebar ke kedua belah pipi mereka. Rona itu bahkan belum hilang kendati Yoongi sudah menarik diri, agaknya masih ingin bertahan sebagai pengingat atas situasi yang baru saja terjadi.

“Y-Yoongi-ya….”

“Terima kasih atas kado ulang tahunnya, Sunshine.

Mengerjapkan mata; hanya itulah respon yang diberikan Minha atas perkataan Yoongi. Bukan, ia bukan kaget lantaran Yoongi baru saja menciumnya atau memanggilnya dengan sebutan itu. Melainkan….

“Astaga! Aku baru ingat kalau ini hari ulang tahunmu dan aku belum menyiapkan apa-apa! Bagaimana ini, Yoongi-ya? Kamu mau apa? Apa aku perlu—”

“Aku lapar dan aku butuh tidur,” timpal Yoongi segera, mengulurkan tangan dan menyisipkan jemarinya di sela-sela jemari Minha. “Jadi, buatkan aku sarapan. Kemudian, kita bisa melewatkan hari dengan tidur siang. Atau menonton film. Apa saja asal kita bisa bersantai berdua. Setuju?”

Permintaan itu terdengar khas Min Yoongi sekali, sehingga Minha pun tak perlu susah payah berpikir atau menimbang-nimbang sebelum memberikan persetujuannya. Senyum lebar tampak di bibir mereka, selagi keduanya berjalan bersisian menuju apartemen sang gadis. Tak ada lagi perdebatan, tak ada pula kekhawatiran. Konversasi mereka diisi oleh berbagai macam hal; dari yang berat, hingga ringan dan mampu menimbulkan tawa. Apa pun itu, mereka membiarkannya mengalir begitu saja. Layaknya semilir angin yang bertiup lembut pagi itu, menenangkan, serta mampu mengusir semua beban pikiran yang ada.

Lagi pula, mereka juga sudah belajar banyak hal.

Dan selama mereka masih ada untuk satu sama lain, maka semuanya pasti akan baik-baik saja, bukan?

.

fin.

2 tanggapan untuk “[Oneshot] A Fine Line”

  1. fly high… ^_^
    uhh. apakah ada pasangan seperti mereka?
    benar-benar saling menghargai namun tak saling mengerti.
    untunglah… Namjoon, Hoseok, dan Jimin ada diantara mereka sebagai pengingat 🙂

    Suka

Leave Your Review Here!