The Boy from Lily Room

PicsArt_03-17-01.08.11

by jojujinjin (@sanhaseyo on Twitter)

.

starring Astro’s Yoon Sanha & OC’s Kyra Leona, also Astro’s Cha Eunwoo and f(x)’s Jung Soojung aka Krystal as cameo

Oneshot // T // Life, Fluff, Friendship, slight!Family, Hurt/Comfort

soundtrack Lee Hi’s 한숨 (Breath)

.

summary

“Tapi, kamu jangan khawatir Kyra. Aku akan memberikanmu sesuatu yang lebih spesial daripada bunga.”

Kyra percaya. Sekali, dua kali, dan Sanha menepati janjinya.

***

.

.

.

“Namanya Kyra, ia seumuran denganmu.”

“Wah, seumuran denganku? Dia sakit apa, Dokter Cha?”

“Jantungnya lemah, Sanha. Akhir-akhir ini bertambah parah. Jadi dia harus dirawat di rumah sakit.”

“Jantung?”

“Iya, benar. Jantung.”

.

.

.

.

.

Kyra masuk rumah sakit pada tanggal 10 September tahun 2015.

Beberapa suster mengantarnya dan sang Ayah sampai ke ruang Lily; kamar baru Kyra yang besar dan mempunyai sepasang kasur pasien yang empuk. Kyra membalas pertanyaan-pertanyaan singkat  Dokter Cha. Dokter yang baru muncul ketika para suster sudah pergi dan hanya ada Kyra serta Ayah di dalam ruangan, dokter baru Kyra juga. Sebelum Dokter Cha pamit, Kyra menyempatkan diri bertanya, ‘Ke mana pasien yang lebih dulu menempati ruangan ini?’. Dokter Cha serta merta menoleh ke arah kasur di seberang Kyra—gadis itu pun mengikuti, mendapati beberapa boneka binatang di atas kasur yang tertata rapi tersebut. Serta satu bucket bunga matahari di atas nakas.

Dokter Cha mengulas sebuah senyum ramah, menjawab pertanyaan Kyra bersamaan dengan terbukanya pintu ruang Lily.

“Ah! Itu dia Yoon Sanha—pasien yang sekamar denganmu, Kyra.”

Yang berdiri di ambang pintu itu tidak tampak seperti pasien; pria yang kepalanya nyaris membentur kerangka pintu tersebut mengenakan switer perpaduan antara hitam dan jingga, rambut merahnya yang keriting hanya terlihat sebagian, sisanya terbalut sebuah topi. Kaki jenjangnya dilapisi celana panjang putih. Kala sudut-sudut bibirnya tertarik dan Kyra mendapati seutas kawat menghiasi giginya, Kyra refleks melukis senyum di wajahnya pula. Lelaki itu nampak begitu menggemaskan.

Tapi senyumnya perlahan luntur ketika sosok tersebut mengambil sebuah keranjang kosong di belakangnya dan setengah berlari ke arah Kyra, terkekeh kecil sebelum bertanya penuh antusias:

“Kamu pasti Kyra, ya?”

Kyra perlahan menjungkit sudut bibirnya kembali. Kepalanya mengangguk stagnan.

“Aku Sanha! Kata Dokter Cha kita sama-sama lahir di tahun dua ribu, benar?”

Kepala Kyra melenggut lagi.

“Dokter Cha!” panggil Sanha, menghela napas berat mendengar gumaman Dokter Cha. “Kenapa kau tidak bilang kalau ternyata Kyra itu cantik sekali?”

Melebur dalam tawa, Kyra mengusap wajahnya kasar (dia harus melakukannya agar rona merah di pipinya tidak terlihat, ‘kan?) dan tak lama mengangguk mendengar Dokter Cha pamit. Sanha melambai girang, memutar badan ke arah Kyra. Lekas ia menyadari keberadaan ayah Kyra yang tersenyum tipis di sisi kasur Kyra. Sanha membuka suara setelah membungkuk takzim pada ayah Kyra.

“Halo Paman! Maaf, yang tadi itu hanya bercanda,” Sanha nyengir.

Ayah Kyra justru menggeleng, menepuk lengan Sanha pelan. “Jadi sebenarnya … anakku tidak cantik, begitu?”

Mata Sanha melebar. Sontak ia menggeleng-geleng cepat. “Maksudku, iya sih. Eh, Kyra cantik.”

Ayah Kyra tertawa lagi. Melirik Kyra yang hanya bisa mengembuskan napas berat.

Kala malam makin larut, Ayah Kyra pulang untuk mengambil pakaian Kyra dan mengisi perut. Awalnya sang Ayah enggan meninggalkan Kyra, tapi Kyra meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja; toh ia berada di lingkungan rumah sakit. Juga, ada Sanha yang menemaninya.

Setelah satu jam terlewati, Kyra mengetahui fakta kalau ternyata ibu Sanha adalah salah satu dokter di rumah sakit itu. Kalau binatang favorit Sanha adalah singa, dan buah favoritnya adalah pisang. Sanha juga suka Shinhwa. Kyra mengetahui fakta kalau Sanha sudah berada di rumah sakit sejak dua bulan yang lalu. Sanha ingin punya teman, itu sebabnya ia memilih ruang Lily yang berkapasitas dua orang. Namun nyatanya ia menghabiskan enam minggu penuh tanpa teman seruangan, dua minggu sisanya ia lewati bersama seseorang bernama Park Minhyuk yang dahulu terkena demam berdarah.

“Memang tiap pasien datang dan pergi. Tapi aku tak mengerti kenapa banyak orang-orang yang memilih untuk sendiri di masa sulit mereka,” Sanha menaikkan sepasang tungkainya ke atas kasur, memangku dagunya di atas lutut. “Padahal mengetahui mereka tidak sendirian berjuang untuk sembuh itu melegakan sekaligus memotivasi.”

Kyra memanggut-manggut. Ia menatap kosong kakinya yang nyaris mencium lantai.

“Sanha?”

“Iya?”

“Kamu sakit apa?”

Ketika Sanha tak kunjung menjawab, Kyra mengangkat kepalanya.

“Kamu sakit apa, Sanha?” ulang Kyra. Kedua alisnya yang tebal naik sesenti.

Sanha menggeleng. “Nanti kamu juga tahu,” ujarnya. Terkekeh jahil melihat Kyra memutar bola matanya.

“Kalau begitu,” Kyra menunjuk keranjang besar di bawah kasur Sanha; yang tadi lelaki itu bawa-bawa sembari memasuki ruang Lily. “Itu buat apa?”

“Apa—oh? Keranjang?”

“Iya.”

Sanha mengambil buket bunga matahari yang ada di samping ranjangnya. “Keranjang raksasa itu aku pakai untuk menampung bunga,” ucap Sanha. Menyempatkan diri menjilat bibir sebelum melanjutkan. “Aku memberikan semua pasien rawat inap di sini bunga yang ada di kebun rumahku setiap tiga hari sekali.”

Semua?”

“Semua.”

Kyra terdiam.

“Memang agak sulit sih,” aku Sanha, jemari bermain dengan mahkota bunga yang memiliki nama ilmiah Helianthus annuus tersebut. “Tapi aku senang melakukannya. Aku senang menemukan binar di mata orang-orang yang menerima bunga pemberianku.”

Ruangan itu hening sejemang, lantas: “Apa kau hafal nama-nama mereka?”

“Mereka? Orang-orang yang kuberikan bunga?” Kyra mengiakan. Kening Sanha berkedut seketika. “Kau menantangku, Ra?”

“Mungkin?” Kyra balas bertanya. Intonasinya membuat Sanha meletakkan rangkaian bunga matahari di pangkuannya kembali ke tempat awal dan melipat lengan di dada.

“Ada Bibi Choi di kamar Mawar A, Minjae di kamar Mawar B, lalu Paman Park di kamar Tulip I, di sebelahnya itu Choi Hansol; Tulip II. Kamar Anggrek A ditempati Nenek Ahn, Anggrek B ditempati Yerin. Baek Jiyoung—“

“Oke, oke, aku percaya.”

“Baek Jiyoung menempati kamar Lavender—“

“Yoon Sanha, iya. Aku percaya.”

Sanha pada akhirnya membuang kepalan tangannya ke udara sebagai selebrasi kecil-kecilan. Lambenya meneriakkan sebuah ‘yes’ yang lantang. Kyra berdecak-decak memandangnya, namun akhirnya tersenyum ketika Sanha melompat dari atas kasur dan memberikan Kyra salah satu koleksi bonekanya.

Sebuah popi penguin.

“Nih, pegang.”

“Kenapa penguin?”

Bahu Sanha mengedik. “Karena lucu?”

“Oke, alasan diterima.”

Ayah Kyra kembali tak lama setelah boneka yang Sanha bilang bernama Perry tersebut diletakkan di samping tumpukan bantal Kyra. Beliau menyuruh Kyra untuk berganti baju dan beristirahat, begitu juga dengan Sanha.

“Orang tuamu ke mana, Sanha?”

“Ibuku adalah seorang dokter di rumah sakit ini Paman.”

“Ayahmu?”

“Sudah tiada, Paman.”

“Oh, maaf—“

“Tidak apa Paman,” Sanha tersenyum, kepalanya menengok ke arah Kyra yang sudah memegang sebatang sikat gigi serta sebuah handuk kecil. “Kyra, mau sikat gigi bareng tidak?”

Dan malam itu tergerus habis dengan Kyra yang memimpikan ibunya, Sanha memimpikan ayahnya. Dengan Kyra yang senang bisa mengenal Sanha; begitu pula dengan Sanha yang akhirnya mempunyai teman baru.

Hal pertama yang Kyra simpulkan dari Yoon Sanha adalah, bahwa Sanha itu baik dan menyenangkan sekali.

.

.

.

.

“Pagi!”

Adalah kata yang pertama kali Kyra dengar ketika kesadarannya perlahan terkumpul akibat sinar matahari yang menelusup lewat celah tirai. Kyra melarikan lengannya ke atas wajah, menghalangi pendar batara surya yang hendak merengkuh wajahnya.

“Bangun, Kyra! Hari ini adalah hari olahraga!”

Mendengar itu, Kyra perlahan mengembalikan lengan kanannya kembali ke sisi tubuhnya. Susah payah ia bangkit. Iris matanya secara bertahap membatasi cahaya yang masuk ke indra pengelihatan Kyra, hingga akhirnya ia memfokuskan tatapannya pada Sanha—yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping kasurnya.

“Hari … apa?”

“Hari olahraga! Semua pasien berkumpul di halaman belakang rumah sakit dan kita akan senam bersama. Ayo bangun!”

Pagi itu Sanha memakai kaus putih dengan luaran kemeja kuning cerah. Rambutnya masih saja ditutup sebuah topi sebagian. Celananya sama seperti kemarin, putih bersih, namun hari ini sebatas menutupi sampai lututnya saja. Separuh kedua betis Sanha dilindungi sepasang kaus kaki putih bergaris hitam.

“Ayahku di mana?”

“Katanya Paman mau makan dan mandi di rumah, aku disuruh menjagamu.”

Kyra mengernyit. “Kau sendiri saja sakit.”

“Itu tidak penting—sekarang kau siap-siap saja, oke?”

Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Kyra membiarkan Sanha memegang tiang infusnya. Mereka berjalan keluar ruangan; membaur dengan kerumunan yang ramai berbincang satu sama lain.

Lorong rumah sakit di pagi hari itu kaos sekali. Berbondong-bondong pasien berjalan ke arah halaman belakang rumah sakit, beberapa dituntun suster. Beberapa bahkan berada di atas kursi roda atau pun memakai tongkat.

“Yang duduk di kursi roda dan memakai tongkat itu hanya ingin melihat,” kata Sanha, menyadari tatapan penasaran Kyra—karena, bagaimana caranya senam sambil memakai kursi roda atau tongkat? “Soalnya yang menjadi instruktur senam itu Dokter Park dan Suster Ahn. Keduanya tampan dan cantik.”

“Oh,” respon Kyra pendek. Tiba-tiba lebih tertarik pada sapaan Sanha terhadap tiap pasien yang melewati mereka.

Semua membalas Sanha dengan sapaan yang tak kalah semangat.

“Sanha?”

“Iya, Ra?”

“Kenapa kamu tidak mengenakan baju pasien?”

“Siapa sih yang tidak bosan memakai baju pasien dua bulan penuh, Ra,” jawab Sanha, mengerucutkan bibir. “Warnanya hijau tua, lagi. Aku—“

“KAK SANHA!”

Whoa! Siapa … halo, Nara!”

Kyra melongo, karena tiba-tiba saja di punggung Sanha ada seorang gadis kecil yang nyangkut. Pegangan Sanha di tiang infus Kyra terlepas. Lelaki itu memindahkan perempuan yang dipanggilnya ‘Nara’ tersebut ke dadanya.

“Pagi, Kak Sanha!” ujarnya, volume berkali-kali lebih besar dari ekspektasi Kyra.

“Pagi Nara,” Sanha mengecup kening Nara sebelum tangan kirinya kembali ke tiang infus Kyra. “Lihat, Kakak punya teman baru.”

Nara mengalihkan pandangannya, tangan mengulur ke arah Kyra kala ia mengulas senyum untuk Nara. “Wah! Cantik!”

Belum sempat Kyra membuka suara, dua anak kecil lagi datang dan memeluk Sanha dari belakang. Yang satu menggapai paha Sanha, sementara yang lebih besar merengkuh pinggangnya. Kyra sekali-lagi hanya bisa terdiam. Takjub melihat kedekatan Sanha dengan pasien-pasien cilik di rumah sakit itu.

“Kak Sanha, aku sudah minum obat lho!”

“Kak, aku tadi sudah diambil darah sama Dokter Kim!”

Sanha meletakkan Nara di lantai sebelum mengeluarkan tiga batang lollipop dari saku celananya (kali ini, Kyra betulan takjub).

“Karena kalian sudah hebat, ini hadiah dari Kakak!” katanya, mendapat ciuman di pipi untuk setiap permen yang ia berikan.

Sanha tetap berada di posisinya berlutut di lantai tatkala anak-anak itu berterima kasih padanya, berlari menjauhi mereka berdua.

Suara tepuk tangan dan lagu bermelodi riang samar-samar memenuhi telinga Kyra. Ia memperhatikan sekeliling; tidak ada lagi pasien yang berkeliaran di lorong kecuali mereka berdua. Pasti semuanya sudah berada di halaman belakang.

“Apa senamnya sudah dimulai?”

“Sepertinya sudah.”

“Kamu suka anak kecil,” ucap Kyra sesaat setelah Sanha berdiri tegap kembali.

“Benar,” Sanha tersenyum. “Aku suka anak kecil.”

Lekas mereka lanjut berjalan.

Itu, sampai Sanha terjatuh di tengah lorong. Sampai seorang suster yang kebetulan sedang lewat ‘mengenalinya’ dan langsung menelpon seseorang. Kyra hanya bisa menatap bingung sang suster yang nampak panik—padahal Sanha masih sadar dan sekadar tersandung saja. Tapi Sanha pun diam, sampai sebuah kasur dorong sampai di dekat mereka. Dua orang suster yang baru saja muncul segera memegangi lengan Sanha agar lelaki itu berdiri.

“Sanha—“

“Aku tidak apa-apa,” potong Sanha, sebelum Kyra sempat bertanya. Cengiran khas Sanha lalu terpampang di wajahnya. “Kamu mau ke halaman belakang atau kembali ke kamar, terserah. Nanti aku susul, oke?”

Hal kedua yang Kyra simpulkan ketika Sanha berbaring di atas ranjang tersebut dan perlahan pergi meninggalkannya sendirian adalah, bahwa nampaknya … Sanha jauh lebih sakit dari yang Kyra pikirkan.

.

.

.

.

Hari itu, Sanha baru kembali ke ruang Lily pada pukul satu siang. Ia menemukan Kyra duduk di tepi kasur dengan Perry di pangkuannya. Saat Kyra bertanya-tanya—tentang sakitnya, tentang mengapa suster itu nampak panik sekali ketika Sanha hanya terjatuh, tentang apa saja yang bisa memenuhi rasa penasarannya—Sanha enggan menjawab. Sanha bilang, suatu saat nanti Kyra akan tahu sendiri tanpa Sanha beri tahu. Kyra pun akhirnya menyerah. Well, sedikit percaya tidak ada salahnya, ‘kan?

Dua hari kemudian, Sanha sudah tidak ada di kasurnya tatkala waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Sedangkan Ayah Kyra masih tertidur lelap di sofa.

“Suster, lihat pasien yang menempati kasur di sebelahku tidak?” tanya Kyra pada suster yang mengantarnya sarapan.

“Oh, Yoon Sanha ya?” suster yang memakai name-tag bertuliskan ‘Jung Soo Jung’ tersebut melirik jam tangannya yang juga terdapat tanggalan. “Sepertinya hari ini jadwalnya ia membagikan bunga.”

“Eh?” mata Kyra menyipit. “Oooh! Iya, benar.”

Suster Jung tersenyum lebar. “Selamat sarapan, Kyra.”

“Terima kasih, Suster Jung!”

Kyra menghabiskan sarapannya tak lebih dari lima belas menit. Ayahnya terbangun lebih kurang setengah jam setelah Kyra selesai, bertanya apakah Kyra menginginkan sesuatu yang Kyra jawab dengan gelengan serta sebuah terima kasih.

Ayah Kyra menatap lama kasur Sanha yang tertata rapi. Kyra cukup cepat untuk menangkap tatapan itu. “Kenapa, Ayah?”

“Sanha tidak ada,” ujar ayah pelan. “Apa tidak apa-apa kalau Ayah tinggal sebentar ke bawah? Ayah mau beli kopi.”

“Tentu saja, Ayah.”

“Kalau begitu—“

“Selamat pagi!”

“Yoon Sanha!”

Itu Ayah Kyra yang memanggil, terlihat puas sekali mendapati sosok Sanha di ambang pintu dengan kedua belah tangan memegangi pegangan keranjang besar yang penuh dengan berbagai jenis bunga.

Balasan Kyra terhadap sapaan Sanha agak tidak terdengar karena gadis itu sudah lebih dulu turun dari kasurnya dan mendekati Sanha, membungkuk untuk mencium aroma flora warna-warni tersebut.

“Wah, harum sekali,” Kyra hendak mengambil salah satu bunga, namun Sanha menarik keranjangnya menjauh. Menggeleng penuh.

“Punyamu bukan yang itu, Kyra,” kata Sanha tegas, lekas ia beralih ke Ayah Kyra yang sudah berdiri dari tempat awalnya. “Paman! Sanha boleh ajak Kyra jalan-jalan, tidak?”

“Kebetulan paman mau beli kopi di lobby,” balas Ayah Kyra. “Tentu saja boleh. Hati-hati, oke?”

Kyra dan Sanha pertama-tama pergi ke lantai satu.  Di sana banyak anak kecil dan satu ruangan berisi lima kasur single. Kata Sanha, ia sebenarnya ingin mempunyai tempat tidur di sana, tapi ibunya melarang, menurutnya ruangan itu terlalu pengap.

Sanha memperkenalkan Kyra ke semua orang, juga membiarkan Kyra memberikan beberapa bunga. Tatkala mereka berdua sampai ke ranjang yang paling ujung, Sanha menahan Kyra. Lelaki itu menggeleng pada Kyra yang mengernyit heran.

“Dia tidak dapat.”

“Kenapa?” tanya Kyra. “Kupikir kau bilang semua pasien dapat.”

“Pokoknya dia tidak dapat. Lihat tuh, orangnya sedang tidak ada juga.”

Kyra mengintip lewat tirai yang tidak tertutup rapat. Memang, tiada orang yang meniduri ranjang berpapan nama ‘Jung Minjae’ tersebut.

“Kita bisa meletakkan bunganya di atas kasur, ‘kan?”

“Aduh, Kyra, pokoknya dia tidak dapat,” Sanha memutar bola matanya sebelum mengambil sebatang bunga mawar dari genggaman Kyra. “Sekarang kita ke lantai dua, ya?”

Meski tidak puas dengan jawaban Sanha, Kyra menurut. Ia menarik tiang infusnya dan memasuki lift mengikuti Sanha.

Lantai dua itu tempat di mana ruang Lily berada. Jadi, tiap kamar berisi dua orang. Di sana, Sanha tidak hanya memperkenalkan Kyra kepada pasien, namun juga dokter dan suster yang kebetulan jumlahnya lebih banyak daripada di lantai satu.

Lantai tiga memiliki ruangan terbanyak, dan tiap ruang dikapasitasi untuk satu pasien saja. Ketika Kyra hendak membuka pintu sebuah ruangan, Sanha kembali menahannya. Kyra menghela napas berat. Tatkala ia menoleh hendak bertanya, dilihatnya Sanha memandang papan nama di samping pintu tersebut dalam-dalam.

Kedut di kening Kyra lambat laun menghilang.

“Sanha?”

“Dia juga tidak dapat,” ucap Sanha, kembali menengok ke arah Kyra. “Ke kamar sebelah, hm?”

Kali ini Kyra tidak protes, membagikan bunga yang tersisa dan sesekali mengobrol bersama pasien yang kebanyakan orang dewasa.

Saat Kyra menyadarinya, mereka sudah di dalam lift; dan keranjang berwarna biru tua tersebut sudah kosong melompong. Tanpa tersisa setangkai bunga pun dan tanpa tersisa untuknya.

“Lain kali, deh. Sepertinya aku salah menghitung jumlahnya,” jawab Sanha atas pertanyaan Kyra yang menuntut setangkai bunga miliknya.

.

.

.

.

Tapi setelah tiga, enam, sembilan, dua belas, lima belas, delapan belas, dua puluh satu hari lainnya terlewati—Kyra tidak pernah mendapatkan bunganya. Selama itu juga, Kyra hampir setiap hari mengalami sesak napas, dan tidak diperbolehkan meninggalkan kamar seharian. Sang ayah lebih banyak bekerja untuk membiayai rumah sakit, namun untung saja ada Sanha yang dengan senang hati menemaninya.

Kyra tidak pernah merasa lebih bersyukur dari saat itu.

.

.

.

.

“Sanha?”

“Iya?”

“Sampai sekarang aku belum tahu kamu sakit apa.”

Sanha baru saja ingin membuka mulutnya jika Kyra tidak melanjutkan.

“Dan aku tidak pernah mendapatkan bungaku.”

Sore itu, Sanha duduk di samping Kyra. Mereka berdua menempati kasur Sanha dan memakan keripik cokelat pemberian Dokter Yoon, ibu Sanha yang beberapa hari lalu akhirnya mengunjungi kamar Lily. Sanha bilang, ibunya memang sibuk sekali. Jarang-jarang ia bisa menemui Sanha.

Seharian Sanha juga tidak pergi ke mana-mana, ia menetap di kasur. Sepanjang tungkainya dilapisi selimut tebal. Kyra tentu saja heran karena Sanha itu hiperaktif sekali, tapi ia tidak menyuarakannya.

“Aku masih tidak ingin memberitahu aku sakit apa,” kata Sanha akhirnya, menjilat telunjuknya yang dipenuhi bubuk cokelat. “Tapi, kamu jangan khawatir Kyra. Aku akan memberikanmu sesuatu yang lebih spesial daripada bunga; begitu juga dengan pasien yang tidak mendapat bunga dariku.”

“Lebih spesial dari bunga?” Kyra melongo. “Seperti apa?”

“Rahasia!” Sanha tertawa puas. Tangan kirinya bergerak menyubit pipi Kyra. “Pokoknya, kalau aku tidak memberikanmu sesuatu yang lebih spesial dari bunga itu, aku berjanji akan memberikanmu satu buket bunga aster setiap hari sampai kamu keluar dari rumah sakit ini.”

Semudah itu, Kyra percaya. Kalau Sanha akan menepati janjinya.

.

.

.

.

Malam itu Kyra terbangun di tengah tidurnya. Kyra mengusap keningnya yang berkeringat, meminum separuh botol air mineral, sebelum memutar tubuhnya ke arah berlawanan dari jendela. Ke arah—kasur Sanha yang tidak berpenghuni. Kyra mengedip bingung.

“Sanha? Yoon Sanha?”

Namun Kyra tidak mendengar apa pun selain suara mesin penghangat ruangan yang samar. Kyra terdiam di posisinya; duduk menyandar bantal. Untuk beberapa detik mencoba berpikir bahwa Sanha ada di kamar mandi, tapi tak ada suara setetes air pun.

“Sanha?” panggil Kyra lagi, kini sembari turun dari ranjangnya. Telapak kaki mencari-cari slipper di bawah kasur.

Kyra menarik tiang infusnya pelan-pelan, takut mengganggu tidur lelap sang ayah yang masih memakai setelan jas lengkap. Berjalan ke arah pintu, Kyra melirik ayahnya sekali lagi. Lekas ia memutar knop hitam yang menunggunya untuk dipertemukan dengan koridor gelita.

Kyra terdiam, lagi. Kala itu ia tidak takut pada kegelapan yang biasanya mampu membangkitkan bulu romanya secepat kilat, ia cemas karena ke mana Yoon Sanha? Tapi Kyra dengan bodohnya berjalan menjauhi kamar Lily, tanpa tujuan dan hanya khawatir, khawatir, khawatir.

Takdir itu baik sekali, batin Kyra tatkala ia membalik badannya untuk menemukan Suster Jung yang menepuk pundaknya dari belakang.

“Kyra? Kenapa kamu ada di sini?”

“Yoon Sanha,” kata Kyra, penuh penekanan. “Yoon Sanha ke mana, Suster Jung? Kenapa dia tidak ada di kamar?”

Suster Jung nampak kebingungan. “Dia tidak bilang apa-apa padamu, Ra?”

Kyra menggeleng cepat. “Sanha tidak pernah bilang apa-apa, aku bahkan tidak mengetahui dia sakit apa sampai sekarang.”

Kyra sangka, Suster Jung akan membawanya kembali ke kamar dan menceritakan segalanya tatkala jemari lentik sang suster mendarat di pergelangan tangannya, tapi tidak. Suster Jung menuntunnya ke lift dan menekan angka tiga.

Lambe Kyra membuka atas dasar penasaran. Sayang, Kyra menemukan dirinya tak mampu berkata-kata. Ia terlalu fokus menerka tujuan dari langkah terpatahnya bersama Suster Jung sesaat setelah pintu lift kembali terbuka.

“Sanha ada di dalam sini.”

Kyra terkejut ketika Suster Jung bersuara, telunjuknya yang dihiasi sebuah cincin menyentuh papan berukiran ‘Lavender A’ di pintu kamar kedua dari ujung.

“Kenapa—“ Kyra menengguk ludahnya susah payah. “Kenapa dia pindah?”

Kyra bingung.

“Sanha benar-benar tidak pernah memberi tahumu, Ra?”

Kepalanya yang tertunduk menggeleng lemah.

I don’t even know if I’m allowed by Sanha to tell you this,” Suster Jung meremas jemari Kyra. “Tapi tak adil juga jika kau bahkan tidak tahu sampai malam ini.”

Kyra makin bingung.

W-why?”

“Tapi, apa, Sanha tidak pernah … berjanji padamu? Atau apalah, sesuatu yang serius yang dia katakan kepadamu?”

“Berjanji?” sepasang netra Kyra mengerjap. Benaknya seketika memutar memori senja tadi. “T-tadi sore, dia bilang, kalau tidak memberikanku sesuatu yang lebih spesial dari bunga, dia berjanji akan memberiku satu buket bunga aster sampai aku keluar dari r-rumah sakit….”

Yeah, I guessed it.”

Lantas tiba-tiba Suster Jung berlutut di sampingnya, menggenggam jemari Kyra dengan seberkas kehangatan nyaris setara mentari.

“Yoon Sanha itu luar biasa, Ra,” kata Suster Jung. “Sekarang, berharaplah Sanha akan memberimu bunga aster setiap hari ketimbang sesuatu yang spesial itu, hm?”

Malam itu Kyra tertidur di depan kamar Lavender—menolak ajakan Suster Jung untuk kembali ke kamar. Ia tidak kunjung berhenti menangis setelah Suster Jung selesai menjelaskan semuanya. Tentang Yoon Sanha, tentang Ataxia1, tentang lumpuh kakinya dan operasi transplantasi otak2 yang akan dilakukan esok hari. Yang kemungkinan berhasilnya tak lebih dari sepuluh persen.

Suster Jung bilang, sejak bertemu dengan Kyra, Sanha menjadi lebih semangat dari biasanya. Dan Sanha selalu melakukan pengecekan rutin kala Kyra sudah tidur, jadi Kyra tidak tahu apa-apa.

Suster Jung juga bilang, Sanha dipindah ke ruang Lavender karena ia harus istirahat total sebelum dioperasi, dan sebenarnya bisa saja Sanha menjalani hidupnya dengan kelumpuhan serta beberapa kekurangan lainnya, tapi ia lebih memilih untuk percaya pada Dokter Yoon; sang ibu, dokter yang akan memimpin operasi transplantasi otaknya.

“Kata-kata Sanha yang paling kuingat adalah, ‘Yang perlu aku lakukan hanyalah berani dan percaya, karena semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Dan tentu saja aku percaya, kalau ibuku adalah seorang dokter yang sangat hebat!’.”

.

.

.

.

Nama Pendonor: Yoon Sanha

**

Daftar Nama Penerima Donor:

-Lee Youngjae (Ren/Ginjal)

-Jung Minjae (Pulmo/Paru-paru)

-Kyra Leona (Kardio/Jantung)

-Kim Jinwoo (Hepar/Hati)

.

.

.

.

“Namanya Kyra, ia seumuran denganmu.”

“Wah, seumuran denganku? Dia sakit apa, Dokter Cha?”

“Jantungnya lemah, Sanha. Akhir-akhir ini bertambah parah. Jadi dia harus dirawat di rumah sakit.”

“Jantung?”

“Iya, benar. Jantung.”

Hmm. Kemarin Bibi Lee sudah sembuh dari penyakit jantungnya, sekarang ada yang sakit jantung lagi.”

“Kau mau memasukkan dia ke daftar donor, Sanha?”

“Tentu saja, Dok. Apalagi dia akan sekamar denganku!”

.

.

.

.

.

Siapa yang sangka, kini Kyra yang memberikan buket-buket bunga aster untuk Sanha. Meski Kyra tidak pernah mendapat sebuah ucapan terima kasih karenanya—suatu hari nanti, Kyra bisa menagihnya pada Sanha, ‘kan?

Fin.

.

  1. Ataxia: adalah sebuah penyakit yang dapat menyerang bagian otak kecil yang dapat menyebabkan gangguan pada saraf motorik tubuh. Ciri ciri penderita ataxia adalah sering terjatuh tanpa sebab, tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya dan mengalami kelumpuhan.
  2. Transplantasi otak: cangkok atau pemindahan seluruh atau sebagian organ otak dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Menurut sumber yang saya baca, pada sebuah artikel di pertengahan 2015 ada seorang pria Rusia yang siap jadi subyek transplantasi otak pertama di Dunia, tetapi saya pun tidak tahu apa sampai sekarang operasi ini sudah dilakukan atau belum, berhasil atau belum.

Thanks to Allah Swt., Kak Kay, Kak Dhila, kakakku semuanya pokoknya :*

And happy early birthday, my precious Yoon Sanha<3

[160321] #HappySanhaDay ((cries))

xx, lais!

24 tanggapan untuk “The Boy from Lily Room”

  1. Laaiss haloo apa kabar? Kurasa mungkin lais sudah lupa denganku :”)) /uhuk
    Haha yoksi mah dedek lais ini emang jagonya yg heartwarming yaaa huhu indah lais indah nian abaikan soal apakah aku kenal sanha atau tidak tp dr cara ceritanya sukses bikin nyaman dibaca..

    Keep it up laijuu (ini bener panggilan lais laiju) (lama out grup line ifk jd lupa) ❤

    Suka

    1. KAK DITA KAAAAAAN OMGGG KANGEEEEENN kakak ke mana aja:( jago huhu aamiiiiin. wah makasih kak udah baca meski ga kenal castnya siapa! :’D mesti dilestarikan pembaca kayak kakak! :’D

      thanks banget udah mampir lho kaaak, ayok sini sini join lagi donggg!! :3

      xx

      Suka

  2. THIS IS SO TOUCHING URI SANHA’S ALL GROWN UP! IM A PROUD MAMA

    ini cantik dengan caranya sendiri huhu laiiiis! Bahasa kamu ringan yang ringan ena dibaca kusuka sekali aku baca ini santay aja guruku di depan lagi intensif tp gue malah baca ff lais di atas meja!!!!!

    ini huhu pure banget karakter sanha di sini pas banget ama apa yg ada di pikiran w HEHE menyenangkan bangettt jadi bacanya jg senenggg. tapi maafkan ur bigsist karena aku agak menduga dia bakal nyumbangin organnya gt!!!!! INI PASTI HUBUNGAN SISTER MAKANYA PIKIRANNYA JD SAMA!!!!!

    Overall ini manis, bagus, dan enak dibacaaaa!! ILOVEIT! ❤ ❤

    Suka

  3. hai lais, salam kenal. aku reader baru (sebenernya lama, cuma biasanya jadi silent reader aja haha)
    baguuus :”””) diksinya gak terlalu berat tapi bisa menyentuh, dan ceritanya… uugh aku hampir nangis di kelas, coba bacanya di rumah udah basah kayaknya haha

    Suka

  4. kak laissssssss huhu :” ini engga tau kak lais inget aku engga /emang lo siapa/ wqwq, kenalan lagi yak kak lais, ini hyeon, 01L, btw aku yang minta folbek kak lais di twitter, yang bilang suka sanha juga tapi sekarang beralih ke moonbin -_-

    Suka

  5. eh komen kepotong >.< aku engga nyangka banget itu jadinya sanha donorin, dan penasaran banget pas sanha bilang sesuatu yang lain, pas sanha jatuh juga pun daku tak tahu dan tak mengerti T.T dan ternyataa uhuuuu uri sanha T.T sumpah kak lais, aku mau banting hp pas bagian data2 orang buat didonor tadi, ga nyangka bangettttt jadi selama ini sanha , sanha, sanha, :" ah sudahlah komen ini receh sekali jadi hentikan saja kkk~ keep writing kak lais, semangat! ^^

    Suka

  6. Ah aku tau ini telat buat komen tapi aku suka banget cerita ini. Tadi iseng search “ASTRO fanfiction” di google dan nemu ini. Sanha-ku yang gabisa diem dibikin jadi sakit gitu yaampun sedih banget. Aku suka! ♡

    Suka

Leave Your Review Here!