[Vignette] Negatio

Negatio Poster

NEGATIO

A ficlet by Nadyaputri

Starring Park Jimin (BTS) & Kim Diana (OC)

Romance, Angst

General

Vignette

-Inspired by a short story from magazine-

=Also published in some other blogs with different casts=

TTT

Bagaimana rasanya dicintai? Seperti apa rasanya mencintai?

TTT

Aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Aku paham betul, siapa yang sudi berkawan dengan gadis tertutup yang lebih suka menenggelamkan diri bersama buku dan lukisan? Dan lupakan saja soal pacar. Aku berani bertaruh kalau aku ada di urutan terbawah di daftar perempuan yang ingin dijadikan kekasih oleh teman-teman laki-lakiku di sekolah.

Pun ketika di rumah, aku akrab dengan sunyi. Aku hanya hidup dengan Ayah dan seorang pembantu yang sangat patuh mengurus semua keperluanku. Ayahku telah menjauhkanku dari semua kenangan tentang Ibu. Yang kutahu ibuku meninggalkan kami ketika aku masih terlalu kecil untuk mengingat semuanya. Aku sangat jarang bertemu Ayah karena dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri, di sebuah studio lukis yang merangkap kamarnya—letaknya lumayan terpencil dari rumah induk. Kalaupun bertemu, hanya selintas dalam suasana beku. Kami bagaikan dua orang asing yang hidup dalam satu rumah. Kadang aku sampai lupa kalau ada Ayah di kamarnya.

TTT

Untunglah hujan segera berhenti. Aku sudah berjanji untuk datang ke galeri lukis Bibi Hyuri. Sore yang sangat mendung. Sisa-sisa hujan menggenangi jalan. Tetesan air berjatuhan dari ujung daun. Luruhan sisa hujan terdengar tajam.

Aku bergegas, sebelum hujan susulan turun lagi. Kulihat langit masih memiliki persediaan awan hujan yang menggantung berat. Dengan berbekal payung aku mulai mengayunkan tungkaiku melangkahi genangan-genangan air. Galeri Bibi Hyuri hanya berjarak beberapa blok dari rumahku, sama sekali tidak jauh.

Ketika tiba di sana, Bibi Hyuri tidak ada. Bibi hanya meninggalkan sebuah memo yang isinya memberitahu bahwa dia pergi menemui seorang pelanggan yang memesan lukisan. Oke, tak apa. Tempat yang didominasi oleh furnitur dari kayu ini sangat nyaman dan aku sering menghabiskan waktu di sini tanpa harus merasa kesepian meski seringnya aku hanya melukis atau membaca buku sambil minum cokelat panas. Sudah kubilang, ‘kan, buku dan lukisan adalah kawan terbaikku?

Dentang genta kecil yang digantung di pintu galeri mengagetkanku. Kulihat seorang laki-laki bersurai hitam pekat memasuki galeri. Sepasang manik miliknya menyapu ruangan dengan cepat, kemudian berhenti di depan sebuah lukisan dan memandangnya lama sekali. Aku sangsi apakah dia menyadari kehadiranku di sana atau tidak, namun aku tidak berani menegur. Bibi Hyuri pernah berkata, kadang orang perlu mencari sisi keindahan dari sebuah lukisan. Ada yang langsung menemukannya, ada yang tidak sama sekali.

Jadi, aku diam saja.

“Lukisan ini sangat murung. Ada kesedihan yang dipendam di dalamnya,” gumam laki-laki itu tiba-tiba. Oh, dia menyadari presensiku ternyata. “Aku dapat merasakan kesedihan dalam lukisan ini,” lanjutnya lagi, masih dengan pandangan lurus ke lukisan yang menyerap atensinya itu.

Lukisan itu berupa setangkai mawar yang tidak jelas warnanya—kelabu dengan sapuan ungu gelap dan merah yang kelam—dengan latar belakang suram. Begitu murung dan limbung.

Aku memandangnya dalam diam, tidak tahu harus melontarkan respon seperti apa.

Tiba-tiba dia mengalihkan tatap ke arahku. “Maaf, apakah aku mengganggu?”

“Oh, ti-tidak,” gagapku. “Silakan dilanjutkan melihat-lihatnya.”

“Lukisan di sini tidak bisa dibeli, ya? Aku ingin membeli satu untuk pacarku, tapi aku tidak yakin dia bisa melihat lukisan itu atau tidak nantinya.” Helaan napasnya yang berat sejurus setelah dia menyelesaikan kalimatnya menyiratkan kesedihan.

“Memangnya kenapa?” Nah, Kim Diana, sejak kapan kau jadi ingin tahu urusan orang? Ini sungguh di luar kebiasaanku.

Namun sepertinya lelaki itu tidak keberatan berbagi. “Pacarku sedang koma. Kecelakaan mobil satu bulan yang lalu.”

Tidak dapat menemukan kata-kata penghiburan yang tepat, aku membiarkan kesunyian mengambil alih.

Sementara itu, di luar hujan mulai turun lagi. Kami terperangkap dalam keheningan galeri. Lelaki itu dengan kesedihannya, dan aku dengan gemingku.

Bagaimana rasanya dicintai? Seperti apa rasanya mencintai?       

Di senja yang murung itu, aku menjamu Park Jimin, si lelaki tak diundang, dengan secangkir cokelat panas. Dan dia berjanji akan datang lagi.

TTT

Suara ketukan di pintu kamarku menginterupsi kegiatanku menghafal sederetan istilah ilmiah untuk ulangan Biologi besok. Aku menutup buku pelajaranku dengan enggan dan melangkah menuju pintu. Aku butuh konsentrasi tinggi untuk menyerap materi. Daya ingatku terlalu lemah. Tidak ada satu mata pelajaran pun yang dapat kuandalkan. Bahkan tidak ada yang dapat diandalkan dalam diriku.

Aku membuka pintu dan mendapati pengurus rumahku di depan kamar. “Ada tamu untuk Nona di depan. Laki-laki, tidak begitu tinggi.”

Dahiku berkerut samar. Siapa? Tumben sekali. Tanpa mengetahui siapa tamu itu, aku mengayunkan tungkaiku ke ruang tamu. Dan, di situlah dia. Lelaki dengan rambut hitam pekat dan mata sewarna rambutnya. Park Jimin.

“Jimin-ah, ada yang bisa kubantu?”

“Bantu aku mengenalmu lebih jauh, Diana.”

Sial, apa yang dia bicarakan?

“Apa maksudmu? Tidak ada yang bisa diceritakan tentang aku.”

“Ada. Kenapa kau tidak memberitahuku tentang lukisan mawar itu?”

Aku menatap Jimin dengan pandangan bertanya.

“Aku baru saja dari galeri dan bertemu Bibi Hyuri. Bibi Hyuri menceritakan semua tentangmu, juga tentang lukisan mawarmu dan lukisan-lukisan lain di galeri yang kau lukis.”

Mendadak emosi menyusupi dadaku. Bukankah itu hakku untuk menyimpan sendiri hal-hal yang menurutku tidak perlu dibagi ke orang lain? “Apa gunanya kau tahu?”

“Kau terlalu menutup diri, Diana. Kau tidak ingin orang lain tahu tentang dirimu, termasuk kemampuan melukismu. Seharusnya kau bangga dengan bakat yang kau miliki.”

Untuk apa? Toh Ayah tidak pernah menganggap bakat itu ada, meskipun bakat itu kuwarisi darinya! ucapku dalam hati sambil menahan getir.

Terima kasih banyak, Jimin-ah, tapi aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Sebaiknya kau pulang, aku harus belajar sekarang,” pungkasku, kembali ke kamar dan meninggalkan Jimin yang jelas sekali terheran-heran dengan perangaiku.

If you want to get close with me, be ready to handle my oddity, Jim…

TTT

Aku adalah laba-laba yang membuat sarang di ujung gudang. Yang dengan tertegun menatap indah kehidupan remaja dari tempat yang remang-remang, dan hanya bisa membayangkan semuanya dalam keterbatasanku.

Tapi kehadiran Jimin telah memporak-porandakan perasaanku. Lelaki itu telah mengusik sarang kesunyianku. Membuatku lebih berani melihat ke dalam diriku—segala kurang dan lebihku. Bahwa ternyata hidup dapat dibuat menjadi lebih menyenangkan lagi. Kadang aku merasa bersalah. Bukankah dia sudah punya kekasih? Apalagi kekasihnya sedang melawan koma sekarang.

TTT

“Hingga saat ini aku masih menganggap kalau pacarmu adalah perempuan paling beruntung sedunia. Kau itu laki-laki yang terlalu baik, tahu?” kataku pada pertemuan kami yang kesekian kalinya. Lagi-lagi di galeri, di salah satu sudutnya yang nyaman di mana terdapat seperangkat meja dan kursi.

Jimin hanya menarik napas panjang, tidak menanggapi perkataanku. Aneh, akhir-akhir ini Jimin terlihat seperti tidak nyaman jika membicarakan kekasihnya. Mungkin karena keadaan kekasihnya sedang memburuk, tapi entahlah, aku tidak berani bertanya.

“Hei, aku punya sesuatu untuk kalian berdua.” Aku bangkit dari dudukku dan beranjak menuju lukisan mawarku yang tergantung di salah satu sisi dinding. Aku meraih lukisan itu, kemudian menyodorkannya kepada Jimin.

 “Damn it, Diana? Kamu memberikan lukisan ini untukku?” Manik pekat Jimin membulat, menatapku tidak percaya.

Aku mengangguk mantap sambil mengangkat kedua sudut bibirku ke atas membentuk senyuman.

“Apakah tidak apa-apa? Ini terlalu berharga,”

Aku tertawa pelan. “Jangan berlebihan, Jim. Sungguh, tidak apa-apa. Aku sudah minta ijin  ke Bibi Hyuri.”

Terima kasih, Diana. Kau memang yang terbaik.” Jimin meraih tanganku dan mengguncang-guncangnya. Binar kebahagiaan nampak jelas di kedua matanya, namun entah mengapa aku melihat sedikit kilas rasa bersalah di sana.

Diam-diam ada yang berpendar dalam hatiku.

TTT

Setelah hari itu, Jimin tidak pernah lagi datang ke galeri. Diam-diam aku merindukan obrolan-obrolan kami mengenai semua hal di seluruh dunia, kalimat-kalimat penghiburannya yang selalu bisa membuatku merasa lebih baik, pujiannya akan cokelat panas buatanku yang sesungguhnya biasa saja, matanya yang berubah menjadi dua garis lurus ketika tertawa. Hell, kuat juga ternyata pengaruh Park Jimin di hidupku. Singkatnya, aku merindukan presensinya.

Sampai pada suatu senja yang basah, Jimin muncul di halaman galeri. Rambutnya kuyup ditimpa hujan dan kemejanya menyerap butir-butir air hujan. Dengan dinaungi payung, aku menghampirinya dalam gegas.

“Jimin-ah!”

“Pacarku sudah meninggal. Dia tidak akan pernah melihat lukisan itu.” Bibirnya yang pucat bergetar, entah karena dingin atau emosi yang coba ditahannya.

Kebiasaanku mematung dan terdiam beberapa saat demi memproses informasi ketika mendengar kabar mengagetkan masih saja susah hilang. Akhirnya yang keluar dari bibirku adalah, “Aku ikut sedih, Jimin-ah. Kau terlihat sangat kacau…”

“Aku memang sedang kacau, Diana.”

“Mau masuk dan minum cokelat dulu?”

“Tidak, tidak perlu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Jimin menghela napas. “Diana, aku mencintaimu. Aku merasa nyaman dan bahagia di dekatmu. Kau benar-benar berbeda dengan perempuan-perempuan di luar sana, Diana. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan hal seperti ini, tapi sungguh, aku benar-benar tidak bisa memandangmu dengan perasaan yang biasa saja, dan ini benar-benar menyiksa jika terus kutahan. Jadi, aku menanti jawabanmu.”

Kalimat panjang Jimin selesai. Aku menatap Jimin dengan berbagai bauran emosi yang nampak dalam netraku. Bahagia? Terkejut? Bingung? Entahlah, aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, akhirnya aku mengetahui mengapa Jimin menjadi kikuk jika bicara tentang kekasihnya belakangan ini. Ternyata rasa cintanya memang sudah tidak sekuat dulu. Dan semua karena presensiku.

Tapi Kim Diana tetaplah Kim Diana. Tetap gadis yang lebih nyaman menjadi penyendiri dan tidak percaya konsep “selamanya”. Cepat atau lambat semua orang akan pergi, jadi lebih baik aku belajar dari sekarang untuk menikmati kesendirian dan tidak terbuai oleh hidup yang bisa sewaktu-waktu menawarkan rasa manis luar biasa, namun satu sekon setelahnya memaksa kita menelan kegetiran tiada tara.

Aku menggelengkan kepala. “Maaf, Jim, aku tidak bisa.”

“Tapi aku sungguh-sungguh, Kim Diana.”

Aku diam, kali ini tak mampu menjatuhkan tatap ke iris gelap lelaki di depanku.

“Tidak apa-apa. Yang penting kau sudah tahu kalau aku mencintaimu. Ingat, Diana, kalau kau ada apa-apa, aku ada. Sampai kapan pun.”

Kemudian Jimin membalikkan badan dan mengayunkan kakinya keluar dari areal galeri. Sedikit gontai kalau kulihat, tapi aku tidak peduli. Karena diriku dengan pandangan buram karena air mata ini juga butuh dipedulikan. Suara hujan tidak lagi terdengar karena telingaku penuh dengan suara isakku sendiri. Tidak pernah aku mengira kalau berdusta pada perasaan sendiri terasa begini sakit.

TTT

“Negatio” is a Latin word that means Denial.

TTT

5 tanggapan untuk “[Vignette] Negatio”

  1. hi there!

    uh Diana 😦 why should have a negatio?
    Diana terlalu polos atau terlalu butuh orang orang yang peduli gitu ya? atau karena merasa merebut Jimin dari pacarnya yg koma? huhuhu

    cerita ini berakhir dengan hati yang kretek buat Diana dan Jimin </3
    so sad so emotional </3

    Suka

Leave Your Review Here!