FOUR-LEGGED RUNNER
by litemints
(amnhisna on twitter)
| Uncertain casts | Slice of Life, Slight!Comedy |
.
.
.
“Aku adalah seorang pelari.
Yang memiliki empat kaki.”
***
Hidup bukanlah pelarian. Hanya saja hidup itu seperti berlari. Terkadang kita melintas secepat kilat, lalu melambat saat urat-urat seperti akan sekarat. Terkadang kita dibedaki semangat, lalu perlahan luntur dilucuti keringat. Terkadang kita ada di depan, memimpin, dan tersenyum; oh indahnya dunia ini! Namun, ada waktunya kita menjerit depresi. Terutama saat memutuskan istirahat sejenak dan sekonyong-konyong menyaksikan pelari lainnya melintas; hancur sudah hidupku!
Aku mencintai hidupku. Oleh karena itu aku mencintai berlari. Berlari. Lari dengan afiks ber-, bukan konfiks pe- dan -an. Jadi, sebut saja bumiku adalah sepetak Taman Kota yang senantiasa dijejali para pelari. Di sana aku merasa hidup. Hidup bersama para pelari. Pelari yang sewaktu-waktu bisa melangkahi pijakanmu. Kau harus hati-hati, mereka berbahaya.
Aku mendambai kehidupanku. Maka dari itu aku selalu datang ke Taman Kota setiap sore. Terkadang belum benar-benar sore. Aku hanya butuh ke sana supaya merasa hidup kembali. Supaya celotehan gadis-gadis kantor itu tercuci bersih dari otak bebalku ini. Huh, gadis-gadis menyebalkan. Saban hari hanya menguntit pria-pria cantik yang melintas. Atau meributkan pria yang suka menari-nari di televisi dengan setelan bling-bling nan menyilaukan. Apa mereka tidak sadar bahwa pria-pria itu bahkan lebih cantik dari tampang menyebalkan mereka?
Aku mengagumi rutinitasku. Rutinitasku yang begitu stagnan. Stagnan yang memabukkan, menggiurkan, dan tak pernah gagal untuk membuatku terngiang. Mungkin ini terdengar konyol, tapi harus kuakui aku begitu mirip dengan gadis-gadis kantor itu. Mereka boleh saja menghabiskan waktu di balik berkas dan aku menghitung waktu di atas kursi roda. Tapi di luar itu, kami benar-benar mirip. Benar-benar mirip karena sama-sama suka menguntit. Me-ngun-tit. Perbedaannya terletak pada objek. Tentu saja, objek milikku tidaklah cantik. Ia seorang pelari yang mungkin tidak sempat merawat diri, tapi selalu tampak percaya diri. Keringatnya terlihat membanjir menuruni pelipis, tengkuk, dan menyusup di antara kaus hitamnya. Terkadang aku ingin mendekat, menawarkan diri menghapus jejak keringat itu. Barangkali ia bersedia. Sama seperti pria bertahun silam yang keringatnya selalu tandas oleh saputanganku. Oh, apa aku sudah bilang kalau pria itu mengingatkanku pada seseorang?
“Mau berlari denganku?”
Ah, itu dia! Berlari dengan napas terengah yang tidak gagal membuatku terperangah. Tak mengherankan bukan jika aku terpukau? Kaus hitam seperti biasa, keringat maskulin yang selalu terlihat luar biasa, dan senyum yang sudah biasa membuatku jatuh hati. Nah, satu lagi perbedaanku dengan gadis-gadis kantor itu. Pria yang kuintai, kutaksir, atau apa pun itu: juga mengenalku. Maksudnya, ia sering mengajakku mengobrol. Terkadang kami tertawa sampai mentari undur diri. Puncaknya, ia akan berjongkok di depanku seraya berujar:
“Naiklah, udaranya bagus untuk berlari.”
Aku perlahan turun dari kursi rodaku, melingkarkan lengan di sekeliling lehernya, dan menahan napas sebelum habis-habisan memuji dirinya. Semakin kurengkuh tubuhnya, semakin tubuhku menghangat dan pipiku memanas.
“Kalau begini caranya, bagaimana bisa aku tak jatuh hati padamu?”
Ia tergelak. Punggungnya bergoyang, tapi ia terus berlari. Langkahnya berderap konstan, tegas, dan berirama. Inilah yang kusebut sebagai bagian terbaik: berlari di punggungnya.
Hidup bukanlah pelarian. Hanya saja hidup itu lucu. Makanya, jangan terlalu serius. Santai saja. Hidup terlalu lucu untuk diseriusi ‘kan? Omong-omong, aku genap berusia 84 tahun bulan ini. Dan pemuda ini…
…hei, apa dia reinkarnasi dari suami keduaku?
Kebumen, 3 Maret 2015
*
Jogjakarta, 21 Agustus 2016
Iya. Jadi ini tulisan setahun lalu plus sekian bulan.
Ditemukan saat bersih-bersih dokumen di laptop; nggak sampai hati membiarkannya teronggok lebih lama lagi. (atau tepatnya; pengin ngeksis di ifk lagi tapi nga punya karya huft)
So guyysss, ayo sampaikan ke saya perasaan setelah membaca tulisan laknat ini ayo ayo saya lagi beneran butuh masukan nihh huhu (cries)
ADUH KOK PLOT TWIST BANGEEEET WKWKWK
Kirain si aku ini cuma gadis lumpuh. Taunya… Udah nenek-nenek :”) ah padahal udah baper :”)
SukaSuka
EEii aloo! Eheheheh makasih loh udah nyempetin komen 😀
SukaSuka
Itu cucunya bukan? :”v
SukaSuka
Hahahah boleh deh yah, cucu dari suami kedua 😀
SukaSuka
Aku suka permainan katanya. Halus tapi nyess
SukaSuka
Eii aloo! Makasih yaa sudah menyempatkan komen, apalagi ditambah pujian wkw saya jadi terbangg.
SukaSuka
ah sukaaa ❤ diksinya cantik tapi ga bikin pusing, and i dont mind at all kamu ga nyebutin nama castnya bikos malah enak bisa bayangin siapa aja ga kudu oppa-oppa fana :") you go girl!! salam kenal yaaa 🙂
SukaSuka
Haloo, Nadya! Waah makasih banyak udah nyempetin komen 😀 Di sini Nenni dari 98l, salam kenaal 🙂
SukaSuka
halooo…
yaaa plot twist sekaliii beener banget. ternyata dia seorang nenek. nggak nyangka sih. mungkin karena penggambaran di awal cantik-canti kata-katanya(?). ngga kebayang kalau ternyata nenek. meski nenek endingnya tetep so swit menurut aku hehehehe. ya kan si pelari care banget sama orang yg udah lansia :”) dan baru ngeh sama judulnya sendiri pas sudah terbuka kedok neneknya hehhehe (?)
see ya~
SukaSuka
Hai, Thia! Uhuhu terharu liat komen panjang gini. Makasih banyak looh! 😀 Sampai ketem lagi! 😀
SukaSuka
ya ampun, aku lebih terharu, penulisnya komen terharu di komenku (?) padahal kan ya gitu, komen yang apa adanya hahha :”’)
yep, see yaaa~~
SukaSuka