Opposite Poles

oppositepoles_elisomnia_by-bbon

Opposite Poles

By

Elisomnia

|| Cast: Jung Chanwoo [IKON], Moon Bin [ASTRO] | Genre: AU, Family, Sad | Rating: G | Duration: Ficlet ||

.

 “…kita berdua memang meninjau hal-hal itu dari segi-segi berbeda, sejauh kutub-kutub yang berlawanan!”

Agatha Christie – Cards on the Table

.

©2016

.

Thanks to Bbon for the awesome poster

.

.

.

Melalui ekor matanya, Chanwoo dapat melihat polah berlebihan sang kawan. Moon Bin berjalan riang, berlari kecil, dan terkadang melompat. Dengan menggebu-nggebu mengulas kembali apa yang mereka dapat di sekolah hari itu.

Tentang betapa gembiranya anak itu mendapat pelajaran membaca dari guru muda asal Mokpo yang baru memulai magangnya di sekolah mereka dua hari yang lalu. Lalu, merasa iri pada kejeniusan Jae––teman sekelasnya, yang dengan mudah memecahkan soal perkalian buah apel yang sangat populer di kalangan anak Sekolah Dasar. Hingga kekesalannya pada bocah besar di kelasnya yang tak pernah berhenti mengganggu anak-anak lain; meminjam barang lalu menghilangkannya dan bersikap seolah tak tahu apa-apa, merusak taman bunga kecil di belakang sekolah, dan mengambil jatah makan siang anak-anak lain secara paksa.

“Aku benar-benar tidak suka pada Jongjin.”

Sementara kawannya itu bergumam-gumam seperti lebah, kekehan pelan meluncur dari mulut Chanwoo yang berdiri satu jengkal di sebelah kiri Moon Bin.

Anak laki-laki keluarga Jung itu sedang merapatkan jaket bermotif  bebek-bebek mungil miliknya dan mengaitkan seluruh kancing pada lubang yang tersedia saat Moonbin kembali bergumam,

“Kenapa ada anak senakal Jongjin?”

Chanwoo mengeluarkan topi rajut hitam dari saku jaketnya lalu memakainya sesaat setelah sebelah tangannya terangkat membelai ujung poninya ke belakang. Jaket Chanwoo memang tebal dan bagus––oh jelas, diproduksi di Itali dengan mengandalkan bulu domba terbaik yang sengaja dipesankan ayahnya khusus untuk bocah itu. Namun agaknya, jaket itu tak cukup mampu melindungi Chanwoo dari angin dingin bulan September yang berhembus menggelitik sendi-sendi tulangnya. Sambil mendesis pelan, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Berharap kehangatan dapat tersalurkan ke seluruh tubuh kecil itu.

Langkah Chanwoo terhenti saat dengan tiba-tiba Moon Bin berlari beberapa langkah lalu menghalangi akses jalannya.

“Menurutmu, Jongjin orangnya bagaimana?”

Oh, jadi dia masih memikirkan tentang Jongjin? Chanwoo terdiam, bukan karena ia tidak ingin atau tidak bisa menjawab, melainkan, ia sedang berpikir kira-kira apa kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Song Jongjin. Ia tidak munafik, ia sama dengan yang lainnya yang tidak menyukai Jongjin. Ia bisa saja memuntahkan semua keluhannya mengenai Jongjin jika ia mau, namun, kalimat yang sering terlontar dari bibir sang ayah menyapu lembut gendang telinganya,

“Kelak kau akan menjadi orang penting bila besar nanti, maka dari itu kau harus bisa menjaga semua perilaku dan ucapanmu bila tidak ingin ada pihak yang tersakiti.”

Sebenci apapun Chanwoo pada Jongjin, ia tidak akan menyakiti bocah besar itu dalam bentuk apapun.

“Menurutku, dia tidak jahat,” mengambil jeda sejenak, “dia hanya anak yang tidak memiliki etika dalam bertingkah laku.” Umurnya baru akan menginjak angka tujuh minggu depan nanti, namun ia berujar bak ahli filsafat dunia. Chanwoo memandang Moon Bin yang berdiri mematung sambil menatapnya lekat. Dahi bocah itu mengernyit sebelum mengulang apa yang sahabatnya katakan,

“E-ti-ka?”

Sudah Chanwoo duga, Moon Bin tidak akan mengerti. Anak laki-laki itu hanya meniru apa yang sering dikatakan Pak Jung saat memberikan materi ilmu sosial dan pola perilaku masyarakat padanya setiap Jumat sore.

Eum, aku tidak tahu pasti apa artinya. Tapi yang jelas, guru privatku sering mengucapkannya.”

Raut wajah Moon Bin berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya berbinar dan senyumnya mengembang. Reaksi khas seorang bocah yang penuh rasa ingin tahu.

“Privat? Wow.”

Sementara Moon Bin kegirangan, Chanwoo hanya memperhatikan. Berpikir keras apakah ia salah bicara sehingga membuat kawannya menggila seperti ini.

“Pasti seru, kan?”

Alih-alih menjawab, Chanwoo mendorong sedikit tubuh Moon Bin untuk membuka kembali akses jalannya. Baginya, seru atau tidak bukanlah hal yang penting. Karena ayahnya tidak pernah memikirkan tingkat keseruan saat memilihkan semua les privat itu untuknya. Sepertinya Moon Bin tidak keberatan dengan aksi diam Chanwoo, karena sejurus kemudian ia berlari mensejajari langkah kecil temannya dan kembali berujar,

“Dari dulu aku ingin sekali mengikuti les atau apapun itu, tapi ayahku tidak mengizinkan karena tidak ada biaya.” Moon Bin mengucapkannya dengan ringan, tidak ada perasaan apapun yang tersirat dalam nada suaranya. Hanya murni seorang bocah kecil yang merasa sedikit kecewa.

“Sebenarnya, aku iri padamu, Chan.” Kata Moon Bin tiba-tiba, membuat Chanwoo menoleh lalu menatapnya keheranan, “Iri?”

“Ya, karena kau kaya. Pakaianmu bagus, makananmu enak, dan semua yang kau inginkan pasti kau dapatkan,”

Tidak. Itu tidak benar. Moon Bin salah.

“Lihat aku! Jaketku bolong, aku jarang makan daging, dan aku tidak pernah ikut les. Aku sangat ingin menjadi dirimu.”

Tolong jangan berkata seolah-olah kau makhluk paling rendah di muka bumi, Bin.

“Aku––”

“Diam!”

Chanwoo sudah tidak tahan lagi. Telinganya panas menghadapi mulut Moon Bin yang terlalu banyak bicara.

“Jangan seperti itu lagi! Pada dasarnya, kita semua sama.”

Chanwoo merasa sedikit bersalah telah membentak temannya itu setelah melihat wajah Moon Bin yang meredup. Bocah laki-laki yang dalam kesehariannya terlampau ceria itu kini menggigit bibir bawahnya.

“Kita tidak sama. Kau punya Optimus Prime, sedangkan aku tidak.”

“Kau bisa pinjam punyaku.”

“Aku tidak suka meminjam, aku ingin milikku sendiri.”

“Kalau begitu ambil saja punyaku.”

Tercenung. Keduanya bungkam. Gesekan daun pohon oak tua di ujung jalan mengiringi keheningan yang tercipta dari sepasang insan kecil yang masih setia beradu argumen lewat sebuah tatapan mata.

“Moon Bin?”

Suara itu berhasil mencuri perhatian Moon Bin. Seorang wanita berumur sekitar awal tiga puluhan dengan celemek kuning berdiri di depan pintu kaca dengan senyum hangat terpatri di wajah cantiknya. Tangannya yang berlumur tepung melambai berulang kali mengisyaratkan anak-anak itu untuk mendekat. Agak jauh di atas kepala wanita itu, Chanwoo bisa membaca huruf timbul berlampu neon cokelat yang bertuliskan Lunaries.

Tunggu… Astaga! Lunaries?

Lunaries adalah toko kue sederhana di daerah Garosu-gil yang terkenal dengan muffin-nya yang lezat. Dari jarak sedekat ini, Chanwoo bisa melihat muffin berbagai rasa yang disusun rapih di atas nampan bertumpuk dan dipajang pada salah satu sisi etalase. Sungguh menggoda, pikirnya.

“Ayo mampir dulu.”

Chanwoo mengikuti Moon Bin dari belakang, lonceng kecil di atas pintu kaca itu bergoyang saat salah satu dari mereka membukanya. Suasana hangat dari dinding-dinding bercat pastel di ruangan itu menyambut Chanwoo saat dirinya memasuki pintu utama Lunaries––yang entah kenapa membuat hatinya berdesir. Mulut Chanwoo menganga dan matanya melebar menyiratkan kekaguman. Sinar matanya semakin berbinar saat bertemu dengan jejeran kue-kue lezat yang memenuhi jarak pandangnya.

“Ah, ibu, jangan begitu, ada temanku disini.”

Atensinya beralih pada Moon Bin yang menggeliat-nggeliat kecil saat wanita paruh baya bercelemek kuning tadi berusaha meraup pipinya dan memberikan kecupan-kecupan kecil. Wanita tersebut terkekeh ringan lalu menatap Chanwoo ramah,

“Oh, kau teman sekelas Bin, ya?”

Chanwoo tersenyum sekaligus mengangguk dengan sopan. Selanjutnya, ia menyebutkan nama lengkapnya saat wanita yang dipanggil Bin dengan sebutan ibu itu bertanya.

“Kalian mungkin lapar, mau kue?”

Tanpa menunggu persetujuan dari kedua bocah laki-laki tersebut, Nyonya Moon beranjak menuju dapur seraya melepaskan ikatan tali celemeknya lalu menggantungkan celemek sewarna matahari itu pada gantungan dinding dibalik pintu dapur.

Moon Bin segera menarik tangan Chanwoo ke arah bar kecil di samping meja kasir, bergabung dengan gadis kecil yang terlihat sedang memakan donat. Merangkak naik pada kursi yang tersedia dengan begitu semangat sampai-sampai Chanwoo hampir jatuh mengingat tangan mereka masih bergenggaman.

“Inilah toko kue ibuku. Rumahku ada di sebelah.”

Suara nyaring khas seorang Moon Bin kembali menyapa. Sepertinya, dia sudah melupakan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Chanwoo mengakui bahwa Moon Bin benar-benar polos, ia mencoba mengikuti alur pembicaraan saat lima sekon kemudian Nyonya Moon datang membawakan empat buah muffin cokelat bertabur choco chips yang baru dikeluarkannya dari oven. Masih panas dengan uap harum mengudara.

Tak perlu waktu lama bagi Chanwoo untuk mengakrabkan diri dengan keluarga temannya tersebut. Dengan duduk berjajar di bar kecil samping meja kasir dan memakan kue buatan rumah yang nikmat, mereka membicarakan banyak hal.

Ibu Moon Bin sangat hangat dan perhatian, wanita itu membuat Chanwoo selalu bisa tersenyum saat berhadapan dengannya. Ayah Moon Bin––yang agak terlambat bergabung, adalah pribadi yang menyenangkan. Terkadang Chanwoo sampai tersedak jus jeruknya sendiri karena tergelak mendengar lelucon konyol yang terlontar dari bibir manis Tuan Moon. Oh, dan jangan lupakan Moon Bin, sahabatnya. Bocah seumurannya yang sangat ceria namun juga berisik. Merebut kue-kue adik perempuannya hingga Sua––sang adik, menangis keras. Namun setelah itu Moon Bin pasti akan menggantinya dengan kue-kue miliknya. Merebut kue dan menggantinya lagi, terus seperti itu sampai Sua menyadari konsep permainan sang kakak lalu mengikutinya dengan tawanya yang senyaring milik Moon Bin.

Disamping Moon Bin, terlihat Chanwoo menyeka dua butir air mata yang mengalir melewati pipinya. Ia tak tahan lagi dengan guyonan Tuan Moon yang membuat perutnya sakit. Chanwoo patut bersyukur, sebab ia sendiri tak ingat kapan terakhir kali ia tertawa seperti ini.

Ding… Ding…

Dentingan jam antik di sudut ruangan menyadarkan Chanwoo. Jarum pendeknya yang mengarah pada angka enam memberitahunya bahwa dia sudah terlalu lama berada di Lunaries. Dengan segenap kesadaran diri, ia meminta izin pada keluarga kecil itu untuk pamit. Tuan Moon sempat mencegahnya dan tidak memperbolehkan Chanwoo pergi sebelum melewatkan makan malam bersama mereka, namun anak kecil itu dengan halus menolak. Jika ia pulang terlalu sore, bisa-bisa orang rumah khawatir. Parahnya, ayahnya pasti akan langsung turun tangan.

Setelah meyakinkan keluarga Moon Bin bahwa dia tidak apa-apa pulang sendiri karena rumahnya hanya berjarak beberapa blok dari kawasan Garosu-gil, Chanwoo pun bergerak pelan menuruni tangga-tangga kecil di depan Lunaries lalu berjalan ke Utara. Orang tua Moon Bin juga Bin dan Sua senantiasa mengawasi bocah manis itu sampai hilang di belokan.

.

.

Remang bohlam jingga menerangi sudut-sudut rumah putih bergaya Mediterania klasik milik keluarga Jung. Lampu-lampu taman dengan bentuk elegan berbaris di sepanjang ruas jalan utama. Gemericik air dari kolam ikan seolah menjadi hiburan tersendiri bagi putra tunggal Jung setiap kali melewatinya.

Desahan napas lega terdengar pelan saat Chanwoo membuka pintu depan rumahnya. Gelap, sepi, dan dingin––seperti biasa. Melihat dari kondisinya, ayahnya pasti belum pulang.

“Darimana saja?”

Oh tidak, ia mengenali suara ini. Hatinya berdebar seiring suara langkah kaki yang kian mendekat hingga memunculkan bayangan ayahnya. Kali ini situasinya berbeda. Kepulangan sang ayah yang selalu dinanti-nanti tak berlaku hari itu. Chanwoo takut. Takut ayahnya marah. Takut ayahnya kecewa padanya. Tapi tak ada yang bisa ia perbuat. Jung Chanwoo tidak pandai merangkai kebohongan. Lebih tepatnya, ia benci berbohong.

“Dari rumah teman.”

“Dan menolak tumpangan dari Paman Kim?”

Lidahnya kelu. Memang benar jika siang tadi ia menolak untuk diantar pulang oleh Paman Kim––Sopir pribadi Keluarga Jung–– dengan alasan ingin menemani teman sekaligus sahabatnya berjalan kaki dari sekolah sampai ke Garosu-gil.

Chanwoo tak berani bersuara. Nyalinya menciut saat bertemu pandang dengan manik tenang namun tegas milik sang ayah. Tapi, sebuah pertanyaan menganggu benaknya,

Kenapa ayahnya pulang secepat ini?

“Tadi Mr. Lucas menelpon, dia bilang bahwa kau tidak ada dirumah dan melewatkan jam privat bahasa Inggrisnya. Maka dari itu ayah pulang untuk memastikan.”

Tuan Jung beranjak dari sofa beludru merah dengan menghela napas pelan. Wajah lelah pria itu membuat Chanwoo tak tega. Perlahan, ia merajut langkahnya menuju anak semata wayang yang sangat ia sayangi.

“Chanwoo, sayang, dengarkan ayah. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Semua pelajaran yang diberikan oleh guru les pilihan ayah itu sangat berguna bagimu dalam mengelola perusahaan bila kau besar nanti. Bukan karena apa ayah mendidikmu seperti ini, hanya saja, ayah ingin kau mempersiapkan diri sejak dini.”

Chanwoo mengerti. Sebagai pewaris tunggal perusahaan, Chanwoo sangat paham dengan apa yang ayahnya inginkan. Pria itu menginginkan yang terbaik. Namun, hatinya tercubit jika mengingat semua ini hanya keinginan ayahnya semata, bukan yang Chanwoo inginkan.

Sepasang tungkainya membawa lelaki kecil itu ke dapur untuk duduk termenung di meja makan ditemani beberapa pelayan yang mondar-mandir mengurus pekerjaan mereka. Setelah ayahnya berkata padanya bahwa masih ada urusan di kantor dan pergi begitu saja, suasana hatinya semakin berantakan. Hatinya merasa sepi.

Chanwoo mengeluarkan kotak berwarna putih dengan totol-totol ungu pastel dari dalam tasnya. Membuka kotak itu dan menemukan lima muffin berbentuk lucu menanti untuk disantap. Sebelum pulang tadi, ibu Moon Bin sempat membungkuskan kue andalannya itu untuk Chanwoo.

Chanwoo menggigit ujung muffin stroberi lalu mengunyahnya perlahan. Rasa manis yang menjalar di dalam mulutnya mengingatkannya pada kisah indah yang ia alami di Lunaries.

“Justru aku yang iri padamu, Bin”

 

 

 

end.

5 tanggapan untuk “Opposite Poles”

Tinggalkan Balasan ke asanayuuki Batalkan balasan