Summer to Autumn

Title: Summer to Autumn

Author: Tsukiyamarisa

Cast(s):

  • [EXO-K] Kai/Kim Jong In
  • You

Genre: Romance, Fluff

Length: Vignette

Rating: Teenager

Disclaimer: This story is belong to me. Kai is belong to himself, but in this fic, he is belong to me *slapped xDD

Author’s note: Another short fic from me 🙂 Maaf kalau ceritanya aneh, atau idenya pasaran dan biasa banget. Dan maaf juga kalau poster seadanya karena nggak ada waktu ngedit -,- Maklum, buatnya kilat di sela-sela waktu les xD tapi tetep, REVIEW dan COMMENT-nya yaa 😀

***

Like green leaves that hanging on the tree…

I stay, watching you from far away…

Adalah sebuah kebohongan besar jika aku berkata bahwa diriku ini tidak tertarik padanya. Pada laki-laki itu. Pada seorang Kim Jong In.

Adalah sebuah alasan yang selalu kucari-cari, tatkala semua orang menangkap basah diriku yang sedang mencuri-curi pandang ke arahnya. Berharap suatu saat nanti, manik mata kami akan saling bertemu walau hanya sepersekian detik saja.

Maka hari ini pun –sama seperti sebelum-sebelumnya –aku berdiri di balik pintu kayu ini. Mengintip dari kaca jendela kecil yang berada di pintu itu, menangkap sosoknya yang sedang berlatih dance tanpa lelah. Merekam segala aktivitasnya dalam ingatanku dan tanpa sadar melukiskan semburat merah di pipiku setiap kali aku melihatnya dipenuhi oleh pesona tak berbatas.

Aku bukanlah satu dari sekian banyak gadis penggemarnya. Setidaknya, ego dan perasaan telah melarangku untuk menempatkan diriku sendiri dalam posisi itu. Bukan penggemar, melainkan seseorang yang selalu memerhatikannya. Gadis biasa yang menyimpan sejuta kekaguman, namun terlalu malu untuk mengungkapkan hal itu secara langsung. Tidak seperti para fans-nya, yang cenderung mengikuti setiap seluk-beluk aktivitasnya tiap hari, berteriak-teriak heboh tatkala melihatnya.

Just like that… 

Those leaves will always become a shadow on summer’s day… 

The one that protects you from the sunrays…

Langkah kakiku terhenti di ambang pintu, menatap sosoknya yang tergeletak di atas lantai kayu, sibuk mengatur napasnya. Lagi-lagi pesona itu menyergapku, menghempaskanku dalam perasaan takjub yang tak pernah tergantikan. Melihat helai-helai rambut hitamnya yang basah oleh keringat, kulit kecokelatannya yang berkilau di bawah sinar lampu, dan bibirnya yang membentuk seulas senyum saat ia menyadari keberadaanku telah cukup untuk membuat jantungku berdetak tak beraturan.

Ya Tuhan, ia sedang tersenyum kepadaku…

“Hei, kau mau menggunakan ruangan ini? Maaf, aku…”

Suara itu mengalun lambat, menyerukan gemanya di dalam telingaku secara berulang-ulang. Dengan kesadaran yang masih terasa samar, aku menggelengkan kepalaku cepat.

“Huh?”

“Tidak… aku… bukan murid dari divisi dance,” gumamku pelan. “Kebetulan aku sedang melintasi ruangan ini dan…”

“Begitu,” ia mengangguk mengerti, kemudian bangkit berdiri untuk meraih tasnya yang tergeletak di sudut ruangan. Tampaknya, ia tidak merasa curiga melihatku yang sedang terpaku seperti orang bodoh, kehilangan kata-kata untuk mengutarakan sebuah alasan lain atas kehadiranku.

Ini adalah kali pertama untukku bisa berdiri sedekat ini dengannya dan mengobrol, walaupun –tentu saja –aura canggung masih melingkupi kami. Berusaha mengontrol perasaanku sendiri, aku mendongak dan mendapati sosoknya yang sedang mencari-cari sesuatu di dalam tas ranselnya.

“Kau akan membutuhkan ini,” aku berdeham dan mengulurkan sebotol air minum. Ia tertegun, tampak tidak yakin untuk menerima pemberianku begitu saja.

Gwenchanha, kau lebih membutuhkannya…” imbuhku lagi. Jong In mengambilnya, meneguknya hingga air di botol itu hanya tersisa setengah. Aku tersenyum puas, lebih kepada diriku sendiri.

“Terima kasih… Entah mengapa aku bisa sampai lupa untuk membawa minum hari ini,” jelasnya diiringi tawa kecil. Aku turut tertawa, menyadari dengan perasaan girang bahwa laki-laki yang selama ini kusukai sedang bersikap ramah kepadaku.

Keureom…” aku membungkukkan badanku singkat, kemudian berlalu pergi dari hadapannya dengan perasaan enggan. Sebagian dari diriku menolak untuk pergi, namun sebagian yang lain terus-menerus meneriakkan peringatan bahwa malam akan segera menjelang dan aku harus segera pulang.

Berat hati, aku mulai menapakkan kakiku, langkah demi langkah menuju pintu keluar tanpa benar-benar menyadari adanya suara ketukan sepatu lain yang mengiringiku. Sementara itu, suara tetesan air yang menghantam lapisan semen mulai tertangkap oleh indera pendengaranku. Hujan rupanya sudah memutuskan untuk turun, lebih awal dari perkiraanku sebelumnya.

Kutarik keluar sebuah payung putih dari dalam tasku, membentangkannya lebar-lebar. Baru saja aku hendak melangkah ke tengah guyuran hujan, sebuah suara mengejutkanku dan mengurungkan niatku untuk beranjak pergi.

“Hujan lagi…”

Aku menoleh, menangkap raut wajah Jong In yang tampak kesal. Ia mendongakkan kepalanya, menatap langit dengan pandangan muram. Diam-diam aku terkikik geli. Rupanya ia tidak membawa payung dan hujan pun sudah turun dengan lebatnya –cukup untuk membuatnya menunda keinginan agar bisa segera pulang.

Aku menghampirinya, perlahan mengulurkan payung itu. Jong In mengalihkan manik matanya ke wajahku, tampaknya ia pun tidak menyangka akan bertemu denganku lagi.

“Ada apa?”

“Aku… bisa mengantarmu pulang kalau kau mau… Maksudku, payung ini…”

Jong In mengulum senyumnya, merasa geli dengan kalimat tak beraturan yang meluncur keluar dari bibirku. Ia menelengkan kepalanya, ragu untuk menuruti ajakanku.

“Payung itu terlalu kecil untuk kita berdua, kau yakin?” tanyanya perlahan, yang langsung kujawab dengan anggukan mantap.

“Baiklah… aku hanya perlu berjalan sampai halte bus di depan sana. Tidak apa, kan?”

“Ya, tentu saja,” jawabku ringan. Jong In pun berjalan maju, menaungi dirinya sendiri di bawah payung putihku. Sedikit demi sedikit, ia mulai memperkecil jarak di antara kami –salah satu upayanya untuk memastikan tetesan air hujan tidak menyentuh tubuh kami.

Kami melanjutkan perjalanan pulang kami dalam diam. Hening, namun entah kenapa terasa menyenangkan. Tidak ada satupun dari kami yang merasa perlu untuk mengucapkan sesuatu dan memulai percakapan. Cukup seperti ini, saling berdekatan, sudah membuatku merasa senang tak terkira.

“Sudah sampai,” gumamku. Ia berlari kecil, berpindah dari bawah lindungan payungku ke halte bus itu. Jong In memandangku dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan, namun detik berikutnya, ia melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya dan berlari menghampiriku.

“Maaf sudah membuatmu terpaksa berdesak-desakkan di bawah payung sekecil itu.”

“Tidak apa, aku…”

“Setidaknya, ini akan sedikit mengurangi rasa bersalahku,” tambahnya lagi sembari menyampirkan jaket itu ke pundakku. Kehangatan langsung melingkupiku, baru sekarang aku menyadari bahwa ujung bajuku basah terkena cipratan air dan aku sudah menggigil kedinginan sedari tadi. Lebih dari itu, aku bisa mencium sebuah aroma manis –semacam wangi yang bisa kau hirup saat kau meneguk secangkir cokelat panas –menguar dari jaketnya.

Gomawo,” ucapku tulus. Ia tersenyum lagi, kemudian menggelengkan kepalanya cepat.

“Seharusnya aku yang berterima kasih. Aku sudah cukup merepotkan bukan?”

Aku hanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak berkeberatan. Jong In menepuk puncak kepalaku pelan, kemudian berjalan mundur, kembali berteduh di bawah halte bus itu.

“Ngomong-ngomong, namaku Kim Jong In.”

Aku tahu.

Tetapi, aku tidak mungkin mengatakan hal itu bukan? Jadi sebagai gantinya, aku pun menatapnya lekat-lekat dan meneriakkan namaku, mengalahkan derasnya deru hujan dan angin.

Senang berkenalan denganmu.

Like all those leaves that start to change their color…

Yellow, red, brown…

My feeling for you is changing too…

Day by day, I develop more and more love for you…

 

Masih sama seperti bulan-bulan lalu, aku kembali berdiri di ambang pintu ini. Kali ini, bukan untuk mengamatinya semata, melainkan menunggunya selesai berlatih. Sebuah perubahan besar yang kupikir tak akan pernah terjadi.

Seorang Kim Jong In jarang terlihat dekat dengan siapapun. Faktanya, ia memang tidak terlalu akrab dengan teman-teman sebayanya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu, apa yang berbeda dariku? Yang membuatnya mau tetap mengobrol denganku, bersikap seolah-olah kami ini sahabat dekat yang sudah saling kenal semenjak masa kanak-kanak?

“Aku hanya merasa nyaman saja saat bersamamu. Kau keberatan?”

Jawaban itulah yang ia lontarkan padaku beberapa saat lalu, sukses membuat darah mengalir deras di pipiku dan meninggalkan rona kemerahan disana. Ia mungkin menganggapku sebagai salah satu orang yang paling dekat dengannya, tetapi dari sudut pandangku, aku tidak pernah menganggapnya seperti itu.

Orang bilang, perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti terjadi di dunia ini. Dan mereka benar.

Perasaanku tampaknya mulai berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dulu aku hanya mengamatinya dari kejauhan, namun kini aku telah menjadi temannya. Dulu aku mengaguminya, namun sekarang aku menyayanginya lebih dari sekadar rasa kagum. Dulu perasaan ini hanyalah sekadar rasa suka biasa, tetapi bagaimana dengan saat ini? Mungkinkah apa yang sedang kurasakan ini disebut cinta?

“Hei, sudah lama?”

Jong In berdiri di sana, tasnya tersampir di pundak. Ia tersenyum lebar, seolah-olah kami sudah tidak bertemu berbulan-bulan lamanya. Kugelengkan kepalaku, membuat ujung-ujung bibirnya tertarik semakin lebar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menarik pergelangan tanganku menuju salah satu bangku panjang yang terletak di bawah rimbun pepohonan.

“Lapar?” tanyaku geli sembari mengeluarkan kotak bekalku. Ia mengangguk cepat, tanpa ragu mulai mengambil sumpit dan menyikat habis isi bekalnya sendiri. Kami berdua sama-sama larut dalam keheningan. Suara gigitan, kunyahan, maupun suara yang muncul saat kami menelan makanan menjadi satu-satunya musik yang melatarbelakangi suasana ini.

Bisa dibilang, aku sudah terbiasa dengan saat-saat seperti ini. Jong In memang jarang berbicara, ia hanya akan membuka mulut jika ada sesuatu yang perlu dikatakannya saja. Orang-orang di sekitar kami selalu mendapatkan kesan pendiam dan pemalu saat melihat dirinya, berpikir bahwa Jong In memanglah seseorang yang menarik untuk dikagumi, namun tidak untuk diajak berteman.

Tapi bagiku, aku menyukainya. Situasi di antara kami memang lebih sering diisi oleh kesunyian, namun aku tidak berkeberatan. Sepi, namun nyaman. Itulah kesan yang selalu kudapat saat bersamanya, baik dulu saat kami berjalan di bawah payung yang sama maupun sekarang saat kami sudah menjadi teramat dekat.

Desau angin dan suara dedaunan maple yang mulai berjatuhan kini menjadi melodi alam yang menggantikan obrolan di antara kami. Jong In beringsut mendekatiku, perlahan ia menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Aroma tubuhnya –yang menurutku selalu terasa seperti cokelat hangat dan lembut –merasuk ke dalam hidungku.

“Jong In-a…

“Biarkan aku meminjam bahumu sebentar saja. Aku lelah sekali,” bisiknya pelan. Pasrah, aku pun terpaku diam tak bergerak, berusaha membuatnya merasa nyaman.

Irama napasnya pun melambat, aku bisa mendengar dengkuran kecil keluar dari bibirnya. Seutas senyum simpul mulai terbentuk di bibirku, kuulurkan tanganku untuk menepuk puncak kepalanya ringan.

Kalau kau terus bersikap seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa menahan perasaanku lagi?

And autumn finally comes…

Like those leaves that start to falling into the ground…

Right now, I’m falling for you too…

               

“Jong In-a!”

Ia menoleh dan dengan cepat aku pun mengambil gambarnya menggunakan kamera polaroid yang tergantung di leherku. Bibirnya mengerucut, tanda ia merasa kesal dan terganggu. Aku tak peduli. Masih sambil terkikik senang, aku melangkah menghampirinya untuk memamerkan hasil jepretan itu.

“Sudah kubilang…”

“Ini tidak buruk kok! Lagipula, kau terlihat tampan!” belaku keras sembari menjauhkan kameraku dari jangkauan tangannya. Ia mendengus pelan, namun akhirnya mengalah untukku. Bola matanya kembali beralih, mengamati dedaunan aneka warna yang melepaskan diri dari rantingnya.

Entah mengapa, aku merasa bahwa sosoknya itu terasa sangat menyatu dengan latar belakang yang ada. Berdiri disana, dimana daun-daun keemasan mengguyurnya dalam gerak lambat, ia terlihat seperti sebuah lukisan yang selalu ingin kuabadikan.

“Aku benar-benar setampan itu ya?”

“Apa?”

Aku menoleh kaget, mataku bertemu dengan mata Jong In yang entah sejak kapan sudah berjarak beberapa inci saja dariku. Ia memandangku dalam-dalam, seolah ia dapat menembus dan membaca keseluruhan jiwaku lewat tatapan itu.

“Tidak, apa maksudmu?” bantahku cepat sembari memalingkan muka. Ini memalukan sekali.

“Tadi kau bilang aku tampan. Dan sekarang kau bahkan tidak bisa mengalihkan pandanganmu itu dariku,” imbuhnya lagi. Tanpa sadar aku beranjak mundur, berusaha menjauhkan wajah kami yang sudah terlalu dekat satu sama lain.

“A… Aku…” tergagap, aku berusaha memikirkan kata-kata lain untuk menyerang balik dirinya. Namun, alih-alih menemukan kosakata yang tepat, benakku malah kembali mengingatkanku akan rasa yang kumiliki untuknya. Perasaan yang selama ini kupendam, kini mulai menyeruak keluar, menolak untuk terus menyembunyikan diri di sudut hatiku yang terdalam.

Aku harus bagaimana?

Summer to autumn,

That is how I describe my story

Watching you from afar…

Starting to have a feeling for you…

Then falling right into your arm, hope that you will embrace me like what I do…

“Jong In-a…

Inikah saatnya? Saat yang tepat?

“Ya?”

Dua pasang manik mata kami bertemu. Kutatap iris hitam itu dalam-dalam, penuh dengan keseriusan. Saat ini, hanya kata-kata keramat itulah yang terus berpusar di dalam otakku, menyesaki benakku, dan menuntut untuk segera dikeluarkan. Kuhirup napasku dalam-dalam dan aku pun–

“Kim Jong In, saranghae…

–mengucapkannya.

The beautiful autumn leaves have already met the ground,

Making a beautiful pattern and color that cherish my day…

So, how about you?

Will you hold me like that?

Will you make a beautiful story with me?

Jawab aku.

Satu kata saja, kumohon.

Raut wajah Jong In tak terbaca, ia menatapku tanpa ekspresi. Jantungku berdentum keras, merasa takut dan gugup di saat yang bersamaan. Telapak tanganku mulai terasa dingin dan lembap, bibirku terkunci rapat setelah aku sukses mengungkapkan isi hatiku padanya.

.

.

.

.

.

Sedetik kemudian, perasaan hangat menjalariku. Kedua lengannya merengkuhku erat, membawaku ke dalam kehangatan pelukannya. Ia meletakkan kepalanya di atas pundakku, bibirnya menyapu ujung daun telingaku lembut. Bisikannya menciptakan sebuah nada, indah dan tak terlupakan.

Nado saranghae…

–END–

129 tanggapan untuk “Summer to Autumn”

  1. Wahh, malam-malam gini nemuin ff ini yg bahasanya lembut bgt. Sampe-sampe terbawa arus masuk ke dalamnya. Bahasanya tertata rapi, narasinya jg bagus 🙂 Btw, ini kan setiap member EXO diceritain ya? Aku sangat menanti yg sedang coming soon ya. Keep writting 🙂

    Suka

    1. haloooow, sesuai janji ini aku mau balesin komen kamu satu-persatu gituuu~ ah, makasih ya pujiannya, hati2 kalo kebawa masuk pesonanya kai, ntar pas mau keluar lagi susah lho (?)

      iya ini semua diceritain, yg coming soon tinggal punya Suho doang kok~ stay tuned and thanks ya 😀

      Suka

  2. Cerita ini berhasil membuatku tersipu… Makin suka deh ama Kai … Oh iya bahasanya bagus abis DAEBAK !! Seperti hembusan angin musim semi yang lembut membuat semua orang yang diterpanya terhanyut *buakakaka itulah perumpamaan yg tepat untuk menggambarkan bahasa yang kmu gnakan … DAEBAK again

    Suka

  3. Hai Kak Amer! Aku kambali~ /rusuh/
    Mungkin setelah ini akan ada aku dikomentar ff vignette series punya kakak, soalnya semalem udah baca sampai bagiannya si Kris kekeke~ Berawal dari baca tweet kakak sama Zuky yang ada di TL, akhirnya aku langsung cek IFK dan nemuin ff Junma yang ternyata ada series lainnya! Dan berakhirlah aku di sini /cerewet/ /kicked/

    Ok? Jadi untuk fanfict ini…..KEREN! *lol
    Suka pas endingnya, fluff gimana gitu(?) Dan enak dibaca, letak kalimat dan diksinya juga pas. Bikin fanfictnya jadi lebih apa(?) Bahasanya lembut, ya pokoknya gitulah kak ._.” Hehehe~ Bye bye /kabur/

    Suka

  4. WAH INI.. INI.. *speechless*
    Kok pas banget feelnya. Entah kenapa aku jadi suka Jongin akhir-akhir ini, dan aku nggak sengaja ngebaca ini. Dan akhirnya.. Akhirnya. AAARGH. *dilempar sandal* *rusuh banget*
    Aku suka banget ini. Apa lagi yang pas adegan foto-foto itu. Hadeuh, kak. TT

    Aku ngecekin komen yang aku buat dulu, kedampar di ffnya Suho yang judulnya ‘Felicite’ dan akhirnya nemuin ff ini. Aku pikir aku telat banget mengingat komen yang terakhir itu beberapa bulan yang lalu. LOL. Tapi bodo amat, kak. Ini bagus banget.

    Oh, iya. Aku Veli, line 98. Salam kenaal, kak! 🙂
    Maaf ngrusuhnya telat banget.

    Suka

  5. lagi iseng nyari ff di librarynya ifk dan nemu ini astaga :””” ini tuh alussss dan deep banget sampe2 aku bacanya gak mau scroll down/apaini
    agak aneh ya biasanya karakter jongin itu easy going dan di sini dia malah semacem ga punya temen gt ._. saking senengnya aku sampe belom baca lirik lagunya (eh? itu yang miring lirik lagu bukan? ._.v) dan langsung ke eritanya hehe ._.
    intinya ffnya keren!!!!! sebenernya aku udah baca ff kamu tadi tapi karena td koneksi lola banget jadi maaf i can’t comment :((( dimaafkan ya ya ya 😉

    Suka

  6. This is actually so sweeeeeeet.
    Aku speecheless dan berakhir dengan teriakan tidak jelas yang buat temen temenku pada noleh semua. Aaa kakaaaaaak. Ini baguuuus beeeeet.
    Aku bener bener gak bisa ngomong. Ini nulis kan bukan ngomong?

    oke, kayaknya aku harus baca part lainnya dulu deh.

    Suka

Leave Your Review Here!