[Movie Festival 2] Est Absurdum – Sasphire

est-absurdum

For IFK 3rd Anniversary

Special Movie

.

.

“….tak ada kehidupan yang tak absurd….”

.

.

Casted by:

Minhyun Nu’est as Tim / Wheein Mamamoo as Illa / Aron Nu’est as Aron

.

EstABSURDUM

This is Sasphire’s…

Fantasy, Surrealism, Family, Romance, AU!, Angst || Oneshot (3.484 Words) || PG+15

(terima kasih banyak buat kak Amer…. yang jadi tempat sharing buat fic ini… love you kak :* )

.

.

Setiap manusia punya akar kehidupannya masing-masing—di Kota Trutville ini. Karena itu, kamu tak akan pernah hidup—sejatinya—karena akar kehidupanmu tak pernah menyatu dengan tanah. Kamu juga takkan pernah mati—bisakah kamu beritahu padaku satu kepastian tentang kehidupanmu?—karena pohonmu selalu berbuah dan memberi banyak manfaat pada semua orang.

Nah, aku tahu tentang kamu ‘kan, Tim?

Hanya satu hal yang aku tak tahu-menahu tentang kamu: kamu hidup atau mati.

Kamu sendiri bingung saat aku menanyakannya berkali-kali. Tapi kamu selalu mampu menjawab—tentu saja asal-asalan:

“Anggap saja aku berada di antara hidup dan mati.”

Berarti kamu sekarat?

Tidak. Satu hal yang aku pikir pantas jadi jawabanmu. Satu-satunya.

Hidupmu terlalu absurd.

Kamu tidak mencintaiku

Kelopak bunga—yang entah ke berapa—baru saja kupetik. Rasanya hatiku perih. Entah sejak kapan aku begitu menyedihkan, karena kamu juga selalu menyedihkan. Aku tertular, kalau kamu mau tahu. Ada satu masa di mana kamu begitu menyayangiku sebagai wanita, ada juga saat di mana kamu melindungiku yang terlahir sebagai adikmu… kadang kamu begitu membenciku. Di saat kamu marah, kamu akan pergi ke pohon paling absurd di dunia—menurutku. Satu-satunya tempat kamu merasa leluasa. Satu-satunya tempat yang kamu anggap rumah.

Katamu, kamu tak pernah tahu rasanya hidup itu seperti apa. kamu mati tepat setelah tubuhmu ditarik keluar dari liang rahim ibumu, itu yang pernah aku dengar darimu. Aku tak percaya karena itu hal paling absurd yang pernah kudengar—oh, ayolah, kenapa semua hal yang berkaitan denganmu selalu absurd di mataku?—tapi kemudian, aku memilih untuk percaya. Kamu tak pernah bernapas. Saat aku memelukmu, aku tak pernah mendengar degup jantungmu.

Pasti, ‘kan?

Kamu tak punya jantung?

Kalau dipikir-pikir, wajar juga kalau kepribadianmu ganda. Kehidupanmu saja ganda? Katamu, kamu mati. Tapi kamu masih bisa berjalan seperti manusia biasa, pun fisikmu kasat mata nan bugar. Hanya saja, kamu tak perlu pusing memikirkan bagaimana menjaga kesehatan jantung, paru-paru atau organ dalam lain yang selalu menjadi momok bagi setiap insan yang takut mati. Kamu akan selalu hidup—atau mati?—apapun yang terjadi.

Kamu mencintaiku

Rasanya hatiku sejuk saat kelopak berikutnya sudah terbang mengikuti angin. Aku langsung ingat saat kamu membawakan buah-buahan aneh dari pohon absurdmu, tentu saja. Tepat setelah kamu dan kak Aron memanen buah-buahan yang juga absurd—seperti apel, tapi berwarna ungu yang rasanya lebih manis dari apel, tapi lebih asam dari strawberry belum layak panen—kamu kembali ke rumah, tersenyum lebar padaku, lalu berkata,

“Makanlah, sayang. Ini tidak beracun, sungguh.”

Bukan buah yang kamu berikan yang membuat aku tersenyum senang kala itu.

Panggilan darimu untukku yang baru kali itu kau ucapkan. Sayang.

Kamu terlalu manis saat itu, membuatku sedikit tak percaya kalau yang hari itu pulang kembali ke rumah adalah kamu. Tapi, aku menelisik lagi ingatanku setelah hari itu—dan sebelum hari ini—kamu selalu sebahagia itu setelah pulang dari pohon absurdmu.

Kalau setelah dari sana kamu jadi manis begitu, aku akan membiarkanmu kembali ke pohon absurdmu berkali-kali. Sungguh aku menyukaimu bagaimanapun kamu, tapi aku paling menyukaimu yang manis begitu. Tentu saja.

Kamu tidak mencintaiku

Kelopak terakhir. Batinku kembali perih. Kamu masih sibuk memanjat akar pohon absurdmu, itu yang kutangkap dari iris mataku dari kejauhan. Di saat aku sakit hati, kamu malah bersenda gurau dengan kakakmu, Aron. Makhluk yang telah merenggut kasih sayangmu dariku itu duduk di sela-sela dahan pohon, memetik buah-buahan di sana, lalu melemparkannya ke arahmu. Kamu masih bertengger manis di akar pohon absurdmu yang menjulang tinggi ke langit, tak peduli aku begitu terluka di sini. Kamu dan kakakmu begitu dekat jika dibandingkan dengan aku dan kamu.

Kalian senasib. Aku ingat kamu pernah mengatakannya.

Sebenarnya rasa cemburuku benar-benar tak rasional, mengingat Kak Aron hanyalah penjagamu, tak kurang dan tak lebih. Tapi tetap saja… menyakitkan.

Aku menghapus air mata yang telah berada di pelupuk mata, lalu mencabut bunga camelia yang kesekian kalinya.

Kamu menci—

“Illa!!” Kamu berteriak. Kak Aron pun spontan menoleh ke arahku, lalu kalian berdua berlari ke arahku.

“Anak nakal!” Kamu menjitakku, lalu menarik tanganku kasar dan mengajakku berteduh di bawah pohon. Meskipun pohonmu terbalik—akar di atas dan dedaunan tumbuh di bawah—entah mengapa pohonmu juga memberikan kesejukan. Apa karena jiwa-jiwa yang berkaitan dengan pohon itu sama sejuknya?

Seperti kamu yang terlahir dari salah satu buah pohon itu—absurd lagi ‘kan?—dan Kak Aron yang telah lama menjaga pohon itu—dan entah mengapa ia tak pernah menua.

“Kenapa kamu mencabut bunga itu lagi?!” Kamu mengomeliku lagi, sementara Kak Aron hanya melakukan pengobatan pada tanganku yang berdarah setelah aku menggenggam tangkai bunga yang berduri. Seperti biasa.

“Aku sudah bilang, durinya lebih tajam dari pisau manapun!”

Bunga yang sampai sekarang kamu tak tahu namanya itu memang memiliki duri yang terlampau tajam. Tapi duri-duri itu tak pernah memberikan rasa sakit yang lebih parah, jika dibandingkan dengan sikapmu.

Sikapmu yang tak pernah peka jauh lebih menyakitkan.

“Jangan terlalu cerewet, Tim. Illa baik-baik saja.” Kak Aron menggerakkan jari-jemarinya dengan cekatan, lalu menggunakan dedaunan pohon di sekitarnya—jangan bayangkan daun yang berguguran. Bayangkan daun yang menempel di dahan dan ranting, itu sempurna—untuk menyembuhkan lukaku.

Seperti biasa, lukaku langsung sembuh. Tak berbekas.

“Lihat? Aku baik-baik saja kak.” Aku tersenyum getir. Kak Aron melirikku sekilas, lalu kembali membaca buku di tempatnya semula. Sengaja ia lakukan itu untuk memberikan waktu bagi kita berdua.

Aku benar-benar tak tahu diri karena terus-menerus cemburu padanya.

“Kalau kamu lakukan hal bodoh semacam itu lagi, entah apalagi yang akan Ayah gunakan untuk membunuhku!!”

Kamu mengecewakanku lagi. Tapi aku juga tak bisa sepenuhnya menyalahkanmu. Orang tua kita—lebih tepatnya orang tuaku—menyayangiku lebih dari nyawa mereka, sedangkan kamu yang dua tahun lebih tua dariku harus menerima perlakuan yang tak seharusnya diterima seorang anak.

Aku tahu kamu sedih, karena aku selalu tahu kamu.

“Tak bisakah kamu membuatku hidup tenang, satu hari saja?”

Baru kali ini kamu memohon. Bukan pertanda baik, kurasa.

“Aku selalu hidup terkekang kalau ada kamu. Sebelum kamu lahir, aku sudah berfirasat apa yang akan orang tuamu lakukan padaku. Dan benar, setelah kamu lahir, yang mereka sayangi hanya kamu. Bisakah—

Aw!!”

Kamu mengelus kepala belakangmu. Kulihat satu buah dari pohon absurdmu baru saja mendarat ke tanah. Kak Aron melemparkannya saat melihat aku menangis. Ia membelalakkan matanya padamu, lalu menggerakkan kepalanya cepat, memberi isyarat padamu untuk mengajakku berbicara di tempat lain. Ia juga menyuruhmu untuk meminta maaf, terlihat dari gerak bibirnya.

Kak Aron memang cocok dipanggil Malaikat daripada penjaga pohon, lebih-lebih pohon absurdmu itu.

Kamu mendengus kesal, lalu melingkarkan lenganmu ke pundakku, bergegas mengajakku pergi.

Kamu tidak mencintaiku

Sebelum mengucapkan apa yang ingin kamu ucapkan, kamu melihat jauh ke langit. Kamu tak pernah silau akan cahaya matahari. Aku bingung akan keberadaanmu. Siapa—atau apa—kamu? Kenapa kamu begitu putih bersih—tak berdarah namun tak juga pucat? Kenapa kamu bisa lahir kembali—sebagai buah dari pohon absurdmu—setelah kamu mati dan terkubur sedalam mungkin, setelah orang tuamu yang asli pergi? Kenapa kamu bisa menjadi benih dan bertunas?

Dan kalau kamu memang lahir dari pohon itu, kenapa tak ada bayi lagi yang lahir dari pohon itu setelah kamu? Kenapa yang keluar hanya buah-buah biasa?

“Terlalu banyak ‘kenapa’ di otakmu.” Kamu berucap. Huh, aku selalu lupa. Kamu manusia yang paling absurd, bahkan pikiranmu.

“Ada banyak hal yang tak mampu dijelaskan di dunia ini. Jumlahnya sama dengan banyak hal yang mampu dijelaskan.” Kamu berbicara lagi.

“Tahu darimana?” responsku.

“Hukum alam selalu imbang, kalau kamu tahu.”

Kamu berbicara seolah kamu sangat mengerti apa itu alam, siapa yang menciptakan alam, kapan alam itu tercipta, di manakah tepatnya alam itu lahir, dan bagaimana alam itu tercipta. Kamu selalu—seolah-olah di mataku—menyatu dengan alam. Sungguh, elemen hidupmu selalu absurd. Bahkan pemikiranmu tentang alam juga absurd.

“Kamu…” ucapanmu menggantung di udara. Kamu melihat mataku merah, habis menangis. Kamu jadi ragu untuk mengucapkan kalimat yang lebih kasar dari sebelumnya, aku tahu. Kamu tak pernah tega melihatku menangis. Dari sini aku juga bingung, kamu menganggapku wanita, menganggapku adik… atau apa?

“Kalau kamu sayang padaku, bisakah kamu tak menggangguku lagi?”

Ucapanmu membuatku bingung. Linglung.

“Kalau kamu masih menganggapku kakak, tolong hargai pilihanku.”

“Kak…”

Kamu tersenyum. “Orang tuamu, sejak awal tak pernah menyayangiku. Mereka mendengar tangisanku saat aku baru saja keluar dari pohon absurdku itu, lalu mengangkatku sebagai anak. Mereka memilih untuk mengangkatku—bukan bayi lain yang lebih jelas asal-usulnya—karena mereka tak perlu mengurus ini-itu hanya demi mengangkat anak. Mereka mengangkatku hanya untuk memancing kelahiran anak kandung mereka. Kebetulan, berhasil.”

Iya. Aku tahu itu. Tapi bisakah kamu berhenti mengatakannya? Kak Aron menyuruhmu pergi denganku bukan untuk ini. Ia menyuruhmu meminta maaf padaku, ingat?

“Aku dilahirkan bukan untuk dicintai atau mencintai, dibenci atau membenci… aku tak pernah dilahirkan untuk apapun.”

Maka dari itu, aku akan membuatmu pantas untuk dicintai. Kamu masih tak mengerti maksudku? Ayolah, kamu manusia yang paling absurd memang, tapi disaat bersamaan, kamu begitu cerdas. Harusnya kamu tahu, Tuhan selalu menciptakan hal-hal yang bermanfaat, sekalipun benda yang dianggap paling hina. Pun dirimu.

“Aku tak akan pernah punya perasaan, Illa.” Kamu kembali berucap. Sudah tiap hari aku mendengarnya. Kamu sangat peka pada perasaanku, kalau dipikir lebih seksama lagi. Kamu selalu ingin mengalihkan perasaanmu yang tak berubah dari dulu, karena kamu takut aku sakit.

Kamu mencintaiku

“Lalu, untuk apa aku hidup?” aku semakin pasrah setelah keheningan mencekik kita cukup lama.  Burung camar lagi-lagi terlihat beterbangan di langit senja, seperti biasa. Selalu saat aku mengucapkan kalimat itu.

“Kenapa aku harus hidup dengan mencintai orang yang sampai kapanpun tak akan pernah membalas cintaku?”

Kamu masih diam.

“Lalu, untuk apa kamu diciptakan?”

Itu kalimat yang baru hari ini aku tanyakan padamu. Kamu berjalan mendekat ke arahku, seolah sudah tahu jawabannya. Mungkin kamu sendiri sudah sering menanyakan hal itu pada dirimu sendiri? Atau pada kak Aron?

“Kadang, kita harus terus mencari alasan yang tepat agar kita tahu untuk apa kita diciptakan.”

Kamu tak pernah bilang ‘hidup’. Kamu selalu bilang diciptakan. Kamu selalu menyadari apa adanya kamu, apa adanya kak Aron, apa adanya aku. Kamu sadar betul, kamu sangatlah absurd karena kamu tak sama dengan manusia lain. Bahkan ucapanmu yang selalu membingungkan, seperti ucapan yang barusan.

“Sok,” aku tertawa mengejek, “kamu mengatakannya seolah kamu sudah tahu, untuk apa kamu diciptakan.”

Kamu mengangguk. “Sudah lama aku tahu.”

Aku mengernyit, menagih kalimat lanjutan. Tapi kamu hanya memandangku lama, seolah aku sendiri tahu akan kalimat lanjutannya. Seolah aku ada kaitannya dengan ‘penciptaan’ dirimu yang bahkan sampai sekarang aku masih sulit mencernanya.

Dasar anak pohon!

“Lalu, untuk apa kamu diciptakan?”

“Soal itu, hanya individu yang bersangkutan yang boleh tahu.”

Kamu tidak mencintaiku

Aku tertawa lagi. Ucapanmu semakin membuatku muak. Satu hal yang aku curigai: kamu tercipta untuk saling mencintai bersama kak Aron. Satu-satunya orang yang selalu berhasil membuatmu tertawa. Orang yang selalu menjadi prioritas utamamu, bagaimanapun keadaanmu.

“Oh, apa karena tujuan kamu diciptakan adalah ‘mendampingi’ kak Aron seumur hidupnya? Rasa cintamu pada kak Aron sangatlah tidak wajar, Kak!”

Aku membentakmu untuk pertama kalinya, tapi kamu tak terkejut sama sekali. Kamu tersenyum, lalu meremas pelan kedua pipiku, seolah menertawakan kebodohanku.

“Dia ayah kandungku, Illa…”

Aku terperangah. Kamu bercerita.

Kamu bilang, setelah kamu mati saat lahir, kamu dimakamkan tepat setelah ibumu juga mengembuskan napas terakhirnya. Katamu, ayahmu terus-terusan menangisi kepergianmu. Tiap hari, setetes air mata selalu membasahi makammu. Tidak tersedu-sedu, begitu ucapmu saat kamu melihat pikiranku yang membayangkan kak Aron menangis sesengukan di makammu. Kamu meluruskan pikiranku dengan menjelaskan, kak Aron orang yang bijaksana, sabar, selalu mampu menerima kenyataan. Saat itu, kak Aron hanya terpukul.

Lalu Tuhan membayar kesabarannya dengan menghadirkanmu lagi dalam kehidupannya, walau dengan cara yang berbeda.

Aku harus bingung atas keabsurdan hidupmu untuk ke sekian kalinya.

“Aku menyayangimu, Illa. Walau aku sendiri tak tahu bagaimana perasaan itu ada karena aku tak punya hati nurani.”

Ungkapanmu barusan membuatku tak tahu harus berkata apa.

“Aku tak akan bertinggi hati dengan berpikir, kamu mencintaiku. Aku tak pernah punya harta ataupun kebaikan yang mampu membuatmu bisa mencintaiku. Tapi aku harap… rasa sayangmu padaku sebagai kakak tak akan lebih sampai kapanpun.”

Saat aku menangis, kamu diam. Aku tahu sepenuhnya, kamu tak tahu menahu soal perasaan insan manusia yang memiliki beban hidup, beban mencinta. Kamu berusaha menenangkanku, tapi tak tahu caranya. Notabene kamu tak pernah sedih.

“Maaf.”

Kamu mencintaiku

Aku pulang, membiarkanmu terus tinggal di pohon absurdmu bersama kakak—ralat—Ayahmu, lalu menunggumu kembali ke rumah. Padahal aku tahu itu keinginan yang absurd, tapi aku tetap berharap kamu pulang.

Kamu selalu baik. Kamu selalu menuruti apa yang kuinginkan. Saat aku memintamu pulang, kamu akan pulang, meskipun kamu benci sekali pada orang tuaku.

Hari mulai petang dan aku baru menjejakkan kakiku ke halaman rumah. Ibu pasti sudah menyediakan air hangat untukku, sementara Ayah akan memasakkan sup jagung kesukaanku. Mereka tak akan marah meskipun aku pulang larut malam sekalipun. Tapi beda denganmu. Jika kamu pulang terlambat—terlebih kamu sudah tak pulang berhari-hari seperti sekarang—kamu hanya mendapat amukan dan cambukan. Betapa menyedihkan jika aku mengingatnya lagi.

Aku baru membuka pagar rumah ketika mataku menangkap keberadaan setangkai Lilac di taman. Aku tak pernah melihat bunga itu sebelumnya, bahkan orang tuaku juga tak pernah menyuruhku menyiram bunga itu.

Aku menghampirinya. Biasanya, aku melihat keindahan pada tiap-tiap bunga, tapi kali ini tidak pada bunga itu. Lilac itu layu.

Entah mengapa, secercah bayangan masa lalu terlintas di pikiranku.

.

.

.

Aron tertawa senang saat anaknya—Tim—baru saja bisa berjalan. Umurnya tepat satu tahun kala itu. Orang tua angkatnya pergi ke kuil di desa seberang, lalu menitipkan Tim pada Aron yang baru saja mereka kenal sebagai pemuda desa berumur 23 tahun. Tidak bertanggung jawab memang. Tapi apa yang bisa diharapkan dari mereka yang memungut seonggok bayi hanya untuk memancing datangnya buah hati ke dalam rumah tangga mereka?

Aron tahu itu, karena dulu ia dan istrinya persis seperti itu. Ingat Tuhan hanya saat mereka butuh. Jika mereka sudah memiliki anak sejak pernikahan mereka berlangsung, mungkin mereka akan lupa pada Tuhan selamanya.

Orang tua angkat Tim bukan tipe orang yang taat beribadah, sama dengan dirinya di masa lalu. Itu yang membuat Aron menyesal. Penyesalan itu muncul saat istri dan anaknya mati di saat yang sama, seolah Tuhan tak mengizinkan ia merasakan kebahagiaan barang sedetikpun. Lalu penyesalan semakin besar saat Tuhan memberikan karunia-Nya untuk dirinya.

Anaknya terlahir kembali.

Ia mewujudkan ungkapan terima kasih dan penyesalannya pada Sang Pencipta dengan memutuskan untuk menjadi utusan Tuhan.

Melihat tingkah orang tua Tim, lelaki bijak itu tak ingin kejadian yang pernah menimpa dirinya—kepedihan akan kehilangan—harus dialami mereka. Mereka sudah berbaik hati mengangkat Tim menjadi anak mereka—meskipun perlakuannya tak begitu baik—maka dari itu Aron memutuskan untuk melakukan sesuatu. Saat Tim berlarian mengelilingi halaman, Aron mengikuti langkahnya, lalu menanam benih kehidupan—Tuhan memberikannya pada Aron melalui mimpi—di sudut halaman.

Lilac Ungu.

Aron tersenyum puas, lalu menggendong Tim.

“Tim, sebentar lagi kamu punya adik.”

Tim tersenyum. Dua gigi susunya yang baru tumbuh terlihat menggemaskan.

.

.

.

Kamu mencintaiku

Aku mengerti sekarang, apa gunamu diciptakan, apa guna kak Aron diciptakan. Kalian berdua pusat kehidupan banyak orang, termasuk aku. Kamu tak ingin mengungkapkan apa gunanya kamu diciptakan, karena kamu tak mau aku tahu. Atau mungkin, kamu sudah memperkirakan, jika kamu menjawab yang sebenarnya, aku hanya akan mengaggapmu pembual.

Kamu yang katanya terlahir tanpa perasaan ataupun hati nurani, nyatanya peduli padaku yang selalu egois terhadapmu.

Aku sungguh malu jika mengingat semua yang pernah kulakukan padamu. Rasa-rasanya aku tak memiliki muka lagi untuk bertemu denganmu.

“Illa…” Ibu melihatku dari jendela. Aku tersenyum, lalu mencabut bunga itu hingga ke akarnya. Aku menggenggamnya erat. Rasa sakit mulai menjalar dari kakiku.

“Ayo masuk…”

Aku berjalan menghampiri pintu rumahku. Ibu memelukku erat, sebelum akhirnya membiarkanku berjalan masuk.

“Bunga apa itu, Illa? Kenapa kamu mencabut bunga layu?”

Aku tersenyum. “Bunga yang layu harus mati, ibu.”

Ibu mengernyit. Jelas saja, karena ibu tahu sekali betapa aku begitu menyayangi tumbuh-tumbuhan, terutama bunga. Bagaimana mungkin aku memperlakukan tumbuhan sekasar itu—mencabut bunga layu, lalu menggenggam tangkainya erat seolah melampiaskan seluruh amarah pada bunga itu? Ibu juga hapal pada tingkahku yang selalu merawat bunga layu sampai bunga itu kembali segar. Kalaupun bunga layu yang kulihat harus ditakdirkan mati, aku tetap akan merawatnya dengan baik.

Tapi tidak untuk Lilac ini.

Tidak untuk bunga yang memiliki akar kehidupanku.

“Illa?”

Pandanganku mulai buram. Terlihat kekhawatiran yang begitu kental pada ibu, membuatku semakn tahu aku tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Rasa sakit sudah menggerogoti tubuhku sampai ke ujung kepala.

“Illa?!!”

Mungkin ini akhir hidupku?

Aku masih mampu melihat ekspresi kekhawatiran ibu dan Ayah saat aku merasakan dinginnya ubin rumahku, tapi setelahnya… aku seperti merasakan kegelapan dan kehampaan.

Menuju kesunyian yang sepertinya abadi?

.

.

.

Kamu… mencintaiku?

Aku enggan membuka mata, tapi aku masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggil namaku, lalu disusul suara berat ayahku. Semakin lama semakin keras terdengar.

Mau tak mau, akhirnya aku membuka mataku.

“Illa…” ibu memelukku erat. Ayah yang seumur hidup tak pernah kulihat kelembutannya kini menangis terharu.

Aku masih hidup, ternyata.

Kenapa? Bukankah akar kehidupanku sudah kucabut?

.

Tak jauh dari pandangan, aku melihat ke luar. Horizon kemerahan adalah keindahan pertama yang kutangkap dari mataku setelah sekian lama aku enggan melihat apapun, meskipun aku membuka mata. Aku berpaling dari Ibu, aku mengabaikan Ayah…

Kalau bisa, aku ingin tak mengacuhkan hidup.

Tapi kelopak Lilac di luar sana yang berkilauan karena pantulan matahari membuatku kembali acuh pada hidup.

Tunggu!

Lilac?

Aku berlari ke halaman, mengabaikan panggilan ibu yang masih khawatir padaku. Katanya, aku tak sadarkan diri berbulan-bulan lamanya. Tabib yang memeriksaku bahkan tak mampu mendefinisikan penyakit yang menyerang tubuhku.

Mereka telah berpikir moderen—lebih dari yang kubayangkan, aku rasa—makanya mereka lupa petuah para leluhur bahwa kehidupan ada di tangan Tuhan, dan semua elemen kehidupan selalu berkesinambungan. Manusia dengan tumbuhan atau sebaliknya, hewan dengan tumbuhan atau sebaliknya…

Bagi orang-orang yang masih primitif, jika mereka paham apa yang kupegang sebelum aku tak sadarkan diri, mereka pasti tahu.

Aku sudah mencabut akar kehidupanku—jalan tercepat untuk pergi dari kehidupan yang semakin aku dewasa, aku semakin tak tahu batas keabsurdan dunia ini.

Elemenku Lilac. Sudah sewajarnya, jika Lilac itu mati, aku juga mati.

Kenapa Lilac itu hidup?

Aku memperhatikan bunga itu dengan jarak kurang dari satu jengkal. Bahkan bunga itu tak lagi layu. Aku sempat berpikiran itu bunga Lilac yang lain, tapi tidak mungkin. Jika aku sudah ditakdirkan hidup dengan elemen Lilac ungu, maka tak akan ada Lilac ungu yang lain—bahkan yang serupa sekalipun—yang mampu menopang kehidupanku.

Bagaimana mungkin Lilac yang sama mampu hidup kembali setelah kucabut?

Bahkan seingatku, kelopak bungaku sudah rontok sebelum aku kehilangan kesadaran malam itu.

Aku semakin heran saat kuncup bunga Lilac yang berada di dekat tanah mulai mekar seperti bunga Lilac yang lain. Ada sepucuk surat di dalamnya.

Aku ragu untuk membacanya, namun penasaran telah mendesak diri untuk membacanya.

Est Absurdum

Hidup kami memang absurd, bahkan mungkin kematian kami nantinya—yang kami tidak tahu kapan, di mana dan bagaimana—akan lebih absurd daripada kehidupan kami.

Tapi, aku dan Tim tak pernah ingin manusia lain yang telah ditakdirkan hidup normal malah mati dengan cara yang absurd.

Lebih-lebih kamu.

Aku terperangah membacanya.

Kak Aron

.

.

.

Tidak. Kamu tidak mencintaiku

Kamu menyayangi hidupku—hidup orang lain, lebih tepatnya—dari pada hidupmu sendiri—karena pada dasarnya, kamu tak akan pernah hidup dan tak akan pernah mati.

Ayahmu Aron memang penjaga pohon—yang sekarang kupahami sebagai penjaga setiap elemen kehidupan, mengingat dia adalah utusan Tuhan—dan kamu sama sepertinya. Kamu adalah penjaga kehidupan di kota kita yang sekarang rasa Ketuhanan pada masing-masing penduduknya makin memudar.

Aku tahu semuanya sekarang, tepat setelah pohonmu menghilang dari pandanganku pagi ini. Tepat setelah aku tahu Ayahmu menanam kembali Lilac-ku. Ia tak ingin aku mati dengan absurd.

“Pohonku bisa berpindah tempat, lho.”

Aku mengernyit saat kamu mengatakannya kapan hari, jauh sebelum aku tahu hubungan antara kamu dan ayahmu.

“Kata kak Aron, pohonku akan berpindah dengan sendirinya jika kehidupan di sekitar kami telah rusak dan tak mampu diperbaiki. Ada kalanya juga pohonku pindah ketika kehidupan di sekitar kami telah lebih baik daripada kehidupan leluhur mereka, lalu kami akan mencari daerah yang butuh pencerahan.”

Saat itu aku semakin tak mengerti. Kamu tersenyum, paham bahwa aku tak akan semakin mengerti meskipun kamu menjelaskannya semakin detail. Kamu mengacak rambutku, lalu berkata,

“Suatu saat, kamu pasti tahu maksudnya.”

Iya. Aku sangat tahu sekarang.

Kehidupan kami di Trutville tak lebih baik dari kehidupan leluhur kami. Kehidupan di sekitar kalian telah rusak dan tak mampu diperbaiki.

Hidup kalian absurd, jadi tak mungkin kalian mampu bertahan di lingkungan yang membuat keabsurdan kalian lebih menyedihkan.

Kalian tak berharap dilahirkan ke dunia ini, kalian juga tak pernah ingin hidup di garis tengah seperti itu—hidup tak hidup, mati tak mati. Tapi kalian juga tak mampu menolak apa yang telah digariskan dari Tuhan untuk kalian. Kalian hanya mampu bertahan menuruti perintah yang telah dititiskan untuk kalian… entah sampai kapan.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum saat sehelai daun yang terbang bersama angin mendarat di telapak tanganku. Ada tulisan lain.

“Tenang saja. Keabsurdan sudah melekat di kehidupan kami. Kami akan baik-baik saja di manapun kami berada.”

Tulisanmu, Tim.

“Kamu tetap adik kecilku, kamu tetap anak perempuan ayahku yang paling ia sayangi… maka tetaplah menyayangi kami.”

Bagaimana mungkin kamu menuliskan kalimat absurd itu? Tanpa perlu kamu mintapun, aku akan tetap menyayangimu, menyayangi Ayahmu—Ayahku juga ternyata…

“Salam dari Kehidupan—

Est Absurdum.”

24 tanggapan untuk “[Movie Festival 2] Est Absurdum – Sasphire”

  1. KAK SASA
    INI….INI… BENER-BENER MOVIE FESTIVAL MANTAAPPP

    Woah, aku seneng banget bacanya dari atas sampe abis. Dan emang ya, kak Sasa menguasai banget Fantasy hehe. Dan cieeee sukses Surrealismnya! 😀 Aku suka gimana kakak ngehubungin ide surreal ke fantasi sama ke love your naturenya. Nyambung banget! Dan mengenai elemen-elemen kehidupannya juga penjelasannya jelas dan runtut, yang baca jadi ngerti. Tapi teteeep, surreal di awal kentaaalll banget! Sukses ! 😀

    Oiya! Castnya Whee In kok aku ngerasa ngesuit banget :’) Aku bayangin Whee In rambutnya digerai gitu kan kayak pas di MVnya Mr. Ememoho yang dia sama Moon Byul ngedance berdua di akhir setelah lagunya abis. Duh, aku suka Mamamoo!

    Oiya! Si Yoonnya Winner cocok juga kak kalo jadi Tim! Karakternya fleksibel-gak-fleksibel, di sisi lain, melekat banget di pikiraaan. Aku sukaaak! 😀 Tapi Minhyun juga suits it banget! Ya Allah bias aing hehehe…. semua karakter di sini kuat dan ah, ke berapa kali nih aku ngomong : I LOVE IT!

    Oiya oiya oiya! Posternya 😦 posternya dong aih aih aih ITU MAH KEREN ATUH DIRI INI NGELIAT POSTERNYA AJA UDAH NAKSIR BERAT. Kak Sasa, ini favorit banget dari poster sampe isinya. Oiya, kata kak Amer kalo Fantasi itu enaknya ditulis pake Sudut pandang ke tiga, tapi di sini, TETEP JJANG meski pake sudut pandang si aku. Aih banget lah aku sukak sukak sukak.

    Dadaaaahhh Kak Sasa! Sukses terus dear Sasphire, sukses juga untuk IFK! 😀

    Suka

    1. aduh nakk… baca komen kamu pengen nangis gak sih… setelah sekian lama akhirnya kamu komen juga haghag… mana panjang lagi :”D

      btw, nyambung? aduh makasih lho… kemaren pas ngarangnya dan baca ulang, aku minder sendiri, semacam: duh nanti kesannya maksa gak sih? kayak yang dipaksa cocok aja.. apa sih pohon kehidupan segala -_- tapi karena udah kepentok dan nyari ide lain pun malah tambah absurd (salah satunya Minhyun jadi anak idiot) jadi ya mending gak usah

      haghag.. Wheein yang nge-dance sama Moonbyul bukannya di MV don’t be happy? x)

      betewe aku gagitu kenal sama member Winner, sekedar suka lagunya doang.. kapan-kapan kenalin dong /dilempar

      dan soal cover~~ makasih ya itu abal banget buatnya padahal :”D

      sekali lagi makasih sayang… muah muah buat kamu

      Suka

  2. lafff aku ikut ngeabsurd boleh lha ya :’)
    laff sama ceritanya, laff sama scripwriternya, laff ifk X3

    salam kenal ya Kak Sasa, aku seneng deh 😀

    Suka

  3. huah Kak… posternya keren… ceritanya keren… ini bener – bener sureall, fantasy dan keren!!!! fantasi nya bener – bener deh… gak kebayang~
    pertamanya sih emang sesuai dengan judulnya… hihi agak absurd, tapi setelah makin ke bawah-bawah… baru nge dong ceritanya…
    dan speechless deh… bingung mau comment apa lagi… 🙂

    Suka


  4. Aduh ceritanya aku suka banget!!
    Segala hal tentang keabsurdannya bener2 absurd /?
    Awalnya sedikit bingung tapi lama2 jadi ngerti hehehe

    Suka

  5. karena surrealism itu sejatinya memang bagian dari fantasy, fic ini mengekspresikannya dengan bagus. Kamu menjelaskannya dengan perlahan, membimbing orang dengan sabar. Aku cuma nangkep sedikit pesannya, tapi belum sepenuhnya mengerti. Care to explain for us? 🙂

    Suka

  6. FIRSTLY YEY, aku kepoin nih nih nih, dan pas liat poster sama genre nambah menyemangati untuk baca padahal tadi pagi w tau bakal ada ulangan mtk dan YEY salam dari kehidupan, est absurdum menyertai eak eak eak
    dimana pun aku buku matematika secara langsung terlihat mengelilingi eak /plak/
    duh kenapa jadi bahas ini so kambek DAN INI SUREAL anjir anjir anjir jadi kebayang anak VIXX kemaren yang dijadiin castnya sama kamu dan kakmer kak untuk buat ff yang surrealism begini kenapa aku tertohok, btw aku meski ga kenal nuest yak, tetep aja seneng bacanya kak HUHU SUKSES NI YEEEE ❤

    suka banget tau gak kak, perpaduan cara kamu nulis, sudut pandangannya kamu-kamu-an lagi duh kalo pake sudut pandang kedua aron ya yang jadi pencerita? huhu aku kepo ;( terus yak, INI NYAMBUNG BANGET ASLI SAMA LOVE YOUR NATURE ;( meanwhile draftku yang bakal terbit besok serasa mau aku hapus ;( bikos its too absurd dan ga tau lagi aku sendiri arahnya bakal kemana huhu ;(

    BAYANGIN SEMUANYA MUKA SEDU ITU ENA BANGET ENA KAK ENAAAAA
    INI NENDANG HAYOLOH
    Best la huhu ;( melekat sekali punyamu, kakmer, dan kaktiwi di otakku huhuhu ;( berniat membaca punya kaknyun ntar yang menduduki posisi pertama eak eak
    Tau gak plotnya aja udah buat aku ngeh gimana gitu ini udah kedua kali aku baca ini sekaligus dan I FEEL FREE EAK TUDEI HARU JJANGLA ❤
    DAN YOU KNOW INI THE BEST SURREAL YANG PLOT TWIST KESAYANGAN /aduh apaan ness/
    aku pertama udah ngeh, tapi gegara cepet-cepet aku gak baca yang akhiran, keburu jam 6 dan aku belom mandi sih tadi HAHAHA, terus pas baca lagi sekarang… UWOH TERNYATA ITU AYAHNYA ILLA JUGA DUH aku suka karakternya ;( SUKAK BANGET ;( ff ini berasa aku pengen save sukak deh BANGET ;( berbeda jauh dengan yang aku prediksiin pas awal, da aing ma apa atuh kalo kata temenku ;(

    yasudala, aku mau ngegalo liat ff dulu kak,
    so see you ;( maaf kalo cuma nyepam HOHO kebiasaan ;(

    Suka

    1. komen kamu So Long ya… makasih… jadi bingung mau bales gimana :”) dan soal surreal-nya, makasih banget lho kalo kamu bilang ini nyambung, dan masalah cover… padahal itu aku asal bikin dan gak sesuai sama harapan xDD

      Suka

  7. Kakakk….. serius ini brilian sekali T_T
    Fantasy, surrealism dan tema ‘love your nature’-nya nendang banget kakkkk T_T

    Tapii, aku hanya menangkap sedikit dari pesan yang ingin disampaikan dari cerita ini. Dan mungkin juga untuk beberapa reader lainnya. Aku memang kurang ‘ngeh’ kalau soal fantasy, karena dasarnya memang kurang bisa imajinasi gitu deh x_x Mungkin kakak bisa bantu jelaskan untuk kita 🙂

    Pokoknya yang jelas ini keren huhu ;A; Big thanks for this beautiful story, keep writing! ^^

    Suka

    1. oke sayang… bagian mana nih yang gak mudeng? =) kalo soal pesan moral sih, intinya ya..seabsurd apapun hidup kita, kita harus bisa melihat dari segi positifnya… jadi keliatan kalo ga ada manusia yang ga berguna di dunia ini…begitcu =)

      Suka

  8. SASAAAA!!!
    Yuhu, akhirnya bisa kesampean review fic kamu yang inii! XD
    PERTAMA, ITU DEMI APA POSTERNYA KEREN BADAI, SASAAA! Ya Tuhan, demi apa suka banget sama posternyaaa. :3
    Lalu judulmuuu itu Saaa. Judulmu bikin kecanduan buat bacanyaa. Serius! Aku rasa magnetmu bener-bener bisa narik perhatian, Sa!

    Pembawaan ceritamu yang rapi, runtut bikin aku betah baca. Dan YES! Surrealnya dapet banget, Sasaaa! Aku bahkan agak lupa kalo ini Surreal gegara keasyikan baca kalimat-kalimatmu.
    Cara kamu deskripsiin karakter2 di sini AKU SUKAK BANGET SASA! Yah, meskipun aku ga begitu tau Wheein, tapi percayalah feelnya dapet kok, Sa!

    Fantasynyaaa… Surrealnyaa…. Duh, kamu berhasil gabungin dua genre itu dengan keren, Sasa. Bener2 sukaaa! Dan idemu ini juga sesuai sama tema dan ga terkesan maksa sama sekali.

    Duh, pokoknya keren buat Est Absurdum! Naksir berat sama poster juga judulmu, dek! :3 Good Job, Sasa! ^^

    Seeyaa,
    Riris. ❤

    Suka

    1. kak… soal cover makasih :”) itu padahal gak sesuai harapan lho :”)
      dan soal judul, entah kenapa kepikiran judul itu pas udah setengah jalan fic-nya, langsung kepikiran “kok ceritaku absurd sih” semacam itu :”) jadi bisa dibilang ini judul versi putus-asa-kepentok-tanpa-ada-ide-lain

      dan makasih ya review-nya… bingung mau ngomong apa lagi :”D /terhura

      Suka

  9. Halo, Sasa. Maaf ya baru mampir malem-malem.
    Saya suka sekali dengan ceritanya, berasa beda, penuh kesan spiritualitas yang mendalam. Tidak sekadar fantasi, tapi saya merasakan kalau cerita ini banyak bercerita lainnya lewat sebuah kata “absurd”. Ya dunia ini memang absurd ya, tapi kadang manusia hanya perlu menjalaninya tanpa perlu bertanya 🙂

    Dari gaya penulisannya, sangat pas, karena genre yang kamu ambil memang sedikit rumit, tapi kata-kata rangkaian kamu tidak merusak dan membuat pembaca perlu membaca dua kali untuk tahu maksudnya. Jadi semacam membantu pembaca juga untuk mengerti. Dan saya suka dengan pesan kehidupan yang kamu selipkan ke dalam metaforanya. Terasa pas dan elegan. Tapi, lagi-lagi bukan metafora yang sulit dicerna, malah mempercantik ceritanya.

    Pribadi saya suka dengan perpaduan Tim dan Illa; paradoks yang baik; yang satu cuek, tapi yang selalu bertanya. Lewat dialog-dialog mereka yang mungkin singkat-singkat, namun membuat cerita ini menjadi menarik dan menjawab banyak pertanyaan yang ada di benak pembaca.

    Hanya yang saya sedikit kurang sukai adalah bagian yang kamu beri italic, dari awal, memang sih, saya orang yang memilih cerita yang kesannya seperti membuat sakit kepala. Saya rasa, dengan adanya bagian italic tersebut, kesan absurd dan misteri yang kamu bangun di awal malah terkesan seperti langsung membuka kartu. Menurut saya, lebih baik apabila, bagian tersebut tidak dibuat secara soliter, lebih bagus kalau dibuat berbaur dengan dialog-dialog Tim dan Illa, sehingga pembaca dibuat harus menyimak cerita ini. Ketimbang ada satu part dengan modus italic, yang sudah pasti, pembaca tahu, ini bagian yang tidak boleh dilewatkan, sehingga menjadi perhatian nomor satu ketimbang bagian lainnya, jadi semacam surprise yang mencolok, alih-alih, bersembunyi.

    Overall, saya rasa, cerita ini keren banget. Seperti kamu sudah menemukan style sendiri untuk bercerita, karena jujur, saya kalau disuruh menggarap cerita surealis, pasti akan bertanya-tanya, tentang sebuah ide yang relevan, tapi ide soal pohon itu hebat. Kendati memang dengan penjelasan-penjelasannya yang tidak masuk akal (tapi ini kan cerita fantasi, siapa peduli), tapi semuanya seolah bisa diterima di benak pembaca untuk sebuah latar Trutville.

    Terus menulis ya 🙂

    Suka

  10. Demi apa, kenapa aku baru baca ff keren begini sekarang? Suka banget cara kak Sasa mendeskripsikan hal-hal fantasy di dalamnya. Imajinasi kakak unik dan itu menarik banget.

    Suka

  11. Wuah…ini fic yg memang agak sedikit absurd tp i love it….gk pernah kebayang kalo akhriny gitu….bnran fic yg keren meskipun pertmany gk ngerti

    Suka

  12. Wuah…ini fic yg memang agak absurd tp i love it….gk pernah kebayang kalo akhirnya gitu….bnran fic yg keren meskipun pertmany gk ngerti

    Suka

  13. Sumpah, awalnya aku bener2 gak nyambung loh sama maksudnya. Aku juga sempet baca ulang kalimat yang gak aku mengerti. Tapi pas inti ceritanya udah nyantol di otak, baru nyadar kalo ff ini keren banget!!!!

    Aku suka sama karakternya Illa di sini. Soalnya menurutku karakternya Illa paling jelas :v Atau aku aja yang masih gak nyambung?

    Tapi aku bener2 suka ceritanya. Apalagi bahasanya. Sumpah rapi banget ^^

    Disukai oleh 1 orang

Leave Your Review Here!