[Vignette] Train From Aarhus

Processed with VSCO with a6 preset

Train from Aarhus

by sleepingpanda

UP10TION’s Kim Jinhoo & OC’s Math | Vignette | Romance; Slight!angst | General

 

+

The very first train from Aarhus, take me to you

 

+

Jinhoo mengayuh rodanya menyusuri sepanjang jalanan Nyhavn yang belum terlalu ramai pengunjung. Kebanyakan pelaut dan perahu-perahunya masih belum terlalu mengisi dek-dek si pelabuhan komersil, yang artinya ia punya cukup waktu untuk tiba di rumah Math sebelum waktu sarapan. Rencananya, kalau sempat, mungkin ia bisa mencuri sepotong muffin untuk perutnya yang hanya diisi kafein sepagian ini; ia benar tak menemukan apapun dalam lemari pendinginnya bahkan untuk sekotak susu; hanya ada sekaleng kopi sisa semalam. Ia berharap Math punya beberapa potong untuknya, itupun kalau Math tak bangun kesiangan untuk bisa memanggang beberapa loyang muffin.

Hujan mengguyur Kopenhagen semalam, membuat Jalanan Nyhavn pagi itu terasa lebih lembab dengan bau trotoar basah keluar masuk hidungnya selama ia berkendara; terkadang diselingi harum daun thyme milik dapur-dapur restoran bergaya klasik, berjejer rapi dengan cat warna-warni dan daun jendelanya yang masih belum sepenunya dibuka. Tak masalah baginya, toh ia tak pernah berdeklarasi membenci bau hujan seperti kebanyakan pria.

Sepedanya berbelok curam menuju kanal bata yang lebih sempit dan sepi, tepat satu blok sebelum ujung jalan Nyhavn mempertemukannya dengan cakrawala. Menyapa sebentar Densen, si pemilik toko roti berambut pirang langganan Math―yang langsung dibalas dengan aksen Danish kental miliknya. Ia menarik bibir sebentar sebelum kaki-kakinya mempercepat kayuhan sepeda.

Menurut Jinhoo, menghapal jalanan sempit Kopenhagen tak pernah sesulit menebak hati wanita―ia pernah besar disini sebelum pekerjaan mengharuskannya pindah ke kota lain. Apalagi kanal-kanal menuju rumah Math.

Ah, iya, Math si wanita berambut legam.

Jinhoo menemukan undangan sewarna pastel diantara timbunan kertas dan edaran di kotak suratnya pagi kemarin. Entah sudah berapa hari ada disana, terakhir kali Jinhoo mengecek kotak suratnya adalah seminggu lalu; membuat isinya sukses berjejal dan berjatuhan saat Jinhoo membukanya. Kebanyakan adalah undangan seminar Medical Emergency dan sisanya berupa tagihan listrik dan telepon.

Dan undangan pernikahan sewarna pastel dari Math membuatnya harus mengambil kereta cepat paling pagi dari Aarhus.

Rem sepedanya berdecit halus tepat di depan rumah bercat hijau mint pudar. Pot-pot krisan yang menggantung di kusen jendela tak pernah berubah dari dulu; terkadang membuatnya rindu untuk berkunjung dan mencicip pai apel nyonya Crishtensen. Pintunya sudah diganti, berbeda dengan kali terakhir Jinhoo melihatnya. Engselnya yang dulu ia lihat berkarat sudah berubah menjadi kuningan yang lebih baru. Sepeda tua yang biasa bertengger di depan rumah sudah lenyap entah kemana, mungkin Math menjualnya ke tukang loak karena ia pernah bilang kalau gadis itu membenci benda tersebut seumur hidupnya; yang sampai saat ini Jinhoo tak tahu alasannya.

Rumah Math selalu tampak sederhana di mata Jinhoo, sama sederhananya dengan gadis berambut legam yang setiap hari membawa cengiran hangat masuk kedalam. Dengan genting abu-abu pucat yang tampak berdebu dan daun-daun jendela yang selalu terbuka ketika pagi tiba, menebarkan harum kukis yang baru dipanggang sampai sudut terkecil dari blok tersebut.

Jauh dari kata menarik, namun kehangatan di dalamnya tak bisa ditandingi apapun.

“Jinhoo!” Sebuah pekikan menyambut Jinhoo setelah beberapa kali ketukan pintu, bercampur dengan derit engsel pintu yang terbuka sebagian.  Si gadis menghambur keluar, memeluk Jinhoo kepalang erat hingga bahkan badannya hampir limbung kebelakang. “Kau bahkan tak bilang mau mampir!” Senyumnya merekah seperti matahari, meradiasi kehangatan secara berlebihan. Mungkin penampilan rumah Math sudah jauh berbeda dengan apa yang tertinggal diingatan Jinhoo, tapi senyum gadis ini sama sekali tak berubah. Tetap sama, sebagaimana mestinya.

“Hai, Math.” Balas Jinhoo. “Maaf tak menelepon dahulu, aku cukup tahu kok kalau kau suka dengan kunjungan dadakan.”

“Yah, Jinhoo, selalu.” Ada tawa renyah yang lepas dari mulut si gadis. Matanya membentuk bulan sabit sempurna. “Terlebih lagi jika tamu dadakannya adalah kau. Masuklah, kebetulan aku sedang memanggang berloyang-loyang muffin cokelat―kesukaanmu.”

Ha, intuisinya benar-benar tak pernah mengkhianati.

Jinhoo menemukan dirinya tengah terduduk, menyesap teh barley yang agak pahit. Math, ia mungkin gadis ramah dengan senyuman termanis yang pernah Jinhoo lihat―setidaknya sampai saat ini, tapi ia sedikit payah dalam membuat teh. Katanya, teh pahit baik untuk tubuh. Jinhoo tahu sih itu cuma sekedar pembelaan atas kepayahannya dalam membuat teh dan Jinhoo sama sekali tak pernah keberatan.

Wanita itu tengah sibuk di depan panggangan, mengeluarkan seloyang besar penuh dengan muffin-muffin cokelat yang sungguh, bau-bauannya begitu saja masuk dan meninju syaraf-syaraf otaknya. “Bagaimana perjalanan Aarhus-Kopenhagen?”

“Tiga jam yang tak terlalu menyenangkan dan kau harus tahu, stasiun Aarhus terlihat mengerikan pukul empat pagi.” Lelaki itu mendengus atas perjalannya yang tak cukup menyenangkan karena bahkan ia tak bisa melihat apapun pada pagi buta. “Hei, kau tak penasaran kenapa aku rela mengadakan kunjungan tak terprediksi ke Kopenhagen?

Gadis itu menatap Jinhoo sebentar kemudian menyeringai, membenamkan diri kembali di balik meja konter. “Mau muffin lagi?”

Well, itu sebenarnya bukan jawaban yang ingin Jinhoo dengar dari gadis itu. Jinhoo hanya ingin memancing pembicaraan. Seingatnya tak sekalipun Math membuka mulut tentang pernikahan atau tentang undangan yang ia temukan di kotak suratnya sepagian ini. Biasanya sih, para gadis akan sungguh antusias jika menyangkut hal-hal seperti ini, namun berbeda kasus dengan Math―ia malah menumpuk sepiring penuh muffin lagi di atas meja.

“Math, aku berbicara tentang undangan yang dikirim kerumah, entah dikirim kapan, yang pasti aku baru menemukannya dua hari lalu, maaf untuk yang itu.” Ada sedikit rasa bersalah pada ekspresi Jinhoo. Salahkan pekerjaannya, ia bahkan jarang tidur di kasurnya sendiri. “Padahal kau bisa memberitahu lebih awal lewat ponsel, Math, aku pastikan bisa langsung membacanya. Kecuali kau hidup di zaman perang dunia saat surat-menyurat sedang trend.”

Yang diajak bicara kelihatannya masih tak begitu peduli. “Ah, apa aku perlu membuat kukis pisang juga?”

For God’s sake, Math. Kau dengar tidak sih apa yang kukatakan?”

Suara debam halus merubah seluruh atensi Math dari panggangan, iris si gadis menatap lurus Jinhoo sebentar dari balik konter sebelum berpindah pada undangan sewarna pastel yang kini berada di atas meja―Jinhoo barusaja melemparnya ke atas meja omong-omong, jemarinya menunjuk-tunjuk benda itu dengan frustasi menuntut penjelasan.

Mungkin Math memang terbiasa tidak peka, namun pria itu sadar jika sesuatu sedang tidak berjalan dengan semestinya ketika ada perubahan ekspresi di wajah gadis itu. Jeda yang mencekik tiba-tiba terbentuk begitu saja diantara mereka. Pandagannya melembut, ada sedikit muram yang tertoreh di wajah si gadis, bercampur dengan senyuman-senyuman yang dipaksa.

Sekon berikutnya Jinhoo memilih untuk berkata. “Sesuatu sedang terjadi, ya.”

Math tak lantas menjawab, membiarkan sedikit getir menyelip di bagian-bagian tubuhnya sekaligus membuat Jinhoo yang terlampau penasaran meletakkan cangkir tehnya, menunggu suara apapun keluar dari mulut si gadis.

“Tidak ada yang akan menikah, Jinhoo.”

“Batal?” Mendadak dahi Jinhoo dipenuhi kerutan-kerutan saat gadis itu mengangguk pelan. “Bisa dijelaskan?”

Setelah menarik napas sepanjang mungkin hingga memenuhi paru-parunya Math menapak, membawa tubunya ke kursi kayu di sebelah Jinhoo, meninggalkan begitu saja apapun kegiatannya di balik konter termasuk semua noda tepung yang menghias sebagian wajahnya. “Ingat tidak kalau dulu kita sering bermain sepeda sampai dimana roda sepedamu rusak. Kau terjatuh Jinhoo, luka-luka yang tergores di sepanjang tungkai dan siku terasa sangat sakit dan tak dapat ditahan membuat air matamu begitu saja jatuh. Dan saat itu kau jadi begitu membenci bermain sepeda denganku.”

Jinhoo tak pernah menebak kalau arah pembicaraan mereka akan berakhir pada kejadian bertahun-tahun silam―yang dimana ia menjadi sedikit kesal karena Math masih mengingat bagaimana dirinya menangis begitu keras di hadapan seorang gadis. Yah, walaupun saat itu umurnya masih sepuluh tahun. Bahkan lukanya masih membekas hingga sekarang, berupa bercak kecokelatan tipis di sepanjang tungkainya.

Senyum kembali merekah dari bibir sewarna ruby milik si gadis, berkilat terkena pemoles bibir. “Roda sepedaku rusak, Jinhoo. Aku kebingungan sampai pilihan menggantinya dengan yang baru dan membuang yang rusak menjadi pilihan terbaik.”

Penjelasan yang sedikit rumit, namun Jinhoo agaknya bisa paham. Bertahun-tahun bersama Math membuatnya bisa mengerti semua kebiasannya. Gadis ini terlampau mahal untuk selalu gampang dimengerti setiap gestur dan semua perkataannya.

“Sepertinya aku terbiasa bersamamu sehingga mengira semua lelaki akan sama baiknya seperti kau.” Sedikit kikikan lepas dari bibirnya.”Tapi ternyata tidak,yah.” Lanjut Si Gadis.

“Kau baik?”

Sejenak hangat mengalir di sepanjang pembuluh darahnya. “Absolutely, sir. Tak pernah sebaik ini.” Dan konversasi mereka diakhiri dengan Math yang bangun dari kursinya, kembali melanjutkan perkerjaan yang sempat terinterupsi. Separuh adonan kukis pisangnya belum dipanggang dan ia tak mau ada bermangkuk-mangkuk adonan menumpuk di dalam lemari pendinginnya hingga besok.

Detik itu Jinhoo menopang dagu dengan bibir yang melengkung hampir mencapai telinga.

Tak seperti namanya, Mathilda ―berarti kuat dalam bahasa Danish― kadang Jinhoo menemukan titik-titik airmata berjatuhan dari pelupuk mata gadis itu; yang akan selalu segera diusapnya, kemudian berlagak kuat walaupun semua orang tahu ia sedang tak baik-baik saja. Namun untuk hari ini Jinhoo sadar, si gadis telah mampu mereprentasi namanya dengan baik. Bahwa ia bisa kuat untuk hal apapun dan mengerti bagaimana dan kapan ia harus menahan air mata.

“It’s gonna be alright.” Cengiran lebar terbentuk di bibir Jinhoo; dengan tak mengurangi rasa simpati yang tidak ia sadari telah ia buat-buat selama beberapa menit kebelakang. Hatinya selalu berkata berkebalikan. “Time heals everything.”

Sedikit yang ia atau gadis itu tahu, kelegaan yang terasa ganjil mengalir dalam diri Jinhoo untuk sesaat walaupun ia tahu semua cerita yang Math katakan pagi ini merupakan kabar yang tak terlalu baik. Ia membiarkan saja gelenyar-gelenyar perasaan aneh itu menjejali hatinya toh itu tak terasa terlalu buruk baginya. Bilang ia sedikit egois sampai dimana ia sama sekali tak merasa sedih atas undangan yang teronggok begitu saja di dekat jarinya, kini tak lagi berarti apapun.

Sampai dimana pemikiran tentang mengganti roda sepeda Math dengan miliknya sempat melayang di otaknya.

Ia pikir ia sudah agak gila.

 

“Yeah, and thanks for coming, Kim Jinhoo.”

 

 

Kau tahu, Math. Apakah masih terpikir untuk kembali ketika bahkan ada lebih dari enam juta lelaki di dunia? Salah satunya―

 

―aku, mungkin?

 

 

End

 

 

 

11 tanggapan untuk “[Vignette] Train From Aarhus”

  1. Jadi tadinya math mau nikah trus ga jadi? Iya kan ya? Lalu ada kesempatan buat jinhoo dong? *eh*
    Etapi……… ayolah math sama jinhoo aja ya 😀
    Betewe aku suka nama OC nya 🙂 Mathilda dan panggilannya Math. Keren banget ^^)b penggambaran tempatnya juga suka. Kebayang gimana ademnya *loh*
    Nice fic, asa ^^)bb

    Suka

    1. kakyenii yey seratus buat kaka hehe itu nama mathilda aku cari dari nama orang-orang denmark kak eh kebetulan artinya bagus hehe makasih kakaa udah mampir 🙂

      Suka

  2. Asaaa duh kok bisa dapet bahan setting di luar-luar negeri gini sih (first, Finland, now Denmark) keren banget tau ga. Dan aku kok hepi ya si Math ga jadi nikah HAHAHA ya maksudnya kan berarti si jinhoo masih ada kesempatan eaaa eeaaa.
    Omong-omong pengen tau nih, FF ini Asa ketik via ponselkah? Karena di sini aku sering menemukan penulisan kata depan yang digabung, which is ngga seharusnya demikian.
    Over all, ceritanya sweet dan aku langsung bayangin cuaca di sana yang dingin-adem gimanaaa gitu.
    Nice job, Asa ^^

    Suka

    1. KAKAECIIII iyah kak aku lagi suka banget sama yurop hiks pengen kesana :” si jinhoo mah gitu emang suka modus, nggak kaa aku lewat pc tapi aku emang suka ga perhatian gitu hiks makasih kaak koreksinyaa makasih juga kaecii udah baca :DDD

      Suka

  3. kak Asaaaa :’)
    ini fic up10tion terketjeh dan favoritku bangeet xD suka kalau ada author ff ngegambarin setting tempatnya detil, bacanya tuh kek akunya juga ada di situ xD
    kak rikuest Wei atau Xiao dong, belum ada kan yg pakai mereka? kbnyakan wooshin :v
    nice fic kak ‘_’)/
    ps : aku suka posternya ❤

    Suka

Tinggalkan Balasan ke lyri Batalkan balasan