[Movie Festival] The Crossroads by Tsukiyamarisa

the-crossroads

/ / T H E  C R O S S R O A D S / /

a special-movie from Tsukiyamarisa

Cast(s): [EXO] Kris Wu and Suho/Kim Jun Myeon || Minor Cast(s): [EXO] D.O/Do Kyung Soo, Kai/Kim Jong In, Luhan || Duration: One-Shot (almost 8000 words) || Genre: Brothership/Friendship, Psychology, AU, slight!Surrealism-Fantasy || Rating: PG-15 || Disclaimer: I own the poster and storyline. Do not repost without my permission!

Summary:

Welcome to the crossroads.

You have some choices to decide your fate.

.

Sebuah pertemuan antara Kim Jun Myeon dan Kris Wu pada suatu malam menjadi awal dari segalanya. Bagaikan rantai besi yang telah membelit, semua keputusan mereka akan menjadi penentu bagi takdir hidup satu sama lain.

.

.

.

.

HAPPY ANNIVERSARY IFK!!

AND HAPPY READING!

 

*****

––t h e c r o s s r o a d s––

“Kau masih di sini.”

Tuk!

Jun Myeon meletakkan gelas tinggi yang berisi cairan merah pekat itu ke atas meja, kemudian mendongakkan kepalanya. Maniknya bertemu pandang dengan sepasang iris hitam kelam milik seorang pemuda jangkung berambut pirang, sosok yang sama sekali asing di matanya.

“Apa ada larangan untuk itu?”

“Tidak, tidak.” Pria asing itu menggelengkan kepalanya, lantas menunjuk kursi yang berada tepat di depan Jun Myeon. “Boleh aku duduk?”

“Silakan saja, Tuan….” Jun Myeon menggantungkan ucapannya, menyelipkan nada tanya di ujung kalimat. Tidak banyak orang-orang di tempat ini yang mau berhenti sejenak demi bertukar sapaan, terlebih untuk saling membagi obrolan antara satu sama lain. Jun Myeon merasa bahwa ia perlu mengenal nama orang ini. Orang yang telah mengajaknya bicara setelah sekian lama.

“Kris Wu. Panggil saja Kris.”

“Kris. Kalau begitu kaubisa memanggilku Jun Myeon,” sahut Jun Myeon sembari mengulas senyuman ramah. Ia menelengkan kepalanya, mengamati Kris dengan pandangan penasaran sebelum berucap, “Jadi Kris, mengapa kau juga masih bertahan di sini?”

“Tempat ini nyaman,” gumam Kris asal seraya melambaikan tangannya ke seluruh penjuru ruangan. “Kedai minum ini adalah salah satu tempat peristirahatan terbaik dari semua yang ada.”

Jun Myeon mengangguk pelan untuk menyetujui perkataan Kris, walaupun sesungguhnya ia punya alasan lain untuk tetap berdiam di sini dan tidak melanjutkan perjalanannya. Ia memutar-mutar gelas di tangannya, menahan rasa sedih yang masih setia bercokol di dada.

“Sudah hampir satu bulan berlalu bagiku.” Kris berkata-kata, memotong lamunan Jun Myeon.  “Bagaimana dengan kau?”

Jun Myeon menundukkan kepalanya sejenak, dengan hati-hati menyesap jus cherry yang tadi ia pesan. Ia mengelap sudut bibirnya sekilas, sebelum akhirnya berkata, “Kurang lebih sama. Aku tidak benar-benar menghitungnya.”

Mmm, aku bisa memahaminya. Bagaimana dengan tujuanmu?”

“Tidak tahu,” balas Jun Myeon cepat, suaranya sedikit pecah di akhir kata. “Aku… bingung.”

Kris tidak membalas perkataan Jun Myeon, membiarkan hening menggantung di udara. Mereka berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing, sepenuhnya mengabaikan suasana kedai yang semakin ramai seiring dengan datangnya malam. Kursi-kursi diseret dan menimbulkan bunyi berderit di atas lantai kayu, sementara gelas-gelas kaca saling berdenting dan mulai terisi oleh aneka macam cairan.  Jangan lupakan juga kehadiran aura kelam nan serius yang mengisi setiap sudutnya. Serius? Oh, tentu saja, mana mungkin ada orang yang bisa bercanda dan tertawa di dunia ini?

“Kurasa ini sedikit pribadi, tetapi….” Kris berucap ragu, berharap agar perhatian Jun Myeon kembali kepadanya. Ia berhasil, karena si pria yang lebih pendek itu kini tengah menatapnya dengan sorotan ingin tahu.

“Lanjutkan.”

“Apa yang menghambatmu?”

Cairan merah di dalam gelas Jun Myeon sedikit bergolak, dan Kris bisa melihat jemari Jun Myeon yang sedikit gemetar kala ia berusaha menstabilkan letak gelas itu di atas meja. Roman mukanya terlihat penuh duka, pun dengan manik hitamnya yang kini mulai berkaca-kaca.

“Maaf, aku tak bermaksud––”

“Kautahu ‘kan, apa yang terjadi jika kita tiba di sebuah persimpangan dan memilih untuk berbelok ke kiri?” Jun Myeon berbisik pelan, suaranya serak karena harus menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Kris mengangguk pelan, paham sepenuhnya dengan hal itu. Aturan sederhana yang menjadi dasarnya untuk bertindak di tempat ini.

Tetap berjalan lurus, pertanda bahwa kau masih belum bisa mengambil keputusan.

Belok kanan, dan kau akan kembali pada hidupmu yang normal.

Dan kiri….

Well, itu pilihan bagi orang-orang yang sudah saatnya mati.

Kris meneguk salivanya, tangannya otomatis terulur untuk menepuk punggung tangan Jun Myeon dengan sikap menguatkan. Meskipun ia tidak tahu persis kejadiannya, namun ia bisa memahami soal rasa takut dan sedih yang tengah ditanggung oleh Jun Myeon.

“Sahabatku,” kata Jun Myeon sembari memejamkan matanya, seolah berusaha mengingat sesuatu. “Aku terdampar di sini bersamanya, dan setelah dua minggu berlalu, ia memutuskan untuk mengambil jalan itu.

“Aku sempat bertanya kepadanya, apa alasan dibalik keputusan itu. Namun, Kyung Soo––itu nama temanku––hanya tersenyum pilu dan berkata bahwa pilihan itu terasa tepat baginya.  Aku tak mengerti, sungguh. Mengapa ia memilih mati, padahal ia masih punya jalan untuk kembali?”

“Terkadang, kita tidak bisa memilih.”

Jun Myeon tertawa kecil mendengar tanggapan Kris, kekehan yang diwarnai dengan nada sarkastis. “Tidak bisa memilih? Kukira kita berada di tempat aneh ini untuk menentukan sebuah pilihan.”

“Itu benar,” sahut Kris cepat, nyaris tanpa jeda. Pandangannya tertuju pada jalanan di luar sana yang bisa dibilang cukup lengang. Ia menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Tetapi takdir juga ikut menentukan apa yang akan menjadi pilihan kita, bukan? Apa kau… bisa menolak takdir?”

Sebuah jalan buntu bagi Jun Myeon. Skak mat. Ia tak lagi memiliki argumen untuk mendebat, pun membantah kebenaran dalam ucapan Kris. Meskipun menyakitkan, tetapi itulah faktanya. Mana mungkin ia bisa menghindar dari garis kehidupannya sendiri?

Jun Myeon kembali bungkam, memikirkan hari-hari yang telah ia lalui di tanah asing ini. Itineris, itulah nama dunia yang tengah ia jajaki kini. Sebuah persimpangan antara hidup dan mati, tanah dimana jiwanya terasa mengambang dan terombang-ambing. Ia tidak hidup––mengingat informasi pertama yang Jun Myeon dapatkan ketika ia sampai di Itineris adalah fakta bahwa tubuhnya tengah terbaring koma di muka bumi. Namun, ia juga tidak mati––setidaknya belum, karena takdir sama sekali tak menuntunnya untuk berbelok ke kiri seperti Kyung Soo.

“Kris.”

“Ya?”

“Apa yang akan terjadi jika kita tidak kunjung membuat pilihan?”

Sejujurnya, Jun Myeon takut.

Ia takut jika suatu saat nanti, nasibnya hanya akan berakhir seperti Kyung Soo. Dipaksa oleh takdir untuk memilih jalan kematian. Perkataan Kris tadi sedikit menyentakkan sebuah kesadaran di dalam dirinya. Kyung Soo bukannya memilih untuk mati, ia memang sudah tak lagi punya waktu untuk hidup––baik di muka bumi, maupun di alam antara seperti Jun Myeon saat ini.

“Itu retoris, Jun Myeon. Kurasa… kau sudah bisa menebaknya?” dengus Kris seraya menarik gelas Jun Myeon dan meminum isinya tanpa permisi. Ujung-ujung bibirnya berjingkat ke atas, sedikit mengejek. “Coba, biarkan aku mendengar teorimu.”

Kening Jun Myeon berkerut seketika. Ia membuka mulutnya untuk memberi jawaban, namun detik berikutnya ia membiarkan bibir itu terkatup rapat lagi. Bukan, ia bukannya merasa ragu. Ia hanya belum siap mengucapkannya. Bagi Jun Myeon, mendeklarasikan isi pikirannya secara lantang sama saja artinya dengan mengakui realita itu sendiri.

Ia belum siap.

“Tidak ada gunanya menunggu, Jun Myeon.” Seolah bisa membaca pikiran pemuda di depannya, Kris kembali melontarkan sebaris nasihat. “Mau menundanya hingga waktumu habis?”

“Tentu saja tidak!” Jun Myeon berseru lantang, membuat beberapa pasang mata terarah kepadanya dengan pandangan tidak suka. Pria itu berdeham malu, kemudian melanjutkan ucapannya dengan suara pelan. “Maksudku, aku ingin punya kesempatan untuk memilih.”

Well, secara tak langsung kau sudah menjawabnya.”

Jun Myeon merebahkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu mengembuskan napas panjang. Kesal. Kris seolah menarik keluar semua pemikiran dan rasa takut yang ia pendam dalam-dalam selama ini. Memaksa Jun Myeon untuk menerima kenyataan, mendorongnya untuk menghadapi semua hal yang akan terjadi.

“Sudah jelas ‘kan….” bisik Kris sambil mengedikkan kepala. “Kalau kau tidak membuat keputusan, maka kau tinggal menunggu saat kematianmu tiba. Sesederhana itu.”

“Ya, aku tahu,” desis Jun Myeon seraya bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kedai minum itu tanpa banyak kata. Ia butuh udara segar, sedikit tiupan angin malam yang sejuk untuk menjernihkan isi otaknya. Samar-samar, ia bisa mendengar langkah kaki lain yang membuntutinya, namun ia tak lagi ambil pusing. Kris––dibalik semua omongannya yang terkesan menyebalkan––telah membangkitkan sesuatu dalam diri Jun Myeon. Entah apa itu, yang jelas Jun Myeon merasa sedikit lebih bersemangat.

Rembulan menyambutnya, bias sinarnya yang keperakan memancar ke segala arah. Pohon-pohon berjajar di sepanjang jalan, terkadang diselingi oleh beberapa kedai minum atau tempat peristirahatan bagi para pengembara sepertinya. Jun Myeon membiarkan kelopaknya menutup lagi, meresapi setiap desau angin dan suara gemersik dedaunan yang menghiasi sepinya malam.

Jun Myeon merindukan segalanya.

Berbeda dengan muka bumi yang dipenuhi oleh berbagai bangunan dan hiruk-pikuk manusia, Itineris tampak seperti tempat yang begitu terasing dari peradaban. Hanya sebuah jalan tanah selebar sepuluh meter yang ada di Itineris, lengkap dengan persimpangan-persimpangan arah yang menampakkan diri tiap seratus kilometer sekali. Selain itu, hanya kekosonganlah yang ada di sini. Hampa, sehampa hati para jiwa manusia yang terdampar di Itineris dan hanya bertemankan rasa bimbang.

“Jun Myeon, apa kau tak ingin melanjutkan perjalananmu?”

Jun Myeon menyentakkan kepalanya dengan cepat ke arah Kris, memandangi lelaki itu dengan tatapan menyelidik. Sebenarnya, apa yang membuat Kris begitu tertarik pada dirinya dan terus-menerus berusaha menyambung percakapan seperti ini? Jun Myeon tidak mengerti.

“Apa pedulimu?”

“Aku… bolehkah aku melanjutkan perjalananku bersamamu? Maksudku, jika kau sudah ingin berjalan lagi.”

Rahang Jun Myeon pun jatuh seketika, ekspresi wajahnya dipenuhi oleh rasa bingung dan heran. Hampir semua jiwa manusia di Itineris menolak untuk berinteraksi, bahkan cenderung tak mau menjalin hubungan yang cukup dekat layaknya Kris dan Jun Myeon sekarang. Mereka terlalu sibuk berkutat dengan semua keraguan yang ada di hati mereka, memikirkan pilihan demi pilihan yang akan menentukan nasib raga mereka di bumi.

Yang pasti, baru kali ini Jun Myeon menemukan seseorang seperti Kris.

Orang yang––mungkin––peduli pada dirinya.

Orang yang kini sedang mengajukan diri untuk menjadi partner perjalanan Jun Myeon––hal yang sangat jarang terjadi di tempat ini.

“Bagaimana?”

Jun Myeon tak butuh waktu banyak untuk berpikir. Ia kesepian, itu jelas. Dan Kris––lupakan sejenak fakta bahwa mereka baru saling mengenal hari ini––telah membuatnya merasa cukup nyaman. Satu hal lagi, Jun Myeon juga teramat penasaran dengan apa motif dibalik tindakan Kris sebenarnya. Apa yang membuat pria tinggi itu memilih Jun Myeon sebagai teman perjalanan, mengingat adanya ratusan bahkan ribuan jiwa manusia yang lain di sini?

Ia ingin tahu.

“Baiklah. Teman?”

Kris mengulurkan tangannya untuk menjabat milik Jun Myeon, lalu mengangguk yakin.

“Teman.”

 

***

Pada akhirnya, Jun Myeon memilih untuk berjalan.

Ia tidak tahu pasti apa yang mendorongnya untuk kembali merajut langkah di atas jalanan berdebu ini, tetapi ia sama sekali tidak menyesali keputusan yang telah dibuatnya. Perkataan Kris tempo hari masih terus bergema di benaknya, dan mungkin, itulah salah satu penyebab mengapa Jun Myeon mau keluar dari fase istirahatnya. Dari zona nyamannya.

Ia tidak mau kehabisan waktu, tidak sebelum ia bisa membuat pilihan.

Sejujurnya, Jun Myeon belum tahu apakah ia akan memilih untuk berbelok ke kanan atau ke kiri. Sebagian besar jiwa di Itineris memilih untuk mengambil jalan ke kanan, bangkit dari ketidaksadaran dan kembali menyapa udara bumi. Beberapa yang lain––mereka yang telah putus asa dan menganggap hidup tak lagi berarti––tanpa ragu membelokkan kaki mereka ke kiri, menghadapi kematian walaupun sebenarnya mereka masih punya sisa waktu untuk tetap hidup.

Lalu sisanya adalah orang-orang yang belum sempat menjatuhkan pilihan. Mereka yang dipaksa untuk menapakkan langkah ke kiri, menyambut kematian yang sudah menjemput. Kyung Soo adalah salah satunya dan Jun Myeon tidak mau bernasib seperti itu.

Ia ingin hidup, ia merindukan bumi. Ia ingin keluar dari sini.

Tetapi… egoiskah dia jika mengambil pilihan itu?

“Apa yang kaupikirkan, pendek?”

Jun Myeon nyaris saja melompat kaget tatkala suara Kris menyapa indra pendengarannya. Si jangkung itu tengah menyandarkan dirinya pada sebatang pohon, iris kelamnya yang tertuju pada Jun Myeon penuh akan rasa ingin tahu.

Ah, Jun Myeon lupa kalau teman barunya ini adalah seseorang yang keras kepala. Ia benar-benar mengikuti Jun Myeon dengan setia, membuktikan bahwa ia sama sekali tidak main-main dengan perkataannya malam itu.

“Bukan apa-apa. Dan jangan panggil aku pendek!”

“Kenyataannya ‘kan begitu,” sahut Kris sembari mengangkat bahunya. Namun, sejurus kemudian mimik wajahnya kembali berubah serius. “Hei, apa aku belum cukup dipercaya untuk berbagi rahasia?”

Jun Myeon memajukan bibirnya tanda sebal, kemudian ikut-ikutan menyandarkan punggung pada batang pohon ek yang tepat berada di samping Kris. Mereka sudah bersama-sama selama tiga hari penuh, dan selama itu jugalah, Jun Myeon semakin mengenal pribadi Kris. Si jangkung itu––dibalik penampilannya yang terkesan pendiam dan galak––ternyata cukup perhatian juga pada Jun Myeon. Ia selalu bisa menebak apa isi pikiran Jun Myeon, seakan-akan pria itu adalah sebuah buku yang terbuka lebar.

“Jun Myeon, ayolah. Mungkin saja aku bisa membantu.”

“Aku sedang memikirkan apa yang akan kulakukan saat kita menemukan persimpangan nanti,” balas Jun Myeon sambil mengacak-acak rambut hitamnya dengan sebelah tangan, bingung.

“Kau tidak ingin kembali ke dunia manusia?”

“Apakah semudah itu? Kalau iya, mengapa banyak jiwa manusia yang harus berjalan hingga sejauh ini? Mengapa mereka tidak berbelok ke kanan saja saat tiba di persimpangan pertama?”

Kris mendengus pelan, gemas melihat partner perjalanannya yang terlampau pintar dalam menggali sebuah topik percakapan hingga detail paling rinci. Ia memikirkan pertanyaan Jun Myeon tadi selama sepersekian menit, mengingat-ingat saat ketika ia menjumpai persimpangan pertamanya di Itineris.

Kala itu, ia juga tidak bisa langsung mengambil keputusan.

Kris ingat saat-saat ia tiba di persimpangan pertamanya. Bagaimana ia begitu ingin melangkahkan kakinya ke arah kanan agar bisa kembali hidup dan bagaimana ia ingin lekas-lekas bertemu dengan semua orang yang dikasihinya. Ia mengingat semua itu dengan jelas.

Namun, ia tidak sanggup melakukan itu.

Ada sesuatu, satu perasaan mengganjal di dalam hatinya yang menahan ia untuk tetap tinggal di Itineris. Rasa itu membelenggu bagai rantai besi berkarat, seolah memberitahu Kris bahwa keputusannya saat itu adalah sebuah kesalahan besar. Ia ingin mengambil langkah, namun hati nuraninya menolak untuk bekerja sama. Guncangan kecil itu telah menumbuhkan rasa ragu dalam benak Kris, membuatnya terpaksa bersikap abai pada persimpangan itu dan tetap berjalan lurus.

Itu dia!

“Karena mereka ragu.” Jawaban itu meluncur dari bibir Kris tanpa ia sadari. Jun Myeon mendongak cepat, pemahaman memasuki lapisan otaknya saat itu juga.

Selama ini, Jun Myeon telah melupakan satu aturan penting.

Untuk bisa menentukan arah mana yang akan kautuju, kau harus merasa yakin. Sepenuhnya percaya pada dirimu bahwa kau tidak akan menyesali keputusan ini, bahwa apa yang akan kauambil adalah yang terbaik bagi hidupmu kelak.

Klasik.

Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan sepanjang hidupnya. Sudah menjadi pendapat umum bahwa menentukan sebuah pilihan itu tidak mudah. Harus ada pertimbangan matang, harus ada rasa yakin bahwa kau tidak akan merasa menyesal di kemudian hari. Terlebih, ketika keputusan itu menyangkut hidup dan matimu.

Dan itulah alasan utama mengapa Jun Myeon masih tertahan di Itineris.

Ia dan Kyung Soo terlalu takut untuk menentukan pilihan pada hari-hari pertama mereka di Itineris. Mereka terlalu lama tenggelam dalam kubangan rasa bimbang, hal yang akhirnya menyebabkan sisa waktu hidup Kyung Soo terbuang sia-sia.

Dan kini, setelah Kyung Soo tiada, apa yang bisa ia lakukan?

Keraguannya malah makin menjadi. Ia ingin pulang, namun perasaan bersalahnya pada Kyung Soo tak kunjung pergi. Ia merasa menjadi orang paling egois sedunia. Kyung Soo adalah sahabat baiknya dan Jun Myeon juga sudah menganggapnya sebagai adik sendiri.

Ia begitu bodoh karena telah menganggap remeh situasi ini. Sejak kapan waktu memiliki rasa belas kasihan?

“Saat itu, apa yang membuatmu dan teman baikmu merasa ragu?”

Berusaha mengabaikan rasa pahit yang menetap di lidahnya, Jun Myeon berdeham kecil dan menjawab, “Karena kami….”

Lagi, ia tahu jawabannya. Namun, ia merasa malu. Teramat malu untuk mengakui hal serendah ini. Pepatah ‘kau tidak akan pernah tahu betapa berartinya suatu hal, sampai kau merasakan kehilangan’ itu benar adanya.

“Jun––”

“Kami pernah berpikir untuk bunuh diri sebelumnya.”

“Apa?”

Jun Myeon membiarkan dirinya melorot jatuh, terduduk lesu di atas tanah. Kris ikut mendudukkan dirinya, maniknya yang terarah pada Jun Myeon dibayangi oleh keterkejutan. Jun Myeon memang terlihat rapuh layaknya anak kecil. Namun, Kris tak pernah menyangka bahwa temannya ini pernah berpikir untuk membuang nyawanya sendiri.

“Tentu saja kami tidak benar-benar melakukannya. Sekali, dua kali, kami memang pernah mencoba untuk mengakhiri hidup kami. T-tetapi, kami tak punya nyali untuk melanjutkannya.”

Kris masih bungkam.

“Sampai hari itu tiba. Kecelakaan––itulah yang membawa aku dan Kyung Soo ke Itineris. Dan kini, ketika kematian terasa begitu dekat, aku merasa ragu. Kautahu, Kris? Sejak hari pertama kami, Kyung Soo dan aku terus memperdebatkan satu hal. Apakah ini jalan pintas dari Tuhan bagi kami yang pernah ingin bunuh diri? Atau ini sebuah peringatan agar kami lebih menghargai nyawa kami?”

“Dan itulah sebabnya kau tak bisa memilih jalan mana yang tepat.”

Tepat sekali, Kris, batin Jun Myeon pelan sambil mengulum senyuman pahit.

“Lantas, sekarang kau bingung karena memikirkan Kyung Soo?”

“Tentu saja,” sambar Jun Myeon cepat. “Saat aku kembali ke bumi nanti, Kyung Soo sudah tidak ada di sana. Kami berjanji untuk selalu bersama, kami memunyai impian, dan kini…”

“Apa kauingin mati, Jun Myeon? Menyusul Kyung Soo?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Kris, Jun Myeon malah membiarkan pandangannya menerawang. Memorinya memutar kembali percakapan terakhirnya dengan Kyung Soo, pesan-pesan penting yang disampaikan oleh sahabat karibnya itu sebelum dia pergi.

“Kuharap kau membuat pilihan yang tepat, Hyung. Apa pun itu, asal kau bahagia. Selamat tinggal.”

 

 

Bahagia, huh?

Jun Myeon memiliki sejuta mimpi yang ia bangun bersama Kyung Soo, rencana-rencana menyenangkan untuk diwujudkan di masa depan. Mereka pernah berjanji untuk terus saling membantu, menanggung apa pun hasilnya bersama. Dan sekarang, ia sendiri.

Masih bisakah ia bahagia?

“Jika aku memilih mati….” Jun Myeon memulai, ekor matanya menangkap ekspresi wajah Kris yang terlihat sedikit cemas. “Mungkin kematian itu lebih mudah. Aku tidak perlu bersusah payah memikirkan hidup di dunia.”

“ Menyerah begitu saja, ya?” sindir Kris pelan. Jun Myeon memelototinya, namun Kris sama sekali tak merasa terusik.

“Aku bukan menyerah, Kris,” bisik Jun Myeon pada akhirnya. “Aku ingin hidup. Sungguh.”

“Lalu apa yang membuatmu merasa yakin dalam menyebut kata ‘mati’ barusan? Kau itu plin-plan, Jun Myeon.”

“Karena aku tidak egois.”

“Egois? Aku yakin, Kyung Soo pasti juga ingin agar kau melanjutkan hidup dan bahagia. Ia tidak ingin kau menyerah,” timpal Kris seraya mengibaskan tangannya santai, bersikap seolah hal itu sudah teramat jelas. “Kenapa? Kalian masih memiliki mimpi untuk diwujudkan, bukan?”

Jun Myeon mengangguk lemah.

“Kalau begitu, kembalilah ke bumi dan pastikan mimpi kalian bukan hanya bualan belaka! Akan terdengar jauh lebih egois jika kau memilih untuk mati sekarang, Jun Myeon!”

“Apa yang membuatmu berkata begitu? Kau bahkan tidak tahu apa-apa!” Jun Myeon balas menaikkan nada suaranya, tidak terima. Kris hanya menggertakkan giginya kesal, kemudian menyambar lengan Jun Myeon agar pria itu tidak bisa bangkit berdiri dan kabur dari percakapan ini.

“Dengarkan aku, oke? Aku memang tidak tahu apa-apa, tetapi ada satu hal yang kuketahui secara pasti.”

“Jangan bersikap sok tahu!”

Kris tidak memedulikan teriakan Jun Myeon barusan. Ia menatap pemuda itu tajam, kemudian mendesis pelan, “Kalau kau memilih untuk berbelok ke kiri, kau adalah seorang pengecut.”

Detik itu juga, Jun Myeon menyentakkan lengannya dari genggaman Kris, dadanya naik turun karena gejolak amarah yang menguasai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia bergegas bangkit dan berlari menjauhi Kris. Ia benci. Sudah terlalu banyak hal yang harus ia pikirkan saat ini, dan semua pertengkaran barusan hanya membuatnya merasa semakin terombang-ambing.

Sialan.

Seharusnya, ia tidak menyetujui permintaan Kris malam itu.

***

“Jun Myeon Hyung.

“Hmm? Kenapa?”

Kyung Soo menggeleng ringan. Kepalanya mendongak ke arah langit malam, mengamati kerlip bintang yang terlihat samar karena dikalahkan oleh cahaya lampu perkotaan. Bibirnya menyenandungkan sebuah lagu, irama yang langsung dikenali oleh Jun Myeon sebagai salah satu lagu favorit mereka.

“Kau pasti berhasil dalam audisi, Kyung Soo-ya,” puji Jun Myeon kala sahabatnya itu selesai bernyayi. “Suaramu bisa membuat semua orang terpesona.”

“Memangnya suaramu tidak?” Kyung Soo tertawa kecil, kemudian memainkan ujung sepatunya sembari menatap formulir pencarian bakat yang ia bawa sedari tadi. Jun Myeon ikut terkekeh, lengannya ia sampirkan di atas pundak Kyung Soo dengan sikap bersemangat.

“Kita pasti bisa, iya kan?”

“Tentu saja,” balas Kyung Soo yakin. “Tetapi, Hyung, andaikan saja aku gagal dan kau berhasil….”

“Hei, hei… kenapa pesimis begitu?”

“Ini hanya pengandaian, Hyung,” protes Kyung Soo, raut wajahnya mendadak serius. “Misalkan aku gagal, kau tetap tidak boleh menyerah, ya? Kita pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, dan sekarang aku merasa benar-benar bodoh karenanya. Jadi, jangan menyerah.”

“Kau menyuruhku berjuang sendirian? Lalu bagaimana denganmu?”

“Bukan begitu maksudku. Begini, Hyung, ini adalah mimpi milik kita berdua, benar?”

Jun Myeon mengangguk cepat.

“Kalau begitu, jika aku sudah tidak bisa untuk menggapainya, maka kau harus melanjutkannya. Begitu pula sebaliknya. Jangan biarkan semua usaha kita selama ini sia-sia.”

“Baiklah,” sahut Jun Myeon pada akhirnya. “Tetapi untuk saat ini, kita berdua masih harus berusaha. Ber-du-a. Paham?”

“Tentu!”

 

 

“Kyung Soo-ya….

Jun Myeon membuka matanya perlahan, mendapati kilau sinar mentari pagi yang menusuk tajam ke dalam pupilnya. Ia mengerjap beberapa kali, merasakan seluruh badannya yang mendadak pegal karena terpaksa tidur di pinggir jalan. Pikirannya masih terasa berkabut, separuh terbagi akan kenangannya bersama Kyung Soo yang terputar ulang di dalam mimpi dan pertengkarannya dengan Kris tempo hari.

Inikah jawaban atas semua keraguan hatinya selama ini? Atas pilihan akan hidup dan matinya?

Memori barusan adalah secuil dari obrolannya bersama Kyung Soo pada malam sebelum kecelakaan maut itu terjadi. Saat itu, mereka berjanji untuk tidak mengambil keputusan bodoh semacam bunuh diri dan tetap berjuang apa pun kondisinya.

Ck, miris sekali nasibmu, Kim Jun Myeon.

Mengapa di saat ia ingin berjuang, cobaan macam ini malah datang menimpanya? Oh, mungkin saja ini adalah ujian dari Tuhan karena Jun Myeon dan Kyung Soo pernah berpikir untuk menyia-nyiakan nyawa mereka. Sebuah karma.

Lalu sekarang… apa?

Sanggupkah Jun Myeon memperbaiki semua kesalahan yang pernah mereka perbuat di masa lalu? Apa ini artinya ia harus tetap hidup? Menggapai mimpi mereka dan memastikan agar sisa hidupnya tak lagi sia-sia?

“Apa kau tidak ingin aku menyerah, Kyung Soo-ya?” tanya Jun Myeon dalam bisikan lirih. Tidak ada jawaban, tetapi Jun Myeon seolah bisa mendengar suara Kyung Soo yang mengiyakan pertanyaan itu dan senyum cerianya yang penuh dengan secercah semangat.

“Kalau begitu, haruskah aku berbelok ke kanan?” Jun Myeon kembali bertanya pada dirinya sendiri. Ia tidak mengharapkan seseorang untuk menjawabnya, namun––

“Bukankah itu sudah jelas? Sudah kubilang, jangan jadi pengecut, Jun Myeon.”

“Kris?!”

Kris melangkah keluar dari balik pohon, sebuah seringai puas terpampang di bibirnya. Ia mengulurkan tangan untuk menepuk puncak kepala Jun Myeon dengan sikap menggurui, sorot matanya tampak begitu berbinar-binar.

“Sejak kapan… k-kau mengikutiku?”

“Hei, hanya ada satu jalan di Itineris, Jun Myeon. Dan tebak apa? Tadi malam, aku melihatmu tidur bergelung di bawah pohon sembari menggumamkan nama Kyung Soo seperti anak kecil. Kaukira aku setega itu, membiarkan orang yang kukenal terlantar sendirian?”

“A-aku….”

Kris mengangkat sebelah alisnya, menunggu.

“M-maaf, Kris. Kau… well, kurasa perkataanmu kemarin benar.”

“Tentu saja aku benar. Aku hanya tidak menyangka kau akan meminta maaf secepat ini.”

Jun Myeon memalingkan wajahnya, jelas-jelas merasa malu. Ia telah meninggalkan Kris kemarin dalam keadaan marah, dan kini segalanya terasa seperti diputar balik. Mimpi semalam––yang Jun Myeon anggap sebagai sebuah petunjuk besar––telah mengubah semua persepsinya.

Ia sudah menentukan pilihan.

“Kris.”

“Ya?”

“Aku tidak akan menyerah. Saat kita tiba di persimpangan nanti, aku akan segera berbelok ke kanan.”

“Senang mendengarnya.” Kris mengulurkan tangan untuk meremas pundak Jun Myeon, turut bersuka cita atas keputusan itu. Semua perselisihan kemarin mendadak terlupakan, terlebih kala Jun Myeon membiarkan jemari mereka bertautan erat seiring dengan langkah mereka yang terayun bersama.

Kris rasa, ia bisa memercayai Jun Myeon sekarang.

Sudah saatnya.

***

Another crossroad.

Mentari sudah mulai merangkak ke peraduannya, sementara sang dewi malam mulai memunculkan diri di tengah kelamnya langit. Angin berembus pelan, menerbangkan beberapa ranting atau dedaunan yang berserakan di atas jalanan. Dalam keremangan senja, tampak beberapa jiwa manusia yang tengah berkumpul di sebuah persimpangan jalan.

“Kita sudah sampai,” ucap Jun Myeon lirih, langkahnya serta-merta terhenti di pinggir jalan. Maniknya menatap lurus ke arah sosok-sosok tak dikenal yang mulai membelokkan kaki ke kanan dan merajut langkah, wajah mereka tampak bahagia dalam bayang-bayang redup cahaya bulan. Tentu saja, mereka adalah para manusia yang memilih untuk melanjutkan hidup, bukan? Pulang, pada akhirnya.

“Kuharap keputusanmu belum berubah.”

Jun Myeon tersenyum kecil, sedikit menertawai sikap bodohnya kemarin yang seperti anak kecil. Ia berutang banyak pada Kris. Tanpa pemuda itu, mungkin ia masih akan tersesat dan berjalan tak tentu arah di Itineris. Kris tidak hanya membantunya untuk berpikir jernih, ia juga menyadarkan Jun Myeon serta membawanya kembali ke jalan yang tepat.

“Terima kasih banyak, Kris. Sungguh, aku––”

“Tak masalah.” Kris mengibaskan tangannya, kemudian menatap Jun Myeon lekat-lekat.  “Aku senang kau bisa kembali ke bumi, karena… eumm….

Jun Myeon mendongakkan kepalanya untuk menatap Kris, mendapati teman barunya itu sedang memasang ekspresi wajah penuh kecemasan. Ada sepercik ketakutan di sana, juga secercah perasaan bersalah yang terpancar dari kedua sorot matanya. Mendadak, aura santai yang tadi melingkupi mereka pun pudar.

Ini serius.

“Hei, ada apa?”

Kris hanya bisa mengembuskan sisa-sisa pernapasannya dalam desahan pelan, terlihat semakin ragu untuk mengutarakan isi pikirannya. Jemari Kris mulai memijat-mijat ujung pelipisnya, seolah sedang berusaha meredakan gejolak pikiran yang bergumul di sana.

“Apa ini… sesuatu yang penting?” Jun Myeon kembali melancarkan pertanyaan, tangannya terulur untuk menyentuh lengan Kris dengan sikap menenangkan. “Kalau begitu, ceritakan. Aku sudah membagi semua masalahku, dan kau pun bisa melakukan hal yang sama. Teman, ingat?”

Tentu saja Kris ingat. Namun, apa yang akan disampaikannya ini bukanlah perkara sembarangan. Ini menyangkut semuanya, sebuah pertaruhan akan eksistensi kehidupannya di muka bumi. Sudah ada terlalu banyak hal yang ia sembunyikan dari Jun Myeon, termasuk motifnya mendekati pemuda itu dan menjadikannya teman perjalanan.

Dan layaknya Jun Myeon yang telah menceritakan semua masalahnya, Kris tahu bahwa ia juga harus bersikap terbuka pada pria itu. Sekarang atau tidak sama sekali. Waktu mereka tidak banyak. Belokan itu seolah sudah memanggil-manggil Jun Myeon, meminta agar sang pria mungil segera menapakkan langkah kakinya ke sana.

Ceritakan sekarang, atau ia akan kehilangan segalanya.

“Jun Myeon.”

“Ya?”

“Pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa aku memilih untuk mengobrol dan mendekati dirimu pada malam itu?”

Alis Jun Myeon pun langsung bertautan kala ia mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan Kris. Ia kembali teringat pada pertemuan pertama mereka di kedai minum, juga permintaan Kris yang waktu itu ia rasa cukup aneh. Rasa penasaran Jun Myeon pun seketika kembali timbul ke permukaan.

Ah, bagaimana bisa dia lupa akan hal yang satu ini? Bahkan sampai detik ini––ketika perpisahan sudah di depan mata––Jun Myeon belum tahu apa alasan sesungguhnya di balik hubungan pertemanan mereka.

“Aku selalu bertanya-tanya, tapi kurasa––” Jun Myeon menggantungkan ucapannya sejenak, memikirkan kata-kata yang akan ia kemukakan selanjutnya. “Kurasa kau pasti memiliki alasan tersendiri. Dan aku memutuskan untuk tidak bertanya sampai kau bersedia untuk membaginya denganku.”

“Jun Myeon… kau mungkin akan marah padaku.”

“Karena apa? Karena kau telah merahasiakan semua masalah dan bersikap sok misterius?” Jun Myeon bertanya dengan nada sedikit tak percaya. Ia mengedikkan bahunya santai, kemudian melanjutkan, “Kau sudah banyak membantuku, mana mungkin aku marah?”

“Tidak, tidak.” Kris menggelengkan kepalanya berulang kali, rasa frustasi mengambil alih mimik wajahnya. “Aku tidak membantumu, Jun Myeon. Aku sudah membuat kesalahan fatal, dan membantumu… well, kurasa itu tidak bisa disebut membantu. Mungkin saja aku hanya memanfaatkan dirimu. Aku egois, Jun Myeon, lebih daripada yang bisa kaubayang––”

“Apa maksudmu?” potong Jun Myeon cepat, keningnya kini berkerut keheranan. “Kau membantuku untuk menentukan pilihan, membuatku bisa kembali hidup. Kau bahkan menyimpan semua masalahmu sendiri, Kris. Aku sama sekali tidak merasa dirugikan, jadi––”

“Kau tidak paham, Jun Myeon. Ada banyak alasan di balik semua tindakanku. Semuanya berkaitan dengan dirimu dan….”

Tatapan mata mereka kembali bertemu, kali ini diwarnai oleh perasaan duka dan getir. Jun Myeon bisa melihat lapisan bening air mata yang menghiasi iris hitam Kris, mengancam untuk jatuh kapan saja.

“Kris….”

“Kembalilah ke bumi Jun Myeon. Hiduplah dan….” Kris memejamkan kedua kelopaknya erat-erat, menolak untuk mempertahankan kontak mata mereka lebih jauh. “Jika kau berkenan, tolong maafkan aku. Hanya itulah satu-satunya permohonanku.”

“Untuk apa aku memberimu maaf, Kris? Kau bahkan sama sekali tidak bersalah!”

“Kau tidak mengerti.”

“Buat aku mengerti, kalau begitu!” bentak Jun Myeon keras.

“Satu-satunya jalan untuk memahami semua ini adalah ke sana,” sahut Kris letih sembari menunjuk ke arah kanan. “Pulanglah Jun Myeon, dan kau pun akan mengerti segalanya. Bukankah aku sudah bilang bahwa kau harus bertahan hidup? Kau mau tahu alasannya, selain Kyung Soo dan mimpi kalian? Maka, pergilah.”

“Kenapa kau tidak jelaskan saja semuanya sekarang?” tuntut Jun Myeon masih menolak untuk melangkah pergi. Kris hanya terkekeh mendengar pertanyaan itu, tawa singkat yang diwarnai rasa pilu. Ia mengulurkan tangannya untuk menarik lengan Jun Myeon, setengah memaksa pemuda itu untuk segera berjalan ke kanan.

“Hei! Kris, sudah kubilang––”

“Kalau boleh, aku sudah menceritakannya dari dulu, Jun Myeon. Tetapi, aku tidak bisa. Kau harus membongkar semua rahasia ini sendirian, memahaminya dengan hati, kemudian memutuskan apakah aku patut untuk dimaafkan atau tidak.”

“Aku akan selalu memaafkanmu, Kris. Aku juga berutang budi padamu.”

“Ini bukan soal utang budi. Ini soal hati nuranimu, dan aku tidak berhak untuk menuntut apa-apa, Jun Myeon. Aku hanya bisa berharap bahwa kau akan memaafkanku.” Kris melepaskan pegangannya pada tangan Jun Myeon, kemudian mendorong lelaki itu untuk berjalan semakin cepat. Sedikit lagi, hanya beberapa langkah yang tersisa sebelum jiwa Jun Myeon masuk ke dalam portal antardunia. Kris benar-benar harus memastikan agar temannya ini tetap hidup. Harus.

“Pulanglah Jun Myeon. Apa kau tidak rindu dengan kehidupanmu? Kumohon,” pinta Kris sembari meremas pundak Jun Myeon ringan, bermaksud untuk menyemangati. Nada suaranya sedikit melunak, dan Jun Myeon bisa mendengar secercah permohonan yang terselip di baliknya.

“Baiklah. Aku mengerti. Kau hanya ingin agar aku cepat pulang, bukan?” putus Jun Myeon pada akhirnya. Ia pun melangkah menjauhi Kris, berusaha untuk merasa yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Percakapan terakhirnya dengan Kris memang meninggalkan banyak misteri, tetapi jika temannya itu sudah berkata bahwa ia harus kembali ke bumi untuk memecahkan semua ini, maka ia pun akan kembali. Lagipula, ia memang sudah menentukan pilihan. Ia tak lagi bisa menunda, tidak jika hatinya sudah benar-benar merasa mantap seperti ini.

Percayalah, Jun Myeon.

Kris tidak mungkin berbohong padanya, bukan? Menilik dari perasaan bersalah dan ekspresi wajahnya yang sendu tadi, Jun Myeon yakin bahwa semua ucapan Kris bukanlah dusta. Ia hanya perlu memercayai Kris, menemukan masalah entah apa yang sebenarnya menghubungkan mereka, kemudian memaafkan pemuda jangkung itu.

Jun Myeon meletakkan kaki kanannya di antara portal penghubung, merasakan aura magis yang mulai melingkupi. Ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Kris yang berdiri kira-kira sepuluh meter jauhnya. Sambil menghirup napas panjang, Jun Myeon melemparkan satu senyuman perpisahan pada Kris, kemudian kembali berpaling ke depan.

Ia harus yakin.

Seperti kata-kata Kris tempo hari, ia harus percaya bahwa memilih untuk tetap hidup adalah yang terbaik baginya.

Bukan hanya demi Kyung Soo dan mimpi mereka.

Tetapi juga demi Kris dan masalah yang belum jelas ujung pangkalnya ini.

Jun Myeon memejamkan matanya, merasakan seberkas sinar putih yang teramat menyilaukan mulai menyelubungi seluruh tubuhnya dan menariknya menjauh. Ia bisa merasakan raganya yang melayang ringan bagaikan kapas, semakin ringan, dan ringan… sampai akhirnya satu sentakan kecil pun muncul, lalu kegelapan datang mengambil alih.

***

Hyung! Jun Myeon Hyung!”

Sepasang kelopak mata itu menggeletar perlahan, sebelum akhirnya membuka lebar. Jun Myeon bisa merasakan berkas sinar lampu yang menyorot masuk ke dalam kedua pupilnya, begitu pula dengan aroma obat-obatan yang merasuk dan mendominasi indra penciumannya. Hati-hati, ia menolehkan kepalanya ke samping kanan, mendapati sosok sang adik––Kim Jong In––yang tengah memandanginya dengan ekspresi lega.

“J-jong In-a.

“Kau tidak tahu betapa cemasnya aku, Hyung! Kau sudah terbaring koma selama hampir sebulan dan… d-dan….” Suara Jong In melemah, kemudian hilang ditelan isak tangis. Jun Myeon bisa merasakan genggaman tangan Jong In pada miliknya, kuat dan penuh kehangatan. Sedikit rasa haru menelusup ke dalam hatinya. Ia dan Jong In cukup jarang bertemu, bahkan tidak bisa dibilang akrab. Bisa dibilang, Jun Myeon cukup kaget saat ia mendapati adiknya itu mau repot-repot menemani dirinya di rumah sakit.

“Aku baik-baik saja, Jong In,” gumam Jun Myeon pelan sembari menggerakan ujung jemarinya untuk membelai lengan Jong In. “Aku….”

Aku senang bisa kembali.

Kau tidak tahu bukan, betapa takutnya aku saat berada di Itineris––tempat yang mirip antah-berantah itu?

Maaf telah membuatmu cemas, Jong In. Maaf.

Aku bahkan tak sempat untuk memikirkan dirimu barang sedikitpun saat berada di Itineris. Pikiranku terlalu banyak disesaki oleh rasa takut, bimbang, cemas, dan juga… kepergian Kyung Soo.

Maaf. Maaf. Maaf.

Aku bukan kakak yang baik.

Hyung?

“Mmm….” Jun Myeon membalas panggilan Jong In sembari memejamkan kedua matanya lagi, lelah. Kepalanya masih berdenyut kencang, pun dengan sekujur tubuhnya yang mendadak terasa kaku dan sakit. Tidak heran, ia sudah terbaring di atas ranjang ini selama sebulan penuh lamanya. Satu-satunya hal yang teramat ia inginkan saat ini adalah kesempatan untuk berisitirahat dan memulihkan semua luka-lukanya.

“Istirahatlah, Hyung. Aku akan memanggil dokter, oke?”

“O-oke.”

Jun Myeon bisa merasakan usapan lembut Jong In pada puncak kepalanya, diiringi dengan suara langkah kaki sang adik yang semakin menjauh. Keheningan menyelimuti seisi ruangan, memberi waktu bagi Jun Myeon untuk memutar ulang dan memikirkan semua kejadian di Itineris.

Kepergian Kyung Soo yang terlalu cepat, keputusannya untuk kembali hidup di dunia ini, tekadnya untuk melanjutkan mimpi mereka, juga….

Masalah entah apa yang membuat Jun Myeon harus memaafkan Kris.

Jun Myeon membuka kedua matanya lagi, merasakan ketidakberdayaan meresap ke dalam dirinya. Ia bahkan belum bisa bangkit dari atas ranjang ini, lalu bagaimana cara ia mencari tahu soal Kris atau menemukan dimana tubuh pemuda jangkung itu terbaring koma?

Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

***

“Kyung Soo.”

Huh?”

Jun Myeon menghela napas lelah, kemudian kembali menyandarkan kepalanya di atas bantal. Iris hitamnya terarah ke kaca jendela yang terletak di sisi ranjangnya, menampakkan pemandangan taman rumah sakit yang asri. Samar-samar, Jun Myeon bisa mendengar suara berderit kursi yang tergeser dan ketukan sepatu Jong In kala adiknya itu beranjak perlahan ke sisinya.

“Ada apa, Hyung?

“Kyung Soo, ia tidak selamat, bukan?” tanya Jun Myeon sembari memasang raut datar. Bodoh, batinnya pelan. Untuk apa kau bertanya hal yang sudah pasti, Jun Myeon? Kyung Soo tidak akan kembali, kautahu itu.

Hyung….

“Jawab saja, Jong In,” sahut Jun Myeon, kali ini sambil meremas ujung selimutnya kuat-kuat. Ia sendiri tidak tahu mengapa nama Kyung Soo mendadak terucap dari bibirnya lagi. Padahal, ia sudah bertekad untuk tetap kuat dan menerima semua hal yang terjadi di Itineris.

Ah, atau mungkin, diam-diam sebenarnya ia sedang berharap agar semua kejadian di Itineris itu hanya mimpi? Usaha yang bagus, Jun Myeon.

“Kyung Soo Hyung… ia… Hyung, apa kauyakin mau mendengar ini?”

“Kim Jong In.”

“Ia meninggal setelah dua minggu dirawat, Hyung.

Dua minggu.

Itu adalah lama hari yang ditempuh Kyung Soo di Itineris sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri. Semuanya begitu tepat dan akurat, bukti yang menegaskan bahwa Itineris serta semua hal di dalamnya itu memang benar adanya.

Eum, Hyung… kau tidak apa-apa, bukan?”

Ng, t-tentu. Aku….” Jun Myeon memaksakan dirinya untuk menarik seulas senyum, lantas kembali mengalihkan pandangannya dari tatapan khawatir milik Jong In. “Aku sudah bisa menebaknya.”

Jun Myeon membuang napas panjang, berusaha untuk mengabaikan rasa sesak yang kembali datang. Tidak, ia tidak boleh begini. Kyung Soo pun pasti tak ingin melihatnya terus-menerus berduka. Jun Myeon harus tetap bertahan, harus.

Lagipula, masih ada banyak urusan yang harus ia selesaikan di muka bumi ini.

“Omong-omong soal kecelakaan kalian––” Jong In tiba-tiba berucap, memotong jalan pikiran Jun Myeon. Sang pemuda yang lebih tua pun otomatis menolehkan kepalanya, kaget saat mendengar topik yang diutarakan oleh Jong In. Untuk apa mereka membahas soal kecelakaan maut itu lagi?

“Orang yang menabrak kalian berdua juga terbaring koma, Hyung. Ia… ia berada di kamar sebelah. Kupikir kau perlu mengetahui hal itu.”

“Oh.” Hanya itu tanggapan yang keluar dari bibir Jun Myeon. Memangnya, apa lagi yang harus ia katakan? Siapa pun orang ini, ia telah membuat Kyung Soo kehilangan nyawanya dan juga menambahkan perkara-perkara pelik dalam hidup Jun Myeon.

Ah benar, ia bahkan belum mulai mencari tahu soal Kris dan apa kiranya kaitan yang ada di antara mereka.

Hyung.

“Apa lagi, Jong In?”

“Sebenarnya kalau kau berkenan… well, ada seseorang yang ingin menemuimu. Ia adalah kerabat dari orang yang menabrakmu dan Kyung Soo Hyung.

Menemuinya? Untuk apa?

Jun Myeon tidak menyuarakan pertanyaan itu. Namun, raut wajahnya saat ini pastilah tampak begitu kebingungan sehingga Jong In pun buru-buru berdeham dan menambahkan, “Ia tidak memaksa, sungguh. Mungkin ia juga ingin meminta maaf atau semacamnya.”

Bibir Jun Myeon masih terkatup rapat. Kepalanya ia telengkan sejenak, mempertimbangkan ucapan Jong In barusan. Akan terdengar sangat picik seandainya saja ia menolak untuk bertemu dengan orang itu. Meskipun Jun Myeon tidak yakin apakah ia dapat memaafkan sang pelaku yang telah merenggut hidup Kyung Soo begitu saja, setidaknya ia harus mencoba, bukan?

“Baiklah,” putus Jun Myeon pada akhirnya. “Aku akan menemuinya besok.”

***

“Kim Jun Myeon. Aku––”

“Kau orang yang ditabrak oleh sepupuku,” potong pria di depannya itu sembari mengulas senyum ramah. Jun Myeon mengangguk pelan, membiarkan kursi rodanya didorong masuk ke dalam kamar rawat inap bernomor 522 itu. Pandangannya ia edarkan ke seluruh penjuru, sampai pada akhirnya kedua iris itu tertumbuk pada sesosok pria yang tengah berbaring di atas ranjang dan dikelilingi oleh berbagai macam alat penunjang hidup.

Detik itu juga, dunia Jun Myeon terasa berhenti berputar.

“Namaku Luhan.” Orang yang tadi membukakan pintu untuk Jun Myeon kini telah melangkah ke samping tempat tidur dengan tatapan sedih sekaligus memohon. “Ini Kris. Kris Wu. Ia sepupuku dan….”

Kata-kata Luhan berikutnya tak lagi dapat terdengar oleh Jun Myeon. Seluruh tubuhnya mendadak membeku, seolah-olah ada yang baru saja menyiramkan puluhan ember berisi air es kepadanya. Lidahnya serasa kelu dan saluran napasnya tercekat, begitu pula dengan air mata yang mulai menggumpal di pelupuk matanya.

Tidak, ini tidak mungkin.

Semudah inikah?

Sekejam inikah?

Apa ini alasan mengapa Kris begitu menginginkan permintaan maaf Jun Myeon?

“Kris….”

“Kurasa ia akan senang jika kau mau memaafkannya, Jun Myeon-ssi,” kata Luhan sembari menunduk lemah. “Dokter bilang, ia mengalami luka yang cukup parah dan belum tentu bisa bertahan lama. Aku… entahlah, mungkin aku sudah pasrah.”

Jun Myeon tidak membalas ucapan Luhan, toh ia sendiri pun tak tahu harus berkata apa dalam situasi seperti ini. Ia hanya membiarkan kedua matanya memandangi sekujur tubuh Kris, mengingat bagaimana sosok jangkung itu pernah berdiri dan berjalan di sampingnya, serta bagaimana mulut itu senantiasa terbuka untuk melemparkan komentar-komentar sarkastis dan nasihat yang telah menyadarkan Jun Myeon.

“Jun Myeon-ssi.”

“Y-ya?” Jun Myeon berdeham sekali untuk membersihkan tenggorokannya yang mendadak serak, kemudian menoleh untuk menatap Luhan. Sepupu Kris itu tengah memandanginya dengan ekspresi campur aduk; sedih, maklum, bimbang, dan juga rasa bersalah.

Ekspresi yang mengingatkan Jun Myeon akan mimik wajah Kris sebelum mereka berpisah.

“Aku tahu kalau memaafkannya tidak akan semudah itu. Kau boleh menganggapku lancang atau apa… tapi….”

Hening mengisi suasana di antara mereka, namun Jun Myeon sama sekali tidak berminat untuk memecahkannya. Ia menunggu dengan sabar, membiarkan Luhan merangkai kata-kata yang ada di dalam benaknya. Sudut matanya berulang kali berkelebat ke arah Kris––Jun Myeon tak bisa menahan dirinya sendiri untuk itu.

“Te-tetapi… kecelakaan itu adalah sebuah ketidaksengajaan, Jun Myeon-ssi. Aku hanya ingin kau mengetahui bahwa Kris sama sekali tidak berniat untuk merenggut nyawa temanmu atau melukai dirimu.”

Aku tahu itu, Luhan, batin Jun Myeon cepat. Hatinya kini terasa seperti diremas-remas, terancam untuk remuk kapan saja. Perasaannya campur aduk––Jun Myeon bahkan tak tahu bagaimana cara menamakan rasa yang tengah menyelubungi benaknya kini. Gelisah? Duka? Tak percaya? Kaget? Atau marah?

Ia tidak tahu, sungguh.

“Maaf, Luhan-ssi, k-kurasa… aku butuh waktu untuk sendiri.” Jun Myeon bersusah payah untuk membalikkan kursi rodanya, lalu berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kamar itu secepat yang ia bisa. Dadanya terasa sesak, seolah ada yang baru saja mengisap pasokan oksigen di dalam ruangan itu.

Jun Myeon terus menggerakkan kedua tangannya, memacu kedua roda itu untuk berputar lebih cepat dan cepat lagi. Kalau bisa, ia ingin melarikan diri dari semua ini. Realita ini terlalu berat dan terlalu susah untuk ia terima. Sebagian dari hati kecilnya ingin sekali memaafkan Kris, namun sebagian yang lain terus-menerus mendesaknya dengan menampilkan wajah Kyung Soo dan menghantamnya dengan gelombang perasaan bersalah.

“Aku sudah membuat kesalahan fatal, dan membantumu… well, kurasa itu tidak bisa benar-benar disebut membantu. Mungkin saja aku hanya memanfaatkan dirimu.”

Inikah yang dimaksud Kris sebagai memanfaatkan? Inikah motif dibalik kedekatan mereka? Kris sengaja mendekati Jun Myeon dan memohon agar Jun Myeon mau kembali ke bumi, semuanya demi ini?

“Ada banyak alasan di balik semua tindakanku. Semuanya berkaitan dengan dirimu….”

Kini, Jun Myeon bisa mengerti sepenuhnya mengapa jiwa Kris tertahan di Itineris. Ia tidak bisa kembali dengan perasaan lapang sebelum Jun Myeon memaafkan kesalahannya. Kecelakaan itu adalah sebuah ketidaksengajaan, namun Kris tetap merasa bersalah karena telah menyebabkan Kyung Soo meninggal dan membuat Jun Myeon nyaris terperosok dalam jurang keputusasaan.

Kris butuh permintaan maaf darinya untuk kembali.

Itulah sebabnya mengapa Kris begitu kukuh mempertahankan argumennya agar Jun Myeon tetap hidup. Karena kematian Jun Myeon sama artinya dengan kematian Kris. Ini bagaikan rantai takdir yang sudah terhubung kuat, tak bisa dielakkan dan tak bisa dihentikan begitu saja.

“Kau harus membongkar semua rahasia ini sendirian, memahaminya dengan hati, kemudian memutuskan apakah aku patut untuk dimaafkan atau tidak.”

Tentu saja Kris patut untuk dimaafkan.

Memang benar bahwa Kris-lah yang mengendarai mobil dan menabrak mereka berdua pada malam itu. Memang benar bahwa Kyung Soo meninggal karena kecelakaan itu. Semua itu benar adanya, namun bukan berarti Jun Myeon bisa menggunakan alasan-alasan itu untuk menjauhi Kris dan menolak untuk memberinya maaf.

Setelah semua yang Kris lakukan untuk Jun Myeon di Itineris, pantaskah jika Jun Myeon malah menyimpan dendam pada pemuda itu?

Tidak.

“Ini bukan soal utang budi. Ini soal hati nuranimu, dan aku tidak berhak untuk menuntut apa-apa, Jun Myeon.”

Hati nurani? Apa yang dikatakan hati nuraninya?

Jun Myeon terdiam, lengannya terkulai lemas di sisi tubuhnya. Kedua matanya terpejam erat, sementara ia berusaha mencari-cari ke dalam setiap sudut lubuk hatinya. Ini sama seperti saat mereka berada di Itineris dulu. Lagi-lagi, Jun Myeon sedang dihadapkan pada sebuah pilihan. Dua buah jalan yang bertolak belakang, antara memaafkan Kris dan melupakan segalanya atau menggantungkan kata maaf itu karena perasaan kehilangan.

Ayolah Jun Myeon, ayolah.

Ia tahu persis apa yang sedang ia cari saat ini. Sebuah keyakinan untuk mengucap kata maaf, sepercik ketulusan untuk merelakan semua kesalahan, juga sentuhan keberanian untuk memulai sebuah awal yang baru.

Kris memang tidak menuntut apa-apa, tetapi ia juga layak untuk mendapat sebuah kesempatan. Seperti Jun Myeon yang masih mendapat kesempatan untuk hidup dan mengejar mimpinya, Kris juga pantas untuk mendapatkan hal itu, bukan?

“Aku hanya bisa berharap bahwa kau akan memaafkanku.”

Sebuah harapan.

Hanya itulah hal yang dimiliki Kris saat ini. Ia sendirian di Itineris sana, tanpa teman maupun petunjuk arah. Ia hanya punya harapan untuk digantungkan, ibarat tali penolong bagi seseorang yang sedang terperosok di bibir jurang. Dan satu-satunya yang bisa mengabulkan harapan itu adalah….

Dirinya seorang.

Satu kata ‘maaf’ dari hati terdalam Jun Myeon, dan itu akan membawa Kris kembali ke dalam kehidupan. Satu ucapan sederhana yang mengandung berjuta makna. Bukankah orang-orang selalu berucap bahwa memaafkan itu perbuatan mulia?

Jun Myeon membuka kedua kelopaknya, merasakan sepasang bola mata itu mulai basah oleh air. Buru-buru ia mengangkat tangan untuk mengusapnya, dan pada saat itulah, pandangannya jatuh pada kuntum-kuntum bunga yang berjajar rapi di depan matanya.

Tulip putih.

Hati-hati, Jun Myeon mendorong kursi rodanya agar bergulir pelan ke samping hamparan bunga tulip yang sedang mekar itu. Warna putihnya tampak mendominasi, begitu cerah dan bersih di tengah lautan dedaunan hijau tua. Jun Myeon mengulurkan tangannya untuk menyentuh kelopak bunga itu, sementara otaknya mulai memutar ulang salah satu adegan percakapan yang ia lakukan dengan Kyung Soo beberapa tahun lalu.

Tulip putih….

 

 

“Itu lambang permintaan maaf yang tulus, Hyung,” gumam Kyung Soo kala itu sembari memetik salah satu kuncup bunga. “Ibuku sangat menyukai bunga ini, itulah sebabnya pekarangan rumah kami dipenuhi oleh tulip aneka warna.

“Permintaan maaf yang tulus,” bisik Jun Myeon lirih sembari meraih sebatang tulip dan memetiknya dengan hati-hati. Ia menimang setangkai tulip putih itu, sementara sebuah pemahaman mendadak saja muncul di dalam kepalanya.

“Aku akan selalu memaafkanmu, Kris.”

 

 

Itu benar. Ia juga sudah berjanji, bukan? Apa pun yang terjadi, ia pasti akan menemukan cara untuk menyelesaikan semua masalah dan memaafkan Kris. Mereka mungkin hanya bersama-sama dalam waktu yang cukup singkat, tetapi bagi Jun Myeon, mereka lebih dari sekadar partner perjalanan. Kris adalah temannya. Sahabat.

Dan apa yang bisa dilakukan oleh seorang sahabat?

Oh, Jun Myeon tak perlu jauh-jauh berpikir untuk menemukan jawabannya.

Ia akan mengabulkan harapan Kris.

Ia akan memaafkan pemuda itu dengan tulus––rela untuk melupakan semua kesalahan yang pernah ada dan memulainya dengan awal yang baru.

Jika Kyung Soo berada di posisiku, ia pasti akan berbuat hal yang sama, batin Jun Myeon dengan perasaan ringan. Iya ‘kan, Kyung Soo?

Jun Myeon memandangi bunga yang kini berada di pangkuannya, kemudian mengulum seulas senyuman. Ia tahu bahwa Kyung Soo pasti akan setuju dengan pilihannya ini. Hatinya kini terasa mantap dan lebih tenang. Ia percaya bahwa jalan yang tengah dipilihnya kini pasti akan mendatangkan banyak kebahagiaan dan kebaikan.

Pasti.

Tidak ada yang lebih baik daripada memaafkan dan menjauhi api dendam, bukan?

***

“Hai, Kris….”

Malam sudah mulai menjelang ketika Jun Myeon mendorong kenop pintu kamar Kris hingga terbuka lebar dan menggerakkan kursi rodanya ke dalam sana. Ruangan itu hening, hanya ada Kris yang tengah terbaring di atas ranjang, serta bunyi peralatan-peralatan rumah sakit yang terdengar mengerikan di telinga Jun Myeon.

Pelan-pelan, ia meletakkan setangkai tulip putih yang tadi dipetiknya di sisi ranjang Kris, lantas mengulurkan tangannya untuk mengelus lengan pemuda itu. Matanya tak lepas dari wajah Kris yang tertutupi masker oksigen, tampak pucat dan rapuh di bawah cahaya lampu yang terlampau terang.

“Kautahu… ketika aku berkata bahwa aku akan selalu memaafkanmu….” Jun Myeon memulai dengan suara serak, mati-matian menahan butiran air yang menggantung di pelupuk mata agar tidak jatuh. “Aku tidak pernah melanggar janji itu. Tidak akan pernah.”

Jun Myeon terdiam sejenak, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Jadi, Kris, kalau kaubisa mendengarku… kumohon, kembalilah. Aku sudah memaafkanmu untuk segalanya. Dan juga….”

Setetes kristal air akhirnya memutuskan untuk menuruni lengkung pipi Jun Myeon.

“Terima kasih banyak karena telah membantuku untuk mengambil keputusan itu. Aku tak akan pernah menyesali ini, Kris. Sungguh.”

Jun Myeon menatap jari-jemarinya yang kini tertangkup di atas milik Kris. Ia meremas telapak tangan Kris yang terasa sedikit dingin, berusaha untuk menyalurkan rasa semangat serta harapan untuk tetap hidup.

“Kaubilang kita ini teman, bukan? Kalau begitu, cepatlah kembali.”

***

Mentari bersinar hangat di pagi itu, dua hari setelah Jun Myeon memaafkan Kris.

Dan pada hari itu juga, tepat ketika Jun Myeon membuka kedua matanya untuk menyambut hari yang baru, ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang tepat.

“Jun Myeon-ssi! Kris sudah bangun, ia sudah sadar!!”

Luhan nyaris saja melompat gembira saat ia memasuki kamar rawat Jun Myeon, wajahnya bersinar-sinar dan senyum lebarnya tampak tulus. Pemuda itu berhenti di samping ranjang Jun Myeon untuk membungkukkan badannya sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap Jun Myeon dengan sorotan penuh harap.

“Benarkah?” Jun Myeon terlalu terkejut dan senang kala itu, jadi ia membiarkan Luhan untuk duduk di tepi ranjangnya dan mulai menceritakan segalanya.

“Ia membuka matanya semalam. Oh! Sungguh, aku masih tidak bisa percaya ini. Dokter datang memeriksanya dan berkata bahwa ini adalah suatu keajaiban. Pagi ini, kondisinya sudah semakin membaik. Sepertinya aku bisa melihat secercah harapan di sini!”

“Aku turut senang mendengarnya,” sahut Jun Myeon sembari ikut tersenyum. Luhan menganggukkan kepalanya untuk berterima kasih, senang karena semuanya berjalan lancar. Tidak perlu ada perselisihan, dendam, ataupun amarah. Yang ada hanya rasa saling memaafkan dan menerima.

“Ah, lalu Jun Myeon-ssi… eumm,aku tak tahu apakah kau dan Kris saling mengenal sebelumnya, tetapi pagi ini….”

“Ada apa?”

“Kris menyebut namamu. Ia sempat berkata ‘terima kasih Jun Myeon’ saat ia bangun pagi tadi.”

“Sungguh?” Suara Jun Myeon mendadak mengecil, nyaris berupa bisikan tidak percaya.

Luhan mengangguk mantap.

Mmm, mungkin kami memang pernah bertemu sebelumnya….” gumam Jun Myeon lirih. Perasaan mengekang dan memberatkan yang kemarin menyambangi hatinya kini hilang sudah. Yang ada hanya rasa lega dan haru, sebuah kegembiraan karena ia telah memilih jalan yang tepat dan berhasil memperbaiki segalanya.

Hidup ini penuh dengan pilihan, dan sedikit banyak, Jun Myeon merasa bangga pada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengambil jalan yang benar-benar ia inginkan dari hati terdalamnya. Tidak ada pilihan yang salah ataupun benar, semuanya hanya bergantung pada keyakinan diri maupun caranya untuk menyikapi semua akibat yang datang kemudian.

Ia memilih hidup, maka ia pun akan menjalani hidupnya dengan baik dan menepati semua janji yang pernah ia buat.

Ia sudah memilih untuk memaafkan, maka ia pun akan melupakan semua fakta bahwa Kris pernah membuat sebuah kesalahan yang cukup fatal dengan lapang dada.

Dan kali ini, ia memilih untuk meneruskan ikatan pertemanan yang telah terbentuk di Itineris.

Maka, ia pun dengan senang hati langsung berkunjung ke kamar Kris, mengulurkan tangan padanya, serta tak lupa memamerkan senyum tulusnya. Kris meliriknya lemah dari atas ranjang, sudut-sudut bibirnya ikut tertarik untuk membalas senyum Jun Myeon.

“Senang bisa melihatmu lagi, Kris.”

.

.

.

Welcome to the crossroad

This is a place where you must think wisely and act confidently

.

Because you will only live once

But in that short-moment of your life, there will be so many crossroads and choices to make

.

.

The rule is simple:

First, listen to what your heart’s saying,

And second, make sure that there isn’t any regret in the future

.

.

.

So, what’s your choice?

––e n d––

 

A/N:

First of all, happy anniversary IFK Family!!

Nggak perlu panjang lebar, saya cuma mau bilang kalau saya bangga jadi bagian dari IFK Family, dan sebagai hadiah, saya persembahkan fic aneh nan absurd ini untuk ulang tahun kedua IFK 😀

Dan untuk movie freak yang sudah berhasil membaca fic super panjang ini hingga akhir, I just wanna say: I love you and thank you so much! Jujur, ini pertama kalinya saya nulis dengan genre dan jalan cerita yang seribet ini, jadi mohon pengertiannya (?) ya kalau hasilnya agak fail.

Oh, and special thanks for Arsya (sunflowershark), Kak Silvya (cheverlyjin), dan Vira (quiterie). Fic ini nggak bakalan selesai tanpa kalian, trust me! Terima kasih banyak ya udah mau jadi beta-reader dan membuat kalian pusing dengan semua keanehan ini *hugs* :’)

Last but not least, I still need your review!! (and your love letter for me, maybe? /kicked/) xD

Thank you, movie freaks! 😀

 

XOXO,

 

Tsukiyamarisa

51 tanggapan untuk “[Movie Festival] The Crossroads by Tsukiyamarisa”

  1. wah, kayaknya aku komentator pertama nih XD asiiiik /apa

    kak Amer masuk list scriptwriter yang movienya aku tunggu tunggu lho kak /iniserius/ dan YAAMPUN MOVIENYA KEREN BANGEEEET GA NYESEL UDAH NUNGGU. surrealism… alam bawah sadar, jalan antara hidup dan mati… omg konsepnya keren banget aaaaaaak. dan ada KrisHo. leader-ship. mereka salah satu otp aku lho (di antara sekian banyaknya otp aku tapinya-_-). judulnya juga keren, summarynya juga berhasil menarik perhatian aku. two thumbs up daaah!

    kenapa Kyungsoo dibunuh KE-NA-PA. kenapa banyak bgt author fanfic EXO yang senang membully Kyungsoo sayaaaa /eh/ tapi… karena fanficnya bagus bgt Kyungsoonya gaapa deh mati gaapa /ups.

    jadi ternyata, si Kris Wu yang nabrak Junmyeon dan Kyungsoo, dan ga bisa pulang ke dunia kalau Junmyeon ga maafin dia… ih Kris modus nihyeee /apa/ tapi seenggaknya pada akhirnya dia tulus sama Junmyeon. dan Junmyeon juga setulus hati mau maafin dia, yaaay! Junmyeon kamu kenapa baik banget sih? kenapa? duh, angelic bgt :’)

    ini 8000w ya? yaampun kenapa aku bisa ngerasa ini pendek yaaa? well, berarti ini pertanda aku betul betul menikmati movie yang satu ini iya kaaaaan 😉 diksi kakak bagus, itu ga perlu aku bilang lagi kaan, semuanya juga pasti tau ini 😀 dan ceritanya unik, idenya ga mainstream, dan… aduh, apalagi yaaaa? yang pasti aku memang suka suka sukaaaa bgt sama ini.

    KAK AMER AKU PADAMU KAK /apa/ KEEP WRITING KAK! I LOVE YOU /eh/ AND LOVE YOUR MOVIES TOO! /showers you with lots of loves

    ((anggap aja ini sekalian merangkup love letter aku buat kak Amer yaaa hahaha))

    Suka

    1. halooo! *lirik kalender* so sorry for the late reply yang sampai lebih dari sebulan ini yaa 😦

      yap, kamu komentator pertama dan aduh ini panjang banget gitu komennya, aku sampe speechless loh pas baca…. dan kamu nunggu fic-ku… aduh padahal ini aku kira absurd banget, bikinnya sampe mau meledak sendiri saking anehnya -__- DAN MAKASIH BANYAK UDAH NUNGGU INI ADUH AKU TERHARUUUU ;;;____;;;

      eumm, Kyungsoo…. *mikir* kalo diinget-inget, aku juga baru sadar kalau anak ini sering aku bully di fic…. yah habis muka dia yg pasrah itu enak sih dijadiin cast buat fic angst /lalu dilempar kyungsoo stan/ xD

      yes ini 8000words, dan masa sih kamu ngerasa ini pendek? T^T aduuuh, padahal aku aja pas ngedit sampe mabok lho, aku udah mikir “aduh ntar reader pasti ga doyan baca yg bertele-tele gini” jadi syukurlah deh kalo kamu menikmati /mewek lagi/

      okeeem makasih banyak ya sayaaang, LOVE YOU TOO :*** /gombal/ xD

      Suka

  2. INI SUMPAH KEREN BANGET! AKU SUKA! huaaaaaaaaa ini Duo leader yang harus menentukan pilihan dengan bijaksana (Cocok banget sama posisi mreka di EXO) dan aduh gabisa menjelaskan betapa bahagianya aku menemukan FF castnya EXO lagi setelah sekian lama menanti(?) baik saya hiperbola. Tapi ini WOW,maknanya keren banget,dan untuk pendapat tentang ‘pilihan’ itu aku setuju banget! Pokoknya FF ini DAEBAKK! Keep writing thor! 😀

    Suka

    1. ihihi, iya ini duo leader, makanya aku jadi kepikiran buat cerita yang (sok) bijaksana biar sesuai gitu wakakak xD
      aduh serius ini sekeren itu? aku juga masih belajar kok ;;____;;
      Thanka yaa udah baca 😀

      Suka

  3. Yaampuun keren banget meskipun panjang gak bosen bacanyaa, tapi disini uri Kyungsoo nya kok mati sih 😥 gak tega rasanya ngebayangin dia mati huhuhu tapi ini daebak banget
    Keep writing thor, hwaiting!

    Suka

  4. g nyesel masukin author dalam list author yang fic nya harus dibaca /serius/

    walaupun ceritanya super duper panjang, tapi semuanya terbalaskan dengan begitu KEREEEEEENNNYA thor menulis fic ini.
    aku sampai meneteskan air mata /iniseriusbeneran/

    sebenarnya aku udah bisa nebak apa kejadian yang akan terjadi ketika kris ngucapin
    “Aku sudah membuat kesalahan fatal, dan membantumu… well, kurasa itu tidak bisa benar-benar disebut membantu. Mungkin saja aku hanya memanfaatkan dirimu.”
    tapi aku tetap penasaran dan well, tebakan aku benar.tapi g apalah, ceritanya tetap keren! AKU SUKAAAAAAA!!! dan suka nya pake BANGEEEET!

    dan satu hal dari karya thor adalah sedikitnya ada pelajaran hidup yang terkadang diabaikan disaat ini.padahal hal-hal yang kecil itu malah sangat penting.

    oke sekian aja komennya…
    aku selalu menunggu fic dari autor 🙂

    oya salam kenal juga ya 🙂

    Suka

    1. whoaaa, thanks ya udah dimasukin ke list yang harus dibaca itu…. eung, sebenernya aku sedikit banyak merasa ini nggak sebagus itu, makanya aku terharu baca komen ini ;;;

      yeaaaay, tebakan kamu benaaar!! XD *kalungin bunga* yap, sebenernya pas bagian itu aku emang udah ngasih clue sih soal hubungan krisho ini apa… tapi emang Jun myeon aja kali ya yang kelewat polos makanya dia ga paham -___-
      eum, dan kalo boleh jujur sih, sebenernya ini itu ada pelajaran hidupnya gara2 ini fic semi curhatan HA HA HA…. aku juga lagi galau soal pilihan2 gitu waktu nulis ini, makanya jadi ikut kebawa ke dalem fic deh -__-

      iyap, salam kenal juga yaaa 🙂 makasih udah baca dan maaf kalau bales komennya super telat .__.v

      Suka

      1. waaah,, jadi ngerasa wow gitu kalau sampe tersanjung baca komen ini.. eheheh
        tapi emang bagus kok! bener deeh..

        iya tu,, Jun Myeon yang kelewat polosnya -,-
        seharusnya dia nyadar kan? ckckck…
        tapi kalau dia sadar maksud Kris dari awal aku rasa g bakalan jadi mengahru biru banget akhirnya,, ehehe

        g apa kok 🙂

        Suka

  5. Kya INI KEREN. Leader couple. Fantasy2. Alam bawah sadar manusia. Ooch its so cool.secool mkanya kris.hehe. I love you and i love Kris too.

    Suka

  6. KEREN BGTTTTTTTZZ! kalo bacanya dikit-dikit pasti pada gapuas deh, harus baca sampai akhir. tapi keren banget serius. bahasanya itu loh beuhh cetarr membahana(y)
    Ditunggu ff romancenya yaaaps! keep writingg! fighting~

    Suka

  7. r u sure ini 8000w? sumpah berasa pendek loh….mungkin karena aku nikmatin banget ceritanyaaaaaa. apalagi adegan pas di kedai itu entah mengapa ngena dan unforgetable banget mulai dari penggambaran suasana, tempat, bahkan dialog krisho yg lembut dan kayanya penuh misteri. pokoknya k-e-r-e-n. tumbs up! 😀

    Suka

  8. So far, ini adalah fanfic paling aku suka selama festival berlangsung. Titik.
    Mer, aku harus bilang apa? AKU SUKA BANGET FANFIC INI! 8000 words yang luar biasa, indah, dan menyentuh. Aku nangis Mer, nangis deh beneran bacanya pas masuk ke scene akhir T^T feelnya ngena. Karakterisasi juga interaksi Suho dan Kris beneran ahdhjfklyeiodjdj ;A; rasa takut, gelisah, bingung, galau, dan manisnya bener-bener sampe! Chemistry mereka toloooooong! Cara kamu bercerita dari awal sampe akhir juga beneran bikin penasaran, narasi yang kamu tulis juga jauh dari kesan boring. Ringan tapi berbobot, dan aku memang lagi suka banget baca cerita bergaya bahasa sederhana dengan permainan kata yang epik :–) and you made one! Kyaaaaaaaaak!!! Pokoknya aku puas dan lega banget karena Kris dipakai oleh author yang tepat dan hebat :’’’) thanks banget ya! AKU FANS KAMU MULAI SEKARANG! TITIK!

    Suka

    1. kakak yakin ini fic paling disuka selama festival? /mojok sambil mewek/ karena menurutku ini fail banget dan kak nisa bilang gitu… aduh…. /nangis di pundak kris/
      eumm, aku ngerasanya nggak pantes gitu lho kak buat baca komentar kakak ini… rasanya aku belum se-wow itu… but, makasih banyak yaaa *hugs* syukurlah kalo karakterisasi mereka nggak gagal dan feelnya pun sampe, aku sampe minta banyak orang buat nge-beta ini gegara genrenya yang psychology dan aku rasa berat..dan… dan… aduh betapa bersyukurnya aku kalo ternyata orang-orang paham baca ini .____. /ceritanya curhat dulu/
      iya sama-sama kak! AKU JUGA FANS KAK NISA DARI DULU KOK! 😀

      Suka

  9. Daebak >,< aku sampai binggung mau bilang apa lagi –" Diksinya sederhana tapi keren. Idenya juga menarik, apa lagi surrelism adalah salah satu genre yang aku suka. Pokoknya pas deh kekeke~ Tapi kenapa Kyungsoo harus mati, kasian sekali uri D.O T^T Tapi engga apa deh, soalnya kalo D.Onya masih hidup entar alur ceritanya beda lagi =.=" Pokoknya suka deh XD Jjang thor !

    Suka

    1. eumm, sebenernya ini surealis rada gagal sih…. soalnya aku pun nggak yakin kalo ini udah bisa disebut surealis .___. dan maaf itu Dyo-nya….. entah kenapa aku suka sekali membuat dia dapet peran kasihan gini /kicked/
      iyap, makasih ya udah baca ini 😀

      Suka

  10. Seperti komen komen di atas, aku juga suka kak. Sumpah ya feelnya dapet banget dan AKU NANGIS KAK catet itu/apaancoba/
    Aku baru tau yang namanya genre surealis dan akhirnya kakak jelasin lewat fic ini. Aaaak sudahlah, awalan itu bikin bingung banget, aku kira Jun Myeon itu bukan manusia malah/plak/ Tapi endingnya beneran nguras airmata sekaligus melegakan banget. Standing applause lah kak. Nggak nyesel jadi fansnya kak dan nunggu ficnya yang baru. I love this one!
    Oh iya kak, semangat buat awal kuliahnya ya. Terus berkarya keren~~

    Suka

    1. Halo Niswa!! aduh kamu beneran nangis pas baca ini? padahal aku bikinnya nyaris muntah baca tulisanku sendiri yang.. eum.. absurd ini (/.\)
      aduh, dan kalo kamu mau tau genre surealis yang beneran, baca tulisannya kak nisa aka theboleroo ajaaaa, ini surealisnya cuma slight dan rada gagal gitu sumpah .__.
      iyaap, makasih banyak ya Niswa! see ya! 😀

      Suka

  11. kak amer, ini serius kerennn pake bangettt
    meski pnjang, tpi nggak boseni, nggak ad kata2/kalimat yg tesia2 di sini
    ide ceritanya bener2 kerennn
    dan pesan2 di ceritanya itu lo ngena banget :’)
    pokoknya kerenn lahh uwahh

    Suka

  12. oh my,
    it is one of SUPER FANTASTIC fanfic. 😀 maaf kalo hiperbola. tapi ga nemuin pengungkapan yang pas buat bilang gimana bagusnya cerita ini ;A;. aku salut dan sangat menikmati tiap scene demi scene. perasaan yang campur aduk dan ngena. aku suka sama karakter semua cast disini, beneran cocok dan pas. cerita yang asik, menyentuh, bermakna, ringan tapi wow.. aku sukaa… ><
    dan, berkat ff kakak aku makin cinta sama cerita surrealism.. meski alam bawah sadar, aku suka dg penggambaran Itineris yang berasa nyata. itineris juga salah satu point favoritku.
    brothership disini bener2 nyentuh. dan aw, krisho.. mulai hari ini aku ngeship mereka u,u dan juga masukin kakak ke dalam list author fav ku.. hehehe

    ….I'm speechless. harus gimana lagi kak? :') terus berkarya Kak Amer. karya kakak kan slalu ku tunggu.. (duhduh, maaf sksd)

    Two thumbs and standing applause for you… ❤ kyaaa 😀

    Suka

    1. wow, are you sure that this fic is super fantastic? ;;; aduuuh, makasih banyak ya buat pujiannya, sepertinya aku belum deserve kok buat dibilang kaya gini….
      dan ini kan surealism separuh gagal, aku juga masih meraba genre satu ini, jadi aku nggak begitu yakin kalo ini bisa disebut surealis, hahaha /jder/
      dan syukurlah kalo kamu nggak bingung sama penggambaran itineris… soalnya aku kira bagian itu fail berat -___- dan KRISHO!! hahaha, ayo bergabung jadi shipper leaders yang unyu munyu iniii :3
      iyap, makasih banyak yaaa, salam kenal jugaa! aku manggilnya siapa nih? 😉

      Suka

  13. Amer,,km makanny apa??minumnya apa??meliht apa??susunan pemikrnmu trbuat adari apa???
    huwaaa..ide km bener-bener luarrr biasaaaa…pertama baca ku cepet2n,,kedua baca q hayati bner2..dan akhirnya duaarrr..pesanny dapt bangetttt…
    gambaran KrisHo yg pas,,hehee..cerita ini WOW..terimksh,,terimksh,,kgk tw lagi dh harus bilg apa..pokoknya WOW,,Suka,,DAEBAK,,JJANG..KERENNNN..^_^
    teruskan berkrya dg ide2 genius yg lain..keke..

    Suka

    1. aku makan sama minum cintanya kkamjong, terus ngeliat senyum junma tiap hari…. /gagitu/ xD nggak deng, aku makan minum kaya orang normal kok, cuma bagian ngeliat senyum junma tiap hari itu beneran *LOL
      aduuuh, makasih banyak ya udah baca dan suka sama ini! 😀

      Suka

  14. *Speechless* Aaaa haloo Amer 🙂 Kamu buat Krisho fic yg menyentuh bgt. Aku gak yakin ini 8000w krn aku merasa fic ini justru kurang panjang ;–; karena aku menikmati bgt. Setiap kata yg tersampaikan di sini penuh makna dan pesan yg mendalam. Dan aku suka sm ide ceritanya yg mengangkat kisah seperti ini. Penggambaran, penarasian latar, waktu, perasaan pokoknya semuanya aku bisa merasakannya, membayangkan dan feelingnya tersampaikan dg sgt baik :””) Aaa pokoknya terharu.

    Dan aku berhasil nebak kalau Kris yg nabrak Junmyeon sm Kyungsoo /horai/ tapi aku ttp penasaran sm endingnya yg mengharukan :”)
    Overall, You did it very great mer!! Ini gak failed kok. Keep writing yaa 😀

    Suka

    1. halo juga Uciiii!! aw kamu baca ini juga dan… apaaah? kamu ngerasa ini kurang panjang? O__O ini serius 8000 words kok, bahkan aku aja pas ngedit udah mau muntah sambil mikir: gilak ini panjang banget, ntar kalo reader bosen gimana? .___. dan kamu bilang kamu menikmati ini, heuuu, aku terhura ;;;;

      horeeee, kamu berhasil nebak! *kalungin bunga* yap, aku emang udah kasih clue sih disana, cuma emang Junma aja yang terlalu polos dan gabisa nebak kalo kris yg nabrak -___-
      iyaap, makasih banyak ya Uci! *plop *balik ke twitter XD

      Suka

      1. Iyaa dong bacaa XD kan ada Junma sm Kris di sini ;3
        Ahaha serius deh kurang panjang, saking menikmatinya dan tau-tau udah abis aja gitu XD

        *terima bunga* *jabat tangan* xD /apasih ini/
        Huehehe Junma kan emg polos dan dia selalu berpikir positif ttg Kris. Dan dia terlalu baik ;3

        *See u on twitter byeee =D

        Suka

  15. ampuuun ini keren banget :””)

    aku baca ff ini di bus loh, mau keluar kota /lahterus/ /nggaknanya/. aku suka fanfiction yg ringan kayak gini. terus alurnya juga menarik loh, susah mau ditebak. hahaha. apalagi yang pas bagian kris bilang: “Aku sudah membuat kesalahan fatal, dan membantumu… well, kurasa itu tidak bisa benar-benar disebut membantu. Mungkin saja aku hanya memanfaatkan dirimu.” itu akunya dibuat penasaran.

    tapi… kenapa mesti dio yang dinistain sih… ampun, biasku…………….. (tapi menurutku dio cocok juga sih, soalnya ngeliat ekspresi wajahnya itu rasanya anak itu mau minta dinistain gitu /slapped/).

    ahh, bingung mau komentar apa lagi–” ini seriusan, keren banget ;AAA.

    keep writing ya author^^

    Suka

    1. waaa, kamu baca ini di bus… jangan bilang kamu komennya juga di bus? O_O
      dan kamu bilang ini ringan….. err, padahal aku kira ini temanya rada berat dan bikin bingung lho .___.
      eumm, iya maaf ya si dio terpaksa meniun di sini… tapi seperti katamu, ekspresi wajahnya yang kelewat polos itu emang enak buat dinistain kok -__- /slapped

      okaay, makasih banyak ya udah baca 😀

      Suka

  16. Emosiku dikuras abis baca fanfic ini,beneran deh sampe sekarang sambil ngetik komentar sambil nenangin diri,mataku berair terus masa,,
    gak tau gara2 sejam lebih baca fanfic ini atau karena emang lg gak enak badan -___- #abaikan
    eh gak kok ini segala macem emosi langsung keluar pas baca fanfic ini,
    awalnya aku kira tentang vampire deh,abis junmyeon minum sesuatu merah pekat gitu,gak taunya sirup #plakk
    sedih sama keputusan kyungsoo yg lebih milih jalan ke kiri,pengen banget tau perasaan dy pas mutusin buat mati…kenapa dy harus ke jalan itu?
    Tapi yah namanya takdir gak ada yg bisa nentuin sih,mungkin emang ada paksaan dari hatinya supaya belok ke kiri…
    Kris…dari awal nih cowo ngajak junmyeon ngomong udah curiga ada apa2nya,apalagi pas ngajak jadi teman seperjalanan(?)
    tapi aku gak kepikiran dia yg nabrak junmyeon,aku kira junmyeon n kyungsoo kecelakaan sendiri gitu,mobil oleng trus masuk jurang #EA #KorbanSinetron
    pas kris ngeyakinin junmyeon buat balik ke bumi itu aku udah mulai dagdigdug bacanya,belum lg pas kris bilang ada sesuatu di bumi yg harus diselesaikan sama junmyeon…takut banget kalo misalnya ntar ada apa2 gitu,ternyata junmyeon gak kembali ke bumi dan digantiin kris,ini sumpah deh ceritanya gak ketebak !
    Tapi waktu junmyeon beneran sadar trus jongin tiba2 bilang keluarga yg uda nabrak mereka pengen ketemu sama junmyeon langsung aja tuh pikiran yg nabrak myeonsoo pasti kris
    ah…aku sebenernya gak mau ada acara mewek2an,,cukup berkaca2 aja (?) tapi pas luhan cerita bilang kris akhirnya sadar jadi terharu gitu,dan puncaknya pas dia cerita kris bilang ‘terima kasih jun myeon’
    astaga langsung meleleh -____-
    sejak awal emosi udah dimain2in nih sama fanfic km,bikin penasaran jg sampe nebak2 sendiri,
    prediksiku sih kris bakal milih jalan kiri kalo uda dimaafin sama junmyeon,aku udah siap2 kecewa,siap2 makin mewek,siap2 tissue (yg ini bohong) eh ternyata dy balik…astaga kris balik!!!
    Kalo mau jujur sih yg bikin aku nangis kejer itu nasib kris di alam antah berantah itu,junmyeon lg bikin tambah dramatis pas bilang di sana dy gak ada temen,kris kesepian,dy harus ngelakuin perjalanannya sendiri,
    berasa gak tega banget,dy gak sengaja ngelakuin itu,orang sebaik kris gak sengaja nabrak myeonsoo sampe kyungsoo mati,dan dy bener2 ngerasa bersalah…
    Aku harap persahabatan mereka tetep berlanjut, Tuhan itu adil yah,hilang kyungsoo si junmyeon langsung dapet penggantinya Y.Y
    tsuki km pinter deh mainin perasaan reader,ini gak gagal sama sekali dan mungkin melebihi kata berhasil (maaf saya mulai lebay)
    keep writing yah!
    Oya drabble series di blog km bakal aku baca sekalian pas liburan ntar supaya gak kepotong2 bacanya XD
    thanks buat cerita2 km yg selalu menghibur…^^

    Suka

    1. WOW, INI KOMEN PANJANG BANGET SERIUSAN!! Halooo, aku sering banget liat namamu komen di ficku dan itu pasti panjang-panjang banget… duh aku sampe speechless gini lho bacanya… makasih banyak ya ;;;

      hahaha, oke ternyata ada juga yang ngira Junmyeon itu vampire XD padahal kan yang dia minum cuma jus cherry (dan btw, aku gatau benernya jus cherry itu ada apa nggak .__.)
      kyungsoo… well, seperti kata kris, itu udah takdirnya dia meniun sih… bukannya dia pengen mati, tapi emang udah saatnya mati ;;;
      hahaha, kris emang misterius dan yap! si tiang listrik ini yang nabrak junma sama kyungie… yah kalo mau ditambahin habis tabrakan masuk jurang juga boleh sih (?) /apa/

      uh, aduh maaf ya kalo aku mempermainkan emosi sama rasa penasaranmu, saya emang demen bikin reader terombang-ambing isi hatinya /apa/ /jder/ dan tidaaak! aku nggak setega itu kok bikin kris milih jalan ke kiri terus ikut meniun… ntar junma sama siapa dong? *maaf ini krisho shipper akut xD*

      yap, sama-sama ya Seul! (uh, boleh kupanggil gitu kan? soalnya aku gatau harus manggil apa) makasih udah komen dan selamat menikmati drabble-seriesnya! 😀

      Suka

  17. Hai Kak Ameeeerrrr~ /lambai-lambai
    Di sini Al a.k.a airacho :3

    Well saya mau bilang kao ff ini KECE BANGET! hohohohoho~ /lap keringet
    Aku baca kemarin malam sih~ tapi baru bisa komen sekarang~ :3

    Kayaknya di sini aku nggak bakal bicara banyak. Pokoknya ini ff kece badai. Saking kecenya aku nggak sadar kalau ternyata ini ff pajang banget! Baca komen baru sadar kalau ternyata ff ini sepanjang dua one-shhot. /lap keringet

    Fiuh~ okeh~ jadi duet dua leader di sini itu asyik! Suka banget sama tokoh Kris di sini. Dia itu nyebelin tapi nggemesin (?) banget. Ahay~ Kalo Suho-nya sih saya biasa aja. Kelihatan lemah banget waktu nangis /ditelen Suho bulat-bulat. Well too biased saya di sini :v

    Tapi kalo jadi Suho saya juga bakalan galau kok :v /ngaku. Dannnnn itu aku sudah tau di tengah cerita kalo Kris itu yang jahat (?) xD Nappeun Kris~ xD

    Er, nggak tau mau komen apalagi~ bye~ xD/

    Suka

      1. Halo Al!! wah makasih ya udah komentar di sini… aku udah ngecek komentar kalian sejak sebulan lalu, tapi baru bisa bales sekarang gara2 sibuk kuliah -__- sorry for the late reply yaa /bows/

        yap, ini emang panjang bangeeeet, cuma waktu itu kalo mau dijadiin two-shot malah aneh dan aku bingung motongnya dimana… yaudah jadiin oneshot aja dan ternyata emang ini super panjang -__-

        ahahaha, aku juga sedikit too biased sebenernya pas nulis ini, makanya kris jadi menderita dan suho jadi nangis gitu (iya aneh emang, tapi aku suka junma gara2 dia gampang mewek itu /dor/) xD

        okaaay, makasih banyak ya Al buat komentarnya :3

        Suka

  18. KEREN………. Aku gk nemu typo entah emang gk da atau mata aku yg gk bener tapi emang kayaknya gk da. Huaaahhhh penulisannya itu uuhh bagus banget,, cerita ini banyak memberi kita pelajaran dalam hidup.

    Ini sama sekali gk absurd seperti yg author bilang, ini keren! Aku jadi ikut merasakan kebimbangan seorang Suho dan rasa bersalah kris, sedih…. Tapi di endingnya fiuh aku bisa bernafas lega hah 🙂

    Oke, sekian 🙂

    Suka

    1. aduh, syukurlah kalo kamu nggak menemukan typo di sini… berarti perjuangan (?) aku ngedit tiga kali nggak sia-sia xD /dor/
      yep, makasih banyak ya udah menganggap ini nggak absurd dan makasih banyak udah baca ini 😀

      Suka

  19. Awal baca mikir keras itineris tuh apa, dan aku kira persimpangan tempat orang koma dan ternyata bener, eh terus kepikiran lagi-pas kris bilang dia punya hubungan sama junmyeon dan…..- kalo dia yang nabrak, dan bener lagi xD apa ini efek aku sering baca ffmu jadi bisa sejalan (?) pikirannya sama ffmu? /narsis/ :))))

    Baru tau kalo junmyeon itu suho gara-gara baca komen :)))) dan seketika aku protes, bukan krisnya yang tinggi, suhonya yang kependekan /dibantai xD

    Endingnya kok so sweet gini :3 mulia banget si suho ini :’) suka deh sama definisi tulip putih itu 😉

    Suka

    1. Intaaaaan!! hahahaha, itineris.. well itu pake bahasa apa aku juga lupa, pokoknya waktu itu aku asal mainin gugel translate dan nemu kata itu, yaudah dipake aja /dor/ xD hihihi, iya kali ya, kita kan ikatan batin, makanya kamu bisa nebak gitu :**

      uh, iya junmyeon itu suho dan…. ITU EMANG KRIS YANG KETINGGIAN! /ganyante/ masa orang diatas 185 kamu bilang nggak ketinggian sih tan? .___.

      makasih banyak ya udah baca ini tan! hehe, benernya aku kaget lho liat komenmu muncul, tumben kamu baca padahal aku nggak promosi XD

      Suka

  20. AMERRRRRRR, SORRY FOR THIS LATE COMMENT ;;___________;;
    kmu sempet bilang klo ini adalah fic terpanjang yg kamu buat dan kak bacanya tuh gimana gitu ya, ga kliatan kaya <8000W gini lho mer, beneran deh…
    dan u know mer, kak baca ini tuh nangis..waktu kak jdi beta, ga nyangka banget klo ceritanya bakal ngeharukan bgini..pdhl seblumny kak abis baca epilog LAL-mu dan baru komen dimari dan kembali inget scene2 disini dan T_________________T kak nangis lagi donk /tanggungjawab kamu mer/ ;;__________;;

    suho yg plinplan, kris yg misterius, dan berujung pada kenyataan yg unpredict..
    obrolan krisho sebelum suho pulang jiwanya, itu kata-kata kris tulus banget lhooo dan cara suho menghadapi kenyataan waktu tau siapa kris sebenernya, itu bener2 uhhh, momen berkesan banget..pokoknya kak suka krisho ini~~~

    Suka

    1. KAK SILVYAAAA!! Aduh gapapa kok kak telat, aku jadi malah nggak merasa bersalah karena baru bales komen di fic ini sekarang /heh /slapped/ XDD lagian aku tau kak silvya pasti komen, hahahaha kan udah jadi trademark cherrybombs kalo komen ngutang dulu lol xD

      eum, tapi kenyataannya ini emang fic oneshot terpanjang yang pernah aku buat kak… kenapa semua pada bilang ini kurang dari 8000 words sih… jangan2 word count ms.wordku eror lagi -__- ah, iya! makasih banyak ya kak udah jadi beta waktu itu, kalo bukan gegara di beta kalian semua, fic ini pasti udah macet di tengah gara2 aku bingung ngelanjutnya gimana T T

      iyap, makasih banyak ya kak udah suka KrisHo-nya! ayo kita balik menistai mereka lagi di twitter! XD

      Suka

  21. Yeeee Tretetetttteeettt Duuuuuarr!!!Puji tuhan endingnya Happy :*!!!/tebar confetti/
    Ini idenya gak mainstream banget,unpredictable,dan laangka (?) bgttt.Dan yang BIKIN TAMBAH SENENG FF ini mendapuk Leader-line sebagai MAIN CAST !!/makin ga nyante/
    Apalagi ada itinerisnya juga,wakwakwak kalo dipikir-pikir si kris moduss nih/ah jangan dimaafin kris-nya suho oppa!/.
    Jun Myeon tetep stay angelic as usual muehehehe,berasa tuluss banget waktu Suho mau maafin kris meskipun krisnya moduus si ._.
    Oke,Author-nim ini really AMAZING ! ❤ ❤

    Suka

  22. speechless, ini FF terlalu bagus.

    two thumbs up for author. longshot yang gak ngebosenin dan alur yang mengalir perlahan buat aku jadi betah bacanya.
    Tapi, itu kenapa si bocah mata belo harus mati??? #lirikkyungsoo

    Sukses terus untuk author! 🙂

    Suka

  23. Aku reader baru di sini dan ini fanfic pertama yang aku baca di sini.Ceritanya seru dan beda,karena biasanya kebanyakan romance.
    mengharukan banget penulisannya rapi lagi.Sukses buat author.

    Suka

  24. SUMPAH KEREN!!!! KONSEP TEMPAT YANG BENERBENER WOW DITAMBAH STYLE NULIS YANG GA RIBET+ENAK DIBACA BIKIN AKU NIKMATIN BANGET FF INI AAAH TWO THUMBS UP!!

    Suka

  25. aku baca ini tahun 2016 dan ini KEREN KAKAK
    sesuatu yang baru aku temuin di ff ini dan ini bener-bener keren
    -ga bisa ngomong apa-apa lagi –

    Suka

Leave Your Review Here!