[Drama Week] Home Sweet Home by Zoe Alanna

home-sweet-home2

Home Sweet Home

by

Zoe Alanna

Lee Bo Young and Han Ji Min

AU, Family, Sad | Vignette | General

 

You could open up a map of the world, you could look all over the globe, but you’ll never find a place as comforting as your hometown, right?Home Sweet Home, Home Made Kazoku

 

Thanks to Kia for this beautiful poster! 🙂

/ / /

Lee Bo Young menginjakkan kakinya di Bahnhofstrasse, sebuah kawasan pejalan kaki yang terkenal di Zürich, Swiss. Letaknya yang persis di depan stasiun utama kereta api, Zürich Hauptbahnhof, membuatnya ramai dikunjungi orang. Apalagi kawasan ini termasuk kawasan mahal dan eksklusif untuk berbelanja.

Lee Bo Young menuju bagian bawah tanah Zürich Hauptbahnhof, memutuskan untuk menunggu salah satu rekan kerjanya di sebuah kafe. Di bagian bawah tanah stasiun ini memang digunakan sebagai perbelanjaan dan kafe.

Lee Bo Young mengeluarkan ponselnya saat ia sudah duduk di salah satu kursi kafe. Ia menunggu teleponn dari Anneliese, tetapi layar ponselnya menampilkan nama yang membuatnya terlonjak. Han Ji Min? Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu dan menyapa, “Halo.”

Eonni?

“Hmm?”

Kau tidak pulang?

Terjadi jeda beberapa detik sebelum akhirnya Lee Bo Young menyahut, “Aku tidak tahu.”

Eonni…” Han Ji Min berdeham, “Apa kau tidak rindu rumah? Apa kau tidak rindu padaku, ayah dan ibu? Apa kau tidak rindu—”

“Aku rindu.” potong Bo Young cepat. “Aku rindu. Sangat.”

Lalu apa kau tidak bisa ke sini? Sehari saja?” Ji Min menghela napas saat kakaknya di seberang sana tidak menyahut. Mungkin memang kakaknya sangat sibuk di Swiss sana, tapi apakah ia tidak bisa datang ke tanah kelahirannya, walaupun hanya sehari? Ji Min rindu dengan kakaknya itu.

“Baiklah,” sahutan di ujung sana membuat Ji Min kembali tersadar. Sudut bibirnya tertarik saat mendengar kembali suara di ujung sana, “Akan kuusahakan.”

Oke, sampai jumpa di Seoul, ya!” Ji Min berseru senang. “Ayah dan ibu juga pasti ingin bertemu kita.”

“Oke.”

Tut.

Lee Bo Young menghela napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak, mendadak sekelebat dari masa lalunya berputar, seperti film yang berputar tanpa jeda. Ia langsung membuka matanya cepat saat merasakan tepukan di bahunya.

“Lee Bo Young?”

Bo Young menoleh dan tersenyum begitu tahu siapa yang menyapanya. Annaliese, salah satu rekan kerjanya. “Ja?”

Danke—terima kasih—untuk rösti[1] yang kemarin kaubawa,” Annaliese tersenyum, menarik salah satu kursi di hadapannya. “Lain kali bawakan aku lagi, ya.”

“Tentu.” sahut Bo Young cepat, tersenyum. Baginya, Annaliese adalah rekan kerja sekaligus keluarganya di sini. Dia adalah orang yang pertama kali membuatnya nyaman tinggal di Swiss. Dia adalah orang yang mengajarkannya untuk terbiasa menggunakan bahasa dan dialek Swiss-Jerman. Dia adalah keluarga yang ia punya di sini.

“Annaliese, Herr[2] Reiss besok tidak masuk, ya?”

Ja,” Annaliese mengangguk pelan. “Dia masih sakit.”

“Oh.” Bo Young menyahut pelan. Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya mendengar kembali suara Annaliese.

“Kenapa?”

Bo Young menghela napas, lantas setelahnya menatap manik mata Annaliese dengan ragu.  “Aku ingin mengundurkan diri.”

“Apa?” Annaliese menjerit tertahan, menyebabkan Bo Young memberikan tatapan bersalah padanya.

Ichmuss gehen—aku… harus pergi,” ujar Bo Young pelan.

“Ke mana?” tanya Annaliese pelan, menunduk. Ia memainkan jari jemarinya saat mendengar suara Bo Young yang tertangkap telinganya. Annaliese tersenyum maklum kala tahu Lee Bo Young akan ke mana.

Seoul.

Ya, Lee Bo Young sudah memutuskan itu. Jauh-jauh hari sebelum menerima telepon dari Ji Min tadi, ia sudah merencanakan kepergiannya ini. Bo Young akan kembali ke Korea Selatan dan meninggalkan karirnya di sini. Bagaimanapun juga, seenak apa pun kehidupannya di Swiss, Korea Selatan adalah tanah kelahirannya, Seoul adalah rumah terbaiknya.

///

Han Ji Min menggerakkan sebelah kakinya dengan tidak sabar. Saat ini dia sedang berada di bandara Incheon, menunggu kedatangan kakaknya. Begitu ia menerima pesan kakaknya pagi tadi bahwa ia akan pulang hari ini, dengan segera ia langsung menyiapkan segalanya. Ia membersihkan rumah dan merapikan kamar kakaknya, agar kakaknya merasa nyaman ketika kembali ke rumahnya sendiri. Ji Min bahkan sudah datang ke bandara dan menunggu hampir satu jam lebih. Ia lupa kalau jarak antara Swiss dan Korea Selatan itu tidak dekat, membutuhkan waktu hampir sebelas jam.

Setelah berjam-jam menunggu, Ji Min langsung berdiri di salah satu terminal kedatangan. Sebentar lagi kakaknya akan datang. Ia tersenyum sumringah saat melihat sosok kakaknya menggeret sebuah koper besar. Dengan cepat, Ji Min berseru lantang, “Eonni!”

Bo Young menoleh, lantas ikut menarik sudut bibirnya lebar-lebar. Mereka berdua berlari kecil dan saling memeluk riang, merasakan kehangatan merambati punggung mereka.

Wie goots Ihne?—apa kabar?”

Bo Young tersentak, lantas melepaskan pelukan itu dengan cepat. “Dari mana kau belajar itu?” Sebelah alisnya terangkat sebelah, menggoda adiknya dengan senyumnya yang tertahan.

Ji Min memberengut, “Eonni tidak tahu betapa susahnya aku menghapalkan dan mengucapkan itu.” Nada manja dari Ji Min membuat Bo Young langsung mengacak-acak rambut adiknya itu dengan gemas.

Welcome back, Eonni!”

Dan Han Ji Min memeluk kakaknya sekali lagi.

///

Pagi-pagi sekali, Bo Young mengajak adiknya pergi dan Ji Min sudah tahu akan ke mana mereka pergi kali ini. Bo Young menyetir mobil dengan serius, sementara Ji Min yang duduk disebelahnya menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Mereka berdua tak berbicara apa pun selama perjalanan.

Ji Min melepas earphone-nya saat kakaknya sudah mematikan mesin mobil. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti Bo Young yang sudah lebih dulu keluar mobil.

“Ini.” Ji Min berdiri kaku saat kakaknya memberikan tas kanvas yang diambilnya dari dalam bagasi.

Dengan udara pagi yang cukup dingin, mereka berdua berjalan bersisian tanpa suara, memasuki kawasan pemakaman di depan mereka. Mereka menaiki beberapa anak tangga sebelum akhirnya berhenti di sebuah bukit.

Ji Min merapatkan jaket yang dipakainya saat merasakan angin yang berembus menyapa kulitnya. Ia mendesah tak kentara saat kakinya mengikuti langkah kakaknya yang berbelok, menaiki beberapa anak tangga lagi, lantas berhenti di depan sebuah makam dengan nama Lee Kangsoo yang terukir di batu nisannya.

“Halo, ayah.”

Mereka berdua duduk bersimpuh di depan makam ayahnya seraya membungkuk dalam. Ji Min langsung meluruskan tubuhnya kembali saat mendengar suara kakaknya.

“Karena kita tidak punya anak laki-laki di keluarga, jadi kita tidak bisa melakukan prosesi penghormatan anak laki-laki.” Bo Young tertawa kecil, lalu membuka tas kanvas yang dibawanya. Ia mengeluarkan satu persatu isinya; menaruh beberapa makanan, buah-buahan dan arak. “Tapi setidaknya aku membawa itu semua.” lanjutnya.

Ji Min membersihkan rumput kering yang bertebaran di sekitar makamnya ketika telinganya menangkap suara kakaknya lagi.

“Ayah, aku pulang.” ujar Bo Young pelan.

Dulu sekali, Bo Young membenci kata pulang. Baginya, pulang ke Seoul adalah sebuah penderitaan. Ia selalu menolak jika orangtua mereka menyuruhnya untuk berlibur ke Seoul karena menurutnya Swiss menjadi tempat pelarian terbaik baginya saat itu.

Tetapi kali ini, ia tidak membenci kata itu lagi karena ia baru menyadarai, ada banyak hal yang diabaikannya ketika ia tidak bisa pulang ke Seoul.  “Kehidupanku di Swiss memang menyenangkan, tetapi tidak ada yang lebih menyenangkan lagi ketika aku mengunjungimu.”

“Ayah…” Bo Young menoleh pada adiknya, mengulum senyum saat memerhatikan adik satu-satunya itu sedang sibuk membersihkan daun-daun kering. “Adik kecilku ini sudah semakin dewasa, ya.”

Ji Min yang merasakan kakaknya sedang membicarakan dirinya, buru-buru mendongak dan menatapnya. Ji Min memberinya seulas senyum tipis ketika kakaknya mengangguk pelan.

“Halo ayah, apa kabar?” Ji Min bertanya pelan.

Hanya itu yang mampu diucapkannya. Padahal sebelumnya, ia sudah merangkai kata-kata yang akan diucapkannya untuk ayahnya itu. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa berbicara apa-apa selain bertanya kabar. Ji Min terdiam cukup lama, membuat Bo Young tersenyum maklum. “Baiklah ayah, kami ingin mengunjungi ibu juga.”

Setelah berujar seperti itu, mereka berdua berdiri, berjalan ke kanan sedikit dan berhenti tepat di depan sebuah makam.

Han Hye Soo. Itu nama yang terukir di batu nisannya.

“Halo, ibu!” Mereka berdua menyapa secara bersamaan, membuat tawa meluncur begitu saja dari dua gadis itu.

“Apa kabar?” Ji Min bertanya pelan seraya membersihkan daun-daun kering. Ia membongkar isi tas kanvas yang diberikan oleh Bo Young tadi. “Eonni memberiku ini.” Ia menyusun berbagai macam makanan dan buah-buahan dengan rapi.

“Ibu, aku pulang.”

Ji Min hanya tersenyum tipis kala mendengar suara kakaknya. Kali ini kakaknya bercerita cukup banyak pada ibunya. Tak jarang Ji Min mengerutkan dahi karena kakaknya itu berbicara dengan bahasa Swiss-Jerman yang tak bisa dimengertinya.

“Nah, Ji Min,” Ji Min menatap kedua manik mata milik kakaknya dengan serius. Ia hanya mengangguk saat Bo Young melanjutkan ucapannya, “Sebelum kita pulang, ayo ucapkan sesuatu pada ibu.” Bo Young menoleh pada Ji Min dengan senyum yang terpasang di wajahnya.

Ji Min berdeham, lalu berujar perlahan, “Ibu, Eonni tidak menolakku lagi ketika kupeluk.”

Dan senyum Lee Bo Young luntur begitu saja. Ia merasa tertampar karena selama ini adiknya merasa kalau dia pernah menolak kehadiran adiknya itu. Dulu mungkin begitu, tetapi sejak kejadian dua tahun yang lalu, ia benar-benar menerima adiknya dengan tangan terbuka.

Lee Bo Young tahu, dunia ini selalu penuh dengan penyesalan dan dia menyesal karena pernah menjadi Bo Young yang terlampau kejam. Ia menyesal karena mungkin—secara tidak langsung—pernah menyakiti hati adiknya itu.

Lee Bo Young tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bertanya dalam hatinya.

Darf ich weinen?

Bolehkah aku menangis?

///

Dua tahun yang lalu saat musim dingin di Swiss, Lee Bo Young menerima telepon dari ayahnya. Percakapan itu berlangsung sebentar, hanya sekadar menanyakan kabar masing-masing dan ayahnya bertanya kapan dirinya akan pulang ke Seoul.

“Sepertinya sekitar dua bulan ini aku tidak bisa pulang.”

Kenapa?” Ada nada kecewa tersirat yang didengar Bo Young.

“Pekerjaan,” sahut Bo Young. “Pekerjaan di sini benar-benar menyita otak dan tenagaku.”

Baiklah,” Bo Young mendesah tak kentara saat mendengar nada pasrah yang didengarnya. “Jaga kesehatanmu, ya. Kami di sini merindukanmu.”

Sambungan diputus begitu saja oleh ayahnya, membuat Bo Young menghela napasnya panjang. Sebenarnya, ada hal lain yang memaksanya untuk tetap tinggal di Swiss lebih lama, yaitu rasa tak terima yang dideranya. Egois memang, tetapi Bo Young masih belum menerima pernikahan ayahnya itu. Lee Bo Young hanya ingin menghindari ibu dan adiknya.

Terdengar kejam, bukan? Tapi siapa yang ingin tiba-tiba saja orang asing masuk dalam kehidupanmu dan bersikap seolah-olah mengenalmu sejak lama? Lee Bo Young tidak suka ketika orang asing menyapanya terlalu ramah, bahkan ingin memeluknya sebagai anggota keluarga.

Oh, well, dia sudah dewasa. Dia sudah bekerja dan bahkan hidup jauh dari tanah kelahirannya sendiri. Tetapi semakin lama ia berpikir, semakin banyak rasa tak terima yang menumpuk di hatinya. Ia tidak tahu kapan ia bisa menerima keluarga barunya itu.

///

“Ji Min, kira-kira kau pulang kuliah jam berapa?”

Ayah bertanya saat Ji Min sedang mengunyah rotinya. Ia menelan rotinya tersebut sebelum menjawab, “Umm, entahlah. Hari ini ada acara kampus yang tak bisa dilewatkan.” Ji Min menatap ayahnya yang masih terdiam, membuatnya ingin bertanya lebih jauh. “Memangnya kenapa?”

“Ah, tidak, ayah hanya—”

“Kami akan ke Swiss.”

Ji Min tersedak saat mendengar suara ibunya yang memotong ucapan ayahnya tadi. Ia mengangkat sebelah alisnya saat melihat ibunya sudah bergabung, ikut duduk di salah satu kursi meja makan. “Ibu tidak bercanda, ‘kan?”

Ibu hanya menggeleng. “Kami akan berangkat malam ini.”

“Apa?” Ji Min menjerit, lantas mengerucutkan bibirnya. “Kalian sengaja membeli tiket tanpaku, ya?”

Ayah tertawa pelan, lantas mengacak rambut Ji Min dengan gemas. “Untuk sementara ini, biarkan ayah dan ibu saja yang pergi, ya?” Ayah tersenyum lembut.

Ji Min hanya mengangguk, membalas senyum ayahnya itu dan berseru senang, “Kalau begitu sampaikan salamku untuk Eonnie, ya?”

///

“Annaliese?”

Ja?

Bitte—maaf—sepertinya aku tidak bisa ke kantor kali ini. Tolong sampaikan pada HerrReiss, ya? Tubuhku sepertinya demam.”

Ah!” Annaliese menjerit di ujung sana. “Apa kau mau kuantar ke rumah sakit?

“Tidak, terima kasih.” Bo Young tersenyum tipis, meskipun ia tahu Annaliese tak akan bisa melihat senyumannya. “Mungkin esok hari akan sembuh.”

Baiklah, get well soon, sweetheart.”

Lee Bo Young menaruh ponselnya dengan lemas. Ia baru saja ingin memejamkan matanya ketika ponselnya menjerit-jerit heboh. Dengan malas ia mengambil ponselnya kembali dan mengernyit saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Han Ji Min? Untuk apa dia menelepon?

Bo Young menaruh ponselnya lagi, mencoba mengabaikan panggilan itu. Mungkin adiknya itu ingin berbasa-basi, pikirnya. Ia mencoba memejamkan matanya kembali, tetapi gagal karena ponselnya kembali menjerit.

Bo Young yang kesal dengan panggilan itu hanya memandang ponselnya lama. Telepon dari adiknya itu tidak pernah berhenti. Sekali pun berhenti, beberapa menit kemudian telepon dari adiknya itu terus berdering, membuat rasa penasaran merayapi tubuhnya yang semakin mengigil.

“Halo?”

Eonni!

Bo Young mengernyit saat mendengar suara panik adiknya itu.

Eonnikau…” Bo Young semakin mengernyitkan dahinya dalam saat mendengar suara isak tangis adiknya. Ia mencoba mendengar suara adiknya yang mulai tidak terdengar dengan jelas. “Pupulanglah, Eonni, ayahibuya Tuhan…”

“Kenapa?” Bo Young merasakan jantungnya berdegup cepat saat bertanya. Ia bisa merasakan tubuhnya menggigil hebat saat mendengar suara adiknya yang terputus-putus.

Pesawat…” Ji Min terisak kembali, membuat tangan Bo Young gemetar. “Ke SwissKecelakaanya Tuhan, Eonnitidak ada yang selamat.”

Dan dunia Lee Bo Young runtuh saat itu juga. Tubuhnya menggigil hebat, tangannya yang gemetar membuat ponselnya lepas dari genggamannya. Lee Bo Young hanya terdiam lama, hingga akhirnya cairan bening yang keluar dari matanya menghasi pipinya. Pagi itu, ia menangis kencang dengan tubuh yang menggigil hebat. Ia tidak bisa apa-apa selain menahan rasa sakit yang tak terjabarkan dipadukan udara musim dingin yang menusuk kulitnya hingga ke tulang.

Siapa yang tahu kalau kemarin adalah waktu  terakhirnya untuk mendengar suara ayahnya?

Lee Bo Young menjerit tertahan, merasakan air matanya semakin keluar dengan deras. Mungkin inilah titik balik kehidupannya. Mungkin inilah waktu Lee Bo Young menerima kehadiran keluarga barunya. Karena saat ini, Lee Bo Young hanya memiliki satu keluarga yang menunggunya di rumah.

Han Ji Min.

Adiknya yang selalu setia menunggu kehadirannya kembali ke Seoul.

—end.

[1] Pancake kentang ala Swiss—parutan kentang dibentuk menjadi pancake, lalu digoreng ke dalam minyak sampai garing.

[2] Herr adalah sebutan Tuan/Mr. dalam bahasa Jerman.

11 tanggapan untuk “[Drama Week] Home Sweet Home by Zoe Alanna”

    1. hah makasih ya udah mau baca /nangis pelangi/
      makasih banget udah mau meluangkan waktunya baca ff abal ini T_T thank youuu!

      Suka

  1. Kakak o.o
    Ini keren banget ceritanya! Oke, oke, gini. Awalnya masih belum nangkep permasalahannya di mana. Dan awalnya pun aku ngira Lee Bo Young dan Han Ji Min itu emang saudara kandung. Ternyataaa… aku baru ngeh di tengah ceritanya.
    Terus, waktu Han Ji Min bilang kalau Lee Bo Young nggak nolak lagi waktu dipeluk, rasanya gimana gitu. Ada sesuatu yang bikin ‘nyess’ /apaan sih?/
    Iya, iya.. penyesalan emang selalu datang di akhir. Dan cerita ini, selain ringan buat aku, juga bikin terenyuh. Jadi ngingetin aku sama sikapku dulu yang rada buruk sama saudaraku sendiri.
    Pokoknya ini bagus banget! Kakak semangat! Hohoho~ ceritanya keren >o<

    Suka

    1. Kia akhirnya kamu datang hehe
      Wah, kamu baru ngeh di tengah cerita? Aku kira bakal ketebak kalau mereka berdua ini bukan saudara kandung
      Itu aku juga ‘nyess’ nulisnya, Lee Bo Young tertohok banget kali ya. Kalau aku jadi Lee Bo Young aku bakal nangis di depan Han Ji Min saat itu juga dan peluk dia erat-erat hahaaha tapi sayang aku bukan Lee Bo Young /apa

      Nah itu, kata Mario Teguh, “Penyesalan memang selalu datang di akhir, kalau di awal itu namanya pendaftaran.”
      Mana ada sih penyesalan hadir di awal cerita? hehe
      Kamu… terenyuh /shock/ makasih ya Kia! Makasih banget udah mau meluangkan waktu kamu buat baca ini. Makasih juga untuk posternya! /hugs/

      Ayoo ayo jangan ubah sikapmu ya hehe fyi aja, aku juga dulu sebel banget sama kakak-kakakku, tapi aku tau banyak banget yang ngarepin punya kakak. Aku yanng punya kakak kenapa ga bersyukur? Justru karena ada sudara itu rumah kita jadi ramee 😀 *duh maaf curhat*

      Thank you Kiaaa~ kamu juga semangat ya! ^^

      Suka

  2. Haloooo Zoe! Hehehe aku mampir ke ff kamu nih btw covernya kereeeen aku sukakkk! Sebelumnya perkenalkan dulu, Mala dari garis 98. Salam kenal ya! Aku bisa manggil kamu apa nih? ‘Zoe’ gapapalah ya hihi anyway sekilas namamu mirip ‘Zooey Deschannel’!

    Dannn aku harus bilang berapa kali kalo aku sukaaaaa banget sama ffmu! Seperti komen di atas, awalnya aku ngga ngeuh sama konflik yang dialamin Jimin dan Boyoung. Aku kira cuma sebatas ‘Boyoung tinggal di Swiss dan ga bisa balik ke S.Kor karena urusan pekerjaan.’ taunya malah lebihhh dari itu! Aku suka cara kamu ngebawa alur cerita, aku suka diksi kamu yang simpel plus ngaliiiir. Cuma masukan aja, untuk bagian flashback bakal lebih enak dibaca kalau kata-katanya kamu italic. Biar pembacanya ngga bingung gituuuu tapi overall aku suka deh 🙂

    Scene favorit; flashback! Di situ segala konfliknya rasanya jadi jelasss banget. Aku ngga kebayang gimana rasanya jadi Boyoung, jadiin Swiss pelarian sementara dia udah kangen rumahh:( Jangan lupain bagian-bagian cerita yang kamu selipin bahasa swiss, bikin tambah menarik. Nice fic!:)

    Suka

    1. Halo juga Mala! Iya aku juga suka sama covernya! tuh yang buatnya ada di atas komentar kamu hehe
      Aku Rida, 97l salam kenal jugaaa! Terserah mau panggil siapa hehe sumpah aku enggak tau Zooey Deschannel itu siapa dan aku cari di google dan beberapa menit kemudian…. oh, aku emang kudet kali ya? haha 😦

      Ah Mala makasih yaaaa diksi aku masih hancur lebur gini huhu tulisan kamu lebih keren! Half Of Them itu fic kamu kan? Diliat dari komentarnya yang banyak aja aku udah bisa menyimpulkan kalau tulisan kamu bisa menggetarkan jiwa. Nanti aku baca ya hehe tunggu aja komentar enggak jelas dari aku
      okay, makasih atas sarannya Mala 😀

      Kamu suka scene flashback itu? Konfliknya jelas? Ah, sumpah aku ga tau lagi harus ngomong apaan, pokoknya makasih ya Mala mau meluangkan waktunya baca ff ini. Thank you!

      Bahasa Swiss ya? Tadinya aku mau Lee Bo Young ini tinggal di Amerika, tapi yah itu terlalu mainstream kan ya jadinya aku mikir negara lain dan yang kupikirkan itu Swiss. Googling Swiss malah berakhir gigit jari sendiri karena memang negara yang terkenal dengan jam tangan itu bagus banget yaaa /baru nyadar/ apalagi Zürich-nya itu keren banget! 😀

      Oke Mala, makasih sekali lagi!

      Suka

Leave Your Review Here!