[Prompter-Fic] Thea Told A Truth

The Told A Truth

ma first prompter-fic (yiha!)

THEA TOLD A TRUTH

[basically this movie told you what kind of secret and mystery did Thea and Leo went through many years ago, when they were children.]

Scriptwriter : bapkyr (@bapkyr) | Cast : Leo [VIXX] and Althea [OC] | Genre : Creepy! AU, Supernatural, Horor | DurationVignette | Rating : General

[based on a creepy story in scaryforkids]

Kau terus meracau tak jelas belakangan ini, aku tak tahu mengapa” – a prompt by Sasphire.

.

.

“Kau terus meracau tak jelas belakangan ini, aku tak tahu mengapa.”

Aku mengusap pipi gadis itu lembut sembari menjauhkan semangkuk penuh bubur di tanganku. Althea berada di hadapanku, namun ia tak menatapku. Sudah hampir satu jam aku berusaha menenangkan rasa laparnya dengan semangkuk bubur hangat buatan ibu, namun Thea tidak sedikitpun membuka mulutnya kecuali meracaukan kalimat tak padu.

Normalnya, memang agak sulit membuat kami duduk berdua, saling pandang dan bicara—namun tidak sesulit ini. Tidak ada korelasi DNA maupun sejarah bersama, membuat kami kikuk selama dua tahun terakhir. Biasanya Thea selalu mencoba mencairkan suasana; membumbui apa yang hambar di dalam rumah ini.

Namun Thea berubah.

Layaknya Connecticut siang dan malam, Althea sudah berubah terlalu banyak. Gadis yang selalu ceria itu kemudian berubah menjadi sekaku batu. Iris matanya yang cokelat cerah kini bersinar terlalu gelap, menyembunyikan apa yang dilihatnya. Langsatnya kulit gadis itu kini menjadi kelabu pucat dan surainya yang lurus terurai rapi kini tak ubahnya benang kusut.

Tidak ada yang tersisa dari Thea yang kukenal. Segalanya berubah setelah ia terlibat sebuah kecelakaan dan terjebak koma panjang selama satu bulan penuh.

Aku ingat betul asaku jika ia terbangun; suara indah yang menyerukan namaku dari sisi kasur berselimut putih. Dan asa itu pupus tatkala mata kami bersirobok di kamis pertama bulan Agustus. Suaranya memang ditujukan untukku, tapi ia tak pernah memanggil namaku.

Thea bangun, tapi ia seperti mati.

.

.

“Jangan berisik, oke?”

“Eh?”

“Bukan kau sih Kak, tapi yah—bisa kau beritahukan orang di belakangmu untuk diam?”

Althea menunjukkan perkembangan signifikan pasca koma. Ia sudah mulai mengenaliku, ibu dan semua teman-temannya. Ia juga mulai membiasakan diri untuk berbicara—seperti hari ini, ia bicara banyak, menyuruhku ini dan itu serta kembali menjadi normal seperti sediakala. Rambutnya mulai terurus rapi, bibirnya merekah merah, iris mata yang berbinar normal; semuanya kembali.

Thea kembali normal, dan satu-satunya masalah kini ada padaku; Aku tak senang dengan perkembangannya.

“Kak?”

“O—oke.”

Aku berbalik, menggoyangkan tangan di udara kosong lantas bicara pada Thea,

“Apa orang itu sudah diam sekarang?”

Thea mengiyakan dengan anggukan senang.

Wajahku pucat.

Lihatlah. Ini alasan mengapa aku tak suka dengan perkembangan Thea.

.

.

Di hari ulang tahunku yang kelima belas ini, aku bertengkar hebat dengan ibu. Alasannya karena sesosok wanita paruh baya dengan surai putih yang memenuhi kepalanya. Wanita itu mengenakan baju layaknya pendeta dan menenteng sebuah kotak abu-abu kelam. Entah mengapa aku sudah tahu apa yang ada di dalamnya tanpa perlu bertanya.

“Kau tak bisa memperlakukan Thea seperti ini, Ibu!” Pekikku. Aku tak peduli lagi jika lobi rumah sakit termasuk kriteria jalanan umum.

“Aku tak meminta persetujuanmu, Leo.”

“Tidak! Thea tidak gila.”

“Aku tidak berkata dia gila. Dengar Leo,” Ibu mencengkeram pundakku kuat-kuat. “Thea akan kembali normal, dan aku berjanji akan membuatnya kembali seperti sediakala.”

Aku digiring ibu menjauh beberapa sentimeter dari pintu kamar rawat inap Thea. Aku tidak ingin Thea dianggap sebagai seorang pengidap indigomeski aku kadang berpikir demikian. Sebagian dari hati kecilku menolak, aku ingin agar ibu dan yang lain menganggap Thea baik-baik saja meskipun nyatanya ia tidak.

Aku ingin—setidaknya—ibu berakting normal di depan penglihatan Thea yang kelewat tajam. Namun ibu tidak sepertiku. Ini wajar karena hanya aku dalam keluarga ini yang mewarisi sebagian besar kebijaksanaan ayah.

Namun apapun alasan yang kupakai sebagai tameng penolakkan, nyatanya aku tetap membiarkan ibu dan wanita tua berambut putih itu masuk ke kamar Thea. Aku mendengar pekikan histeris dari bocah tiga belas tahun tersebut, kemudian aku berlari—dari kenyataan.

.

.

Seminggu setelah apa yang ibu sebut dengan sterilisasi pada diri Thea, gadis itu telah banyak berubah. Aku bersyukur. Thea terkesan tidak pernah mengingat penglihatan-penglihatan yang sudah ia lihat dalam kurun waktu terakhir pasca ia bangun dari koma. Ia juga sepertinya tidak menyadari keanehan tersebut sehingga aku bisa bernapas lega kali ini.

Penyembuhan Thea memang memakan waktu agak lama, tapi aku sekarang tahu hasil gemilangnya.

Lalu tibalah suatu malam abnormal bagiku.

Thea meracau di dalam tidurnya. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya hingga piyama rumah sakitnya basah kuyup. Gadis itu menggelinjang di saat aku menyentuh dan mencoba menenangkannya. Bibirnya komat-kamit sementara kakinya menendang-nendang udara. Racaunnya semakin menjadi tatkala kelopak mata Thea terbuka lebar tiba-tiba, memojokkanku ke dalam ketakutan terbesarku. Urat-urat merah muncul di sekitar matanya dan ia memandangku jahat.

Aku terjerembab ke samping kasur dan terguling di atas ubin.

Thea menggelinjang lagi, membuat kasurnya bergetar. Aku tidak bisa bergerak banyak. Aku takjub. Rasanya seperti melihat film-film horor yang siap mengagetkanmu kapan saja. Aku berusaha bangun dan menyentuh Thea sekali lagi dengan sisa keberanian yang aku miliki, namun aku dikejutkan sekali lagi oleh perubahan sikapnya.

Thea mendadak tenang, ia mengatur napasnya kemudian perlahan berbaring kembali. Racauannya semakin mengecil, namun kalimatnya menjadi lebih padu dan jelas. Ketika ia menutup matanya untuk tertidur, aku bisa mendengar jelas racauan tersebut.

“Jangan lihat apapun besok. Diam di sini.”

.

.

Esok harinya adalah just another normal day untukku dan Thea. Aku melupakan apa yang terjadi semalam dengan kondisi Thea karena ia terlihat tidak mengingatnya sama sekali. Aku berasumsi bahwa gadis ini masih dipengaruhi kemampuan indigonya hanya ketika ia berada di alam bawah sadar—seperti tidur atau pingsan misalnya.

Aku sudah menceritakan ini pada ibu dan ibu nampak sangat cemas.

Karena beberapa hal membuatku tertekan belakangan ini, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di lorong-lorong rumah sakit. Aku baru ingat kalau aku sudah begitu akrab dengan rumah sakit ini dan semua petugasnya sejak Thea menginap di sini selama satu semester penuh tahun ini. Ah, meskipun menginap di rumah sakit memiliki artian yang tidak bagus, tapi aku cukup senang setidaknya rumah sakit ini memiliki  pelayanan yang bagus.

Aku baru lima belas tahun dan aku berjalan sendiri di hari menjelang senja. Hal ini sontak mengundang atensi dari beberapa petugas rumah sakit yang mengenalku. Katanya aku dilarang untuk berbelok di bangsal paling ujung. Ia menakut-nakutiku akan hantu dan sebagainya. Namun entah kenapa aku tidak takut—maksudku, apa yang lebih menakutkan dari pengalaman seram merawat seseorang yang bisa melihat hantu?

Cuek, kupijakkan kakiku di bangsal paling ujung dan menemukan sebuah ruangan terkunci tepat di tengah-tengah. Penasaran, aku menyentuh kenopnya. Terkunci.

Selama hampir satu semester berada di rumah sakit ini, jujur saja, tidak ada ruangan yang tidak pernah kumasuki. Dengan sengaja atau bermodal iseng, aku selalu menjelajahi tiap ruangan di rumah sakit ini. Sebagian besar petugas sudah sangat familier denganku jadi mereka tidak keberatan. Aku bahkan pernah masuk ke ruang ganti perawat perempuan—yang ini tidak kusengaja.

Jadi agak aneh bukan jika ternyata aku masih menemukan satu ruangan yang terkunci di sini. Aku selalu menjadi nomor satu atas rasa penasaranku. Rasa ini begitu kuat sehingga aku tak mampu berpikir alternatif apa yang bisa kukerjakan di saat seperti ini sebagai substitusi.

Meski terkunci, aku tak kehabisan akal. Masih ada satu lubang kunci kan? Walau aku tidak bisa masuk ke ruangan tersebut, setidaknya aku bisa melihat apa yang ada di dalamnya.

Lantas aku merendahkan tubuhku dan mulai mengintip. Tidak ada yang spesial dari ruangannya. Hanya sebuah ruangan yang sangat besar dengan seseorang yang berbaring di atas kasur dengan sprei putih. Aku menajamkan indera penglihatanku dan melihat nenek tua dengan rambut putih yang sangat jarang berbaring di sana. Tidak ada tiang infus atau alat-alat listrik merepotkan seperti di kamar Thea, tapi aku yakin ia seorang pasien.

Kamarnya tidak diisi apapun selain objek yang kusebutkan tadi. Ditambah, seluruh ruangannya berwarna putih. Bahkan kalau perlu kuperjelas, kuku-kuku dan kulit nenek tadi memiliki warna menyerupai sprei yang membalut tubuhnya; putih bersih.

Putih kulitnya tidak seperti yang kau bayangkan. Kalau kubilang, lebih seperti badan yang ditumpahi cat putih hingga kering. Tidak ada aliran darah, tidak ada urat-urat kemerahan, tidak ada warna lain selain putih.

Aku terkesima dan tak sengaja menjatuhkan koin kecil dari kantungku.

Aku mengalihkan perhatianku sebentar dari lubang kunci dan memungutnya.

Saat kuintip lagi, manik nenek itu sudah terbuka lebar, memandang langit-langit. Ia masih berbaring, namun telunjuknya teracung ke depan, seolah menunjuk padaku. Aku yakin sekali dari jaraknya berbaring, ia tidak akan dapat melihatku mengintip dari lubang kunci kecil di pintu kamarnya. Namun entah mengapa, ia seolah-olah menghakimiku dengan telunjuknya, menggerogoti jiwaku seketika.

Aku menyudahi kegiatanku malam itu dengan perasaan aneh.

Sepertinya Thea ada benarnya, jangan melihat apapun hari ini dan tetap diam.

.

.

Hari ini adalah hari kepulangan Thea dari rumah sakit. Ia nampak sangat baik. Luka-luka fisik dan psikisnya kini sudah sirna menyeluruh. Aku bahagia sekali. Namun tadi malam aku tidak bisa tidur dengan lelap. Pasalnya, Thea kembali meracau ketika aku mendapat giliran untuk menjaganya.

Ia menyarankan agar aku tetap diam, racauan yang sama seperti malam sebelumnya. Kali ini aku tahu apa maksudnya, mungkin ia tidak ingin aku mengunjungi bangsal itu lagi. Sesungguhnya aku ingin bertanya pada Thea darimana ia tahu soal ini, tapi aku mencoba bersikap wajar. Aku ingin menganggap Thea sudah kembali normal. Aku juga tidak ingin membuat cemas ibu.

Jadi rahasia ini kusimpan saja sendiri.

Kepulangan Thea dari rumah sakit disambut baik oleh para petugas di sana. Mereka menyalami Thea dan memeluknya. Beberapa menepuk pundakku dan memintaku menjaga adikku satu-satunya itu agar tak pernah lagi kembali ke sana. Aku mengiyakan.

Mobil jemputan yang disewa ibu kemudian menghambat kepulangan kami. Thea terlihat duduk-duduk santai sembari menggoyangkan kakinya di sebuah sofa empuk pada ruang tunggu rumah sakit. Sedangkan aku—yah—aku tidak bisa sepasif itu.

Kakiku ini daritadi berjalan-jalan tak tentu arah. Kadang aku berbelok ke kanan, kadang ke kiri, bahkan seringkali memutar arah. Lalu tanpa kusadari, tahu-tahu di depanku sudah berdiri sebuah ruangan yang kusinggahi kemarin malam.

Rasa penasaran itu masih memuncah. Aku berpikir bagaimana jadinya jika sesuatu terjadi setelah aku menuntaskan rasa penasaranku sekali lagi dari balik lubang kunci. Namun pikiran negatif itu aku enyahkan seketika. Hari masih belum senja, dan rasanya aku akan baik-baik saja.

Kuintip lagi ruangan itu seperti tadi malam. Namun kali ini aku pastikan bahwa tidak ada koin yang dapat kujatuhkan lagi.

Pemandangannya berbeda sekali dengan kemarin malam. Tidak ada lagi sprei putih, ranjang putih, nenek dengan rambut putih. Keseluruhan, aku hanya melihat warna merah di mana-mana. Aku tidak melihat objek lain karena hanya warna merah gelap itu yang ditangkap oleh penglihatanku.

Aku mencoba mencari letak ranjang, namun tidak melihat apapun. Seolah, ini adalah ruangan lain. Atau aku hanya berhalusinasi?

Aku mencoba mengucek mataku dan melihat sekali lagi. Tidak ada warna putih, ini benar-benar warna merah. Ruangan ini dipenuhi warna merah pekat sehingga aku tidak dapat melihat apapun.

Tanpa curiga, aku kembali ke tempat di mana Althea berada. Ia masih duduk-duduk dengan santai namun sangat kaget ketika ia melihatku. Aku tak acuh, kududukkan saja diriku tepat di sebelahnya. Aku menghela napas.

“Kau yang selanjutnya.” Kata Thea penuh misteri. Aku hanya menelengkan kepala tanpa berniat membalasnya. “Sudah kubilang diam di sini.”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan sembuh sebentar lagi, tapi kau selanjutnya.”

“Bisa kau bicara lebih jelas?” Tanyaku mulai cemas. “Apa yang kau bicarakan?”

Thea menggelengkan kepala tanda simpati. Ia melihat ke ujung lorong penuh dengan perawat hilir-mudik kemudian menatapku lagi, “sudah diikuti.”

“Aku tidak mengerti, The—“

“Bukankah kau sudah berkunjung ke bangsal paling ujung? Ruangan serba putih?”

Aku tercengang. “Darimana kau tahu?”

Thea tersenyum sebentar kemudian menatap langit-langit. “Aku pernah ke sana tanpa sadar, esoknya aku dikaruniai penglihatan ini. Aku selalu diganggu. Untunglah penderitaan ini akan segera berakhir.”

Aku kehilangan kata-kata.

“Bukankah kau sudah melihatnya, Kak? Nenek tua itu?”

“Aku—“

“Apa yang kau lihat hari ini? Apa dia masih di sana?”

Aku menggeleng cemas, “tidak… aku tidak menemukannya. Ruangan yang kau bilang serba putih itu menjadi merah pekat hari ini. Aku… aku tidak tahu mengapa.”

Thea merekatkan jemariku di sela jemarinya. Wajahnya seperti ketakutan. Peluhnya menetes secara berlebihan.

“Aku mendapat cerita dari perawat di sini…” Thea mencengkram jemariku. “Dahulu sekali, ada seorang pasien wanita tua renta, yang meninggal dibunuh dengan keji di ruangan itu. Wujudnya masih bergentayangan di sana sehingga pihak rumah sakit mengasingkan bangsal tersebut. Wanita tua itu seorang paranormal. Seluruh tubuhnya berwarna putih secara misterius di hari kematiannya, kecuali…”

Aku mendengarkan cerita Thea dengan seksama tatkala ada sebuah tangan hinggap di bahuku. Thea memejamkan mata. Gadis itu mulai meracau lagi.

“kecuali… matanya yang berwarna merah.”

Aku membeku.

Jangan menoleh ke belakang, Leo. Jangan menoleh ke belakang.

.

.

… fin


Hello!

Another creepy story by me! Kali ini ditambahkan sebuah prompt dari Sasa (Sasphire) XD.

Akhirnya jadi juga meski agak maksa (?) Abis tadinya mau kubuat fluff, tau-tau kebayang plot begini pas di tengah cerita. XD

Oh iya bagi yang udah baca Riddle-ku berjudul Leo Told A Lie, nah, ini semacam before-story nya. [Lagi suka bikin Leo-Althea]. Di sini diceritakan bagaimana Leo bisa mendapatkan ‘penglihatan’ dia itu.

Buat yang belom baca Leo Told A Lie, here you go [X]

Emakasih buat Sasa yang udah menyumbangkan sebuah prompt dan malah jadi kaya gini fic nya. Aku mohom maaf he.he.he , terus buat Amer, siap-siap. Prompt dari kamu akan kukerjakan secepatnya he.he.he.

Oh iya, Mind to review then?

Thanks a lot! dan selamat sekolah buat yang sudah kembali menginjakkan kaki di sekolah, semangat!

Nyun

96 tanggapan untuk “[Prompter-Fic] Thea Told A Truth”

  1. Wihhhhh…keren keren
    kok aku jadi suka genre yang kyk gini y haha mungkin efek sering baca riddle riddlenya kakak..
    Maaf y kak aku bnyak gak comment di riddle’ny kakak aku keseringan gak sengaja baca komen org lain yang jwbannya bener jadi nyaliku ciut buat komen..tapi aku coba nebak-nebak kok

    Oiya,aku dah baca yang Leo Told A Lie…

    Suka

  2. Waaahhhhini keren bangeeeeeettt >< horrooooorr sumpaaaah ga kebayang aja kalau yg diposisi leo itu aku dan ngintip ruangannya tapi yg keliatan malah warna merah pekat ituuu gilaaak matiii ajaaaaa o_O

    Suka

  3. Aku juga pernah baca yang kek gini, cuma waktu itu tempatnya di tempat penginapan gitu, aku gabisa tidur pas bayangin matanya euy :” tapi sekarang udah tau jadi pas baca cerita ini ngga terlalu takut hihi 😀 ini keren kak 😀

    Suka

  4. Halo nyun ….

    Setelah chit chat singkat kita di line, ga sengaja nemu link ini wkwkwk

    Aku pernah baca ide kayak gini juga di wp nya siapa ya? Intinya kalo liat ke lubang pintu dan berwarna merah semua itu benernya liat mata hantu di kamar itu. Bedanya itu castnya baekhyun dan ficlet ._.

    Wkwkwk tapi aku suka deh nyun. Dikau bak ratu misteri bgt. Kembangin lagi sapa tau kan bisa buat novel dan jdi the next agatha christie indo kkkkk

    Keep writing nyun ^^

    Ps: aku lupa aku udh pernah baca and komen apa belum ff ini huhu u.u

    Suka

  5. Feel nya dapet banget eonn..
    Gue deg deg gan bacanya, tangan gue gemeteran saking takutnya waktu leo ngintip di balik lubang kunci itu.. Ahhh merinding banget!! ><

    Suka

Leave Your Review Here!