[Creepy] HADES

HADES

—litemints presents

(@amnhisna on twitter)

[BAP] Bang Yongguk & OC // Mistery, Horror, Creepy, Supernatural // G // Ficlet (950 w)

.

.

.

Kau mungkin saja mati hari ini.

***

“Jauhi warna merah. Kau mungkin saja mati hari ini.”

Suara itu terdengar kala kurajut langkah melintasi pagar kayu milik Bang Yongguk. Langkahku terhenti. Sekonyong-konyong kudapati bocah lelaki berkaus lusuh berdiri di belakang tubuhku. Dahiku mengernyit. Benakku bertanya-tanya; orang tua mana yang membiarkan anaknya keluyuran malam-malam begini?

Si bocah bertampang lelah seperti ditindih sekarung beras. Hampir saja aku berceletuk prihatin, tapi tak lagi saat kutatap manik kelamnya. Tampak picik dan menyebalkan. Khas pembunuh bayaran dalam laga action.

“Nak, lain kali, carilah cara lain untuk menak—”

“Jauhi warna merah. Kau mungkin saja mati hari ini.”

Si bocah agaknya memang keras kepala. Ia kerahkan rasa percaya dirinya untuk beradu tatap denganku. Mengabaikan segala tetek bengek mengenai sopan santun dan sebangsanya. Satu-satunya yang terlintas di pikiranku kala itu adalah; berupaya menemukan jejak ketidakwarasan di wajahnya.

Hening sejemang. Tiada satupun dari kami yang memutuskan mengalah lantas pergi. Aku benci mengatakan ini; tapi sungguh, sekalipun bajunya lusuh dan ia bertampang kumal, ia terlihat normal. Tentu saja dengan mengesampingkan fakta akan wajahnya yang terlampau bengis untuk bocah sekecil dia.

“Nak—” Lalu kusadari tatap matanya lebih dari sekedar picik ataupun menyebalkan. Tapi mematikan. Mulutku tercekat tak melanjutkan. Tungkaiku lemas tanpa alasan pasti. Sisi rasionalku bertitah supaya aku cepat enyah.

Dan aku melakukannya.

Tanpa banyak protes.

.

.

.

Kabar baiknya, aku sampai di kediaman Bang Yongguk dengan selamat. Duduk di sofa beludru miliknya sambil ditemani televisi yang menontoni kami tanpa suara. Tapi kabar buruknya, siluet si bocah makin betah bersemayam di otakku. Ini menyeramkan. Sekaligus aneh dan menggelikan. Oh please, maksudku, bagaimana bisa celotehan seorang bocah membuatku takut?

“Kenapa? Ada masalah?”

Aku bersyukur menerima pernyataan cinta Yongguk enam tahun lalu. Bersyukur menerima cincin dari Yongguk satu bulan lalu. Setidaknya ini membuatku memiliki sosok kekasih penuh perhatian. Aku merasa aman, walau hanya sedikit—untuk situasi kali ini.

“Ada bocah kumal di depan rumahmu. Tampangnya mengerikan dan ia berbicara hal-hal aneh.” Aku bertutur dengan gelagat was-was. Hal itu tertangkap jelas di mata Yongguk sehingga ia menggenggam tanganku begitu erat. “Memangnya dia pikir dia siapa? Putra Hades?”

Yongguk terkekeh. Aku mendelik lebar, tapi ia hanya tersenyum.

“Aku tahu bocah yang kaumaksud.” Yongguk menggeser posisi. Gelagatnya memancarkan sinyal bahwa penjelasannya nanti akan buatku tambah ketakutan, atau paling tidak tercengang. “Ia baru pindah dua minggu lalu. Dia tidak gila, kok. Hanya sedikit aneh…. dan jenius, mungkin?”

Sinyal itu makin kuat. Meski nada bicaranya terkesan santai, tapi mimik wajahnya begitu serius. Ia tak pernah seserius ini. Rumah Yongguk tak pernah terasa sedingin ini.

“Ia suka muncul tiba-tiba dan menebak hari kematian orang. Hebatnya, tiada satupun meleset. Sejauh ini sudah empat orang, menakjubkan ya?”

Yongguk menyudahi dengan gelengan kepala disertai decak kagum. Bulu kudukku meremang. Jantungku jatuh sampai kaki. Keringatku bercucur seperti Niagara.

“Bang Yongguk…”

“Ya?”

“Akㅡ”

“Jauhi warna merah. Kau mungkin saja mati hari ini.”

Aku tak melihat apapun setelah itu. Hanya gelap, namun hangat. Bukan. Aku belum mati karena melihat warna merah. Tapi nyaris mati kaget melihat bocah itu sudah berada di balik kusen jendela milik Yongguk. Ia berdiri tegap dengan mata piciknya menghujam ke arahku. Sigap, Yongguk membawaku ke dalam pelukannya. Ia lantas mengusir si bocah, lengkap dengan sumpah serapah yang samar kudengar lantaran dominasi rasa takut.

“Dia sudah pergi…”

Butuh dua putaran jarum detik sampai aku berani melepaskan diri dari pelukan Yongguk. Manikku menelusuri sekitar, memastikan ketiadaan eksistensi si bocah. Penelusuranku beralih pada tiap aspek dalam jangkau pandangku. Sekali lagi aku patut bersyukur telah memiliki Yongguk, kekasihku itu, ia tidak main-main saat berkata kurang menyukai warna merah. Keuntungan lainnya; Yongguk tidak suka ruang santainya berjejal barang, maka tak kujumpa barang apapun selain sofa dan televisi serta perangkatnya. Kemungkinan tak terdapat warna merah resmi seratus dari seratus.

“Kauyakin? Dia benar-benar pergi?” Aku bertanya cemas. Kalau-kalau si bocah muncul secara tak terduga lagi, mungkin, aku akan benar-benar mati ketakutan.

“Di luar mendung, ia tak mungkin berkeliaran lagi.”

Tak sampai sepuluh detik hingga kudengar hujan deras mengguyur bumi. Bukan sekadar rintik atau serbuan tetes air. Melainkan disertai angin kencang. Timbulkan suara ribut seperti pertempuran dua kubu.

“Sungguh, ini buruk. Itu jelas untukku. Dia sudah bilang begitu sejak aku di luar tadi.”

“Tidak, tidak ada warna merah di sini, bernapaslah dengan nyaman.”

“Tapi aku bisa saja jadi yang kelima.”

“Tidak, berhenti bicara begitu.”

Tak ada secuil pun niatan menuruti ucapan Yongguk. Namun gelegar petir di luar membungkam mulutku. Mau tak mau aku terdiam. Tersambar rasa takut dan dihujani kalut buatku kalah telak tanpa perlawanan.

“Shit!”

Listrik mati. Satu lagi penderitaan bertambah; terjebak gulita. Jantungku tak lagi bisa bekerja santai. Peluhku mungkin mengalahkan niagara atau apapun itu. Satu-satunya hal baik yang kupunya sekarang adalah Bang Yongguk di sisi kiri. Meski rupanya terhalang gulita, setidaknya aku tahu bahwa aku masih bersamanya. Yah… setidaknya…

Oh! Di mana dia?

Tanganku meraba sisi kiri dengan membabi buta. Tak ada hal lain yang kutemui selain udara kosong.

Bang Yongguk tidak ada.

Bang Yongguk menghilang.

Hei! Pergi ke mana sih dia?!

“Aku di sini, sayang…”

Kutengok sumber suara meski tetap tak ada yang bisa kulihat. Dari sisi kanan. Bergeser sedikit, lengan kami bersentuhan. Sejujurnya aku ragu bahwa lengan itu benar-benar miliknya. Tapi saat kugenggam jemarinya, keraguanku hilang seketika—cincin itu di sana. Yah, meski jemari itu tak menunjukkan respon sama sekali hingga kuputuskan menyudahi genggamanku.

“Apa kira-kira akan lama?” Tidak ada yang enak dari terjebak rasa takut dalam kegelapan. Maka kucoba mencari topik sebagai pengalih. Bertanya hal bodoh soal kapan listrik akan menyala, misalnya.

“Tidak. Tidak akan lama.”

Kurapatkan posisiku pada Yongguk. Berupaya mencari posisi paling nyaman meski kutahu kondisi ini tak akan membiarkanku merasa nyaman apalagi aman. Tanganku meraba-raba, mencari pegangan. Tak lama kutemukan jemari itu. Tapi…

“Yongguk, apa yang kaupegang?” Aku bertanya dalam nada selirih mungkin. Jemari itu berhasil kugenggam. Kali ini ada respon. Lalu kusadari—

“Sejenis belati, mungkin?”

—bahwa jemari itu bukan miliknya.

Sepasang mata menyala di hadapanku. Merah mengkilat.

“Selamat, kau resmi jadi yang keenam, sayang…”

 -fin

 

Ugh ugh apatuh mistery apatuh horror apatuh creepy eheheheh genre perdana nih guys, maapkeun kalo nggak ada gregetnya sama sekali eheheh maklum anaknya penakut eheheheh nulis ginian aja serem sendiri eheheheh

Oke, tadinya aku berniat memberi kategori ‘riddle’ buat fic ini, but yea, terlalu gampang ditebak untuk disebut riddle. Atau nggak ada yang perlu ditebak? Ahah pokoknya, selamat berasumsi! 😀

salam hangat,

litemints