After 72

wpid-1385470268020

After 72

a movie by Tsukiyamarisa

starring Kim Jongin as Jo and OC’s May genre AU, Romance, Fluff! duration Oneshot rating 15

Note:

this fic contain too much fluff and skinship scene XD

.

happy reading!

.

Kalau tiga hari lagi dunia ini hancur, apa yang akan kaulakukan?

.

.

.

“Akhir dunia…”

“Hm?”

“Mendadak pemikiran itu lewat di dalam benakku,” jawabku sambil menolehkan kepala, memandang sesosok lelaki jangkung yang tengah berdiri menghadap hamparan laut di depan kami.

Senja telah tiba dan matahari sudah mulai merangkak ke ufuk barat, tinggalkan bias-bias sinar warna jingga dan merah tua yang menari-nari di atas gelombang air laut. Suara desau angin dan deburan ombak pada karang menjadi satu-satunya musik yang ada, melatarbelakangi percakapan kami dengan bunyi-bunyian khas alam. Aku menghirup napas panjang, merasakan aroma asin garam yang begitu kental di udara menggelitik rongga hidungku.

“Kau terlalu banyak membaca novel.” Jo—si lelaki yang tiba-tiba muncul dan mengganggu kesendirianku ini—berkata sembari mengangkat sebelah alis. Ia mendudukkan diri di sampingku, lantas mengimbuhkan, “Kenapa memikirkan akhir dunia?”

“Entah,” ujarku jujur. “Coba saja bayangkan kalau masa depan bisa diprediksi dan ternyata kiamat sudah dekat. Apa yang akan kaulakukan?”

“Banyak berdoa dan mengurung diri di kamar?” Jo menjawab dengan kekehan ringan, lantas merangkulkan lengannya pada pundakku. “Kau terlalu banyak berpikir, May. Nanti cepat tua, lho.”

“Sialan kau!”

“Serius,” Jo mencubit pipiku dengan gemas, “sekali-kali kau perlu memikirkan sesuatu yang lebih ringan dan gembira. Seperti menu makan untuk malam ini, misalnya.”

Bibirku mengerucut mendengar ucapan Jo tersebut, sementara mataku kembali terarah pada panorama indah yang tersaji di depan mata. Jo dan aku memang memiliki banyak perbedaan, tetapi hal itu tidak pernah menjadi penghalang bagi kedekatan kami. Jo lebih bebas dan kadang suka seenaknya, sementara aku adalah tipe gadis yang lebih suka diam dan memperhatikan. Namun, seperti yang sudah kukatakan tadi, perbedaan-perbedaan itu malah menjadi suatu magnet yang membuat kami tertarik mendekat dan nyaris tidak pernah terpisahkan.

Tentu saja.

Bagaimana mau terpisah jika kami sudah tinggal bersama hampir seumur hidup lamanya? Aku dan Jo adalah penghuni tetap rumah mungil di pinggir pantai itu—panti asuhan milik Bibi Annie.  Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan, sementara Jo malah sudah ditelantarkan oleh orangtuanya sejak masih bayi. Well, sejujurnya, kami sudah terlalu tua untuk tinggal di tempat itu sekarang. Namun, Bibi Annie rupanya masih berbaik hati untuk mengizinkan kami tinggal dengan syarat bahwa kami harus membantu mengurus anak-anak yang lebih muda.

“Jatahku memasak bukan malam ini,” gumamku pelan sambil menyandarkan kepala di bahu Jo, sebuah kebiasaan kecil yang tak pernah lepas tiap kali kami duduk berdampingan. “Dan omong-omong….”

“Jangan bilang ini soal kiamat lagi.” Jo menggerutu kesal, sementara aku hanya tertawa lepas dan mengangguk kecil.

“Anggap saja ini sebuah permainan,” kataku cepat sebelum Jo sempat membantah. “Kau baru saja diberitahu bahwa dunia akan hancur dalam tiga hari. Nah, apa yang akan kaulakukan?”

“Haruskah aku menjawabnya sekarang?” Jo mendorong kepalaku menjauh dari pundaknya, lantas menarik ujung hidungku dengan sikap bercanda. “Atau aku harus menunjukkannya selama tiga hari ke depan?”

“Tunjukkan, tentu saja!” sambarku cepat sebelum Jo menarik kata-katanya lagi. “Deal?”

Dan apa yang kudapat jika aku menuruti permainanmu ini, Nona?”

“Kutraktir es krim dan kue cokelat?”

Jo menyeringai lebar, tampak puas. Sekian tahun mengenal lelaki ini cukup untuk membuatku mengerti bahwa cara terbaik untuk membujuk atau membuatnya menuruti permintaanmu adalah dengan membelikannya cokelat dan makanan manis.

Deal.”

 

***

“Kurang dari tujuh puluh dua jam menuju kiamat, Jo! Banguuun!”

Aku mengguncang-guncangkan tubuh Jo yang masih tersembunyi rapat di balik selimut, berusaha membangunkan si pemalas ini. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, dan semestinya Jo sudah bangun sejak tadi karena ia harus mengantar anak-anak yang lain ke sekolah. Namun, bukan Jo namanya jika ia tidak bangun terlambat dan membuat semua penghuni panti kalang kabut di pagi hari.

“Jo!”

“Sebentar saja. Kalau dunia sudah mau kiamat, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan terakhirku untuk tidur nyenyak, bukan?”

Aku mendengus kesal, lantas menarik selimutnya hingga tersibak. “Kalau kau tetap tidur, itu namanya membuang-buang kesempatan, bodoh! Seharusnya kau bisa melakukan hal la—“

“Cerewet,” gumam Jo seraya menarik tubuhku hingga terjatuh, membuat semua kata-kata omelan yang tadinya mau kulontarkan tertahan di ujung lidah. Bagaimana tidak, tubuhku kini berada tepat di atas tubuhnya. Kedua lengan Jo pun otomatis melingkari pinggangku, memelukku erat-erat dan membawa badan ini semakin merapat dengannya. Aku menelan ludah, merasakan panas seketika datang merambati kulit wajahku tanpa kompromi.

“J-jo…”

“Berisik.” Jo berguling menyamping, masih memerangkapku di dalam pelukannya. Alih-alih menunjukkan niat untuk melepaskanku, ia malah merengkuhku semakin erat dan menarik selimutnya untuk menutupi tubuh kami.

“Jo!”

“Setidaknya, aku harus memeluk seorang perempuan sebelum dunia kiamat.”

“Apa-apaan! Hei, lepaskan! Lepas—“

“Kak May, makan paginya—“

JDUK!

Aku mengumpat kesal, membiarkan Jo mengerang keras kala tendanganku mendarat di atas tulang keringnya. Tanpa memedulikan ekspresinya yang terlihat kesakitan, aku lekas-lekas membebaskan diriku dari belitan lengannya dan mengalihkan pandang pada sesosok bocah kecil yang berdiri di ambang pintu.

“Tunggu sebentar ya, Luhan,” ucapku lembut sambil berlutut dan menepuk-nepuk puncak kepalanya. “Paman Jo susah sekali dibangunkan, ia seperti kerbau saja.”

“Siapa yang kau sebut kerbau, hah?!” Jo bangkit dari kasurnya dan melempar gundukan selimut yang berantakan ke atas lantai, lalu menyambar bantalnya dan bersiap untuk menyerangku. “Luhan sayang, kau tak boleh percaya pada kata-kata May, oke?”

“Jangan dengarkan, Lulu. Ayo, kakak akan buatkan omelet super lezat untukmu,” tawarku seraya mengajak Luhan menuju dapur. Untunglah, bocah itu menurut padaku dan tampak tidak tertarik mendengar ocehan Jo. Sembari meleletkan lidah, aku pun cepat-cepat berlari keluar dari kamar itu, meninggalkan Jo yang masih mengomel tanpa henti.

Dasar gila!

Kami memang sudah saling kenal selama bertahun-tahun, tetapi… untuk memelukku seperti tadi….

Aku menggelengkan kepala, merasakan degup jantungku kembali meningkat pesat kala mengingat betapa nyaman dan hangatnya pelukan Jo barusan. Memori itu membuat rona merah sontak kembali muncul di kedua belah pipiku, sebuah reaksi alami yang tak lagi bisa kusangkal.

Karena—semenyebalkan apa pun dia—aku tidak akan bisa berbohong tentang hal yang satu ini. Tentang satu rasa yang sudah timbul di dalam diriku sejak bertahun-tahun lalu, rasa yang kupendam karena aku sudah menganggap Jo seperti saudaraku sendiri.

Ya.

Aku menyukai Jo.

***

“Membaca lagi?”

Matahari masih bersinar terik di atas kepala. Udara sedang cerah-cerahnya, langit biru membentang di atas sana lengkap dengan awan-awan putih bersih yang berarak perlahan. Aku bersandar pada batang pohon yang berada di halaman panti asuhan kami, membaca sebuah novel misteri yang baru saja kupinjam dari perpustakaan kota tempo hari.

“Hm. Dari mana saja?”

“Mengantar anak-anak,” timpal Jo sambil mendudukkan dirinya tepat di sampingku dan melanjutkan, “lalu belanja kebutuhan sehari-hari di pasar dan mencuci baju.”

“Cukup membosankan, mengingat tiga hari lagi dunia akan menemui kehancurannya.”

“Kau masih bersemangat memainkan hal itu, ya?”

“Kenapa tidak? Es krim cokelat, Jo, ingat.”

Jo menggembungkan pipi, mengeluarkan sifat kekanak-kanakkannya yang jarang sekali ia tunjukkan saat berada di dalam rumah—kurasa gengsinya terlalu besar untuk itu. Ia meregangkan kedua tangannya, kemudian menguap lebar dan tiba-tiba menjatuhkan kepala di atas pangkuanku. Rambut cokelat tebalnya menutupi lembar novel yang sedang kubaca, membuatku sontak memutar bola mata.

“Jo.”

Ng, kenapa?” Jo membuka mata, masih bertahan pada posisinya. Ia menatapku dalam-dalam, iris cokelat tuanya memerangkapku dengan cara yang tak dapat didefinisikan. Hening mengambil alih suasana, membuatku lupa akan semua kalimat protes yang tadinya sudah tersusun rapi di otak. Alih-alih mendebat keinginan Jo, aku malah menutup novelku dan meletakkan buku setebal empat ratus halaman itu di atas hamparan rumput.

“Nah, itu baru benar.”

“Apanya?” Aku mengerutkan kening.

“Biasanya, kau ‘kan selalu tenggelam dalam buku-bukumu dan mengabaikanku. Karena dunia sudah hampir berakhir, bagaimana kalau kau ganti memperhatikanku?”

“Terserah,” timpalku seraya memalingkan wajah, berusaha mengalihkan fokus Jo dari wajahku yang siap untuk bersemu kapan saja. Tanpa sadar, jemariku pun terulur dan menyusup ke dalam helai-helai rambut Jo.

“Mmm…” Jo bergumam pelan dan kembali memejamkan kedua kelopaknya, membuatku serta-merta mengulum senyum dan mulai menggerakkan tangan untuk mengelus-elus kepalanya dengan lembut. Tak butuh waktu lama, dengkuran kecil pun terlepas dari kedua belah bibirnya.

Dasar, tukang tidur.

Aku terkikik kecil, berusaha untuk tidak membangunkan Jo tatkala ujung jari-jariku mulai menyusuri garis wajahnya yang menawan. Meskipun tidak pernah mengatakannya secara langsung, tetapi bagiku, Jo adalah laki-laki tertampan yang ada di dunia ini.

Ck, bisa-bisanya kau menuduh dan mengatakan bahwa aku telah mengabaikanmu.

Selama ini, kau hanya tak sadar bahwa diam-diam aku selalu memperhatikanmu, Jo.

***

“Aku tak mengerti.”

“Soal?”

“Kalau dunia akan berakhir dalam tiga—ah, ralat—dua hari dan beberapa jam lagi, kenapa kau tidak mencoba melakukan sesuatu yang menantang?”

Hari sudah gelap ketika Jo menanyakan hal itu padaku, mengalihkan perhatianku dari Luhan yang merengek minta diajari matematika serta Xiumin yang sudah tertidur di atas karpet tanpa menyelesaikan tugas sekolahnya terlebih dahulu. Sehari penuh sudah hampir berlalu dan pembicaraan kami soal “bagaimana jika tiga hari lagi dunia berakhir” jelas masih terngiang di kepala.

“Kau sendiri?”

I’ve done something different,” tukas Jo sambil beringsut ke arah Xiumin dan meraih buku tugasnya yang terbuka lebar. Ia mengerutkan kening sejenak kala melihat tulisan tangan Xiumin yang seperti cakar ayam di sana, tangannya dengan cekatan bergerak dan mulai mengerjakan soal-soal yang tadinya belum terjawab.

“Berbeda dalam arti lebih peduli pada anak-anak ini?” tanyaku sambil menjelaskan soal pengurangan dan penjumlahan sederhana pada Luhan. Anak itu terus-terusan menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, lantas merebut pensil yang sedang kupegang dan bersikeras untuk mengerjakan tugasnya tanpa bantuan.

“Bukan. Berbeda dalam arti… membantumu.”

“Aku?”

Well…” Jo menggantungkan kata-katanya sembari mengetuk ujung dagunya dengan pensil, maniknya mengerling ke arahku dengan tatapan menggoda. “Biasanya ‘kan, aku menghabiskan waktu dengan menonton televisi atau berjalan-jalan di pantai. Kali ini, aku memilih untuk menghabiskan hari-hari terakhirku dengan… memperhatikanmu.”

“Gombal. Dari mana kau belajar kata-kata sok manis seperti itu, hah?” seruku seraya menundukkan kepala, berusaha memusatkan konsentrasiku pada deretan angka-angka di buku tulis Luhan. Perkataan Jo yang terkesan blak-blakan barusan jelas mengingatkanku akan percakapan kami tadi siang.

“Hei, May.”

“Apa?”

“Bagaimana denganmu? Apa yang ingin kaulakukan?”

“Tidak ada yang spesifik,” balasku sambil melirik Jo dari sudut mata, mendapati bahwa lelaki itu juga tengah memandangiku dengan sorot penasaran. Sambil berdeham beberapa kali, aku pun lekas-lekas memutar otak untuk mencari sebuah alasan dan berucap, “Kalau dunia sudah akan kiamat, aku memilih untuk tetap berbuat baik padamu dan anak-anak ini. Itu saja.”

“Terkadang aku berpikir bahwa hidupmu itu terlalu monoton, tahu.”

Aku mengedikkan bahu, tak peduli dengan sindiran Jo barusan. Padahal, kalau boleh jujur, aku punya sederet daftar berisi hal-hal apa saja yang ingin kulakukan sebelum mati nanti. Menyatakan perasaanku atau berkencan dengan Jo jelas masuk ke dalam daftar itu. Entah kapan aku akan melakukannya, yang pasti pada suatu saat nanti, aku harus bisa mengumpulkan keberanian dan menyatakan isi hati ini padanya.

“Kalau begitu…” Jo tiba-tiba berucap, membuyarkan lamunanku akan dirinya. “Bagaimana jika aku mengajakmu melakukan sesuatu yang menyenangkan?”

“Kau tidak sedang memikirkan hal yang macam-macam, bukan?”

“Hei!” Jo melempar salah satu bantal sofa yang ada, maniknya memicing tajam ke arahku. “Dengar dulu, baru berkomentar! Aku hanya ingin mengajakmu kencan, tahu!”

Apa?

Seketika mulutku pun terkatup rapat, memilih untuk bungkam. Permintaan Jo barusan jelas melenceng jauh dari perkiraan, satu hal yang membuatku nyaris terkena serangan jantung atau malah melonjak-lonjak di tempat saking senangnya.

“Mau tidak? Seumur hidup tinggal di tempat ini, kau belum pernah berkencan dengan pria manapun, bukan?” Jo bertanya lagi, raut wajahnya yang santai jelas-jelas berbanding terbalik dengan ekspresiku yang campur aduk menahan ledakan rasa gembira. “Kalau iya, besok malam aku akan—“

“Tentu.” Aku bahkan tak perlu berpikir untuk mengiyakan permintaan Jo itu. Baru beberapa menit yang lalu aku memikirkan kapan kiranya kami bisa pergi berkencan, dan sekarang… ia malah menawarkan diri.

Katakan, Jo, apa kau ini seorang tukang sulap yang pandai membaca pikiranku?

***

“Cantik.”

“Coba ulangi lagi.”

“Kau cantik, May.” Jo berdeham pelan dan mengulurkan tangan untuk menyelipkan seberkas rambut hitamku ke balik telinga. “Sungguh.”

Aku tertawa. “Sekian tahun kau mengenalku, baru sekarang kau bilang aku cantik? Di saat dunia hampir berakhir?”

Jo menggaruk tengkuknya dengan sebelah tangan, lantas memalingkan wajah ke arah lain. Kendati begitu, sebelah tangannya yang bertautan dengan milikku masih tetap setia bertahan di sana, menyalurkan rasa hangat ke sela-sela jemari tanganku. Sembari tersenyum lebar, aku mengayunkan tangan kami yang bergandengan erat dan mengajaknya berjalan menuju sebuah kedai es krim yang terletak di pinggir jalan.

“Kau mau mentraktirku sekarang, May?”

“Aku tidak bawa dompet,” elakku sambil mencubit lengannya pelan. “Lagipula, ini masih hari kedua.”

“Jadi aku yang mentraktir?”

“Kau yang mengajakku kencan, ingat?”

Jo memasang ekspresi cemberut kala mendengar kata-kataku, namun ia tetap menuruti ajakanku untuk mampir ke kedai itu dan memesan seporsi besar es krim vanilla dengan hiasan saus cokelat dan buah-buahan. Kami duduk di salah satu kursi yang ada, memakan semangkuk besar es krim itu berdua sambil mengamati suasana kedai yang kosong melompong.

“Sepertinya kita memilih hari yang salah untuk berkencan.”

“Mmm…” Aku menggumam pelan sambil menikmati sesendok es krim yang baru saja masuk ke mulut, manikku mengarah ke jendela yang terbuka di samping tempat duduk kami. Tak hanya suasana di kedai ini, keadaan di kota pun teramat sepi. Wajar sebenarnya, mengingat kota ini hanyalah kota kecil berpenduduk kurang dari enam ratus orang yang terletak di pesisir pantai.

“Aku tahu ini cuma permainan tapi…” Jo mengedipkan sebelah mata kepadaku, lalu melambaikan tangannya untuk menunjukkan kondisi yang ada di sekeliling kami. “Ini semua terasa seperti sungguhan. Kota yang sepi… ditinggalkan penduduknya karena dunia akan hancur… menyisakan kita berdua di tengah malam yang kelam…”

“Hentikan itu, Jo,” sahutku galak sambil mencolek wajahnya dengan es krim. “Jangan menakut-nakutiku.”

“Kau sendiri yang memulai semua ini. Kenapa malah takut?” Jo tergelak keras, tampak puas karena telah menemukan sebuah alasan untuk menyerangku. Ia menjatuhkan sendoknya ke dalam mangkuk, lantas menjulurkan kedua tangan itu untuk memegang pipiku. Mulanya, aku mengira bahwa Jo akan mulai mencubitiku—satu kebiasaan yang tak kunjung hilang dari dulu. Namun, alih-alih memainkan pipiku seperti biasanya, ia malah menangkup wajahku dengan lembut dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Menyisakan jarak beberapa inci saja di antara kami, membuat napasku spontan tercekat karena rasa malu.

“H-hei…”

“Tak perlu takut,” Jo berbisik lembut, suaranya yang dalam dan berat bergema di dalam relung benakku secara berulang-ulang. “Masih ingat apa yang kukatakan kemarin? Apa yang ingin kulakukan jika dunia akan hancur sebentar lagi?”

“Eum… y-ya. Kau bilang ingin lebih memperhatikanku.”

“Tepat.” Jo menarik dirinya kembali—syukurlah karena itu berarti ia memberiku kesempatan untuk bernapas dan menormalkan detak jantung—kemudian mengulas sebuah senyum lebar yang serta-merta membuatku merasa tenang. Senyum yang selalu ia tunjukkan kala aku bermimpi buruk atau merasa takut akan sesuatu, jenis ekspresi yang akan selalu membuatku merasa aman dan terlindungi semasa masih kecil dulu.

“Jadi…”

“Tak perlu takut, May,” sahut Jo sambil menyendokkan seporsi besar es krim ke dalam mulutnya. “Bukankah ada aku yang selalu berada di sisimu?”

Itu benar. Bahkan jika—andaikan saja—dunia benar-benar akan berakhir, Jo masih akan tetap setia berada di sana. Di sampingku. Ia akan terus menemaniku, baik dulu ketika aku masih kecil, hingga sekarang ketika umur kami sudah sama-sama beranjak dewasa. Aku percaya itu.

Trims, Jo. You’re the best, you know that?”

Dan Jo pun ikut menjingkatkan kedua sudut bibirnya ke atas, tampak puas.

I know.

 

***

“Kurang dari dua puluh empat jam lagi,” bisik Jo pagi itu, tepat di samping telingaku.

“Kenapa? Ada sesuatu yang ingin kaulakukan di jam-jam terakhir ini, Tuan?” Aku membalikkan tubuh dan membawa sepanci besar sup krim hangat ke atas meja makan, lalu mulai mengisi mangkuk-mangkuk kecil yang ada di sana dengan cekatan.

“Desas-desus di kota mengatakan bahwa malam ini akan ada bintang jatuh.”

“Kauyakin itu bukan meteor yang akan menghancurkan bumi?”

Jo memutar kedua bola matanya mendengar candaan kecilku, tampak tak berniat menanggapi. Ia mulai menyeruput kuah supnya dengan bunyi berisik, dan aku bisa melihat bahwa ekspresi wajahnya tampak begitu serius. Hei, ia tak mungkin sedang memikirkan leluconku barusan, bukan?

“Jo?”

“Ayo habiskan malam terakhir ini denganku,” pinta Jo sambil menandaskan isi mangkuknya dan menatapku dengan mimik penuh harap. “Bibi Annie toh tak akan keberatan.”

“Kau sudah minta izin?”

“Sudah,” timpal Jo cepat. “Aku bertanya apakah kita bisa melihat bintang jatuh malam ini dan beliau sudah mengiyakannya. Benar ‘kan, Bibi?”

Aku menatap wanita paruh baya yang baru saja keluar dari kamar Xiumin sambil membawa setumpuk cucian, kakiku otomatis berlari mendekat untuk membantunya. Seraya meraih setumpuk pakaian yang sedang dibawanya, aku pun bertanya, “Kami boleh keluar lagi malam ini?”

“Tentu saja, May. Kau dan Jo sudah dewasa. Jangan terus-terusan mengurung diri di rumah ini. Pergi keluar dan merasakan pengalaman-pengalaman baru itu tidak dilarang, kok.”

“Sungguh?”

“Kubilang juga apa.” Jo ikut menyambar keranjang cuci dan menghampiri kami, lalu mulai memindahkan pakaian kotor di tanganku ke dalam sana. “Jadi, mau melihat bintang jatuh denganku, May? Ini hari terakhir, ingat?”

Aku mengangguk riang, menyetujui ajakan itu tanpa rasa ragu.

Karena, jikalau saja aku adalah seorang peramal dan perkataanku soal tujuh puluh dua jam menuju akhir dunia itu benar adanya, maka aku tidak akan pernah menyesal karena telah membagi informasi itu dengan Jo.

Ingin tahu alasannya?

Pria ini jelas tahu bagaimana cara menggoreskan kenangan-kenangan terbaik untuk mengisi tiga hari terakhir dalam hidupmu.

Sesederhana itu, bukan, Jo?

***

“Tik, tok, dua jam menuju pukul dua belas malam,” sapaku sambil melangkah ke arah Jo yang sudah duduk di atas hamparan pasir pantai, mengamati langit malam yang bertabur bintang dan lautan luas yang tampak sekelam tinta. Jo terkekeh mendengar sapaanku itu, tangannya menepuk-nepuk permukaan pasir yang berada tepat di samping kanannya. Mengisyaratkanku untuk duduk di sana, rapat dengan tubuh jangkungnya yang memancarkan aura hangat.

“Kalau akhir dunia terasa damai seperti ini, kurasa aku tidak akan keberatan.”

Aku mengangguk untuk mengiyakannya, sementara kepalaku secara otomatis mencari-cari bahunya untuk dijadikan sandaran. Melihatku yang beringsut mendekatinya seperti itu, Jo pun lekas-lekas mengulurkan lengannya untuk merangkul bahuku dan menarik tubuhku merapat padanya.

“Kebiasaanmu tak pernah berubah.”

“Kau hanya perlu menyadari bahwa bahumu adalah tempat ternyaman untuk meletakkan kepala.”

Jo mengembuskan napas panjang, tidak berusaha untuk mendebat perkataanku. Lengannya yang tersampir di bahuku malah membawa tubuh ini semakin dekat dengannya, mengizinkanku untuk menghirup aroma khas tubuh Jo yang maskulin. Sambil mengisi pasokan oksigen di paru-paru, aku pun berbisik pelan, “Mendadak aku takut lagi.”

“Hei, dunia tidak akan benar-benar berakhir, tahu. Ini hanya—“

“Permainan, ya. Tetapi, pernahkah kau memikirkannya, Jo? Jika semua manusia tahu kapan dunia akan kiamat? Itu…”

“Mengerikan.” Jo ganti menyelesaikan kata-kataku, tangannya yang tadi melingkari pundakku kini merambat turun dan mulai mengelus-elus punggungku dengan lembut. “Dunia pasti kacau.”

“Ya. Namun, jika kita tidak tahu…” Aku menggantungkan kata-kataku, diam-diam mengarahkan lirikan mataku pada Jo. Tiga hari belakangan ini… apakah Jo bersikap baik dan perhatian hanya untuk mengikuti permainan konyolku? Lantas, apa yang akan terjadi besok? Dunia toh tidak mungkin benar-benar hancur esok hari. Kami mungkin masih akan hidup bertahun-tahun lamanya dan…

… apa Jo akan terus-terusan menganggapku sebagai saudara atau temannya semata?

Semua percakapan itu—baik itu tindakan manis Jo, caranya menarik perhatianku, hingga kencan yang kami lakoni tempo hari—adalah hal-hal yang akan ia lakukan seandainya dunia akan menghadapi bencana berskala besar dalam tempo tiga hari ke depan. Nah, pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika aku tidak merancang dan menyeretnya dalam permainan bodoh ini?

Mungkin Jo akan tetap bersikap seperti biasanya. Menggodaku layaknya adik kecilnya, mencubitiku dengan usil, bermain bersama para teman lelakinya dan jarang memperhatikanku, bahkan mungkin ia akan bertemu dengan gadis lain dan mulai menjalin hubungan.

Aku tidak mau.

“May, kenapa melamun?”

“Bukan apa-apa,” jawabku singkat sambil melingkarkan lengan pada pinggang Jo, membenamkan wajahku pada lekuk bahunya dan memeluk pria yang sudah kukenal sejak kecil ini erat-erat. Baru saat ini kusadari, bukan akhir dunia sematalah yang sebenarnya kutakuti. Aku juga takut kehilangan Jo, takut jika ia beranjak dari sisiku dan tidak pernah menoleh ke arahku lagi.

Sunyi merayap ke dalam suasana, membuat pikiranku semakin melantur ke segala arah. Aku memikirkan Jo, memikirkan hidup kami selama belasan tahun terakhir, dan juga memikirkan masa depan yang masih tak jelas arahnya.

“May…”

Jo-lah yang pertama memecah keheningan, menarikku kembali ke alam sadar. Ia mengelus rambutku pelan, kemudian merebahkan dirinya—dan menarik tubuhku bersamanya—ke atas hamparan pasir. Lamat-lamat, ia mengatur posisi kami sehingga aku pun berakhir dengan menggunakan salah satu lengan atasnya sebagai bantal, sementara tangannya yang lain melingkari pinggangku dan menahanku tetap berbaring di tempat.

“Kenapa, Jo?” Aku berusaha mengeluarkan suara, tahu persis bahwa wajahku saat ini pasti sudah memerah padam. Beruntunglah diriku karena malam sudah larut dan tak ada satupun sumber cahaya di sini selain bulan yang bersinar pucat di atas sana. Kalau sampai Jo mengetahuinya, mau ditaruh mana mukaku ini?

“Bintang jatuh itu cuma sekadar rumor, ternyata.”

“Begitukah?”

Jo menunjuk ke langit malam yang terbentang luas, tampak kesal. “Sejak tadi aku tak melihat apa pun melintas di langit sana. Padahal, aku ingin membuat sebuah permohonan.”

“Permohonan? Tentang?”

“Ey, itu rahasia. Kalau kuberitahu, nanti tidak akan terkabul,” sahut Jo seraya melepaskan pelukannya dari pinggangku dan berbaring telentang. “Atau aku harus membuat permohonan pada bintang-bintang yang ada saja?”

Aku tidak menjawab pertanyaan Jo barusan, membiarkannya terus berceloteh sembari memandang langit yang bertabur kerlip bintang. Sesekali, ia akan menunjuk ke arah beberapa bintang yang bersinar lebih terang dibanding yang lain, kemudian mulai menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil membisikkan sebuah permohonan.

“Hei, Jo,” panggilku dengan nada setengah mengantuk seraya menarik ujung jaketnya untuk mengembalikan perhatian pria itu padaku, “lihat sini sebentar.”

“Ada apa?”

“Jadi… kesimpulannya…” Aku memulai, bermaksud untuk menyelesaikan permainan konyol ini hingga akhir. “Kalau tiga hari lagi dunia ini hancur, apa yang akan kaulakukan?”

“Itu mudah,” jawab Jo nyaris tanpa berpikir. “Aku akan melewatkan hari-hari itu dengan memperhatikan orang yang kusayangi, memastikan agar kenangan manislah yang tercipta.”

Aku berdeham ringan, kemudian mengeluarkan bunyi ‘oh’ pelan tanda mengerti. Dalam situasi seperti ini, biasanya aku akan meledek Jo habis-habisan dan mengatakan bahwa rayuan sok manisnya itu tidaklah mempan. Namun, saat ini, aku lebih memilih untuk diam dan menyerap semua makna di balik kata-kata Jo barusan, terlebih karena frasa ‘orang yang kusayangi’ itu terus berputar-putar di dalam benakku.

“Kau… menyayangiku?”

“Aku mengantuk.”

Aku mendengus mendengar jawabannya yang sama sekali tidak membantu, kepalan tanganku serta-merta mendarat ringan di atas dada bidangnya. “Hei, kau mau tidur di sini?”

“Kenapa tidak?” Jo menguap lebar, lantas menutup kedua kelopak matanya rapat-rapat dan menulikan diri dari segala protes yang kukeluarkan. “Kita ‘kan, belum pernah tidur di alam terbuka seperti ini.”

“Iya sih, ta—“

Ssshh, berisik. Sudah tidur saja,” bisik Jo gusar sambil meletakkan sebelah tangannya di atas kepalaku, menepuk-nepuknya dengan irama yang menghanyutkan. Malas berdebat lebih jauh, aku pun berusaha untuk bersikap rileks dan menikmati caranya meninabobokanku. Keheningan kembali merayap masuk, menyisakan suara air yang bergesekan dengan pasir pantai. Dalam diam, aku bisa merasakan kantuk yang mulai datang dan menggelayut di kelopak mata, membuat pikiranku sedikit buram dan siap untuk terbang ke alam mimpi.

Tepat pada saat itulah, aku mendengar suara Jo yang berbisik pelan di tengah sepinya malam, membuatku spontan melukis senyum lebar dan meyakini bahwa mimpiku malam ini pasti akan terasa begitu indah.

“Tentu saja, May. Aku selalu menyayangimu.”

***

Hari masih terlampau pagi kala aku membuka mata.

Mentari bahkan belum benar-benar terbit, membuat suasana di sekitar kami lebih didominasi oleh warna kelabu dan biru tua. Samar-samar, aku bisa mendengar kepak sayap burung camar yang mulai bergerombol di tepi pantai, tampak sudah siap untuk menjalani hari mereka. Sambil mendudukkan diri, aku bisa merasakan jaket Jo yang meluncur turun dari tubuhku—entah kapan ia menyelimutiku dengan jaket ini—dan sebuah kesadaran pun sontak menghantam diriku begitu saja.

Permainan kecil kami sudah berakhir.

Ini sudah hari keempat dan—seperti yang sudah bisa kautebak dari awal—dunia belum kiamat. Tentu saja. Bukankah konyol jika perkataanku beberapa hari silam itu benar-benar menjadi kenyataan? Hah, bahkan aku pun tak ingat alasan macam apa yang mendorong pemikiran semacam itu untuk muncul di dalam benakku.

“Jo?”

Aku menolehkan kepala ke samping kiri, mendapati sosok Jo yang masih mendengkur pelan dan pulas di alam mimpi. Lamat-lamat, aku pun bergeser mendekat dan menyusupkan jemari tanganku ke dalam helai-helai rambutnya. Mengelusnya beberapa kali, sebelum akhirnya jempolku pun bergerak untuk membelai garis rahangnya yang begitu tegas.

Aku mencintaimu, tahu.

Rasanya, aku ingin sekali mengungkapkan kata-kata itu secara gamblang. Namun, realita tak selalu berjalan semudah harapan atau keinginan kita, bukan? Aku tahu kalau Jo menyayangiku, tapi aku tak pernah tahu bagaimana bentuk dari rasa sayang itu sendiri. Apa ia menyayangiku sebagai keluarga? Adik? Sahabat? Atau apa?

“Kenapa memandangiku terus, May? Tumben kau tidak membangunkanku dengan cara yang brutal.” Jo tiba-tiba bergumam dalam suara serak khas bangun tidur, membuatku terlonjak kaget dan langsung menarik lenganku menjauh. Sayang, aku masih kalah cepat dari pria itu. Sebelum aku sempat kabur dan menghindarinya, Jo sudah terlebih dahulu menyambar pergelangan tanganku dan menahanku tetap diam di tempat.

“M-maaf membangunkanmu.…”

“Tak apa,” jawab Jo singkat sambil ikut mendudukkan diri, masih enggan untuk melepaskan genggaman eratnya pada pergelangan tanganku. “So… we’re still alive.

Of course!” balasku gemas, memanfaatkan pertanyaan bodohnya itu untuk menutupi rasa maluku yang sudah memuncak. “Menurutmu? Kaupikir aku ini peramal?”

Jo terbahak keras mendengar perkataanku. “Well, mungkin saja, ‘kan? Tapi aku senang karena ternyata kau bukan peramal masa depan. Ini berarti, permohonanku semalam terkabul!”

“Memang apa sih yang kauminta?”

“Agar dunia tidak hancur setelah tujuh puluh dua jam berlalu,” jawab Jo polos, membuat rahangku seketika terbuka lebar. Tak percaya. Apa ia sungguh-sungguh mengajukan permohonan konyol macam itu semalam? Ck, terkadang, aku benar-benar tak bisa memahami jalan pikiran lelaki yang satu ini.

“Baiklah. Dunia tidak hancur. Jadi, kau mau apa?”

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Jo malah merangkak mendekatiku dan meletakkan telapak tangannya di atas milikku. Sepasang iris cokelat gelapnya memandangiku lekat-lekat, nyaris tak berkedip. Kontak mata itu terus ia pertahankan selama sepersekian menit lamanya, membuat debar jantungku sontak mengalami percepatan sementara ribuan kupu-kupu mulai beterbangan dan menggelitik perutku.

Aku mengerjapkan mata.

Jo masih tetap keras kepala dan tak mau berhenti memandangiku.

“Eum…”

“May.” Jo memanggil namaku pelan, memulai. Ia memajukan tubuhnya sedikit lagi, mengeliminasi jarak yang membentang di antara kami. “Aku senang dunia ini belum kiamat karena aku masih harus melakukan suatu hal yang penting.”

“Apa itu, Jo?” tanyaku lirih sambil memalingkan muka, berusaha menghindari tatapannya yang semakin lama terasa semakin intens. Entah mengapa, pandangan Jo yang ditujukan padaku itu terasa berbeda. Sepasang pupilnya tak hanya mengamati penampilan luarku saja, melainkan juga menelisik jauh ke dalam dan seolah mampu membaca isi hatiku yang tersembunyi rapat.

Tolong jangan lakukan ini, Jo. Aku bisa gila karenanya.

“Aku… harus menyatakan perasaanku pada seorang gadis.”

Detik itu juga, aku bisa merasakan napasku tercekat sementara sebuah harapan mulai terbentuk di dalam benakku. Perhatianku sontak kembali pada dirinya yang sedang mengulum senyum, terlihat malu. “A-apa katamu?”

“Ada seorang gadis. Aku mengenalnya bertahun-tahun, tapi aku tak pernah sadar kalau aku menyukainya. Sampai pada suatu hari, ia mengajukan sebuah pertanyaan padaku. Memintaku menunjukkan hal-hal macam apa saja yang akan kulakukan seandainya tiga hari lagi dunia ini hancur.”

Aku bungkam, membiarkan Jo meneruskan monolognya. Tanpa kusadari, jarak yang tadinya masih sekitar lima puluh senti kini sudah berkurang menjadi sejengkal saja. Embusan napasnya yang hangat terasa begitu dekat dan membelai kulit wajahku, pun dengan aroma khasnya yang masih setia melekat di tubuh itu.

“Kautahu, May, selama tiga hari penuh, aku memutuskan untuk bersikap lebih perhatian pada gadis itu. Untuk menunjukkan rasa sayangku padanya, untuk membuatnya tersenyum dan tertawa tanpa beban. Dan aku berhasil melakukannya.”

Ya, tentu saja. Kau berhasil dengan amat baik, Jo. Amat sangat baik, batinku seraya meneguk saliva, berusaha menghilangan rasa gugup yang ada. Telapak tangan Jo yang tadinya berada di atas milikku kini sudah berpindah, bergabung dengan sebelah tangannya yang lain untuk menangkup wajahku.

“Namun, dalam kurun waktu tiga hari itu, ada sesuatu yang berubah. Mendadak, ada kesadaran yang timbul di dalam benakku. Bahwa alasanku menyayangi gadis itu bukan karena ia sudah tinggal denganku selama bertahun-tahun semata. Bukan juga karena aku sudah menganggapnya sebagai adik atau saudara. Aku sayang padanya karena aku mencintainya. Bisakah kau mengerti itu, May?”

Tanpa perlu kaujelaskan pun aku sangat mengerti, Jo. Bukankah aku merasakan hal yang sama selama bertahun-tahun?

“Maka…” Jo menarik napas dalam-dalam, kemudian membiarkan dahi kami menempel sementara jarak bibirnya denganku hanya tinggal beberapa inci saja. “… semalam aku memohon agar pada hari ini, setelah tujuh puluh dua jam berlalu, dunia masih akan sama seperti sedia kala. Memohon agar kita berdua masih bisa hidup hingga bertahun-tahun lamanya, sehingga aku pun memiliki kesempatan untuk mengutarakan isi hati ini dan menjalani hidupku dengannya.”

“I-itu tadi…” Aku kehilangan kata-kata, lidahku terasa kelu dan tak mau diajak bekerja sama. Bagaimanapun juga, aku baru saja mendengar sebuah pengakuan cinta yang cukup panjang, satu yang tidak pernah berani kumimpikan sebelumnya. Ini terlalu sureal, terasa tidak nyata dan membuatku melayang-layang di saat yang bersamaan.

“May…”

“Jo, aku… aku…”

“Bolehkah?”

“Apa?” ujarku bingung. Jo menjawab rasa ingin tahuku itu dengan menyapukan ujung jemarinya di atas bibirku, mengisyaratkan sebuah permintaan yang sudah teramat jelas maknanya.

“Boleh?”

Aku mengangguk singkat, dan tanpa perlu menunggu lama, ia sudah menautkan kedua belah bibirnya dengan milikku. Menahannya selama beberapa detik di sana, lantas menggerakkannya dalam sapuan selembut kapas. Gerakan itu tidak terasa menuntut, ia melakukannya dengan lambat dan penuh kehati-hatian, seakan takut jika diriku ini bisa pecah layaknya boneka porselen.

“Jo…”

Mmm, you smell like strawberry, dear.

Aku tertawa lirih, lantas memukul pundaknya pelan seraya menarik diriku ke belakang. Sambil mengisi paru-paruku dengan pasokan oksigen, aku mengamati sang surya yang kini mulai menampakkan bias sinarnya di ufuk timur sana, perlahan merangkak ke atas untuk menyinari dunia.

Ini pagi yang indah.

“Kita pulang sekarang? Anak-anak pasti menunggumu.” Jo mengulurkan tangannya kepadaku, yang langsung kusambut dengan senang hati. Jemariku otomatis menyusup di sela-sela miliknya, bergandengan erat sembari melangkah riang menuju rumah mungil yang terletak di pesisir pantai itu.

“Hei,  May, boleh aku ganti bertanya?”

“Tentu. Soal apa?”

Jo menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu rumah, pura-pura berpikir. Ia mengerutkan keningnya dan memasang ekspresi serius selama beberapa saat, kemudian berucap, “Tujuh puluh dua jam telah berlalu dan ternyata dunia belum hancur. Apa yang akan kaulakukan setelah itu?”

“Itu sangaaaat mudah, Jo.”

“Dan jawabanmu adalah?”

Aku melepaskan tautan tangan kami, lalu menarik kenop pintu rumah hingga terbuka lebar. Seraya memasang raut wajah usil, kutolehkan kepalaku ke arah Jo. Kakiku sedikit berjinjit kala aku mendaratkan satu kecupan kilat di atas bibirnya, kemudian lekas-lekas berlari masuk ke dalam rumah sebelum Jo sempat bereaksi.

“Jawabanku hanya satu, Jo. Aku akan menghabiskan waktuku untuk mencintaimu!”

.

.

.

After 72 hours passed, I just wanna admit that:

I love you.

.

.

A/N:

Sebenarnya, aku mau nulis 12 ficlet kaya tahun lalu sebagai fic akhir tahun spesial untuk readers di sini, apa daya UAS udah deket dan ideku pun macet semua -__- jadi sebagai gantinya, aku publish ini sebelum hiatus sampe tahun depan ya ;;;

Anyway, it’s been awhile since I write a super-duper fluff fic like this, so… mind to leave some comments?

143 tanggapan untuk “After 72”

  1. sweet bgt… keren bgt cara jo buat nyatain cnta nya ama may… gak kebyang gimn seneng nya may kalo cinta nya gak bertpuk sbelah tangan..

    Suka

  2. Ini sweet overdose asdfghjkl
    manisnya jo sama may :3
    Sebenernya sikap romantisnya sederhana tapi penceritaannya bikin semua yg dilakuin disini terkesan sangat manis, gak membosankan dan gak menggelikan.. Biasanya aku kurang nyaman baca fluff, but, yeah i love this one <3<3<3
    so sweeeeeeeeet~

    Suka

  3. baru nemu iseng” nyari ff exo rekomendasi dari salah satu blog terus nemu ini, penasaran dan akhirnya baca..
    well..
    ff nya sweet, ceritanya ringan, ahh jadi pengen jadi may ini, kkk~
    bayangin sendiri kalo may itu gue wkwk #plak
    nice ff thor, suka banget 🙂

    Suka

  4. suka sama ceritanya suka sama mereka aa ceritanya manis seperti strawberry kyk kata Jo hihi♡ ohiya aku udah lama suka sama tulisan tsukiyamarisa dan baru sekarang baca lagi hehe

    Suka

  5. Aaaaaa FF Ficletnya maniss bgt 🙂 terasa bgt di hati walaupun cuma baca 🙂 JongKai manis bgt disini >_< apa lagi pas minta izin buat nyium may :3 meleleh aku bacanya :3
    ngomong2 salam.kenal ya 🙂 aku reader baru hihi
    sampai jumpa di ff yg lain 😀

    Suka

  6. hmm fic nya sweet banget 🙂 aku ska cara author Marisa mendeskripsikan suasana, latar, pikiran cast, dimana setiap kalimat terangkai dengan rapi,ga berat,dan mudah dipahami.. biasanya aku mesti dua kali setiap bca prolog di tiap fic, tpe fic ini bener2 santai bgt aku bcanya,ngalir gtu aja

    Aku gak kerasa feel nya Kai oppa disini, mgkn krna pembawaannya yg menurut aku dewasa,biasanya Kai oppa selalu berwatak bad boy, dingin, egois, atau kalo romantis nya bener2 lebay gtu, padahal aku suka setiap dialog Kai oppa n May.

    Aku sempat nebak bakalan ada konflik di akhir cerita, misalnya dgn dunia yg beneran hancur, tpe ternyata tebakanku salah, pdhl fic ini bakal lebi sempurna jika ada gebrakan di akhir selain pengungkapan cinta, tpe tetep kok predikat fic ini perfect dari segi penulisan,diksi,pengambaran,dialog,rapi deh pokonya, cma alurnya yg sedikit ga dapet #mgkn ini dari side aku aja 🙂

    aku ska dengan fic buatan author dan menurutku author ahli dalam buat fic chapterep to series gtu.. dengan genre drama to fantasy ? maybe krna pengambarannya keren! author pnya blog pribadi ? Insya Allah aku bakal main2 ke blognya author n baca tentunya hehe ^^

    anyway, salam kenal ya kakak author dan maaf jika aku terlalu bnyk erkomentar yg mgkn buat author sendiri bingung -_- hehe soalnya aku mantan siders hehe! tpe moga bsa jadi note kecil ya hehe

    the last, salam hangat dan XOXO 🙂
    Mrs.Lu | Cyanobacteria yg selalu bersoliti dan berkoloni ~ see ya next comment ^^

    Suka

  7. Damn fluffy fiction.
    Aku kayak ngerasain gimana jadi May. Ngebayangin kalo dunia hancur dalam waktu 72 jam. Ngerasain hal manis gak lebih dari tiga hari. Ditambah lagi Jo yang nyatain perasaannya.

    Astaga. Rasanya kayak kepengen gigit guling aja, saking gemesnya sama Jo. Kok bisa jadi manis, gitu. Yaampun. Campur aduk pokoknya. Mana narasinya rapi pula. Bikin kesel. Kalo bagus gini kan jadi bingung mau ngomen dari segi mana nya /terus ini apa kalo bukan komen/

    p.s: Bilangin ke Jo, kalo dia udah gak ada hubungan sama May, aku mau kok sama dia.

    Suka

  8. Sweet banget yaamoun huhuhuhu
    Dasar jo. Harus disadarin dunia mau berakhir dulu baru tau perasaan dia yg sebenernya yha.. Hufff
    Tapi gapapa akhirnya hapoy ending:””7)

    Suka

  9. Kyaaa sweet bnget. Aku suka, apalagi ini my bias, kai oppa. Huhuu dialognya itu lo gk berat tp jg pas, gk mudah n jg gk pasaran. Keren.

    Suka

Leave Your Review Here!