The Games Land – Part.3 (The Weapon)

Untitled-1

Title: The Games Land – Part.3 (The Weapon)

Scriptwritter: SyenVIP (@Syen_VIP)

Main Cast(s):

~Sandara Park (2NE1)
~Kwon Jiyong (Big Bang)
~Dong Yongbae (Big Bang)
~Lee Seunghyun as Lee Seungri (Big Bang)

Supporting Cast(s):

-Lee Donghae (Super Junior)
-Goo Hara (Kara)
-Yong Junhyung (Beast)
-Park Bom (2ne1)
-Park Jiyeon (T-ara)
-Bae Suzy (Miss A)
-Hwang Kwanghee (Ze:a)
-Park Sanghyun/ Thunder (Mblaq)
-Do Kyungsoo (EXO K)
-Jung Soojung (F(x))
-Oh Sehun (EXO K)

-and other. Find the other cast in the next chapter!

Length: Chaptered

Genre: Fantasy, Adventure, Mystery, Sci-fi, Romantic, Friendship, Action

Disclaimer: Human and thing belong to God. I only own the plot. Terinspirasi dari banyak novel (Harry Potter, Percy Jackson, Divergent, Hunger Games) dan komik (Doraemon dan Conan), juga BC sama SGnya Fikha. hehe. Happy reading ^0^

Summary: Berapa kali sudah kau mencoba permainan di playstation, komputer, dan NDSmu? Mungkin kau sudah lihai memainkan semua permainan di dalamnya. Kau tahu tokoh mana yang bagus dan jurus mana yang harus dipakai. Kalau kau kalah – game over – kau tinggal menekan tombol retry, atau play again. Bagaimana jika games itu nyata? Bagaimana jika kau yang menjadi tokoh utama dalam games dengan berbagai macam jurus dan kekuatan? 

Watch the previous part:

part 1 (The Kynigo Train)
part 2 (New York Crisis)

Previously at The Games Land:

Sandara Park, Goo Hara, dan Yong Junhyung berhasil melewati level 3. Mereka berhasil menggunakan kekuatan dari gerbong masing-masing dan mengalahkan monster Dinosaurus. Namun, tentu saja mereka masih jauh dari kata aman. Masih ada 9 level yang harus mereka lalui.

Daftar gerbong Kynigo’s train:

1. Gerbong Astrapi
skill: ??

2. Gerbong Fortia
skill: Fire
tumblr_m83be5550k1r2s1lro1_400_large

3. Gerbong Antikeimeno
skill: object
electricst0rm_1327003268_17_large

4. Gerbong Aeros
skill: water
tumblr_mh9s8nQJIm1rlx9a0o1_500_large

5. Gerbong ??
Skil: ??

6. Gerbong Fysi
skill: nature
strommar1_50f84ff2e087c359c83f2e8d_large

7. Gerbong Gi
skill: earth

tumblr_m4r89pMxHt1rvc1xyo1_400_large

Check this out!

.

.

.

.

.

Sandara mendesah cukup keras sembari mendorong pintu kayu tersebut. Wajah dan rambutnya basah setelah ia bilas dengan sembarang di wastafel. Meski demikian, masih saja ada darah dan lendir di berbagai tempat yang tak dapat ia bersihkan. Sandara tak peduli. Ia sudah cukup puas dengan keperluannya di toilet kecil itu.

Benar. Puas. Selama sekian hidupnya, untuk pertama kalinya ia menganggap toilet adalah surga. Untuk pertama kalinya ia menganggap tempat itu adalah tempat teraman dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya ia tidak keberatan dengan bau amonia di dalamnya. Sandara sendiri merasa keberatan saat ia harus menginjakkan kakinya keluar dari toilet kecil tersebut. Keluar dari perbatasan amannya.

Di luar toilet, Sandara disambut sebuah trotoar panjang yang dihiasi gedung-gedung tinggi di sampingnya. Pejalan kaki berlalu lalang di mana-mana. Orang asing dengan berbagai macam jenis rambut, dari pirang hingga hijau. Adapula remaja-remaja berkulit hitam yang bergerombol di salah sudut bangunan. Mereka terlihat asyik bercakap-cakap dan bercanda. Sandara memperhatikan. Entah bagaimana, setiap melihat orang berkulit hitam, ia selalu teringat pada penyanyi Rap barat. Florida, Eminem, Ne-yo, dan –

Buk.

Seseorang menabrak Sandara ketika gadis itu terpaku pada segerombolan remaja kulit hitam itu. Sandara menoleh pada orang yang ia tabrak, hendak meminta maaf. Penabrak itu menoleh sekilas. Sandara mendapati bahwa orang yang ditabraknya itu adalah seorang gadis yang tingginya tidak berbeda jauh dari Sandara. Gadis itu mengenakan kaos yang ditutupi jaket dengan tudung menutupi hampir seluruh rambutnya. Sandara dapat melihat rambut pirang yang mencuat dibalik tudung tersebut, namun entah mengapa ia yakin bahwa gadis yang ditabraknya itu bukan orang asing. Wajahnya yang khawatir itu khas Asia.

Sebelum Sandara sempat mengucapkan apa-apa, gadis itu sudah memalingkan wajah dan berlari menjauh. Sandara mengernyit namun tidak berkomentar apa-apa. Ia melanjutkan berjalan ke arah tiga mobil Jeep dan Pikep yang diparkir di tepi jalan. Jeep hitam di depan adalah yang paling mencolok di antara mobil-mobil lainnya. Hal itu mungkin disebabkan oleh penumpang-penumpangny – yang berambut hitam dan wajah asia kental yang tidak dimiliki pejalan kaki lainnya–sedang  bersandar di luar mobil. Ketika melihat Sandara, salah seorang dari mereka memberi isyarat tangan agar Sandara berjalan lebih cepat. Gadis itu menurut. Ia sedikit berlari hingga mencapai Jeep tersebut.

“Sudah beres?” tanya laki-laki berambut hitam yang tadi melambai pada Sandara. Itu Seungri.

Sandara mengangguk. “Cukup beres. Kita melanjutkan perjalanan?”

Seungri mengangguk. Para penumpang serempak masuk ke dalam Jeep hitam itu. Seorang perempuan dan laki-laki di baris pengemudi, serta Sandara, Seungri, dan Hara di kursi belakang.

Sandara tahu bahwa Jeep hitam itu bukan satu-satunya mobil yang melaju sendirian. Dua mobil di belakang Jeep yang ditumpangi Sandara juga ikut melaju.

“Jadi,” kata Sandara sambil memposisikan duduknya, “kita akan ke mana?”

Seungri yang duduk di sebelahnya menyeringai. “Toko peralatan, ‘kan?”

Sandara mengangguk. Ia mengingat-ingat bangunan yang ditunjukkan sang Informan di Ankolis. Toko Peralatan. Bangunan dengan kelap-kelip lampu yang menghiasi malam. Nun jauh dari aula Ankolis. “Apakah toko peralatannya jauh?”

“Oh entah,” Seungri mengangkat bahu. “Kita mencari-carinya dari tadi, tapi tidak menemukannya juga.”

“Oh,” Sandara mendesah. Seseorang menyentuh lengannya di sisi yang lain. Sandara menoleh dan mendapati Hara sedang mengulurkan sesuatu ke arahnya. Rupanya itu roti. Entah bagaimana Hara mendapatkan roti tersebut, Sandara menerimanya dengan penuh syukur.

Ketika Jeep hitam itu membelok di perempatan, Sandara mendengar teriakan itu. Raungan ketakutan itu memecah keramaian kota. Suara itu hampir membuat Sandara tersedak dan memuntahkan rotinya, namun gadis itu berusaha untuk tidak melakukannya.

“Tourist baru kelihatannya,” ujar Seungri. Ia membuka jendela di sampingnya, melongokkan kepala ke sana kemari. Jeritan itu terdengar lagi dan ia mengernyit. “Sepertinya di bagian Barat. Kyungsoo, belokkan mobil.”

“Jangan bilang,” ujar Kyungsoo dari balik kemudi, “kita mau menolong tourist baru lagi.”

“Memang begitu,” Seungri menjawab dengan enteng.

“Hyeong bercanda.” Tapi Kyungsoo membalik setirnya. Sandara merasakan tubuhnya terpental ketika mobil-mobil belakang menabrak bagian belakang Jeep yang ditumpanginya. “Aku bisa membayangkan Kai mengumpat di belakang.”

Kyungsoo mengganti gigi mobilnya, lalu menancap gas tanpa pertimbangan hingga mobil itu melesat dengan kecepatan tak normal. Sandara dan Hara berpegangan, takut tubuh kecil keduanya terpental.

“Karena itu kau yang terpilih untuk menyetir,” timpal gadis yang duduk di sebelah Kyungsoo. Sandara mengenal gadis itu sebagai salah satu gadis di gerbong Gi – walau ia tak ingat jelas namanya. Cahaya bulan yang menyirami mereka menampakkan seringaian di wajah gadis cantik itu. “Karena Kai tidak mungkin marah padamu.”

Jeritan itu terdengar sekali lagi. Kyungsoo berbelok mengikuti arah datangnya jeritan. “Benar-benar ide yang brillian!”

“Memang,” Gadis itu mengangguk setuju.

Jeep hitam itu berbelok sekali lagi. Tidak peduli menabrak bangunan-bangunan, trotoar, maupun pejalan kaki.

“Mereka itu robot,” kata Seungri saat melihat ekspresi Sandara dan Hara yang ngeri. “Mereka tidak akan berdarah atau mati.”

Sebenarnya, itu bukan hal yang mengejutkan bagi Sandara dan Hara. Toh tadi mereka sudah menabrak banyak orang saat melarikan diri dari monster dinosaurus.Tapi tadi mereka kelewat panik. Saat melihat dengan lebih jelas seperti ini, melihat manusia-manusia itu terpental dari jalan, menggelinding dengan tubuh terpotong-potong, membuat keduanya mual.

Sandara membungkus kembali rotinya. Nafsu makannya sekali lagi menguap. Jika Sanghyun –adik laki-laki Sandara –mengetahui hal ini, laki-laki itu akan mengira Sandara sudah gila. Gadis itu hampir tidak pernah kehilangann nafsu makan. Ia tidak pernah diet seumur hidupnya.

Mobil Jeep mereka berhenti di sebuah belokan di mana orang-orang berhamburan berlari. Kali ini Sandara merasakan sentakan yang lebih tidak menyenangkan lagi saat ia merasakan dentuman-dentuman di tanah. Ia sudah mengenal dentuman ini. Dentuman kaki monster.

Benar saja. Hanya berjarak beberapa meter, makhluk itu menjulang di tengah bangunan-bangunan tinggi.  Sandara mengintip dari balik kaca mobil dan menyadari itu bukan Dinosaurus. Monster itu tidak sebesar dinosaurus tadi, namun tidak kurang dari mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh besi dan senjata-senjata besi yang disampir di tangannya. Itu monster robot.

“Jadi, transformer sekarang?” Seungri menggeleng. Laki-laki itu melompat turun dari mobil diikuti Junhyung dan gadis di sebelah Junhyung.

Sandara dan Hara saling bertatapan selama beberapa lama sebelum memutuskan ikut turun dari mobil. Mereka berdua mengapit tangan satu sama lain, keluar dengan hati-hati dari Jeep hitam. Mereka berdiri di depan kepala mobil Jeep hitam dan terpaku.

Rupanya para tourist dari kedua mobil yang lain juga sudah keluar dari mobil. Mereka semua menghambur ke arah robot tersebut. Sandara dan Hara hanya dapat menyaksikan dari jauh ketika para tourist menyerang robot itu. Tanah, api, senjata-senjata, melayang-layang di udara dan menyerang makhluk besar tersebut.

“Ini aneh,” kata sebuah suara. Sandara dan Hara berbalik. Mereka tahu siapa pemilik suara itu.

“Memang segalanya aneh sejak kita di sini, idiot!” ejek Hara, namun bahkan suaranya terdengar tercekat.

“Bukan itu maksudku,” Junhyung melangkah mendekati mereka berdua. “Maksudku, ini mengenai mereka. Para tourist.”

“Para tourist?” Sandara mengernyit.

“Ya, kalau kau mendengar percakapan dan tingkah laku mereka,” Junhyung mengedikkan kepala ke arah pertempuran terjadi. Sandara merasa lega ketika melihat robot itu sudah terpukul mundur. “Aku duduk bersama mereka di belakang Pikep, dan… mereka sungguh aneh. Serius.”

Sandara tidak berkomentar. Ia tahu, Junhyung benar. Para tourist itu memang sedikit aneh. Entah karena kegemaran mereka terhadap permainan yang aneh, atau cara bicara mereka yang seolah-olah permainan bunuh diri itu asyik yang aneh. Yang jelas, mereka memang bukan orang biasa.

Monster robot itu telah kalah. Sama seperti dinosaurus tadi, makhluk itu mengempis, menyusut dan lenyap. Perbedaannya terletak di fakta bahwa tidak ada lendir yang berhamburan.

Seungri dan gadis gerbong Gi yang pertama kali kembali ke mobil. Keduanya kotor oleh tanah. Ketika mereka mendekat, Sandara menyadari bahwa Seungri menggendong sesosok tubuh laki-laki di punggungnya. Ia setengah berlari menuju Jeep hitam mereka.

“Bukakan pintunya, Soojung!” teriak Seungri.

Soojung – yang rupanya nama gadis dari gerbong Gi –segera menyentakkan pintu Jeep. Seungri memasukkan tubuh orang yang digendongnya ke dalam.

“Ada apa?” Sandara menghampiri mereka.

“Pingsan,” jawab Soojung singkat sembari mengeluarkan koper Sandara dari Jeep. “Dan karena itu, Sandara Park ssi, Goo Hara ssi, sepertinya kalian harus bergabung di Pikep.”

***

Sandara pernah naik pikep sebelumnya, tapi tidak pernah di bak pikep yang disambut langsung oleh angin malam. Namun dari tempat ini, pemandangan kota New York tampak lebih jelas. Ia dapat melihat bangunan tinggi, bangunan bertingkat biasa, jalanan yang ramai, taman yang membentang. Sandara berusaha mencari tahu nama jalan di beberapa tempat, namun sanking kencang kendaraan ini melaju, ia hanya sempat membaca tulisan —-Street.

Sandara duduk di salah satu sisi bak pikep dengan bersandar pada kopernya yang hancur. Di dalam pikep, selain Hara dan Junhyung, ia mengenali Park Bom, gadis Fortia yang mengenakan pelindung tubuh yang mencolok. Park Bom tampak bersemangat ketika bertemu Sandara.

“Dinosaurus?” Park Bom membelalak. “Itu yang tadi menyerang kalian?”

“Dan kalian mengalahkannya-“ Seorang gadis yang duduk di sebelah Park Bom menyeletuk, “Tourist baru dan hanya bertiga?”

Jika saat ini Sanghyun yang berada di hadapan Sandara, mungkin gadis itu akan mengibaskan tangan dan berkata dengan santai hal-hal seperti Ya-itu-hal-mudah-hanya-sedikit-menendang-bokong-dinosaurus-dan-mengempiskan-tubuhnya-dengan-hanya-bersisa-lendir. Namun, nyatanya Sandara hanya mengangguk pelan.

“Wow!” Gadis itu mengangguk-angguk anggun. Ia sangat cantik dengan garis-garis wajah yang jelas dan rambut hitam panjang bergelombang disampir di telinganya. Gadis itu seharusnya tipe gadis yang berada di sebuah café mewah dengan scenery pemandangan Paris di belakangnya. Bukan di dalam bak pikep dengan muka coreng moreng akibat pertengkaran. “Itu sangat–“

“Daebak?” Park Bom mengusulkan.

“Gila!” ujar sang gadis. Manik matanya yang gelap berbinar kagum. Sekali lagi Sandara merasakan bahwa kata gila adalah kata yang hebat.

“Gamsa.” Sandara mengangguk.

“Aku serius,” Gadis itu tersenyum, lalu ia mengulurkan tangannya. “Omong-omong, namaku Jiyeon. Park Jiyeon.”

Sandara menyambut uluran tangan Park Jiyeon. “Sandara Park,”

Jiyeon masih tersenyum. “Kau dari gerbong Gi, ‘kan? Aku dari gerbong Fysi – alam.”

“Alam?” Sandara mengangkat alis.

Park Jiyeon tidak menjawab, melainkan tersenyum penuh misteri. Ia mengulurkan tangannya, menunjukkan sebuah benda sebesar telur di telapak tangan. Sebelum Sandara bertanya apa artinya, benda tersebut tiba-tiba meletup dengan ganas. Bahkan Hara yang memperhatikan di sebelah Sandara tampak terkesiap.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Hara.

Jiyeon menoleh pada Hara. Ia tersenyum. “Lihat dan perhatikan.”

Benda itu masih meletup-letup sebelum akhirnya pecah. Namun tidak ada serpihan-serpihan yang dikira akan berhamburan dari pecahnya benda tersebut. Ada sesuatu yang panjang dan meliuk-liuk dari pecahnya benda tersebut. Ketika sudah bertumbuh beberapa senti, dari puncak liukan tersebut sekuntum bunga mekar. Sandara menyadari apa itu. Benda bundar tadi adalah biji, dan yang baru saja tumbuh meliuk adalah tangkai bunga.

“Wow!” Haralah yang berseru. “Itu… daebak!”

Jiyeon tersenyum puas. Ia mengulurkan bunga tersebut pada Hara. “Kami adalah pengendali alam. Berbeda dengan pengendali tanah, api, air, serta angin. Kami tidak mengendalikan unsur, tapi benda alam.”

“Tidak berbeda dengan gerbong kami, ‘kan?” Junhyung tiba-tiba nimbrung. “Gerbong Antikeimeno –pengendali benda mati.”

Jiyeon melirik pada Junhyung. Senyumnya entah bagaimana lenyap dalam sekejap. Matanya menyipit ketika memperhatikan Junhyung dan ada nada dingin saat ia menjawab pertanyaan laki-laki tersebut. “Tentu saja beda. Kami pengendali alam, benda yang hidup. Kalian pengendali benda mati.”

Selama beberapa detik, keheningan merayapi mereka. Sandara tahu, apapun yang membuat Jiyeon menjadi dingin, pastilah disebabkan oleh sebuah permusuhan kelompok yang mengakar dari dulunya. Ia tidak ingin banyak bertanya.

“Omong-omong, apa yang tadi menyerang kalian?” tanya Sandara mengalihkan pembicaraan.

Park Bomlah yang menjawab dengan nada yang biasa. “Aku mendarat setelah Seungri, Soojung, dan Kyungsoo. Kami mendarat di jembatan Brooklyn,” Gadis tersebut mengangkat bahu, “lalu diserang monter cumi-cumi. Tapi Sulli, Kai, dan Jiyeon,” Ia menunjuk gadis dan laki-laki yang duduk di kursi kemudi. Pastilah mereka yang bernama Sulli dan Kai. “Mereka diserang Troll.”

“Menjelaskan segalanya ‘kan,” Seorang laki-laki menyeletuk di sisi bak pikep yang lain. Laki-laki jangkung yang duduk di sebelah Junhyung. Ketika ia mengerling, Sandara mendapati pantulan sinar bulan menampakkan bola matanya yang bewarna perak. “Kita berada di dunia film.”

Park bom menatap laki-laki itu selama beberapa saat, seolah suara laki-laki itu membuat tubuhnya kaku. Gadis berambut merah tersebut mengangguk kaku sebelum mengeluarkan suara pelan. “Maksudmu?”

“Oh, ayolah,” Laki-laki itu mendengus. “Dinosaurus, monster cumi-cumi, troll, robot. Menurutmu dari mana monster itu berasal kalau bukan dari monster ciptaan Hollywood?”

Park Bom mengangguk kaku. Ia memalingkan muka. “Ya, benar.”

Jiyeon yang duduk di sebelah Park Bom menepuk-nepuk pundak gadis itu, seolah-olah ingin menghibur gadis berambut merah tersebut. Jiyeon mencondongkan tubuh ke arah Sandara dan hara sedikit untuk berbisik pelan, “Mereka sedang perang dingin.”

Hampir selama perjalanan berikutnya  mereka tidak mengatakan apa-apa. Keheningan malam disertai hembusan angin menemani mereka yang berada di dalam bak pikep. Entah sudah berapa lama perjalanan itu mereka lalui. Sandara sendiri hampir yakin ia tertidur, dan terbangun ketika mendengar teriakan.

“Hey!” Sandara mengerjapkan mata dan menoleh. Laki-laki bermata perak tadi menegakkan tubuh mengamati dua mobil yang baru saja melesat di sebelah Pikep mereka. Sandara masih dalam keadaan linglung. Ia masih belum dapat berpikir jernih. Apakah ada pertarungan lain? Laki-laki bermata perak itu berteriak, “Jiyong! Itu Jiyong! Bom… Cepat beri tahu mereka!”

Park Bom yang duduk cukup dekat dengan perbatasan bak pikep dan tempat kemudi menggedor kaca yang memisahkan kedua tempat tersebut. Sandara dapat melihat laki-laki bernama Kai yang tengah menyetir mengangguk dan segera menancap gas.

Secara serentak, kedua Jeep dan Pikep itu mengikut mobil-mobil yang melesat dengan ganas di jalan. Kai menyetir tidak lebih baik dari Kyungsoo. Ia terus menerus berbelok tanpa menurunkan kecepatan hingga Sandara harus memegang Hara serta Park Bom agar tidak terjatuh. Mobil mereka berlari-lari dengan cepat, sesekali menabrak trotoar dan melayang. Mereka berkelok, melesat, menanjak, melewati berbagai gedung tinggi.

“Empire State Building!” Seru Junhyung.

Awalnya Sandara tidak mengerti. Ia sedang terfokus dengan decitan mobil serta angin yang menampar-nampar wajahnya karena kesadarannya belum benar-benar penuh. Namun kini ia dapat melihat apa yang dimaksud Junhyung.

Bangunan tinggi tersebut menjulang di dekat mereka.  Di antara bangunan-bangunan lainya, bangunan ini terlihat paling mencolok. Terlebih karena sinar-sinar lampunya yang memerdani kota New York. Ujungnya mencuat dibalik kabut malam. Empire State Building. Bangunan yang terkenal di Manhattan.

Mereka hanya berkesempatan mengamati bangunan megah tersebut selama beberapa detik. Pikep masih terus melaju dengan ganas, menjauh dari bangunan tersebut, dan berdecit berhenti di tepi sebuah jalanan besar.

“Jiyong menemukannya!” seru Park Bom. “Dia memang… wow!”

Sandara sudah melepaskan pandangannya dari Empire State Building yang berada di kejauhan. Gadis itu menoleh pada Park Bom, lalu melihat ke arah pandangnya. Tepat di sebelah mereka, sebuah bangunan besar menjulang. Bangunan itu hampir seperti bangunan lainnya, perbedaannya hanya terletak pada tulisan yang tak asing terukir di tengah-tengah tubuh bangunan. Sandara tidak perlu membaca untuk mengetahui apa yang tertulis. Itu simbol Kynigo.

Park Bom sudah melompat dari bak pikep, diikuti Jiyeon, laki-laki bermata perak, serta tourist yang lainnya.

“Ayo lekas!” seru Park Bom pada Sandara, Hara, dan Junhyung. “Kita tak mau kehilangan barang-barang bagus!”

Junhyung melompat. Sandara mengikuti setelahnya. Ia melemparkan kopernya terlebih dahulu sebelum tubuhnya. Namun pendaratannya tidak begitu sempurna. Ia merasakan tungkainya menghantam pembatas trotar. Hara masih ragu selama beberapa saat, namun akhirnya ia melompat dan Junhyung menangkap gadis mungil tersebut. Mereka bertiga mengikuti Park Bom dan tourist lainnya yang sudah mengantre di pintu masuk.

Tourist yang kini dapat Sandara lihat sanga banyak jumlah. Sandara menyadari bahkan ada yang belum pernah ia lihat sekalipun. Tentu saja ia tahu tourist-tourist itu tidak hanya sebatas tiga mobil mereka. Tapi bagaimana ia tidak menyadari mobil-mobil tersebut melaju bersama ke tempat ini? Ia tidak mengerti.

Sandara memperhatikan jajaran mobil yang diparkir di tepi jalan. Ia menemukan Jiyong yang baru saja turun dari mobilnya bersama dengan beberapa tourist lain –tourist baru maupun perwakilan gerbong. Kecuali Jiyong dan Youngbae yang bahkan masih bersantai-santai menyandar di mobil, tourist yang lain segera menghambur ke dalam barisan pintu masuk bangunan, berebut agar dapat masuk lebih dulu. Sandara masih sibuk memperhatikan kedua laki-laki tersebut hingga tanpa sadar ia kehilangan Junhyung dan Hara di arus keramaian para Tourist. Orang-orang mendesak Sandara dari belakang, mendorongnya ke mana-mana hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberi jalan bagi mereka. Sandara tidak terlalu peduli dengan peralatan apapun.

Younbae tengah memindai pemandangan di sekitar dan tanpa sengaja menemukan sosok Sandara yang berusaha memisahkan diri dari desakan para tourist lain. Laki-laki tersebut tersenyum dan menghampiri Sandara. Jiyong mengikut di belakang dengan santai. Mereka tampaknya juga tidak peduli dengan peralatan apapun yang menggiurkan bagi para tourist lain.

“Annyeong, pelompat pertama!” sapa Youngbae. Ia menangkap pergelangan Sandara ketika gadis itu hampir jatuh disikut seorang bertubuh besar di sebelahnya.

Sandara Park menyadari kehadiran Youngbae. Ia menoleh dan segera membungkuk berterima kasih.

“Ini New York!” seru Yongbae, menyeringai. “Tidak perlu terlalu formal!” Youngbae mengedip. “Omong-omong aku kaget melihatmu dalam keadaan baik-baik saja.”

“Ehm…” Sandara hanya tersenyum canggung.

“Kau lolos level tiga?” tanya laki-laki dengan rambut hitam yang ditata berdiri-berdiri tersebut.

Sandara mengangguk. “Ya, semacam begitu.”

“Biasanya,” kata Youngbae, “Pelompat pertama tidak akan lolos lebih dari level dua. Atau mungkin lolos dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Ini hal yang baru.”

Sandara tidak menjawab. Ia masih memasang senyuman canggung di bibirnya. Apa yang harus dijawab? Ia tidak yakin bahwa ia harus menjawab, “Ya begitu deh. Kau tahulah, aku semacam terbiasa menenggelamkan dan mengempiskan dinosaurus dengan kekuatan super natural. Itu hobi sehari-hariku.” Pada akhirnya Sandara tidak berkata apa-apa.

“Sepertinya kita harus masuk sekarang,” ujar Youngbae.

Sandara memperhatikan sekitarnya. Youngbae benar. Arus manusia di luar bangunan tersebut kian menipis. Inilah saatnya bagi mereka untuk mengantre. Bersama dengan Youngbae dan Jiyong, Sandara melangkah masuk ke dalam toko peralatan tersebut.

Awalnya, Sandara berpikir bahwa toko peralatan yang dimaksud adalah toko peralatan sejenis toko-toko yang menjual alat bangunan atau peralatan olahraga yang biasa ia kunjungi. Namun kenyataannya, toko peralatan itu lebih menyerupai supermarket. Lemari barang  di susun mendatar di tengah ruangan, dengan berbagai barang dipajang di atasnya. Ada dua tangga di sisi kanan dan kiri. Undakan tersebut memanjang ke atas dengan hiasan peralatan-peralatan perang yang menggantung di setiap dindingnya. Sandara sendiri mendapati dirinya melongo memperhatikan tempat tersebut.

“Bukan saatnya melongo, pelompat pertama!” Youngbae nyengir. “Ayo, ambil barangmu!”

Sandara mengangguk tersenyum. Sembari menggeret kopernya, ia masuk ke dalam lorong-lorong lemari. Memperhatikan benda-benda yang dipamerkan di sana. Belati, pedang, pistol, senapan, bahkan tombak tersedia dengan berbagai bentuk dan bahan. Setiap rak di penuhi oleh para tourist. Meski demikian, Sandara belum menemukan Hara, Junhyung, Seungri, serta tourist-tourist lain yang ia kenal. Mungkin mereka sedang sibuk mencari senjata.

Sandara belum menghampiri satupun rak. Ia terus memasuki lorong yang satu dan yang lainnya, hanya memperhatikan para tourist yang sedang menimbang-nimbang senjata yang akan dibelinya. Sandara berbelok di salah satu lorong dengan rak berisikan jajaran belati dan berhenti ketika ia melihat salah satu lorong yang sepi di sebrang. Gadis itu menghampiri lorong tersebut dan tersenyum puas ketika melihat benda-benda yang dipajang di rak-raknya. Benda itulah yang ia cari!

Sandara mengulurkan tangan, mengambil salah satu benda di rak tersebut.

“Kalau kau bertanya, aku lebih suka yang jingga,” kata seseorang.

Sandara menoleh dan kaget mendapati Jiyong telah berdiri di belakangnya. Laki-laki tampan berambut merah tersebut maju dan berdiri di sebelah Sandara, ikut mengambil salah satu barang di rak yang berjejer. Wajahnya penuh pertimbangan.

“Kenapa kau di lorong tas?” tanya Sandara canggung.

“Aku juga harus bertanya demikian,” Jiyong menatap Sandara serius. “Tourist baru perlu senjata untuk mempertahankan diri.”

“Aku butuh tas untuk pengganti koperku yang rusak,” jawab Sandara sambil menunjuk koper hitamnya yang bukan hanya sobek, namun sudah tidak berbentuk.

“Ya,”  Jiyong mengangkat bahu, “Aku punya kebiasaan mengoleksi tas.”

Sandara melongo. Ia memperhatikan Jiyong yang sedang memilih-milih tas di lemari. Alisnya bertaut ketika ia menimbang antara tas biru dan yang merah. “Sungguh?”

Jiyong menoleh pada Sandara sejenak hanya menyeringai.

“Omong-omong,” Kini Sandara kembali memperhatikan lemari di depannya dan memili-memilih berbagai jenis model tas yang disediakan, “bagaimana kita membeli barang-barang ini?”

“Dengan poin,” Jiyong menoleh pada Sandara. “Berikan tanganmu.”

“Berikan tanganku?” Sandara membeo dengan kikuk. Namun Jiyong sudah terlebih dahulu menarik tangan Sandara. Laki-laki tersebut menangkupkan tangan Sandara dengan lembut. Ia menutup kepalan tangan Sandara dan membukanya selama tiga kali. Ketika tangan itu terbuka untuk yang ketiga kalinya, Sandara meperhatikan ada ukiran yang tertulis di telapak tangannya. Gadis itu memperhatikan selama beberapa saat sebelum menyadari ukiran tersebut membentuk sebuah angka.

“Dua ratus lima puluh,” Jiyong mengangguk, “Kurasa kau menyembunyikan sesuatu dari Youngbae tentang level tigamu.”

“Apa?” Sandara bertanya bingung. Entah mengapa ia jadi merasa bego sekali.

“Kau mengalahkan monster itu dengan kekuatanmu, ‘kan?” tanya Jiyong. Ia sudah melepaskan lengan Sandara dengan hati-hati. “Tanah.”

“Memang,” Sandara mengangguk. “Tapi aku tidak merahasiakannya dari Young… Youngbae tidak bertanya.”

“Ehm… Cukup adil,” Jiyong mengangguk. Ia menunjuk salah satu tas yang berjejer. “Kalau kau mau membelinya, sobek label yang tertera. Poinmu secara otomatis terpotong.”

Sandara mengangguk mengerti. Selama beberapa menit ia mengubek-ubek rak tersebut, memilih-milih tas mana yang akan ia beli. Sesekali gadis itu melihat poin-poin yang tertera di labelnya. Harga tas itu beraneka macam. Dari dua puluh poin hingga seribu poin. Akhirnya Sandara memilih tas sederhana bewarna merah mudah yang berharga tiga puluh poin. Gadis itu menyobek labelnya, dan bersamaan dengan itu ada suara yang menggema di kepalanya. “Minus tiga puluh poin.”

Jiyong juga telah menemukan tas koleksi barunya ketika Sandara sibuk memindahkan barang-barangnya dari koper ke tas ranselnya. Setelah menyampirkan ransel tersebut di punggung, Sandara berjongkok di sebelah koper hitam yang teroyak itu dan mengelusnya sekali.

“Kalau mau, aku akan membantumu memilih senjata,” kata Jiyong.

Sandara bangkit berdiri dan mengikuti Jiyong. Mereka meninggalkan lorong tas menuju lorong-lorong senjata. Lorong-lorong tersebut masih dipadati oleh para tourist, hanya saja sudah tidak seramai tadi.

“Mengingat tubuhmu yang mungil,” kata Jiyong, “aku merekomondasikan belati. Selain kecil dan ringan, belati hanya dapat digunakan oleh orang yang bergerak cepat. Selain itu, kau juga harus punya pistol.”

Jiyong berdiri di salah satu rak. Ia mengamati jajaran belati yang disusun rapi berderet-deret. Matanya berkilat ketika mengamati masing-masing belati.  Setelah beberapa saat, Jiyong kembali berjalan. Mereka mengunjungi masing-masing rak. Namun, sepertinya tidak ada yang memuaskan hati Jiyong.

“Itu milikku, idiot!” Sandara mendengar seruan itu tak jauh darinya. Ia menoleh dan mendapati sumber suara yang berasal dari seorang gadis. Gadis muda berambut kuning tersebut hanya berjarak beberapa rak dari Sandara. Gadis itu sedang menarik sebuah belati dari laki-laki di sebelahnya. Sandara melihat gadis itu melotot marah.

“Maaf ya, tapi di sini tidak ada label namamu,” kata sang laki-laki.

“Tidak perlu label nama untuk membuktikan itu milikku,” kata sang gadis dingin. “Berikan padaku!”

“Tidak! Aku yang mengambilnya duluan!” Laki-laki tersebut tetap mempertahankan belati di tangannya.

“Sial kau!” Gadis itu berteriak marah. Ia melakukan gerakan yang amat cepat hingga Sandara sendiri tidak yakin apa yang dilakukannya. Detik berikutnya, Sandara menutup mulutnya dengan tangan, kaget melihat semburan darah yang dimuntahkan sang laki-laki. Dari perutnya, darah menguar di tempat belati perak menancap. Laki-laki itu mengerang selama beberapa detik sebelum tubuhnya tiba-tiba meledak menjadi abu. Sandara memekik.

“Hey, hey,” Jiyong menyadari apa yang terjadi. Ia mendorong Sandara ke belakang tubuhnya, menutupi pandangan Sandara. “Apa yang kau lakukan?”

“Merebut belati milikku,” kata sang gadis. Namun kini suaranya tidak setajam saat ia mengancam laki-laki tadi. Jelas, Jiyong membuatnya takut.

“Dengan membunuh?” Jiyong mendengus. “Aku tidak mengatakan itu curang, tapi itu tindakan tidak bijaksana. Kau hanya akan mengurangi poin dan kawan.”

“Dia bukan kawanku,” tukas sang gadis. Kini suaranya terdengar gelisah.

Sandara hanya dapat melihat belakang tubuh Jiyong. Kepalanya sedikit miring ke kanan. Ia dapat menebak bahwa laki-laki tersebut sedang menyeringai seperti biasanya.

“Wah, wah, apakah anggotaku membuat masalah,” Sebuah suara muncul dari belakang mereka, “Jiyong-ssi?”

Sandara dan Jiyong sontak membalikkan tubuh. Di belakang mereka, seorang laki-laki melangkah dengan keanggunan yang aneh ke arah mereka. Laki-laki itu tampan dan menarik. Poninya menutupi dahi hingga alisnya, membuat Sandara mau tak mau mengakui bahwa ia imut. Bibirnya membentuk seringaian. Seringaian yang tak asing.

“Ehm, tidak juga,” kata Jiyong, sama santainya. “Ia hanya baru saja membuat salah satu anggotaku game over.”

“Oh,” Laki-laki tersebut mengangguk. Matanya yang gelap berbinar. “Itu tidak melanggar peraturan bukan? Ini permainan individu.” Ia mengulang kata-kata informan di Ankolis dengan nada yang sangat mirip. Sandara merinding.

“Tidak melanggar, tapi tidak bijaksana dan tidak perlu,” Jiyong mengangguk. Ia menarik Sandara sedikit ke belakang.

“Bijaksana itu relatif, Jiyong. Berbeda bagi kami dan kalian,” ujar laki-laki tersebut dengan sengit.

“Kau yang membuatnya berbeda, Lee Donghae,” Jiyong menekankan tiap katanya dengan hati-hati. Sandara dapat mendengar amarah yang tidak nampak dari cara Jiyong mengatakannya.

“Bukan aku,” kata Donghae. Sandara melihat laki-laki tersebut mengibaskan tangan dengan santai. “Ini karena perbedaan gerbong kita. Gerbong bodohmu dengan gerbong kami.”

“Tidak ada yang benar-benar berbeda antara fortia dan aeros,” ujar Jiyong. “Dua-duanya berasal dari alam, dan ada untuk saling melengkapi.”

“Tentu saja berbeda, Kwon Jiyong,” Donghae menyeringai. “Kami bertempur dengan kekuatan asli, tidak seperti kalian yang bersembunyi di balik baju tempur. Kami berpikiran logis, kami memadamkan kalian.”

Donghae melangkah dengan amat perlahan dan anggun. Kini ia hanya berjarak tidak lebih tiga meter dari Jiyong dan Sandara. Sandara mendengar suara lain di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati gadis berambut pirang tadi tengah berjongkok, mengambil belati berlumuran darah yang tergeletak di tumpukan abu. Gadis pirang itu membuka telapak tangannya lebar-lebar di atas belati, menyemburkan air dari tangannya untuk membersihkan belati perak itu, lalu menyarungkannya di saku, dan segera berderap pergi menjauh.

“Apa kelogisan itu termasuk membunuh sesama tourist hanya karena berebut senjata?” tanya Jiyong sengit.

“Aku tidak mengatakan itu benar,” Donghae berkata dengan lambat-lambat dan santai. “Tapi itu cara yang hanya dipikirkan orang cerdik, ‘kan?”

“Tidak!”

Jiyong dan Donghae terkesiap. Sandara merutuki dirinya sendiri. Mengapa bibirnya seenaknya menyuarakan pikiran itu?. Selama beberapa detik sebelum ia berujar seperti itu, ia hanya dapat merasakan amarah pada pernyataan Donghae. Tapi tetap saja, itu pilihan yang bodoh untuk menyuarakan ketidaksetujuaannya.

Donghae melangkah lebih dekat untuk memperhatikan Sandara. Ia mengernyit. “Kau pelompat pertama ‘kan?”

Sandara tidak menjawab. Ia sudah terlalu takut. Jantungnya berdegup lebih keras. Gadis itu hanya dapat mengkerut di dekat Jiyong.

“Aku dapat mengerti,” Donghae mengangguk. “Tentu saja Jiyong akan mendekati gadis sepertimu. Kau berani sekali.”

Berani.

Sandara tidak pernah ingat kapan terakhir kali seseorang mengatakan bahwa ia berani. Mungkin saat ia masih kecil, ketika ia berhasil memanjat pohon apel di belakang rumah neneknya di Busan untuk menolong kucing kecilnya, Dadong. Kucing kecil itu dipaksa naik ke pohon oleh Sanghyun untuk dilatih agar dapat terjun indah. Namun nyatanya makhluk kecil itu malah mengeong ketakutan ketika sudah bertengger di salah satu ranting pohon.

“Dia memang gila,” kata Jiyong dengan nada persetujuan. “Tapi aku tidak memandang dia dengan cara yang kau miliki.”

“Benarkah?” tanya Donghae. “Tidak akan seperti yang kau lakukan pada ‘gadis itu’, ‘kan?”

Selama sepersekian detik, Sandara menyadari tubuh Jiyong menegang. Gadis itu hampir mengira Jiyong akan menyerbu Donghae dan menggorok lehernya ketika melihat amarah yang membara di matanya. Sandara tidak akan heran jika ia dapat menyemburkan api dari kedua bola matanya.

Donghae terlihat puas. Ia mengangkat salah satu alisnya. “Baiklah. Sepertinya, aku harus mencari senjata lain,” Ia menyeringai licik. “Sampai jumpa, perwakilan Fortia, dan-“ Donghae memiringkan kepala ke arah Sandara, “pelompat pertama.”

Ketika berbalik pergi, Sandara mengerti. Seluruh lagak Donghae sangat mirip dengan Jiyong. Caranya berujar, caranya memiringkan kepala, caranya menyeringai. Semua sangat mirip dengan Jiyong.

“Jiyong-ssi?” Sandara bertanya dengan hati-hati. Donghae telah pergi menjauh dan lenyap di belokan ke lorong selanjutnya. Jiyong masih membeku di tempat. Ekspresinya tampak kaku dan penuh amarah. “Eng, mianhae.”

Jiyong menoleh pada Sandara. “Apa?”

“Tadi, aku tidak bermaksud-“ Sandara menggigit bibirnya, “menyela.”

Jiyong mengangguk. Ekspresinya masih kaku. Tidak ada senyum atau seringaian yang biasa di wajahnya. “Tak masalah. Ayo kita mencari senjatamu.”

Setelah itu, mereka sibuk mencari senjata di lorong yang lain. Sandara sudah mendapatkan tiga belati dan satu pistol beserta pelurunya. Sandara menyimpan pistol itu di saku celana dan meletakkan belatinya dengan hati-hati di dalam tas. Sejujurnya ia tak begitu tertarik dan antusias dengan benda perak tersebut. Ia tidak menyukai pisau, apapun fungsinya. Di pikirannya hanya ada daging yang tergores dan darah yang menyembur jika menatap bilah belati terlalu lama. Dan lagi, ia tak ingin ada lagi barang koleksinya yang sobek di dalam tas.

Mereka masih sibuk mencari-cari senjata tanpa menyinggung percakapan antara Jiyong dan Donghae tadi. Tentu saja Sandara penasaran. Ia tidak mengerti apapun yang kedua laki-laki tadi perdebatkan. Tapi ia mengerti, pastilah itu mengenai permusuhan masa lalu. Sandara mengingat nada dingin Jiyeon pada Junhyung, lalu Jiyong pada Donghae. Jelas, ada perselihan di antara ke tujuh gerbong tersebut. Sama seperti masa-masa perlombaan antar kelas di sekolah. Pasti ada perselisihan, ketidaksukaan, yang pada akhirnya membuat dendam tersendiri.

Yang paling membuat Sandara penasaran adalah ‘gadis itu’ yang disebut Donghae. Ia masih mengingat bagaimana Jiyong membeku ketika Donghae menyebutnya. Siapa gadis itu? Dan mengapa hal itu membuat Jiyong marah?

Hal lain yang menganggu Sandara adalah laki-laki yang berubah menjadi abu. Tapi ia tidak ingin mengatakan apa-apa. Gadis itu memutuskan menyimpan ingatan-ingatan serta pertanyaan-pertanyaan menganggu tersebut.

Kini Sandara dan Jiyong tengah memilih perlengkapan perlindungan. Sandara memilih jaket bertudung yang terlihat modis. Kata Jiyong, jaket tebal itu anti peluru dan tudungnya dapat melindungi kepala dari benturan. Jiyong sendiri memilih jaket laki-laki yang bermodel keren. Sandara yakin Jiyong dapat menjadi teman shoppingnya jika mereka tidak berada di dunia Kynigo yang membingungkan ini.

Ketika mereka sedang memilih penangkis pedang di lorong yang lain, sebuah suara keras menginterupsi. Suara keras tersebut diikuti dengan suara pecahan kaca yang berderak-derak. Sandara hampir terlonjak sanking kagetnya. Semua tourist dalam toko tersebut terkesiap.

Suara keras itu terdengar lagi. Kini diikuti sebuah pekikan. Sandara mengangkat kepala dan menyadari seorang gadis. yang sedang berdiri di tangga untuk mengamati senjata yang tergantung di dinding, roboh. Darah menguar dari dadanya. Detik berikutnya ia terguling dan lenyap menjadi abu. Sama seperti bagaimana laki-laki yang dibunuh gadis aeros.

“Sial!” Jiyong menggertakkan gigi.

Bersamaan dengan itu, sebuah suara membahana di kepala Sandara. “Level empat.”

Sandara tidak mengingat bagaimana Jiyong menariknya menjauh dari lorong ketika suara keras tadi mulai mendominasi. Itu suara pistol dan peluru yang ditembakkan. Ledakan peluru terjadi di mana-mana. Barisan senjata yang tadinya tersusun rapi di rak-rak jatuh berkelontangan. Sandara sempat melangkahi beberapa belati dan melihat sebuah tubuh yang baru saja meledak menjadi debu di lorong yang mereka lalui. Jiyong terus berlari sambil menarik Sandara tanpa memperhatikan sekitar.

Mereka berbelok di sebuah lorong, dan saat itulah Sandara sadar tidak hanya ada mereka di sana. Ada seorang laki-laki, dengan pakaian hitam yang di tutup hingga tidak menampakkan sedikitpun anggota tubuhnya selain matanya yang biru terang, mengancungkan pistol pada Jiyong dan Sandara. Dengan kecepatan tidak normal, Jiyong menarik Sandara, berkelit menghindari peluru yang baru saja ditembakkan. Jiyong membuat gerakan memukul ke arah laki-laki tersebut, namun Sandara tahu ia sedang melemparkan semburan api kepada laki-laki berkostum hitam itu. Namun, semburan api itu hanya membuat laki-laki berkostum mundur dan linglung selama beberapa detik, tidak membakarnya. Berikutnya Jiyong mengeluarkan pistol dari sakunya dan membidik. Peluru Jiyong terbang tepat mengenai kepala sang laki-laki hingga laki-laki tersebut jatuh tersungkur dan meledak menjadi abu. Sama persis seperti yang terjadi pada korban-korban yang dilihat Sandara tadi.

“Kita harus pergi dari sini!” seru Jiyong. Ia menarik Sandara sekali lagi, melewati berbagai lorong dan melangkahi mayat-mayat yang sebentar saja berubah menjadi abu. Sandara menggigit bibir dengan ngeri. Ia menepis rasa takutnya yang berupa air mata. Cairan tersebut membuat pandangannya buram hingga bahkan ia tidak mengerti bagaimana mereka sudah keluar dari toko peralatan dan berada di sebuah jalan besar.

Jiyong masih menggandeng Sandara di salah satu tangannya dan memegang pistol di tangan yang lain. Ia menyebrangi jalan besar tanpa melihat ke kanan kiri, membiarkan mobil-mobil yang berlalu lalang terpaksa berdecit berhenti. Sandara tidak mengerti. Bagaimana robot dapat memiliki reaksi seperti itu?

Mereka terus berlari, melewati trotoar yang satu dan yang lain. Berbelok di beberapa perempatan. Tidak ada pejalan kaki yang tampaknya memperhatikan mereka. Orang-orang asing itu sedang sibuk melakukan keperluan mereka.

Kini Jiyong menarik Sandara masuk ke sebuah lorong jalanan yang kotor. Bak-bak sampah terguling di mana-mana dan menimbulkan bau tidak sedap di lorong. Semakin berjalan ke dalam, cahaya jalanan semakin jauh dari mereka. Sandara hanya dapat berpegangan pada Jiyong yang entah bagaimana dapat berjalan tanpa menabrak apapun.

Jiyong berhenti. Ia membelok, dan membawa mereka ke dalam kegelapan yang lebih pekat. Cahaya bulan yang pelit hanya menampakkan bingkai pintu yang sudah rusak. Sandara menyadari bahwa Jiyong membawanya masuk ke dalam sebuah bangunan. Di dalam bangunan tersebut, ada tangga yang melingkar ke atas. Jiyong membawanya naik secara perlahan, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Walaupun Sandara yakin, orang-orang yang membawa pistol itu tidak mungkin mengejar mereka sampai di lorong terpencil hingga bangunan yang tidak jelas seperti ini.

Mereka sudah melewati beberapa lantai hingga Jiyong berhenti di salah satu lantai dengan ruangan kecil yang hanya berhiaskan satu jendela. Tempat itu gelap dan tidak menyenangkan. Lantainya hanya batu-batu yang tidak rata dan temboknya mengelupas. Bahkan Sandara yakin dapat melihat laba-laba yang sedang memintal jaring di ujug ruangan.

Jiyong menari Sandara ke arah jendela. Laki-laki tersebut memeriksa luar bangunan melalui kaca jendela yang berdebu tersebut. Setelah memastikan mereka aman, Jiyong memunggui jendela dan menyimpan pistolnya kembali ke saku celana. Keduanya merosot duduk dengan bersandar pada dinding di bawah jendela. Mereka berdua terengah-engah.

“Apa…itu….tadi?” Sandara bertanya di tengah engahannya.

“Mungkin…” Jiyong mengangkat bahu. “Pernah main Counter Strike?”

“Counter Strike?” Sandara membeo. Kalau tidak salah ia pernah mendengar Sanghyun menyebutnya. Mungkin sejenis permainan online laki-laki yang tidak ingin ia tahu.

“Ya, sejenis permainan tembak-tembakan,” kata Jiyong. Engahannya sudah memudar. “Mungkin dari sanalah idenya. Mereka hanya dikalahkan dengan peluru.”

Sandara mengangguk mengerti. Ia menggosok pipinya dengan salah satu tangannya. Rupanya ada luka di sana yang Sandara tidak ingat berasal dari mana. Dan sekarang ia menyadari bahwa bukan pipinya yang terluka. Ia dapat merasakan seluruh perih dari tangan hingga ujung kakinya. Ia tidak terkejut jika tadi ia telah menendang rak-rak barang ataupun tanpa sengaja menyikut ujung lacip rak-rak tersebut. Pastilah luka-luka ini berasal dari sana.

“Kau tak apa?” tanya Jiyong. Laki-laki tersebut tengah memperhatikan Sandara.

“Ehm, hanya luka kecil,” Sandara mengangguk kecil. Tubuhnya teramat lelah. Luka-luka tersebut menambahkan beban di otot-ototnya.

Jiyong mengulurkan tangannya yang tadi ia gunakan untuk memegang pistol. Ia menyentuh pipi Sandara pelan. Bola matanya yang gelap menatap Sandara dengan tatapan yang aneh. Lembu dan meneduhkan. “Kau terlalu mengingatkanku tentangnya.”

“Ehm.. apa?” Sandara bertanya dengan sedikit terpejam. Ia benar-benar lelah.

Jiyong masih menatapnya selama beberapa saat sebelum menarik kembali tangannya. “Tidak ada,” ia tampak ragu-ragu sebelum menepuk pelan puncak rambut coklat Sandara. “Kau lelah. Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga.”

Sandara hendak menolak, namun ia benar-benar lelah. Perlahan, kedua kelopak mata Sandara menutup. Detik berikutnya ia terlelap, tanpa menyadari bahwa jemarinya masih bertautan dengan milik Jiyong.

To be Continued

_____________________________________________________________

Akhirnya part aneh ini aku publish juga.

Jeongmal mianhae… Part ini bener-bener kerasa terburu-buru dan agak kacau, soalnya aku mbuatnya cepet-cepetan, berhubung bentar lagi bakal pekan ulangan. Maafkan karena banyak typo serta kalimat-kalimat aneh yang menggantung. Dan soal list gerbongnya, itu gambar aku buru-burunya. Gitu deh jadinya ._.

Ohya.. buat ELF, Fishy, aku minta maaf karena jadiin Donghae tokoh antagonis. Gara-gara Skip Beat, dan lihat Donghae cocok dan keren kalo jadi bad boy, akhirnya aku putusin deh dia jadi antagonis. hehehe

Buat yang tanya kenapa Youngbae jadi main cast walau dia jarang banget muncul, the next part will tell you 😀

Dan eng.. Sekali lagi minta maaf kalo feel dan jalan ceritanya part ini nggak dapet.
Untuk part selanjutnya juga kayaknya bakal lama postnya >,<

Dan terakhir…

Please like and review and no bash! 🙂

17 tanggapan untuk “The Games Land – Part.3 (The Weapon)”

  1. tuh kan keren banget thor !
    ada sedikit typo sih thor, tapi overall semuanya daebak !
    bikin penasaran banget T.T apalagi yang ‘gadis itu’
    aku juga stuju soal donghae jadi antagonis, kyknya keren kalau dia jdi cowok bad boy kekkekke
    dan aku selaluu menunggu next partnya !!!
    keep writing and fighting yaa !!! ^^
    fighting juga buat pekan ulangannyaaa thor !!

    Suka

    1. Huehehe…
      Sneng de bkin pnsaran \(^o^)/ #eh
      Iya kan… Kren banget donghae klo jdi bad boy… Gra2 itu juga ak jd suka donghae <3
      Sip… Gomawoooo… Fighting 😀

      Suka

  2. yak, kau membuatku penasaran setengah mampus -3-
    tiap hari nge-cek-in IFF buat tau lanjutannya ini cerita, dan baru baca sekarang ._.
    emang sih banyak typonya, tapi overall, mantap deeh..
    cuman aku nungguin part suamiku :3
    huehehehe~~~
    jiyong dan donghae musuhan? aigoo~~~ bakal keren ini squelnya..
    hoho, enggak sabar jadinya.
    di tunggu next partnya ya??
    dan fighting buat ujiannya ^^

    Suka

    1. Huehehe… (~^o^)~
      Authornya lemot sih ngidenya :p

      Gomawooooo ya
      Suamimu yg mna hayo?? :3
      Jngn2 pny qta sma? #eh
      Iyaaa… 2 org kren msuhan <3
      Kekeke
      Sippp…. Gomawo yaaaa… Fighting !!

      Suka

  3. Woahhh!! Horee! Part 3 akhirnya keluar jg, dan ga kalah seru dari part sebelumnya!!

    Sumpah keren banget banget banget..
    Aku baca fanfiction ini sampe nyuri” jm plajaran sangking suka dan penasarannya. Tapi masih pengen baca, ga rela bersambung gitu aja ._.

    Keren banget thor !! Always Keep The Faith ya buat nulis part selanjutnya 🙂

    Suka

    1. Hehehehe..
      gomawo2…
      uwoo… baca wktu jam pelajaran :O lewat hp?
      Hati” ketauan lo 😛
      *pngalaman hp disita
      kekeke~

      okeee.. sip2.. gomawo ya ^^
      dan gomawo uda baca & review :p

      Suka

  4. thor jangan lama2 donk ngepostnya udah berkarat nih nungguinnya.
    # mian baru koment sekarang padahal dah baca dari bulan januari lalu…. haha

    Suka

    1. Sudah di post kok chap selanjutnya 😀
      maaf lama banget
      Nggak sempet terus gara-gara terlalu banyak tugas & ulangan di sekolah u.u
      dan gomawa uda baca & review ^^

      Suka

  5. Wah thor bener2 daebak…
    Disini part daragon banyak …asyik…
    Bener2 thor ffnya bikin penasaran bgt..
    Aku baru nemu skrng ik…hiks..tp ga nyesel deh bacanya…
    Semangat thor.. 😀

    Suka

  6. sebentar… nyoba review dulu~~~
    hmms.. pertanyaan yang terus nempel di kepala saya adalah.. itu siapa yang dimaksud donghae?? bom juga nyebut2 dia kan di chapter 2.. yang soal saputangan yang sekarang ada di sandara….

    aaah, jadi kalo cuman nyerang aja, itu lebih rendah dari yang bisa pake kekuatan… dan oh iya, sampe sekarang saya masih bingung gimana caranya mereka bisa kepilih.. >////< maksudnya.. mereka punya kekuatan, terus?? mereka juga punya kekuatan pas di dunia nyata?? terus, kenapa yongbae bisa pindah2 gerbong?? (chapter1).. antara Gi sama Foyla (eh, apapunlah itu, gerbongnya jiyong yang gerbong api o.O)

    ini FFnya kece sekali… XD ❤ ❤ ❤ ❤ ❤

    Suka

Leave Your Review Here!