[Oneshot] Butterfly Effect

butterfly-effect-tsukiyamarisa

Butterfly Effect

.

A theory where even the flutter of butterfly’s wings can cause a hurricane

.

written by tsukiyamarisa

cast BTS’ Jungkook with OC’s Re length 6,8k rating 17

based on prompt Magician. Theater. Sweater. Anxiety. Fantasy, Angst.

written for Oneshot Challenge by snqlxoals818

.

.

.

Malam itu dipenuhi ingar-bingar seperti biasa.

Jeon Jungkook tak menyukai keramaian, tetapi satu-satunya hal yang mampu ia lakukan menuntut sebaliknya. Umurnya memang masih sebelas tahun, tetapi sebagai seorang anak yang tidak punya siapa-siapa, ia juga tak punya pilihan lain. Jungkook harus melakukan ini setiap malamnya, hanya demi kepingan koin emas, makanan yang diberikan dengan murah hati, atau terkadang—jika ia sedang sial—tepukan tangan serta senyum singkat semata.

Tapi, ia tidak keberatan.

Selain karena ia memang butuh, Jungkook punya satu alasan lain. Alasan yang mungkin susah untuk dipahami orang-orang, yang tak pernah ia ungkapkan dan ia sembunyikan rapat-rapat di balik permainan sulapnya. Ini adalah rahasianya, sama halnya seperti trik-trik yang ia lakukan.

Menjentikkan jemari, si bocah lelaki pun memulai aksinya malam ini.

Awal permainan selalu diawali dengan kedua lengan yang terbentang, menunjukkan pada para penonton bahwa ia tak menyembunyikan apa-apa. Oh, dengan sweter kelabu yang membungkus tubuhnya, tentu mudah bagi orang-orang untuk percaya. Ia sama sekali tak punya saku, tak ada jas atau jaket kebesaran untuk menyembunyikan sesuatu. Ia hanyalah seorang bocah dengan sweter rajutan tua, yang memiliki kemampuan untuk melenyapkan kartu atau mengubah gambar yang tertera di atasnya.

“Boleh aku lihat sihir bolanya, Kak?”

Menoleh, Jungkook bisa melihat seorang bocah lelaki yang tengah memandangnya dengan manik berbinar. Anak itu lebih muda darinya, mungkin sekitar enam atau tujuh tahun. Tak banyak anak sekecil itu yang berkeliaran di tempat ini, di sebuah halaman hall teater yang biasanya menyajikan pementasan dari pukul delapan hingga tengah malam. Bisa dibilang Jungkook sedikit terkejut melihatnya, sampai ia sadar bahwa anak itu tengah menggenggam tangan seorang wanita yang mengenakan gaun mewah.

“Aku dengar, ada pesulap cilik yang jago di sini,” ucap wanita itu kala Jungkook terbengong sejenak, senyum manis di wajahnya. “Anakku ingin melihatnya. Kamu keberatan?”

Paham, Jungkook pun lekas membuka kotak kayu yang ada di sisinya dan mengambil beberapa bola warna-warni. Di kota sekecil Rivory, wajar jika kabar serta desas-desus beredar dengan cepat. Ia bahkan belum genap dua minggu mengadakan pertunjukkan di depan gedung teater ini, tetapi rupanya ia sudah dikenal orang. Sebuah pencapaian yang seharusnya menggembirakan, namun entah kenapa Jungkook merasa sedikit sebal kala ia berbalik untuk menghadapi penontonnya.

Menyipitkan mata, Jungkook bisa melihat bagaimana bocah lelaki itu berdiri berdempetan dengan ibunya. Sebelah tangan menarik-narik ujung gaun sang ibu, bertukar tatap hangat serta senyum di wajah. Pemandangan yang sukses membuat Jungkook gemetaran, genggamannya pada bola warna-warni melemah. Ada sesak yang hadir, ada kesedihan yang meluap. Jungkook benci rasa itu, kecemasan yang mengambil alih dan kerap membuatnya susah tidur. Namun, ia tidak boleh membiarkan hal itu menguasainya. Tidak saat ini, ketika bocah yang lebih muda itu sudah memandanginya dengan penuh harap.

“Kak?”

“Perhatikan.”

Hanya itu yang Jungkook ucapkan sebagai tanda permulaan, seraya jemarinya memutar-mutar bola berwarna merah. Melemparnya ke udara, lantas menangkapnya dengan cepat. Jungkook menggenggam bola itu kuat-kuat, dan ia tak butuh waktu lama untuk kembali membuka kepalannya dan menunjukkan kekosongan.

Waaaaah!!”

Abaikan seruan itu, Jungkook memilih untuk berfokus pada tiga bola lainnya—kuning, biru, dan hijau. Tangan kiri membawa ketiganya sekaligus, sementara tangan yang lain meraih sebuah sapu tangan. Ia lantas menutupi tiga bulatan mungil tersebut, mata disipitkan dengan rupa sok misterius terpasang. Detik berikutnya, barulah Jungkook menarik sapu tangan itu. Menunjukkan tiga bola yang sudah berubah warna, semuanya merah layaknya bola yang hilang tadi.

“Dan bola merahnya?”

Satu kedikan kepala menunjukkan bahwa sebuah bola merah tengah menggelinding perlahan ke arah kaki si bocah penonton. Itu adalah bola keempat, yang sempat hilang dan tentu berhasil menarik atensi si bocah. Mengulurkan tangan, anak lelaki berpipi tembam itu bermaksud meraih bola yang menggelinding ke arahnya—tepat ketika Jungkook lekas-lekas mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kenapa?”

“Kalau disentuh, triknya akan buyar.”

“Oh.” Anak lelaki itu mengangguk. Manik terarah pada lengan Jungkook yang masih terulur, sebelum akhirnya ia melontarkan kesiap kecil. “Tapi, Kakak Pesulap, itu… lengan—“

“Diam,” gumam Jungkook rendah, tangan menyambar bola yang tergeletak di atas lantai sebelum mengimbuhkan, “dan perhatikan.”

Tak ada yang membantahnya; tidak karena Jungkook baru saja melemparkan bola terakhir itu ke udara, dengan satu jentikan mengubahnya menjadi hujan konfeti warna-warni. Teriakan girang spontan terdengar di sana-sini, selagi Jungkook menundukkan tubuhnya untuk memberi hormat. Aura ceria kembali menyelingkupi, sang wanita dan juga segelintir orang lainnya menyodorkan kepingan koin emas dengan murah hati. Pujian dilontarkan, tepukan di bahu diberikan.

Namun, mereka tidak mengetahui satu hal.

Bahwa Jeon Jungkook sama sekali tak tersenyum seraya ia meneruskan pertunjukan sulapnya malam itu.

.

-o-

.

Tiga puluh empat keping koin emas.

Jumlah itulah yang Jungkook dapatkan kala tengah malam menjelang, bergemerincing di kantong kain kumal yang ia gunakan sebagai dompet. Ini sudah lebih banyak dibanding hari kemarin, tetapi Jungkook sama sekali tidak merasa bahagia karenanya. Memiliki sejumlah uang yang hanya cukup untuk membeli makan selama sehari penuh bukanlah hal yang patut dibanggakan, terlebih ketika iris kelam anak lelaki itu bergerak ke arah pintu hall yang terbuka.

Menggeser tubuhnya untuk berdiri di samping pintu kayu berpelitur itu, Jungkook bisa melihat para penonton yang berjalan keluar. Lengkap dengan ekspresi berseri-seri, sibuk membicarakan detail pertunjukan yang baru saja ditonton. Katanya, si pemeran utama wanita hari ini sangat memesona. Lakonnya lemah lembut dan manis, namun juga tegas dan lantang pada saat bersamaan. Jenis karakter yang sukses menjadi buah bibir, masih tersimpan dalam ingatan kendati pementasan telah berakhir.

Jeon Jungkook mendengar semua itu dengan ekspresi datar, bibir membentuk garis tipis tanda mencela. Oh, tentu saja si wanita terdengar sempurna. Lagi pula, tokoh itu hanya peran. Sebuah topeng yang dipasang di atas panggung, menutupi segala macam keburukan yang ada di baliknya. Yah, siapa sangka bahwa wanita cantik yang dielu-elukan sebagai aktris handal itu sudah memiliki anak di luar nikah? Pun dengan realita bahwa si anak telah dicampakkan.

Menarik napas dalam, Jungkook menunggu sampai semua orang keluar sebelum berjalan mendekat. Berdiri di ambang pintu, kedua manik hitamnya terarah pada panggung. Para pemain masih berkumpul sembari bercengkerama di sana, dan si bocah lelaki bisa melihat sosok wanita itu dengan jelas. Perempuan yang menjadi bahan obrolan, menebar tawa seraya menyelipkan rambut hitam bergelombangnya ke balik telinga dengan anggun.

Ada sedikit rasa rindu yang meluap ketika Jungkook mengamatinya lekat-lekat, nyaris menyelusup keluar dari benteng pertahanan sang lelaki. Namun, tentu saja Jungkook tak mengizinkan hal itu terjadi. Alih-alih berlari masuk atau berusaha menarik perhatian ibunya, Jungkook memilih untuk berdiri diam. Benak mengingat semua kata-kata kasar yang pernah ia terima, memutar ulangnya agar ia teringat pada realita pahit yang ada.

Aku tidak mungkin punya anak tak berguna sepertimu! Kau ini bisa apa memang?!”

Pertemuan pertama mereka dibumbui oleh kalimat tadi, satu yang membuat Jungkook mengernyit bingung. Umurnya sepuluh tahun waktu itu, dipaksa menghadapi kerasnya dunia lantaran ia baru saja kabur dari panti asuhan. Alamat serta foto sang ibu ia dapatkan dari bibi yang mengurusnya sejak kecil, ia genggam dan ia simpan dengan penuh harapan besar.

Sayang, harapan itu telah mengkhianatinya.

Aku… aku bisa mencoba bermain di panggung! Aku juga bisa—“

“Siapa juga yang mau menerimamu, hah?!”

Bentakan tadi diikuti dengan tamparan, suaranya menggema di koridor sunyi. Gedung pertunjukan sedang kosong malam itu, tak ada seorang pun saksi atas kekerasan yang terjadi. Tak ada yang tahu bahwa si aktris wanita yang diagung-agungkan telah melakukan hal yang tak dapat dimaafkan: menyambar kaos Jungkook, menyeretnya dengan kasar, mencampakkannya di tepi jalan. Tambahkan umpatan dan makian, gabungan yang terasa bagai luka tusuk di hati sang anak.

Pergi saja, kau! Anak yang sudah dibuang sepertimu—“

“Ibu—“

“Sampah sepertimu tidak akan berguna dalam hidupku, paham?!”

Diikuti dengan satu dorongan terakhir, wanita itu membiarkan punggung Jungkook membentur dinding luar gedung teater. Menghantam bata-bata yang tersusun rapi, empasan yang menarik semua oksigen keluar dari paru-paru si anak lelaki. Jeon Jungkook masih ingat akan rasa perih itu, rasa panas yang muncul kala amarah dan air matanya merebak. Namun, bocah sepertinya bisa apa? Bisa apa ia, selain membiarkan tubuh kurusnya merosot hingga terduduk di atas trotoar?

Well, ia bisa membalas dan menunjukkan bahwa tuduhan sang ibu tidaklah benar.

Keberuntungan berada di pihaknya, begitu pikir Jungkook kala itu.

Baru tiga jam berlalu setelah kejadian tersebut, ketika seorang lelaki dengan mantel panjang dan topi bulat melangkah menghampiri Jungkook. Busananya serba hitam, kelam seperti endapan di hati sang anak lelaki. Ia tampan; dengan rahang yang tegas, rambut legam, dan hidung mancung. Tetapi, bukan itu yang menarik perhatian Jungkook.

Melainkan wibawanya, ketegasan yang memancar tatkala ia mengulurkan tangan ke arah si bocah. Memperkenalkan diri, memberi tahu bahwa Jungkook bisa memanggilnya dengan sebutan Nox. Mereka berbincang cukup lama setelah itu; Jungkook menceritakan segala masalahnya begitu saja sementara Nox memberinya roti dan susu.

Dan dari Nox pula, Jungkook belajar melakukan semua trik sulap itu.

Nox memberinya sesuatu untuk dilakukan. Ia memberi tahu sang bocah lelaki bahwa ia bukanlah sampah, bahwa ia juga punya sesuatu untuk dipertontonkan. Maka, tanpa ragu, ia pun berlatih. Terus dan terus, tak berhenti kendati sekujur tubuhnya mulai terluka. Tidak apa-apa, batin Jungkook mengatakan, tidak apa karena sesungguhnya, ia mulai menikmati rasa sakit yang ada.

Karena, tentu saja, tidak ada yang gratis di dunia ini, bukan?

Semua sulap yang diajarkan Nox membutuhkan bayaran, setiap trik yang dilakukan sesungguhnya bukanlah tipuan. Itu semua nyata adanya: gambar di kartu yang berubah, bola yang meledak menjadi konfeti, koin yang bisa hilang dan muncul, sapu tangan berwarna-warni yang bisa berubah menjadi bunga. Ya, semua itu nyata, lantaran Jungkook telah membayarnya dengan luka dan darah.

Menarik lengan sweternya hingga sebatas siku, Jungkook bisa melihat satu luka goresan baru di atas kulitnya—bayaran untuk trik sulap yang ia lakukan hari ini. Kurang lebih sepanjang lima sentimeter; cukup dalam hingga ia berdarah, tetapi tidak sampai menimbulkan akibat fatal. Perihnya tidak lagi terasa, entah karena darah sudah berhenti mengalir atau karena Jungkook sudah mati rasa. Apa pun itu, ia malah melarikan jemari di atas bekas-bekas lukanya—baik yang lama maupun baru—sambil mengulum senyum.

“Semua ini akan setimpal, bukan?” gumam Jungkook, manik terarah lagi pada gedung teater. Satu-satunya alasan mengapa ia kembali ke gedung teater ini adalah wanita itu; untuk membuktikan bahwa kerja keras dan latihannya bersama Nox selama setahun belakangan tidak akan berakhir sia-sia. Jungkook masih percaya kalau ia akan bisa mendapatkan perhatian ibunya; kendati bohong jika ia berkata bahwa ia tidak cemas sama sekali.

Membiarkan senyumnya pudar, Jungkook kini mengamati para anggota teater yang melangkah keluar dari pintu samping. Ibunya berada di deret paling belakang, sisa-sisa tawa masih menggema di dalam hall. Nyaringnya membangkitkan ketidaknyamanan di hati Jungkook, meremas-remasnya hingga ia merasa susah bernapas. Tangannya bergetar, tetapi Jungkook lekas-lekas mengepalkan jemarinya dan menggumamkan sebaris kalimat pada diri sendiri.

“Tidak sekarang, Jungkook. Tidak sekarang. Kau perlu berusaha lebih keras lagi….”

…karena itulah satu-satunya cara agar Ibu menyadari keberadaanku, ‘kan?

Iya, bukan?

.

-o-

.

Namun, dua bulan berlalu dan kegelisahan Jungkook makin menjadi.

Petang itu, ia berjalan ke gedung teater dengan pikiran berkecamuk. Cemas dan tak sabaran menjadi satu, sementara pikirannya sibuk mengingat-ingat. Ada berbagai macam trik berbeda yang sudah ia pamerkan selama dua bulan belakangan, semuanya sederhana tetapi sukses menarik decak kagum penonton. Ia makin dikenal, ia menjadi berita yang tersebar melalui obrolan-obrolan ringan di kota Rivory. Bisa dibilang jika dirinya kini bukan lagi anak sebelas tahun bersweter lusuh semata, tetapi….

“Kau ingin menunjukkan yang lebih, ‘kan?”

Tanya dari Nox itu berputar di benaknya, satu yang dilontarkan sebelum Jungkook berangkat ke gedung teater. Tadi, ia memang tak sempat menjawab. Namun, tanpa kata yang terucap ataupun anggukan yang diberikan, Jungkook yakin kalau Nox pasti tahu jawabannya. Lelaki yang lebih tua itu tahu segalanya, mampu menebak isi hati Jungkook bahkan sebelum konversasi terbentuk.

Karena Jungkook memang menginginkan sesuatu yang lebih.

Bukan koin emas yang lebih banyak, penonton yang lebih berdesakan, ataupun ketenaran yang lebih melambung.

Jeon Jungkook si pesulap cilik tak menginginkan semua itu, lantaran satu-satunya yang ia inginkan adalah perhatian dari sang ibu. Agar wanita itu mau ikut menonton permainan sulapnya barang sekali atau dua kali, kemudian mengakui bahwa Jungkook bukan lagi anak tak berguna. Agar ia tak lagi dianggap sebagai sampah yang tak layak dipandang, melainkan telah berubah menjadi sesuatu yang mampu menarik atensi dan pujian orang. Jungkook hanya mau membuktikan semua itu, namun bisa apa ia ketika sang ibu bahkan tak pernah muncul untuk menonton?

Apakah ini karena trik sulapnya terlalu sederhana? Apa ia harus menunjukkan sesuatu yang berbeda dan lebih menantang? Yang mengundang lebih banyak decak kekaguman, sehingga ibunya pun akan merasa penasaran dan memutuskan untuk menonton barang sejenak? Kalau begitu, sekadar mengeluarkan kelinci dari topi atau menghilangkan bola-bola tak lagi cukup, bukan?

Lagi pula, trik-trik yang ia tunjukkan selama ini memang hanya trik murahan. Murah, karena bayaran dari semua itu hanya luka-luka gores di lengannya. Bukan hal besar bagi dirinya yang sudah terbiasa—tak lagi merasakan sakit, pun kelegaan atas gelisah dan panik yang menghampiri. Semuanya tumpul dengan satu pengecualian: kekecewaan yang melanda tiap ia menyadari sang ibu tak ada di kerumunan penonton, yang mendorongnya untuk lebih melukai diri sebagai pelampiasan.

Mungkin, memang inilah saatnya ia melakukan trik yang lebih menantang.

Membulatkan tekad, si bocah lelaki mengeluarkan lipatan perkamen dari kantung celananya. Menggenggamnya erat, kedua tungkai sedikit mempercepat langkah ke gedung teater. Belum terlalu ramai, lantaran pertunjukan baru akan dimulai pukul delapan nanti. Jungkook masih punya waktu untuk mempelajari lembaran perkamen tersebut, mengingat-ingat segala instruksi yang ia perlukan untuk menunjukkan sulap jenis baru.

Memosisikan diri di teras depan gedung teater, Jungkook memutuskan untuk bersandar pada salah satu pilar yang ada dan mulai membuka lipatan perkamen. Abaikan seorang gadis yang sedang menjual tiket dan membagikan selebaran, sementara maniknya bergerak-gerak cepat memahami instruksi Nox.

Ini akan menjadi kali pertama Jungkook mempraktekkannya, mengingat Nox tak pernah mengizinkan Jungkook mencoba trik ini selama masa latihannya. Lelaki itu senantiasa berkata kalau saat yang tepat akan tiba dengan sendirinya, kalau Jungkook akan bisa melakukan trik tingkat tinggi ini bahkan tanpa perlu berlatih. Namun, tetap saja, dusta kalau ia tidak merasa takut. Tangannya bahkan sedikit gemetar kala ia membuka kotak kayu yang menyimpan peralatan sulap, memastikan segala hal yang diperlukan sudah ada di sana.

Tenangkan dirimu, Jungkook.

Membatin kalimat itu berulang-ulang, ia berusaha untuk mengusir rasa takut yang ada. Nox pernah bilang bahwa semua trik sulapnya hanya bisa dilakukan oleh seorang pemberani. Yang mau berkorban serta menahan rasa sakit; bukan pengecut yang selalu mengeluhkan segalanya. Dan Jungkook—tak peduli seberapa pun seringnya ia menggelisahi diri—bukan seorang pengecut. Ia memang mencemaskan beberapa hal, tetapi ia tahu kalau dirinya bisa melakukan trik ini.

Ya, ia pasti bisa.

Menarik napas dalam, Jungkook meremas perkamen berisi instruksi Nox dan menjejalkannya ke saku celana. Kepercayaan dirinya mulai terkumpul, selagi ia berdeham dan mengambil selembar kertas. Jemari bergerak dengan terampil dan lincah, membuat sebuah burung dalam waktu kurang dari semenit. Jungkook bermaksud untuk menggunakan trik sederhana sebagai permulaan, menarik pengunjung atau pejalan kaki yang ada agar mereka mau menonton sulapnya.

“Permisi, Nona.”

Membungkukkan tubuh di hadapan seorang gadis yang baru saja melintas, Jungkook menunjukkan origami di tangannya. Aksinya itu dibalas oleh senyum sopan dan jungkitan alis dari si gadis, ingin tahu apa maksud Jungkook. Namun, bukannya menjawab, lelaki itu malah meletakkan burung kertas tadi di atas pundak sang gadis. Melempar senyum penuh arti, sebelum mengambil secarik sapu tangan berwarna hitam kelam.

“Mohon waktunya sebentar, Nona.”

Tak membantah, gadis berambut gelombang itu membiarkan Jungkook menutupi burung kertas di bahunya dengan sapu tangan. Menyelubungi benda mati itu selama beberapa sekon, sebelum akhirnya mengibaskan sapu tangan tadi dengan lagak misterius. Ini adalah sesuatu yang sederhana, tetapi Jungkook bisa mendengar pekikan kagum gadis itu tatkala burung kertas di bahunya berubah menjadi merpati putih yang hidup dan bergerak-gerak.

“Ah, kau pasti pesulap cilik yang sering disebut-sebut itu, ya? Aku sering mendengar obrolan tentangmu.”

Sebuah senyum singkat Jungkook berikan sebagai pembenaran, selagi beberapa orang yang melintas mulai berhenti dan berkerumun. Masih ada setengah jam sebelum pertunjukkan teater dimulai, dan ini adalah waktu yang ideal baginya untuk melakukan pertunjukan. Daripada menunggu sembari melamun di dalam hall, tentunya orang-orang akan lebih memilih untuk menonton dirinya, bukan?

Maka, tanpa buang-buang waktu lagi, Jungkook pun memulai rutinitasnya yang biasa. Merentangkan kedua lengan, menandakan bahwa pertunjukan resmi dibuka. Beberapa orang bahkan sudah mulai mengeluarkan decak kagum, seraya Jungkook meraih burung merpati di pundak gadis tadi dan memasukkannya ke dalam sebuah sangkar. Menutupinya dengan kain hitam, lantas meminta salah seorang pria bertopi tinggi yang kebetulan menonton untuk membukanya.

“Pada hitungan ketiga. Satu, dua, ti—”

Jungkook bahkan belum selesai menghitung, tetapi tepukan riuh dan sorak-sorai sudah terdengar. Pria tadi menarik sapu tangannya lebih cepat sepersekian detik, namun trik sulapnya tetap berhasil dilakukan. Burung merpati putih tadi telah lenyap, sepenuhnya digantikan oleh burung kertas buatan Jungkook pada awal pertunjukan.

“Apa burungnya ada di balik sapu tangan itu?”

“Mungkin diam-diam keluar dari kandang?”

“Bocah itu juga tidak mungkin menyembunyikan hewan hidup di balik bajunya, bukan?”

“Tidak ada yang kusembunyikan, wahai Tuan dan Nona sekalian,” ucap Jungkook, memotong celotehan seraya ia meraih satu pak kartu. “Memang, apa yang bisa disembunyikan dibalik sweter ini?”

Gumam setuju sekarang terdengar, selagi semua mata terarah pada sweter hitam yang dikenakan oleh Jungkook. Seluruh inci kulitnya memang tertutupi, tetapi pakaian semacam sweter tentunya tidak akan bisa menutupi objek-objek berukuran besar. Para penonton tahu itu, sehingga kekaguman mereka pun semakin meningkat karenanya.

“Dia benar-benar berbakat!”

Jungkook tersenyum kecil mendengarnya, mengapresiasi hal tersebut dengan cara beranjak ke trik sulap berikutnya. Ia mengganti lambang yang ada pada kartu dengan satu jentikan jari, mengocoknya sebelum mengubah kartu-kartu itu menjadi kipas, kemudian beralih pada trik-trik kecil lainnya. Senyumnya lebar dan tampak penuh semangat, sebuah topeng sejati yang mampu menutupi rahasia di balik sweternya.

Entah sudah berapa banyak goresan yang tercipta di kedua lengannya secara otomatis malam ini, tetapi Jungkook sama sekali tak merasa kesakitan. Ia tetap melakukan semua triknya dengan lihai, adrenalin berpacu makin deras seiring dengan rasa perih yang tercipta. Kecemasannya hilang begitu saja, semakin lama semakin terhapuskan selagi ia beranjak untuk melakukan trik baru sekaligus puncak pertunjukan.

“Dan inilah saatnya, Tuan dan Nona. Hari ini, akan ada sesuatu yang berbeda.”

Tanpa perlu banyak berbasa-basi, Jungkook menggelar selembar kain tebal berwarna hitam. Membentuk sebuah jalur sepanjang kurang lebih sepuluh meter, sementara para penonton mulai bergeser dan memosisikan diri mereka di samping kanan dan kiri. Kuriositas terasa kental di udara, terlebih ketika Jungkook meminta mereka untuk melemparkan sesuatu yang bisa dibakar. Gulungan koran, kertas pembungkus makanan, serta benda-benda serupa lainnya. Tak lupa dengan daun kering yang Jungkook kumpulkan dari halaman depan hall teater itu, semuanya disebarkan di atas kain hitam yang telah disiapkan.

“Aku minta bantuan kalian untuk menyulut apinya.”

Mengulurkan beberapa buah pemantik, Jungkook meminta beberapa lelaki yang menonton untuk membakar benda-benda tadi. Praktis membuat sebuah jalur yang membara, panasnya menguar dan mengancam. Beberapa gadis bahkan mulai menutupi mata mereka dengan kedua tangan, sungguh kontras dengan Jungkook yang malah membuka alas kakinya dan langsung melangkah ke atas api yang berkobar.

“Tak perlu takut, kakiku baik-baik saja.”

Pernyataan itu mengundang sedikit gelak tawa. Mereka yang menonton agaknya masih terlampau terkejut, tetapi tak bisa menyangkal bahwa mereka juga ingin tahu. Butuh kira-kira semenit sampai tatap semua orang kembali tertuju pada si bocah lelaki, diikuti oleh decak ketidakpercayaan sementara Jungkook melangkah maju.

Satu langkah, dua langkah.

Satu helaan napas dalam.

Puluhan pasang telapak yang beradu dalam tepukan.

Dan satu luka gores terbentuk di atas kulit dadanya.

Semua itu terjadi dalam waktu bersamaan, membuat Jungkook sedikit terengah dan berjengit karenanya. Luka di lengan memang bukan lagi masalah baginya, tetapi goresan di dada jelas hal baru. Pedihnya menyengat, seiring dengan darah yang merembes dan mulai diserap sweternya. Ada alasan mengapa ia memilih untuk mengenakan warna hitam malam ini, menghindari agar kecerobohannya ketika mengenakan sweter abu-abu dulu tak terulang. Hitam akan menyembunyikan segalanya, semua bayaran yang perlu ia berikan atas trik sulap berbahaya ini.

Mengikuti arus sorak-sorai yang ada, si pesulap cilik pun membiarkan tungkainya kembali bekerja. Langkah demi langkah terajut pasti, sama mutlaknya dengan luka yang tercipta mengiringi. Jungkook menyambut semua itu dengan tangan terbuka, tanpa penolakan lantaran luka adalah sahabat baiknya. Aneh memang bagaimana bocah sebelas tahun sepertinya bisa jatuh cinta pada segala sesuatu yang merusak secara fisik, tetapi bagi Jungkook—

“Terima kasih sudah menonton pertunjukan hari ini.”

—selalu ada yang lebih menyakitkan dibanding goresan dan darah.

Membungkuk singkat untuk menutup pertunjukan, Jungkook membiarkan koin-koin emas dijatuhkan ke dalam kotak yang telah ia sediakan. Gemerincing yang beradu dengan gumam-gumam percakapan, selagi beberapa penonton beranjak masuk ke dalam gedung pertunjukan dan lainnya melanjutkan perjalanan. Ada senyum-senyum bahagia yang terpeta di wajah mereka, berlawanan dengan ekspresi si pesulap cilik yang terlihat kecewa lantaran ia—untuk kali kesekian—tak menemukan kehadiran sang ibu.

Inilah yang membuat Jungkook kesakitan, lebih dibanding luka yang jelas-jelas nyata ada di tubuhnya. Inilah yang memaksanya untuk mengeluarkan erangan dan memasang muka muram, tak peduli berapa pun banyaknya koin emas yang terkumpul. Rasa gagal dan tak berdaya itu adalah luka yang sebenarnya, sumber dari semua ketakutan sekaligus keberaniannya untuk melakukan trik sulap.

Apa triknya hari ini masih kurang menarik?

Jungkook lekas-lekas menggeleng untuk menjawab tanya yang ia lontarkan sendiri.

Jangan bodoh, ini kan baru kali pertama kau melakukan trik api itu!

Membatin kalimat tersebut, Jungkook berusaha menjawab dan meredam kegelisahannya. Pikiran-pikiran yang menggantikan semua euforia saat pertunjukan; yang memaksanya untuk mengeluarkan desah panjang selagi ia mematikan sisa-sisa api dan membereskan alat-alatnya. Permainan sulap hari ini memang sukses, tetapi sukses itu akan menjadi sia-sia jika ibunya tidak kunjung hadir. Entah kapan, tetapi jika Jungkook bisa terus memberikan pertunjukan yang mencengangkan seperti tadi, maka—

“Kau tidak apa-apa?”

Eh?

“Sulap tadi sungguh hebat, tetapi—“ Jeda sekilas, selagi Jungkook berhenti beres-beres dan lekas mendongak. “—kelihatannya kau sedikit pucat.”

Tak ada jawaban, lantaran yang ditanyai hanya mampu mengerjap pelan. Tak menyangka, sekaligus terkejut melihat gadis yang tadi membantunya membuka pertunjukan masih belum beranjak. Ia berbeda dari para penonton lain yang langsung pergi begitu saja, yang bahkan tak pernah memperhatikan penampilan Jungkook atau mengomentari keadaannya.

“Aku—“ Jungkook menelan ludah, balas menatap gadis berambut bergelombang itu dengan ragu. “Aku baik. Maaf, tapi pertunjukannya sudah selesai, Nona.”

Gadis di hadapan Jungkook itu mengangguk. “Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. Untuk ukuran seseorang yang masih muda sepertimu, pertunjukan tadi pasti susah, ‘kan?”

Kali ini, Jungkook memilih untuk menjawab tanpa kata. Ia memberi gadis itu sebuah gelengan cepat, kemudian bergegas membalikkan badan dan meraih kotak berisi peralatan sulapnya. Maksud hati untuk pergi sebelum ditanya-tanyai lebih jauh, namun lekas gagal tatkala gadis tadi menggapai telapaknya.

“Tunggu sebentar.”

Enggan, Jungkook pun menoleh lagi. Ada sebuah kantong kertas yang disodorkan ke hadapannya, lengkap dengan bau manis menguar yang mampu membuat ia seketika keroncongan. Entah roti macam apa yang ada di dalam sana; yang jelas, ia tak menolak ketika gadis itu tersenyum menyemangati sambil berkata, “Ambil saja. Ini buatmu.”

“Buatku?”

“Iya. Makanlah, dan bersenang-senanglah sejenak. Selain itu….”

“Selain itu?”

“Apa kau butuh bantuan untuk mengobati luka di tubuhmu?”

Tidak ada anggukan, tidak ada pula bantahan. Satu-satunya yang bocah pesulap itu lontarkan hanyalah kesiap keterkejutan. Lengkap dengan manik yang membelalak lebar, serta kepanikan yang mendadak memuncak hingga hadirkan rasa mual. Padahal, Jungkook sudah mengenakan sweter hitam hari ini. Mustahil jika gadis itu bisa melihat luka atau darah yang merembes, karena ia sendiri sudah menggunakan beberapa lapis pakaian lain di balik sweternya. Ini tidak masuk akal, ini—

“Kau baik-baik saja?”

“Ya.” Jungkook memaksakan kata itu keluar, tanpa banyak basa-basi kembali membalikkan tubuh dan melangkah menjauh. Abaikan panggilan dari gadis penonton tadi, tak peduli jika ia dianggap tidak sopan atau tidak tahu terima kasih. Satu-satunya hal yang Jungkook inginkan saat ini adalah mencari tempat bersembunyi, tempat yang bisa ia gunakan untuk beristirahat dan menenangkan diri. Ia sudah punya cukup banyak masalah, dan ia tidak mau melewatkan malamnya ditemani mimpi-mimpi buruk lagi.

Karena orang lain tidak seharusnya tahu mengenai rahasia di balik trik sulap Jungkook.

Tidak karena….

…oh, mana bisa mereka memahami hidupnya yang kelam, benar begitu?

.

-o-

.

Sayang, Jungkook hanyalah anak berusia sebelas tahun.

Kendati ia memiliki kuasa penuh atas setiap trik sulap dan luka yang ada di tubuhnya, ia sama sekali tak punya kontrol atas orang-orang yang hadir untuk menonton pertunjukannya. Layaknya ia yang tak mampu membuat sang ibu hadir, ia juga tak bisa mencegah gadis itu untuk tak menonton aksi sulapnya.

Bohong kalau itu tidak membuat Jungkook merasa terganggu.

Ia tahu persis kalau dirinya tak punya pilihan; kalau ia harus tetap melakukan pertunjukan sulap di gedung teater ini demi menarik atensi ibunya. Praktis, ia sama saja terikat pada tempat ini. Kabur adalah pertanda bahwa ia menyerah, sehingga Jungkook bersumpah bahwa ia tidak akan mencari tempat lain kendati sang gadis terus-menerus datang dan melempar tatap penuh arti di setiap akhir pertunjukan. Tatap yang membuat Jungkook yakin bahwa gadis itu sudah tahu rahasianya, serta mengingatkan sang bocah lelaki jikalau setiap warga kota Rivory memiliki berbagai macam kemampuan yang unik.

Kesimpulannya mudah saja.

Gadis itu pasti bisa membaca pikirannya.

Well, Jungkook bukannya tak pernah memperkirakan hal ini. Nox sendiri juga sudah memberitahunya; kemungkinan bahwa salah seorang penonton akan bisa membaca isi otaknya dan mengetahui rahasia di balik sulapnya. Ini adalah suatu perkara yang tak akan bisa dicegah, dan Nox sudah mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, Jungkook hanya perlu bersikap abai dan tetap melakukan pertunjukannya.

Namun, bukan itu masalahnya di sini.

Jungkook mungkin bisa bersikap tak acuh pada orang yang mengejeknya, pun pada mereka yang membocorkan atau malah berhenti menonton aksi sulapnya setelah mengetahui rahasia kelam itu. Berpolah tak peduli kendati ia gelisah adalah keahliannya, tetapi untuk kali ini, ia sama sekali tak bisa menerapkan hal itu.

Karena sungguh, reaksi gadis itu benar-benar di luar dugaan.

Alih-alih membocorkan atau mencemooh, gadis berambut kecokelatan itu tetap hadir di sana. Menunggu di bagian depan hall teater, setia berdiri di tempatnya sampai pertunjukan selesai. Beberapa kali, ia malah sengaja menghampiri Jungkook dan memberinya berbagai macam makanan. Tak lupa mengajaknya mengobrol, meskipun yang Jungkook lakukan selama ini hanyalah bungkam dan menjawab dengan gerak kepala semata.

Bahkan, hari ini pun tak jauh berbeda.

Hampir dua minggu berlalu sejak ia memulai trik sulap api, dan selama itu pula sang gadis—serta puluhan penonton lain—datang menonton aksinya. Suatu realita yang bisa dibilang menyenangkan, lantaran jumlah penontonnya semakin bertambah dan pujian juga makin dilayangkan. Apa pun maksud gadis itu hadir di sini, besar kemungkinan kalau ia sama sekali tak punya niatan untuk membongkar atau mengumumkan rahasia Jungkook di depan khalayak ramai.

Jadi, bukankah Jungkook seharusnya bisa bernapas lega?

Kalau begitu, mengapa gumpalan rasa sesak terus hadir sementara air matanya kerap mengancam turun di setiap akhir pertunjukan?

Oh, jawabannya mudah saja, bukan?

Membiarkan isi otaknya mengutarakan pendapat-pendapat negatif, Jungkook membungkukkan badan dan menabur segenggam konfeti untuk mengakhiri rangkaian aksi sulap malam ini. Membiarkan tepuk tangan terdengar membahana, seraya ia sendiri menunggu sampai orang-orang itu mulai beranjak pergi. Kedua iris hitamnya bergerak cepat memindai kerumunan, mencari-cari satu sosok yang sejatinya mungkin tak akan pernah hadir.

“Hei.”

Menolehkan kepala, Jungkook tak bisa menahan helaan napas kecewa meluncur keluar. Sebuah respon yang otomatis, sepenuhnya berlawanan dengan fakta kalau ia sudah menyambangi teater ini selama berpuluh-puluh hari. Toh, kalau ibunya menonton pun, kecil kemungkinan beliau akan menyapa Jungkook seperti itu. Wanita itu masih tetap tak peduli, teramat bertekad untuk mengabaikan putranya—

“Pertunjukan hari ini juga hebat.”

—sampai-sampai, Jungkook berharap agar ibunya dan gadis ini dapat bertukar jiwa barang sejenak.

“Terima kasih.”

“Kau pasti lelah, ‘kan?” sahut sang gadis, sementara Jungkook mulai membereskan peralatan sulapnya. “Dua minggu penuh melakukan trik rumit seperti itu….”

“Aku baik-baik saja, Nona.”

“Aku ingin mengajakmu makan malam.”

Apa?

Memastikan bahwa ia tak salah dengar, Jungkook memilih untuk mengabaikan kegiatannya membereskan peralatan sulap barang sejenak. Kepala ditelengkan, sementara gadis yang lebih tua darinya itu mengembangkan senyum dan mengimbuhkan, “Aku bisa membelikanmu makanan di depan gedung teater ini, kalau kau tidak keberatan. Penjaja makanan di sini—“

“A-aku….” Jungkook buru-buru buka mulut, hendak menolak karena ia tak terbiasa diperlakukan macam ini. “Aku baik, Nona. Aku bisa cari makan sendiri dan—“

“Kalau aku berkata ‘aku kenal ibumu’, kau masih tidak mau ikut?”

Detik itu pula, Jungkook bisa merasakan kata-katanya tertahan di tenggorokan. Enggan untuk dikeluarkan, sementara seluruh tubuhnya otomatis mulai gemetaran. Pengakuan sang gadis barusan cukup untuk membuat berbagai macam emosi berkecamuk dalam dirinya: kecewa, amarah, kesal, sedih, diabaikan, ditolak. Mendadak ia merasa kecil dan tak berharga, seorang bocah yang tidak memiliki daya kecuali untuk mengangguk pasrah dan menggantungkan secuil harap pada informasi apa pun mengenai ibunya.

“Baiklah. Aku akan ikut denganmu, Nona.”

.

-o-

.

“Kau bisa memanggilku Re, tanpa embel-embel ‘Nona’ atau semacamnya.”

Konversasi dimulai dengan kalimat itu, sementara Jungkook menatap mangkuk berisi sup daging dan roti croissant yang tersaji. Mereka kini sudah menempati salah satu meja yang berjajar di trotoar, tepat di depan sebuah kedai makan yang ada di dekat hall teater. Suasana lumayan sepi, mengingat jam makan yang sudah terlewati serta malam yang makin larut.

“Aku….” Jungkook membuka mulut, menggulirkan manik pada sang gadis. Re jelas lebih tua darinya, mungkin berumur sekitar pertengahan dua puluhan. Tidak mungkin Jungkook memanggilnya menggunakan nama saja, sehingga ia pun memilih untuk berpikir sejenak sebelum menambahkan, “Terima kasih atas makanannya, Kak Re.”

“Panggilan Kakak tidak buruk juga,” timpal Re, mengulas senyum kecil sembari mengedikkan kepala ke arah makanan di depan Jungkook. “Kau makan saja, oke? Aku akan menjelaskan mengapa—“

“Kakak kenal ibuku,” potong Jungkook. “Apa yang Kakak inginkan dariku?”

Mengabaikan kenyataan bahwa sang gadis bersikap amat ramah dan baik terhadapnya, Jungkook memilih untuk menuntaskan rasa ingin tahunya lebih dulu. Bagaimanapun, ia punya hak untuk curiga. Ia juga harus mengusir kegelisahan yang bercokol kuat; dan bertanya secara gamblang adalah satu-satunya cara.

Untunglah, ia tak butuh waktu lama untuk mengusir rasa cemas itu dari dalam benaknya.

“Aku tak tahu apakah kau bisa menebaknya atau tidak, tapi aku bisa membaca pikiran.” Re memulai, menegaskan kecurigaan Jungkook. “Bisa dibilang aku tahu kondisimu, dan aku tahu kalau kau ingin bertemu dengan ibumu.”

Jungkook tak berkomentar. Lelaki pesulap itu hanya duduk diam, mencengkeram sendoknya dan menunggu Re melanjutkan.

“Aku bekerja di teater. Selama ini aku banyak membantu persiapan pertunjukan, sehingga aku mengenal para aktor dan aktris yang ada. Ibumu adalah salah satunya.”

“Lalu?”

“Aku mengerti kalau kau ingin bertemu dengannya. Itulah penyebab kau melakukan semua trik sulap berbahaya tersebut, bukan?”

Sebagai tanggapan, Jungkook lekas-lekas menyendok sup dagingnya dan menelan satu suapan. Diikuti dengan secuil croissant yang ia kunyah lamat-lamat, berusaha mencari alasan untuk tidak buka mulut dan memberi penjelasan.

Melihatnya, Re pun mengembuskan napas panjang.

“Asal kau tahu saja, aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya berpikir untuk membantu, karena semua trik sulap itu—“

“Aku tidak butuh bantuan,” sambar Jungkook. “Atau belas kasihan. Aku bisa melakukannya sendiri, menunjukkan pada ibuku kalau aku bukan anak tak berguna.”

“Aku tahu.”

“Jadi, Kakak tidak perlu repot-repot berusaha mengajakku masuk ke dalam hall pertunjukan atau menyuruh ibu untuk menemuiku,” lanjut Jungkook, berusaha untuk berlaku tegar dan menyembunyikan getar dalam suaranya. “Kalau aku bertemu ibuku nanti, aku ingin beliau menganggapku hebat dan layak menjadi anaknya. Percuma jika ia menyadari keberadaanku hanya karena suruhan orang lain.”

Kali ini, Re tidak langsung menanggapi. Gadis itu memilih untuk merangkai kata-katanya lebih dulu, menunggu sampai Jungkook menghabiskan rotinya sebelum berujar lirih, “Kau salah.”

“Salah?”

“Apa kaupikir aku akan melakukan hal-hal itu, ketika aku bisa membacanya dengan jelas dalam pikiranmu bahwa kau membencinya?” tanya Re, jelas-jelas retoris karena ia sama sekali tak menunggu jawaban. “Maksudku adalah, aku bisa membantumu mencari jalan yang lebih baik. Melakukan sulapmu tanpa… tanpa melukai diri sendiri.”

“Aku baik—“

“Kau bahkan belum mengetahui Bakatmu, bukan?” Re melanjutkan, satu tanya yang sukses menghadirkan keringat dingin di tengkuk Jungkook. “Bakat biasanya memang muncul ketika usiamu sudah di atas sepuluh tahun, tetapi itu bukan aturan pasti. Dalam kasusmu, aku tahu kalau sulapmu bukan sebuah Bakat.”

“Aku ahli dalam sulap.”

“Tapi, itu bukan Bakat,” ulang Re, nadanya kini melunak. “Bakat ada sebagai sesuatu yang alami—seperti aku yang bisa membaca pikiran, juga seperti orang-orang lain yang punya kemampuan teleportasi, membuat ilusi, memainkan perasaan, dan semacamnya. Bukan dengan dipelajari—“

“Nox mengajariku dengan baik,” bantah Jungkook lagi, keningnya berkerut dalam. “Kalau aku harus menunggu Bakatku muncul, kapan ibu akan memedulikanku? Selain itu, bagaimana jika Bakat itu ternyata tidak berguna?”

“Tidak ada Bakat yang tak berguna,” jelas Re, masih mempertahankan sikap tenangnya kendati Jungkook jelas-jelas berlaku kontras. “Selain itu, kalau kau mau, kau bisa bekerja di teater. Membantu melakukan hal-hal kecil, sembari menunggu Bakat itu muncul. Kau bahkan bisa tinggal denganku—anggap saja aku adalah kakakmu atau semacamnya. Bukankah itu pilihan yang menyenangkan?”

Bohong kalau Jungkook berkata tidak, lantaran kata-kata Re itu sesungguhnya memang penuh akan harapan. Membayangkan dirinya bekerja di teater—bukan sekadar melakukan sulap jalanan di halaman depannya—adalah sebuah hal yang mampu membangkitkan semangat. Setidaknya itu akan membuat ia lebih dekat dengan sang ibu, meskipun besar kemungkinan ia tidak akan diacuhkan. Namun, intinya sama saja, ‘kan? Lebih dekat berarti ia bisa memamerkan sulapnya—dan juga Bakatnya jika sudah muncul nanti—tanpa perlu merasa cemas. Atensi sang wanita akan lebih mudah ditarik, dan jujur saja, tak ada yang lebih Jungkook inginkan daripada hal itu.

Tetapi….

Menelan suapan terakhirnya dengan susah payah, Jungkook membiarkan sendoknya beradu dengan mangkuk kosong hingga timbulkan bunyi berdentang. Jemari tanpa sadar bergerak untuk meraba lengan yang tertutupi sweter, lantas beralih pada dadanya yang juga telah dipenuhi luka. Segala rasa sakit, pengorbanan, dan juga deritanya selama ini; semua itu tertoreh jelas di atas tubuhnya. Mereka bertingkah layaknya pengingat, terukir dalam sampai-sampai Jungkook tak bisa mengabaikannya begitu saja.

Dan saat ini, membayangkan dirinya berhenti melakukan sulap demi sebuah tawaran yang terdengar lebih baik, mampu menghadirkan sengatan rasa perih di atas bekas-bekas luka tadi.

Kalau Jungkook mengiakan, lalu apa arti perjuangannya selama ini?

Apa arti semua trik sulapnya, semua usahanya, dan juga tekadnya untuk menjadi terkenal demi sang ibu?

Apa Re hendak mengatakan kalau selama ini ia melakukan hal yang sia-sia? Menuduh jika pertunjukannya adalah sesuatu yang gagal dan tak berarti? Merendahkannya karena memilih jalan yang tak membawa hasil, sementara ada cara lain yang lebih mudah dan pasti?

Itukah maksud sang gadis yang sebenarnya?

Pasti iya, ‘kan?

Kalau begitu, berarti Jungkook harus—

“Kau tidak harus memutuskannya sekarang.”

“Aku tidak mau.”

—menolaknya tanpa basa-basi.

“Kau bisa memikirkannya dulu dan—“

“Aku tidak mau!” seru Jungkook, menegaskan maksudnya seraya bangkit berdiri. Tindakan yang spontan mengundang tatap ingin tahu si pelayan kedai, sementara hatinya merasa sedikit bersalah karena ia baru saja membentak seseorang yang telah memberikannya makanan gratis. Jungkook mungkin resmi mendapat cap tidak sopan sekarang, tetapi kala ia teringat kata-kata Nox yang selalu menyemangati atau menyuruhnya untuk tidak menyerah, amarah itu seketika meluap kembali.

Re tak ada bedanya dengan orang lain.

Ia sama seperti mereka yang tak mengerti, yang menganggap bisa membantu tanpa tahu peliknya isi hati Jungkook. Gadis itu memang tidak membocorkan rahasianya, namun menyuruh Jungkook untuk berhenti melakukan sulap adalah suatu hal yang tak dapat diterima. Lagi pula, ia tahu kok, kalau trik-triknya selama ini mengandung bahaya. Ia tahu, dan ia bisa mengatasinya. Bukankah itu menunjukkan kalau ia hebat?

Selain itu, mana mungkin ia mengecewakan Nox yang telah mengajarinya selama ini? Jungkook paham benar rasanya dikecewakan dan diabaikan, sehingga ia telah memutuskan bahwa ia tidak akan melakukan hal macam itu pada orang lain. Terlebih, ia sudah mengenal Nox cukup lama. Jauh lebih lama dibandingkan ia mengenal gadis ini, sehingga tanpa perlu kontemplasi lebih lanjut pun, keputusannya sudah amat jelas.

Ia harus pergi dari sini.

“Terima kasih atas makanannya, Kak Re,” ucap Jungkook cepat, memecah keheningan sembari memberikan satu bungkukan singkat. “Tapi, aku tidak bisa. Aku harus pergi sekarang.”

“Apa kau sudah yakin?”

“Aku yakin.”

Kemudian, tanpa banyak kata ataupun salam perpisahan, Jungkook langsung menyambar kotak peralatan sulapnya. Tungkai bergerak cepat meninggalkan kedai makan itu, lantas melintasi gedung teater tempatnya melakukan aksi sulap. Tak peduli apa pun kata Re, besok Jungkook akan tetap kembali ke sana dan memamerkan segala macam trik yang dapat menarik decak kekaguman. Ia akan berdiri tegap di sana, menunjukkan bahwa ia bisa bertahan kendati statusnya hanyalah pesulap jalanan bersweter kumal. Ya, Jeon Jungkook tak butuh belas kasihan dari orang lain. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah segera menemui Nox, meminta trik-trik baru atau jenis sulap yang dipandang mustahil untuk dilakukan bocah sebelas tahun sepertinya.

Tapi, di sanalah letak tantangannya, bukan?

Karena selama Nox berkata kalau ia bisa—

“Kurasa kau sudah siap untuk trik terumit itu kan, Jungkook? Siap untuk menarik perhatian dan rasa ingin tahu ibumu?”

“Aku siap, Nox. Beritahu aku.”

—maka Jungkook akan melakukan apa saja.

.

-o-

.

Mendung malam itu agaknya mampu menghadirkan firasat tak enak di hati siapa saja.

Re berjalan sedikit terburu-buru menuju gedung teater, tungkai bergerak secepat mungkin melawan angin yang berembus kencang. Entah apa yang membuatnya ingin lekas-lekas sampai di sana, tetapi yang jelas, sang gadis merasa perlu untuk hadir dan mengusir ketidakpastian di benaknya. Mungkin ini adalah efek seminggu tidak bertandang ke gedung teater kota Rivory, kendati absennya dikarenakan oleh urusan kostum dan produksi pementasan yang harus dilakukan di luar kota. Apa pun itu, Re tetap merasa bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang fatal atau sebuah kesalahan besar.

Membelokkan langkahnya di pertigaan terdekat, Re melihat pilar gedung teater yang menjulang tinggi. Pun dengan beberapa poster pertunjukan yang ditempel di dinding depan, serta kerumunan orang di sisi kanan teras gedung. Tanpa perlu diberitahu, Re bisa menebak kalau orang-orang itu pasti sedang menonton aksi si bocah pesulap. Bahkan, ia mulai bisa mendengar gumam-gumam percakapan serta riuhnya berbagai komentar. Sukses membuat sang gadis bertanya-tanya, berusaha menebak trik menghebohkan macam apa lagi yang kiranya anak lelaki itu tunjukkan untuk—

“Sungguh mengerikan! Trik macam itu memang tidak seharusnya dilakukan anak kecil, bukan?”

—tunggu sebentar.

Menghentikan gerak kakinya kurang lebih satu meter dari kerumunan, Re berusaha untuk memilah-milah obrolan serta isi pikiran yang menyerbu masuk. Gumam-gumam keresahan dan kepanikan ia abaikan, selagi dirinya berusaha untuk mencari suara pemikiran si bocah pesulap. Mengingat ia telah begitu sering mendengarkan isi benak anak itu, seharusnya ini bukan hal yang sulit. Re tahu kalau ia pasti bisa dengan mudah menemukannya; bukan mendapati kekosongan seakan-akan pesulap cilik itu tak berada di gedung teater ini.

Tetapi, itulah kenyataannya.

Tak peduli seberapa pun kerasnya ia berusaha, Re tetap tak dapat menemukan gelombang pikiran Jungkook. Alih-alih, konsentrasinya malah terpecah lantaran pekikan dan jeritan orang-orang makin menjadi. Mereka yang tadinya berada di dalam gedung teater bahkan telah ikut menghambur keluar, kuriositas tergambar jelas di kepala. Semuanya ingin tahu apa penyebab kerusuhan ini, dan Re bukanlah pengecualian.

Maka, tanpa pikir panjang, ia pun bergerak menerobos kerumunan dengan panik. Menyingkirkan beberapa wanita bertampang terkejut, serta para lelaki yang terlihat mual. Tujuannya hanya satu. Ia harus tahu apa sumber kehebohan ini, ia harus menyingkirkan kekhawatirannya yang makin memuncak, dan ia harus memastikan kalau bocah itu—

“Nona, awas!”

.

.

—semuanya merah.

.

.

Re hanya bisa melihat satu warna itu, dominan merah gelap yang membanjiri lantai depan gedung teater. Pemandangan yang seketika membuat ia sedikit limbung, abaikan fakta bahwa salah seorang penonton baru saja memperingatkannya untuk tak mendekat. Oh, Re tak ingin mendekat, sungguh! Kalau bisa, ia malah ingin berlari dari sana. Memejamkan matanya, melupakan semua gambaran yang telah terekam dalam memori. Tapi, bisakah ia?

Bisakah ia, ketika yang ada di depan tatapnya saat ini adalah kepala si lelaki pesulap yang tergeletak tanpa daya?

Bisakah ia, melupakan guillotine yang berdiri gagah dan seolah mengejek tubuh yang terbaring di sana—tubuh berbalut sweter hitam yang tak akan lagi bisa bergerak?

Dan bisakah ia, merelakan fakta bahwa tubuh bocah itu tak akan mungkin disatukan kembali, tak seperti trik-trik sulap lain di mana terpotongnya raga hanyalah ilusi?

Bisakah ia….

Tidak.

Tanpa perlu diberitahu pun, Re tahu jika dirinya tak akan bisa melupakan pemandangan kejam ini. Sebuah akhir yang pastinya tidak diinginkan oleh siapa pun, namun ia gagal mencegah semua itu untuk terjadi. Ia telah menyia-nyiakan kesempatannya, ia sudah membuat anak lelaki itu melakukan trik sulap yang berakibat fatal. Kendati orang lain pasti akan berkata kalau ini bukan salahnya, tapi Re tidak bisa merasa demikian.

Bagaimanapun juga, gadis itu percaya bahwa tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini.

Pertemuan malam itu, kala si pesulap memilih untuk meletakkan seekor burung di pundaknya demi membuka pertunjukan, adalah sebuah pemicu. Perjumpaan yang mungkin memang hanya sepintas dan terkesan tidak penting, tetapi mampu menghasilkan efek yang besar dan tidak dapat diperbaiki kembali. Semua ini layaknya sayap kupu-kupu yang terkepak pelan, yang terlihat tidak bersalah maupun berbahaya, tetapi diam-diam dapat memanggil angin topan dan menghancurkan segalanya.

Padahal, semua ini tak seharusnya terjadi. Semisal Re tidak memaksa anak itu dan memilih untuk menggunakan pendekatan yang berbeda, apakah ia masih akan hidup? Apakah Re akan bisa menariknya dari pengaruh Nox, lantaran gadis itu diam-diam sudah berprasangka bahwa ada sesuatu yang janggal dalam kedekatan Nox dan si bocah lelaki? Bisakah ia memberikan kehidupan dan kesempatan yang lebih baik, mengubah kepakan sayap kupu-kupu tadi menjadi embusan angin sejuk alih-alih badai topan?

Seharusnya aku bisa, batin Re menjawab, selagi ia susah-payah membalikkan tubuh dan memejamkan kelopaknya erat-erat. Aku bisa, tapi apa gunanya semua pemikiran itu saat ini? Yang sudah terjadi, tidak akan bisa diulang kembali, bukan? Kesalahanku mungkin memang kecil, tetapi jika dampaknya sebesar ini, aku bisa apa?

Aku tidak bisa apa-apa.

Ya, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Menangis atau menyalahkan diri toh tidak akan memperbaiki yang telah rusak, juga mendatangkan kembali apa yang telah hilang. Ia tidak berdaya, dan segala skenario yang tadinya telah disusun pun lenyap sebelum bisa dijalankan. Untuk kali ini, sang gadis terpaksa mengakui bahwa niat baik tak selamanya membawa hasil serupa. Bahwa hujan yang mulai turun menderas di Rivory adalah wujud tarian kemenangan Nox, bahwa lelaki itu diam-diam tengah mengamati segala sesuatunya sembari menikmati jiwa Jungkook sebagai makan malamnya.

Kegelapan menang, dan Re tahu itu lantaran dirinya baru saja mendengar satu bisikan dingin dan kelam bergema di dalam pikirannya.

.

.

.

“Terima kasih atas kegagalanmu, Nona.”

.

fin.

 

17 tanggapan untuk “[Oneshot] Butterfly Effect”

    1. KAK AMER AKU KEMBALIIIIIIII.

      Ini so menyedihkan tapi so menyenangkan juga aku suka cerita-cerita genre fantasy kakaaaakkk! Selalu punya kesan nyaman yang bikin betah bacaaa. Terus di sini karakter masing-masing tokohnya seru kak si Jungkook juga. Kan dia masih muda tuh dan pastilah ada pergolakannya dan kakak nampilin itu pas bgt di siniiii kusenanggg membacanyaa.

      Endingnya sedih dan sukses bikim kaget tapi aku tetep sukaa. Malah lebih sukaa. Aku lagi mencandu cerita-cerita yang karakter utamanya death juga sihhhh. HAHAHAHA Ini bagus sekaliiii! Seneng bisa baca tulisan kak amer lagi dan bisa komen lagi meskipun komennya pointless tapi semoga bisa mewarnai hari kakmer haha

      Aku suka iniii
      ps : TSUKIYAMARISA JJANG ❤

      Suka

  1. Hah? Jadi?
    Sudah kuduga..dugaanku sih si Re udah tau tentang Nox. Makanya dia coba hentiin Jungkook. Tapi kasihan Jungkook akhirnya mati juga, dan sang ibu masih acuh.
    Aku suka banget sama gaya bahasanya, ide ceritanya, pokoknya ini keren @-@/

    Suka

  2. Harusnya ibu kookie aja yg dipenggal
    Huaaaaaa….kasian dedex kookie
    Keren saeng… Kirain bakal mengulang hari kyk film holly berjudul sama gak taunya lbih serem dan sad ending
    Keep writing ya
    Ahra eonni

    Suka

  3. AAAARGHHHHH KENAPA SETELAH SEKIAN LAMA…. AKU ABAIKAN TULISAN KAK AMER…. MALAH JD MAKIN BAGUS GINI HADUH GA NGERTI GA NGERTI.

    sedih bacanya, emang jungkooknya juga sih yg naif ya, bocah banget dah. 10 thumbs up deh buat tsukiyamarisa. Terus berkarya dalam barisan kata ^^

    Suka

  4. Jadi.. well, aq lagi demen2nya sama si golden maknae Jeon Jungkook dan begitu aq tau ada nama dia yg nongon di blo sekeren IFK, suer gw gk pernah ngeklik secepat gw ngeklik judul fic ini>< ugh udah seneng bgt si fetus jeon nongol juga sbg cast utama dari salah satu author kecenya ifk, dan lebih2 udah berekspekatsi tinggi bakal semacem apa ceritanya
    Dan
    Dan
    ……….
    Goshhhh udah menduga begitu ditengah cerita gak bakal berakhir baik buat Jungkook ㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
    dan itu adegan puncaknya bikin gw jadi ugh! Jeon Jungkook 😰
    lain kali pliss tulis nasib Jungkook yg baik2, kasian itu anak penyendiri butuh garis takdir yg mewarnai hidupnya huhuhu

    Suka

  5. keren kak! aku suka!! >,<
    tapi aku mau komen dikit boleh? hehe ._.v aku ngerasa ada yang agak mengganjal gitu pas mau bagian ending. gatau sih kayak tiba-tiba selesai aja gitu deh kak…
    meski begitu aku suka sih ama fanfic2 bikinan kakak. keep writing ya, kak amer!! ^^9

    Suka

  6. uwaaaaa, walaupun I’m late -pake banget- but ceritanya keren!!
    aku pikir tadinya si jeka mau bunuh ibunya ato mreka ketemu di ending,tapi nyatanya malah jeka yang kebunuh huhu

    Suka

  7. Aku yg telat bisa apa, juga? T.T ini bener2 bikin sesak seketika. Nox oh Nox perlu ku apakan dirimu, dari awal aku emang udah curiga sama kaw >_< / selamat kak udah berhasil bikin aku sesek napas, plus ikut cekitcekitnya. huhu T.T

    Suka

  8. Seruuuuu banget kak, Re ternyata baik banget. Awalnya aku emang udah aneh sama si nox, tapi ternyata bener kalo dia bakal kasih pengaruh jelek buat jungkook. Tapi kalo jungkook mati berarti tokoh utama nya si re ya kak?

    Suka

  9. AAAAAAAA BERASA PENGEN NYUMPAH SERAPAHI KAK AMER PAS LIHAT “FIN” TT.TT Kenapa Mas Kookie-ku berakhir na’as /oke ini berlebihan/

    Ada satu diksi yang aku gak tau artinya kak, konsem… /sialan aku lupa/ aku lupa kakkk T.T udah abaikan aja deh .-. Yang jelas aku selalu suka sama diksinya kakak (*-*)/\

    Sialnya pas Re bilang kalo Kookie bisa nyari bakat, aku pikir endingnya nanti Kookie bakal ninggalin dunia sulap dan jadi penari atau penyanyi (kayak aslinya dia) tapi ternyata T.T /masih gabisa menerima sad ending/ dan kenapa aku sama sekali gak sadar kalo Nox itu jahat sama kookie u.u

    Btw, apa sih yang dipengenin Nox, kak? Kenapa Nox bunuh Kookie? Terus di akhir pertunjukkan itu Nox sama Kookie tampil bareng, kan? Aduh aku masih penasaran kenapa Kookie bisa mati dan Nox suka x.x

    Itu aja deh kak, aku akan selalu nunggu karya kakak selanjutnya~ ^^

    Suka

  10. kok aku penasaran trik sulap apaan yang dimainin jungkook sampe2 kepala sama badannya jadi misah gitu hu
    ini sedih. puas banget sama endingnya duh x)) semangat terus kakak, keep writing!

    Suka

  11. KAK AMEEERRRR INI KEREN BANGET GILAAAKKKK!!! AAAKKHHHH kupikir setelah diputer-puter dan disiksa /?/ sedemikian rupa, bakalan ada happy ending buat jungkook :” tapi ternyata…. aaarrrgghhh tidaaaakkkk T.T
    kasian banget jungkook :” dia cuman mau perhatiaan mamanya tapi … mama jungkook is really –”
    seriusan deh pas bagian re dateng dan liat semuanya merah … KYAAAKKK AKU MENJERIT INI … huwaaaa :”
    sukak banget lah :” diksinya kak amer mah ga usah disebut lagi xD tapi top dah!!~
    keep nulis kak ameeeerrrr :* :*

    Suka

  12. Oke, ini emang telat. Tapi demi Tuhan, cerita ini kelewatan bagusnya. Dari tadi scroll atas sampe bawah cari ff oneshot, ada nama si golden magnae akhirnya aku klik juga. Dan ini…..damn good!!

    Buat authornya, bisa nggak kalau bikin cerita jangan bagus² #bercanda kok 😁😁😁
    Semangat terus berkarya!

    Suka

Tinggalkan Balasan ke ufanabila Batalkan balasan