Make You Feel My Love (Time to Forget) (Chapter 1)

make-you-feel-my-love-poster

||Title : Make You Feel My Love (Time to Forget) ||Scriptwriter: Scarlett Li ||

||Duration: Chaptered ||Rated : PG 13 ||Genre : Romance, Friendship, AU||

|| Main Cast : Song Hwasung, Byun Baekhyun || Support Cast : Han Seonjoo, Xi Luhan||

Disclaimer : Sequel in Song Hwasung’s side from the fiction Make You Feel My Love.

Summary :

“Kau sudah bertahan dari tujuh tahun yang lalu. Dan kau memperkuat dirimu dari tiga tahun yang lalu. Lalu mengapa sekarang kau menyerah?”

Warning : May be Typos

First Chapter.

makeyoufeelmylove∞

Now I need to erase the many traces of loving you

Song Hwasung menghela napas sebelum tersenyum tipis. Ia menatap nanar lawan bicaranya. Sementara lawan bicaranya dengan matanya yang memerah—entah menahan amarah atau airmata—menggenggam tangannya erat, tidak menginginkan ia pergi secepat ini.

Seperti biasanya, jantungnya akan berdetak kencang dan sambil menetralisir hal itu, ia menundukkan kepalanya sambil bergumam betapa bodoh dirinya yang masih saja melakukan hal itu. Namun sekarang, secepat apapun jantungnya berdetak, tetap saja menimbulkan rasa sesak begitu kuat di dadanya. Kali ini ia yang meminta untuk tetap disini, bukan orang lain. Tetapi dia. Alasannya untuk pergi adalah dia, tapi bagaimana jika orang itu malah memintanya untuk tetap tinggal?

Walaupun berat, Hwasung melepas genggaman erat itu dan tersenyum tipis. “Walaupun kau yang memintaku pun, aku tetap harus pergi.”

“Kemana?” tanyanya gusar. “Kau bahkan belum mengatakan tujuanmu padaku. Apa artinya aku bagimu? Hanya sebagai orang yang kau sembuhkan lukanya? Begitukah?”

Hwasung membasahi bibirnya sambil menunduk dan menggeleng pelan, “Bukan seperti itu.”

“Lalu apa?!” pekik Baekhyun frustasi membuat beberapa orang yang berlalu-lalang disana menoleh cepat pada mereka. Lalu kembali melanjutkan perjalanan mereka.  Atau ada yang masih menatap mereka penasaran. Namun walaupun begitu, Baekhyun tidak peduli. Ia tetap menatap Hwasung dalam. Lalu menghela napas. “Kau membiarkanku merelakanmu untuk pergi begitu saja, begitu? Coba jelaskan alasanmu untuk pergi.”

Hwasung menggigit bibirnya. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia adalah alasannya bukan?

“Angkat kepalamu!” Baekhyun menghembuskan napasnya kasar. “Kubilang angkat kepalamu.”

Hwasung mengangkat kepalanya takut-takut. Mata Baekhyun berkilat-kilat diantara matanya yang memerah itu. Disaat-saat seperti ini, Baekhyun memang terlihat menakutkan. “Baekhyun, aku…”

“Apa?! Setelah menyembuhkanku, kau menaruh kembali luka diatasnya. Tidakkah kau tahu bahwa itu sakit?”

Hwasung menatap Baekhyun nanar. Lalu ia menggeleng pelan. Tidak mungkin Baekhyun menganggapnya lebih dari sekadar teman atau sahabat baiknya. Tidak pernah lebih dari itu.

“Kau adalah sahabat terbaikku. Tidak bisakah kau untuk tetap tinggal?”

Hwasung tersenyum tipis. Anggapannya terjawab sudah. Baekhyun seperti ini karena ia akan kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Namun dengan kasus berbeda, untuk sesama sahabat. Ia harus benar-benar mencatat hal itu dalam hidupnya.

“Aku—aku benar-benar harus pergi, Baekhyun.” Hwasung menatap Baekhyun nanar. Walaupun Baekhyun akan menjauhinya setelah ini, ia tidak memerdulikan hal itu sekarang. Cukup ia berpikir untuk hatinya kali ini. “Walaupun kau menahanku, aku memang harus pergi. Bukankah sudah kubilang, setiap superhero ketika sedang menjalankan misinya—”

“Cukup. Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi.” Baekhyun menundukkan kepalanya. Hwasung menghela nafas, tidak berharap hal ini terjadi. Dan memang benar-benar tidak berharap ada hal selanjutnya yang menyakitkan akan datang padanya.

Mungkin julukan pengecut cocok untuknya saat ini. Terlalu pengecut untuk menerima kenyataan, dan terlalu pengecut untuk mengetahui masa depannya. Lalu untuk apa perjuangan menahan itu semua selama empat tahun kemarin? Hah.. ia hanya tidak ingin sakit hati itu bertambah. Mungkin saat ini hanya itu.

“Jadi, Baekhyun…”

“Bisakah kau untuk tetap tinggal? Untukku saja,” potong Baekhyun cepat. Hwasung menunduk lalu menggeleng. Bagaimana sekarang? Alasannya untuk pergi malah memintanya tinggal karenanya.

“Aku tidak bisa.”

Terdengar Baekhyun menghela nafas. “Baiklah. Tapi minimal kau harus memberiku kabar. Harus.”

Hwasung menatap Baekhyun lalu tersenyum kecil. Walaupun ia tidak janji untuk melakukan hal itu, minimal ia bisa menenangkan Baekhyun. “Akan kulakukan.”

“Dan aku harus tahu tujuanmu melarikan diri.”

Hwasung menatap Baekhyun dengan matanya yang melebar. Tidak, tidak mungkin Baekhyun sudah mengetahuinya. Apa? Baekhyun sudah mengetahuinya? Matilah.

“Walaupun alasanmu pergi karena pekerjaan, tapi aku tahu kau ingin melarikan diri. Entah dari apa itu, aku tidak tahu. Tetapi kau harus memberitahuku nanti.”

Hwasung menghembuskan napas kecil. Baekhyun belum mengetahuinya. Dan tidak mungkin ia akan memberitahunya. Minimal untuk dalam waktu dekat.

“Lalu dimana tujuanmu?”

Hwasung tersenyum tipis. “Thailand.”

With just memories, with just my lingering attachments
All of these things don’t have meaning anymore

I want to smile and leave you so you’ll be happy. But when I look at you
All the tears ultimately fall down

makeyoufeelmylove∞

Setelah melihat kopornya sudah muncul, Hwasung buru-buru mengambilnya. Ia ingin sesegera mungkin pergi dari sana dan beristirahat. Segera mungkin. Hwasung mendengus sejenak, lalu menghembuskan nafasnya.

Walaupun sudah lebih dari lima jam yang lalu perpisahannya dengan Baekhyun berakhir, suara serak Baekhyun beberapa jam yang lalu masih membayanginya. Ah, bahkan ia belum menghubungi ibunya saat ini.

Ia merogoh tasnya dan mengambil handphonenya. Setelah ia membuka kuncinya, ia tertegun menatap wallpaper handphonenya sendiri. Dirinya dan Baekhyun. Dan saat itu, ia ingat sekali kalau mereka sedang berada di myeong-dong, tempat padat orang yang berbelanja itu adalah tempat yang menyenangkan saat itu. Apalagi saat itu ia benar-benar melihat Baekhyun tertawa lebar. Setelah itu ia menghela nafas. Ia harus mulai melupakan Baekhyun dari hal terkecil. Seperti ini.

“Hwasung Song from korea?

Hwasung menoleh dan mendapatkan seorang pria tersenyum padanya. Hwasung mengangguk.”Yes, that’s me.”

Pria itu tersenyum lega lalu menggumam menggunakan bahasa yang tidak dimengerti Hwasung. Ah, harusnya ia membawa kamus saku bahasa Thailand. Lalu pria itu menggunakan bahasa inggris kembali. “Aku suruhan dari Luhan Xi untuk menjemputmu. Ikut aku.”

Hwasung tersenyum. “Baiklah.”

Melarikan diri sambil menyibukkan diri dengan hal lain, akan lebih membantu untuk melupakan orang. Bukankah seperti itu?

Dan Hwasung sedang mencobanya.

“Apakah anda sudah melakukan reservasi untuk penginapan di sebuah tempat?”

Hwasung mengerjap mendengar suara pria itu menanyakan hal itu. Hwasung tersenyum kecil. “Ini adalah perjalanan pertama kalinya aku berada di Thailand. Jadi aku belum terlalu mengenal banyak tentang semuanya.”

“Aku mengerti. Sebenarnya kami juga sudah menyiapkan satu kamar untukmu sebelumnya.”

Ye? Jeongmal-yo?” tanpa sadar Hwasung mengucapkan bahasa korea. Ia tersadar setelah pria itu melirik sekilas kaca spion tengah itu dan menatapnya dengan dahinya yang mengerut, bingung. “Ah, maafkan aku. Maksudnya, benarkah?”

“Ya.”

Hwasung mengangguk lalu menatap jalanan yang ramai dan terik. Ia baru menyadari bahwa tempat ini panas. Tidak seperti di Korea yang sedang musim dingin. Mungkin seperti Philipina, Thailand hanya memiliki dua musim.

“Apakah anda ingin ke suatu tempat sebelum ke penginapan?”

Hwasung mengerucutkan bibirnya, berpikir. Lalu menggeleng pelan sambil tersenyum, “Sepertinya saat ini aku hanya ingin memulihkan dulu tubuhku.”

Pria itu tersenyum. “Baiklah.”

I will forget you.. starting from today

makeyoufeelmylove∞

“Ya, seperti itu. Apa?”

Hwasung merogoh tasnya dan mengambil buku agendanya. Ia membuka buku itu dengan kasar, lalu mendesah setelah menemukan halaman yang ia cari. “Aku tahu, eomma. Ya, aku akan meminum vitaminku. Ya, eomma juga jangan lupa meminum vitamin. Apa? Eomma masih mau berbohong kalau eomma baik-baik saja? Hah. Akan kuhubungi Seonjoo untuk datang setiap hari dan menyodori eomma vitamin. Mwo? Keurae, aku juga tidak akan meminum vitaminku.”

Hwasung menaruh buku agenda itu di kasurnya. Ia berjalan menuju balkon. Ia membuka pintu balkon itu dan tersenyum lebar saat sinar matahari itu mengenai kulitnya. Ia tidak akan mendapatkan hal ini di Korea dalam waktu dekat. Ah, lagipula siapa yang akan ke Korea dalam waktu dekat?

“Baiklah, itu tandanya eomma setuju denganku. Geurae, akan kututup telfonnya. Jangan terlalu banyak bekerja. Eomma juga harus memerdulikan kesehatan sendiri. Aku tidak bisa memantau eomma sekarang, jadi eomma harus peduli dengan kesehatan sendiri, oke?”

Hwasung hendak menutup pintu balkon dan terhenti ketika perkataan ibunya membuatnya terdiam. Ia menggigit bibir, lalu tersenyum kecil dan menutup pintu balkon itu.

“Ya, aku sedang berusaha.” katanya. Setelah ibunya mengatakan hal lain, itu membuat lidahnya kelu. Mengapa ibunya mengetahui pikirannya? “Eomma… aku… “

Ia menghela nafas saat ibunya mengatakan sesuatu lagi. Ia menggigit bibirnya, menahan hasil dari kelenjar air mata itu untuk keluar. Ia mengangguk, walaupun ibunya tak akan melihatnya. “Ya, aku tahu. Aku memang harus melupakannya. Dan eomma pasti tahu bahwa hal itu sulit bukan?”

“Ya, aku akan menghubungi eomma lagi nanti.” Ia mematikan hubungan dan mendesah lalu duduk asal di pinggir kasurnya.

Ia menatap handphonenya. Wallpaper yang masih sama seperti di bandara tadi. Ia belum sempat menggantinya. Ia mendongakkan kepalanya, lalu menghembuskan nafas berat. Tujuannya berada disini adalah melupakannya. Dan ibunya pun berkata hal yang sama. Baru saja ia ingin menaruh handphonenya di meja nakasnya saat handphonenya itu tiba-tiba berbunyi.

Baekhyun’s calling.

Ia menghela nafas lalu mengangkatnya. Ia harus menghadapinya.

“Yeoboseyo, Sungie? Ini aku.”

Hwasung mengigit bibirnya. Nafasnya terasa tercekat kembali setelah mendengar suara ini.

“Ya, aku tahu. Ada apa?”

Hening sejenak, lalu terdengar sahutan, “Bagaimana Thailand?”

“Tidak begitu buruk. Disini memiliki musim yang tropis jadi aku bisa merasakan panasnya matahari sekarang.”

Terdengar suara kekehan disana. Dan itu cukup membuat jantung Hwasung berdegup kencang.

Semoga kau merasa senang berada disana.

Hwasung mengernyitkan dahinya, lalu menghela nafas. “Tentu saja.”

Baiklah, selamat sore. Ah, disana masih sore bukan?

“Ya, selamat sore.”

Ia menggigit bibirnya dan menatap kedepannya dengan kosong. Dan setelah itu, ia tahu, tidak mudah melupakan seseorang yang kau cintai dengan sepenuh hati.

Love is always like this

It fades away after some time

Can’t even remember it

makeyoufeelmylove∞

Hwasung memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tasnya. Ia tertegun sejenak, lalu menepuk dahinya dan membuka kopornya dan mengacak isinya—ia tidak peduli lagi dengan kusut bajunya nanti saat itu—lalu menghela nafas lega setelah menemukan tabletnya.

Jika karena kelelahan mencari bahan-bahan yang mendadak untuk hari ini—karena seharusnya meeting diadakan lusa—ia tidak akan terlambat. Aish, mengapa direktur itu terlalu terburu-buru?

Sebenarnya diawal saat ia mengatakan kepada Baekhyun bahwa ia akan pergi, sebetulnya ia sendiri pun tidak tahu tujuannya saat itu. Karena bodohnya, pemikirannya itu keluar begitu saja. Tetapi tiga minggu setelah itu—beberapa minggu yang lalu—salah satu teman di perusahannya pindah kerja ke Jepang, dan ia dilepaskan dari pekerjaan yang tengah ia geluti. Yaitu membuat sebuah restoran yang terkenal yang baru saja membuka cabang di negara asalnya, China, Menuju Thailand. Sebenarnya yang harus ia bereskan hanya 60 persen dari pekerjaan yang sudah temannya buat. Bahkan pembangunan restoran itu sudah berjalan—hingga saat ini restoran itu sudah 75 persen jadi—jadi ia hanya mengurusi bagian-bagian dalamnya—dan memang itulah keahliannya.

Dan hari ini, Xi Luhan, si pemilik restoran itu, memintanya untuk mengetahui secara kasar hal yang harus ia lakukan. Meeting kecil, bisa dibilang. Walaupun begitu, meeting kecil kali ini bisa dibilang mendadak. Karena pria itu—ia bisa mengetahui jenis kelamin direktur itu dari suaranya—baru mengabari tentang meeting mendadak itu pukul 7 malam. Apakah tidak gila? Sepanjang ia menyiapkan bahan meeting, Hwasung menggerutu tentang direktur itu.

Ia melambaikan tangan dan seketika mobil yang berwarna kuning tertera “TAXI” itu berhenti. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam taksi itu. Dan seketika aroma classic menyentuh indera penciumannya. Saat mobil berjalan dengan kecepatan rata-rata, supir taksi itu berkata sesuatu dengan bahasa Thailand. Sungguh, ia memang benar-benar harus membawa kamus kecil bahasa Korea – Thailand.

I’m sorry? Sir, what are you talking about?

Pria itu kembali berkata dengan bahasa yang tidak dimengertinya. Ia menggeleng, lalu matanya berbinar mengingat sesuatu. Ia merogoh tasnya dan mengambil handphonenya. Ia membuka pesan alamat dari direktur Xi dan mengatakannya kepada supir itu. Sang supir mengangguk, lalu menjalankan mobilnya.

makeyoufeelmylove∞

Hwasung mengangkat tangan kirinya, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dengan manis menunjukkan waktu sepuluh menit lewat dari waktu perjanjian. Jam tangan mungil itu tadi malam sempat menjadi korban amukannya karena direktur itu. Dan walaupun tidak rusak, jika dilihat lebih jauh, jam tangan itu agak retak di bagian kacanya. Dan akhirnya, ia merubah waktu di jam itu, mengondisikan waktunya seperti di negara ini.

Mata Hwasung menerawang sebuah kedai roti di pusat kota. Memang agak ramai, sehingga agak sulit menemukan direktur menyebalkan itu. Aish, ia bahkan tidak menanyakan ciri-ciri dari pria itu.

Ia merogoh tasnya dan mengambil handphonenya. Mencari kontak direktur itu lalu menghubunginya.

“Halo, sir. Ya, aku sudah berada di tempat. Oh, 18? Baiklah.” Ia menggenggam ponselnya dan menatap sekeliling. Dan saat ia menemukan sebuah angka 18 di meja yang berada di pusat ruangan, ia menghela nafas dan berjalan menuju meja tersebut.

Dari belakang, pria itu sepertinya benar-benar berkelas. Dan sekilas, Hwasung menyukai potongan rambut direktur itu. Oh, yang benar saja.

Hwasung menunduk sekilas dan mengerjapkan mata saat menatap direkturnya itu. Apakah ia sedang bermain-main? Yang benar saja, inikah direktur yang selalu ia kata-katai. Apa? Bahkan pria ini seperti seorang anak sekolah menengah tinggi yang selalu berkunjung ke kedai roti ibunya.

“Kau boleh duduk.” suara itu memang suaranya. Suara yang hanya ia bisa dengar tanpa mengetahui rupanya. Kini bahkan ia mengetahui wajahnya. Ia mengerjapkan matanya. Oh, baiklah. Jangan terlalu norak dengan semua ini. Jaman sekarang ini sudah banyak anak muda yang lebih sukses dalam karir.

“Sepertinya kau terkejut melihatku. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Hwasung menggeleng cepat. Bukan karena itu ia sampai mengerjapkan mata. “Bukan seperti itu. Aku hanya…”

“Tidak menyangka seorang direktur yang kau temui seperti anak sekolah menengah yang bahkan masih labil dalam pengambilan masalah? Ah, aku sering sekali mendengar hal itu. Bosan sekali mendengarnya.” pria itu memundurkan tubuhnya, menumpukan dirinya pada sandaran kursi. “Tetapi sepertinya kau berbeda. Baiklah, apa pendapatku tentangku?”

Hwasung menelan ludahnya bulat-bulat, lalu menunduk. “Hampir sama dengan yang lainnya.”

Pria itu mendengus. “Ah, menyebalkan sekali.” gerutunya. “Oh, ya. Kau ingin memesan sesuatu? Akan kupanggilkan pelayannya.”

Pria itu mengangkat tangannya dan menjentikkannya ke udara. Setelah beberapa saat, pelayan mendatangi mereka, memberi sebuah buku menu. Dahi Hwasung terus menerus berkerut melihat tulisan bagaikan ular yang meliuk-liuk. Ia mendesah, ia bahkan tidak tahu sedikit pun arti dari tulisan-tulisan ini.

“Mau kubantu?”

Hwasung mengadah, menatap pria itu yang tersenyum—bahkan hampir tertawa, dan yang Hwasung duga, menertawainya—dan mengambil alih buku menu. Pria itu membacanya sejenak, lalu menatapnya. “Apakah kau mau mencoba minuman khas Thailand?”

Hwasung langsung menggeleng cepat. Tidak. Lidahnya belum terlalu kompromi dengan Som tam yang menjadi makan malamnya tadi malam. Ia belum berani untuk mencoba apapun tentang Thailand untuk lidahnya. Tidak, tidak sekarang. Ia belum terbiasa.

“Aku.. apakah ada lemon tea disana?”

Xi Luhan, nama pria itu, menggeleng lalu tersenyum kecil. Hwasung menghela nafas. “Kalau moccachino?”

Luhan terkekeh. “Tidak ada. Apa kau mau kupesankan air putih saja?”

Hwasung mendengus lalu menggerutu menggunakan bahasa korea, dan Luhan pun tertawa melihat tingkahnya. “Apakah ada orange juice?”

Luhan membaca buku menu itu dan menangguk. Hwasung tersenyum senang. Setidaknya, ia tidak perlu hanya meminum air putih seperti yang ditawarkan Luhan. Tunggu, Hwasung terdiam sejenak. Astaga, ia baru ingat pria itu adalah direktur yang merupakan masa depannya. Aish.. mana boleh ia bersikap seperti itu? Manalagi ia mengatainya lagi tadi. Hwasung menghela nafas, setidaknya direktur muda itu tidak mengetahui apa yang ia katakan tadi.

Luhan memberi buku menu itu pada pelayan dan tersenyum sebelum memberikannya. Dan itu cukup untuk membuat si pelayan tersipu. Ah, sedang flirting rupanya. Hwasung menghela nafas, lalu menggumam dengan bahasa korea lagi. Tak apa kan? Lagipula pria itu ttidak tahu maksudnya.

“Bagaimana dengan perjalananmu tadi? Menyenangkan? Atau sempat tersasar?” Luhan tersenyum lalu meminum Cha Dam Yen. Minuman teh tradisional khas Thailand.

“Ah, tidak juga.” Memang ia tidak tersasar, ‘kan? Ia hanya kurang dapat berkomunikasi dengan sang supir taksi tadi.

Xi Luhan menganguk lalu menyenderkan tubuhnya. “Oh ya, Hwasung. Sebelum kita melanjutkan meeting kita, aku ingin memberitahumu. Umurku dua puluh tujuh. Dan aku tidak suka dikatai seperti tadi. Walaupun kau terlihat begitu lucu tadi dengan bibirmu yang bergerak-gerak tak karuan itu.”

Hwasung menutup mulutnya dan menatap Luhan dengan matanya yang melebar kaget. Apakah Luhan bisa membaca pikiran orang? Tunggu, sepertinya bukan itu. Dan pertanyaannya terjawab saat Luhan mengatakan sesuatu.

Kajja, mari kita mulai.” Luhan mengatakan bahasa korea dengan baik dan senyum tersungging di bibir tipisnya.

Dan Hwasung menghela nafas kaget. Matanya membulat, lalu selanjutnya ia menghembuskan nafas pelan. Seharusnya ia mempunyai kemampuan membaca pikiran orang lain.

makeyoufeelmylove∞

Hwasung menghela nafas dan membaringkan tubuhnya pada kasur. Tasnya? Entahlah, ia bahkan lupa bahwa tas itu dilemparnya dua menit yang lalu. Yang kini ia pikirkan adalah bagaimana cara memulihkan tubuhnya untuk persiapan besok.

Ini semua karena Direktur Xi. Hwasung mendengus.

Jika selanjutnya pria itu tidak memberinya “tour Thailand” buatannya, ia tidak akan pulang selarut ini. Minimal, tadi sore ia sudah sampai di apartemen.

“Ada apa sih dengan pria itu?” Hwasung mendengus dan beranjak menuju dapur. Membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Hah… sepanjang perjalanan tadi ia hanya meminum sesuatu yang manis. Dan sedari tadi tenggorokannya kering sekali. Direktur Xi itu…

Kalau saja tadi pria itu tidak mendengar umpatannya, tidak tidak, kalau saja ia tidak mengumpat tentang pria itu, pasti ia tidak akan menerima ajakan ini—karena tadi ia mengajak dengan alasan permintaan maaf. Sialan.

“Hmm… baiklah, aku setuju. Besok kau ikut bersamaku ke lokasi.”

Hwasung mengangguk dan diam-diam menghela nafas. “Baiklah.”

Xi Luhan tersenyum sambil menutup map dan menatap Hwasung. “Kita pergi sekarang.”

“Y-ye?” Hwasung membulatkan matanya.

“Sebagai permintaan maafmu tadi.” Xi Luhan tersenyum tipis, “Lagipula ini tidak buruk juga untukmu. Hanya temani aku keliling kota.”

Hwasung duduk di sofa dan mengamit remote tv. Lalu menekan asal salah satu tombol. Ia menghela nafas, mana lagi besok ia harus ke lokasi untuk perincian lainnya. Ia benar-benar harus tidur secepatnya malam ini.

Hwasung beranjak bangun, hendak membersihkan tubuhnya. Namun matanya terpaku sat melihat tasnya yang setengah terbuka dan isinya setengah bagian keluar, termasuk ponselnya.

Ia harus menghubungi ibunya, dan Baekhyun. Sekadar memberi kabar.

Entahlah, ia agak ragu untuk orang yang terakhir. Jika alasannya berada disini untuk melupakannya, jadi untuk apa ia menghubunginya?

“Halo, eomma.”

Hah.. baru sekarang kau menghubungiku. Tadinya aku sempat berpikir untuk menyusulmu. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah meminum vitaminmu?

“Aish. Eomma cerewet sekali,” gerutu Hwasung lalu tersenyum lebar. “Semuanya baik-baik saja. Meeting tadi berjalan dengan baik.” Walaupun direkturnya agak menyebalkan. “tentang vitaminnya… eomma sudah meminum vitaminnya juga belum?”

Anak ini. Aku yang bertanya duluan malah kau bertanya kembali. Sudah, aku sudah meminumnya. Lalu bagaimana denganmu? Jangan bilang kau belum meminumnya.

“Benarkah? Aku akan menanyakan kepada Seonjoo sehabis ini. Kalau eomma berbohong, aku tidak akan meminum vitaminku besok-besok. Ya, aku sudah meminumnya. Kekeke.”

“Aigoo, anakku mengancamku? Tsk. Ya, tanyakan saja pada temanmu itu. Kau tahu, ia seperti perawatku hari ini. Jika tidak ingat kau, ingin sekali kumuntahkan obat-obat itu.

“Aish, eomma. Arasseo. Kututup telfonnya ya.”

Baru saja hwasung hendak menekan tombol merah di layar ponselnya itu, ibunya segera berseru. “Hmm. Hah, Sungie!”

Nde? Ada apa lagi?”

Bagaimana dengannya? Apakah kau baik-baik saja?

Suara ibunya melembut saat membicakan hal ini. Dan Hwasung sangat tahu siapa maksud ibunya itu. Byun Baekhyun, tentu saja. Hwasung menghela nafas. “Membaik. Eomma, sepertinya pelarian ini akan berhasil.”

Terdengar suara helaan nafas yang berat darisana. “Yah, eomma harap begitu. Dan tidak ada sejarah pelarian seperti ini lagi.” Hening sejenak. “Baiklah, jaga dirimu. Minum vitaminmu. Dan segeralah pulang.”

Hwasung terdiam sejenak, lalu menghela nafas dan menatap langit-langit kamar. “Ya, eomma. Jaga dirimu juga.”

Tik.

Semuanya berlalu begitu saja. Hwasung menghela nafas. Jika saja ia bisa menyimpan dengan baik perasaannya, semuanya tidak akan seperti ini.

Baru saja Hwasung menutup matanya, ponselnya berdering. Hwasung menghela nafas dan meraba sofa, mencari ponselnya. Hwasung mengintip display name di ponselnya, lalu menekan sebuah simbol.

Yeoboseyo?” Hwasung mengangguk. “Ya, aku tahu. Ada apa?”

Setelah mendengar jawaban dari seberang, Hwasung membuka matanya. “Benarkah?” Hwasung terdiam sejenak. “bukankah itu bagus?”

Hmm, kau benar. Dan kau tahu? Mereka sangat mengagumi design dan interiornya. Apakah kau senang?

Bibir Hwasung terangkat naik. Tentu saja. Itu adalah karyanya. “Pasti mereka sibuk sekali.”

Seonjoo terkekeh. “Tentu saja. Sampai-sampai Kyungsoo meminta bantuan Joonmyun oppa. Kau bisa bayangkan betapa sibuknya mereka bukan?

Hwasung ikut terkekeh. Ia membayangkan wajah orang-orang ibu penuh peluh dan masih banyak hal yang harus mereka lakukan lagi. Apalagi Joonmyun oppa. Hwasung terkekeh sendiri memikirkan wajah pria itu yang benar-benar kusut.

Lalu, Sungie, bagaimana Thailand? Kau belum menceritakannya padaku kemarin.

Hwasung terdiam. Pernyataan yang sama. “Yah, begitulah. Karena Thailand adalah tempat yang tropis, jadi aku bisa merasakan hangatnya matahari.” Hwasung menghela nafas, bahkan jawabannya sama. Tiba-tiba dadanya terasa memberat. “Lalu bagaimana disana? Apakah saljunya sudah turun?”

Heum, sudah. Pada malam kemarin.” Seonjoo terdiam sejenak, lalu terdengar gadis itu menghela nafas. “Harusnya kau merasakan dulu salju pertama baru boleh pergi.”

Hwasung terkekeh. “Aku sudah dua puluh empat tahun merasakan salju pertama di korea. Jadi kehilangan sekali pun tidak apa-apa.” Hanya sekali. Hanya untuk melupakan Baekhyun.

Setidaknya kau harus bertahan lebih lama disini.” Seonjoo mendesah berat. “Kau harus secepatnya kembali, dan melupakan semuanya.”

Justru ia ingin secepatnya melupakannya. Melupakan segalanya.

“Kau merindukanku, ya? Aish, arasseo. Kau sendiri yang berkata begitu padaku. Aku akan segera kembali. Tapi aku tidak janji dalam waktu dekat, ya?”

Itu sebuah janji bukan? Kupegang janjimu.

“Ya, aku akan segera kembali.” Hwasung terdiam. “Baiklah, kututup telfonnya ya.”

Sungie.” Seonjoo memanggilnya.

“Hm?”

Kau sudah bertahan dari tujuh tahun yang lalu. Dan kau memperkuat dirimu dari tiga tahun yang lalu. Lalu mengapa sekarang kau menyerah?

“Bukan menyerah,” tandas Hwasung. “aku hanya ingin memperistirahatkan diriku, dan mempersiapkan diriku untuk lebih kuat nantinya. Kita tidak tahu masa depan, jadi aku mulai mempersiapkannya dari sekarang. Dan mungkin saja aku bisa menemukan cinta baruku disini.” Hwasung terkekeh.

Tapi Seonjoo tidak peduli dengan gurauannya. “Lalu mengapa kau tidak menyatakannya saja padanya?

Hwasung tersenyum kecil. “Aku sudah pernah. Hai, bukankah sudah pernah kuceritakan padamu?”

Sudah? Apanya yang sudah? Baru saja aku ingin meminta cerita banyak darimu, tapi kau mau pergi begitu saja. Padahal kita sudah delapan bulan tidak bertemu.” terdengar nada kaget Seonjoo. “Lalu bagaimana tanggapannya?

Hwasung terkekeh, lalu menghela nafas. “Ia menganggapku hanya bercanda. Dan kubiarkan semuanya seperti itu,” Hwasung terdiam sejenak, “kupikir saat itu lebih baik semuanya seperti itu. Karena saat itu aku tidak peduli dengan status. Jika aku bisa bersamanya tanpa hubungan terikat, aku bahagia.”

Seonjoo terdiam sejenak, lalu menghela nafas. “Baiklah. Mungkin saat ini yang kau butuhkan adalah istirahat. Jangan bekerja terlalu berat. Dan jangan berusaha keras untuk melupakannya, karena itu malah bisa berbalik membuatmu tambah mencintainya.”

Hwasung menghela nafas, lalu tersenyum. “Ya, aku mengerti, ahjumma.”

Suara tawa sumbang Seonjoo terdengar. “Aish kau ini.” suara Seonjoo agak sengau sekarang. “baiklah, selamat beristirahat. Aku menyayangimu, sungie~”

Tik.Kedua kalinya.

Baru saja Hwasung menurunkan handphonenya, benda itu berdering lagi dan bergetar. Hwasung menghela nafas lalu mengangkatnya. “Ada apa lagi Joo-ya? Ah, aku tahu kau masih merindukanku, tapi—”

Sungie?”

“aku tidak punya banyak waktu.” Hwasung terdiam sejenak, lalu menurunkan ponselnya. Ia menutup mulutnya lalu memukul kepalanya yang bekerja agak lamban. Bagaimana ia tidak bisa mengenali suara itu?

“Mati saja aku.” gumamnya.

Sepertinya kau sudah mengenali siapa penelepon ini bukan?” terdengar suara kekehan darisana. “ini aku. Baekhyun.” lanjutnya. Hwasung menghela nafasnya dalam-dalam. Ia harus mendengar nama itu lagi. Dan terlebih, suara itu.

“Ya, aku tahu.” Hwasung menggigit bibir, bingung harus berkata apa. “maafkan aku. Kukira tadi orang lain.”

Seonjoo?” tebaknya, lalu dijawab gumaman Hwasung. “Dia berkunjung ke kedaiku tadi, apa ia mengatakannya?”

Berbicara sesuatu yang terlalu basa-basi. Terasa aneh. Apalagi untuk sahabat seperti mereka. Itu semua terdengar agak… rumit.

“Ya, aku tahu.” katanya kemudian. “Ia membicarakan kesibukan kalian.”

Dia tidak berbicara macam-macam untukku ‘kan?”

Salah satu alis Hwasung terangkat. “Memangnya kenapa? Ada apa denganmu?”

Pria itu menghela napas berat. “Tadi ada banyak sekali gadis, anak sekolah yang datang. Dan setiap kali aku—tidak hanya aku, Sehun dan Jongin juga—mendatangi mereka, akhir-akhirnya mereka pasti meminta nomor telefon kami atau katalk kami.” Baekhyun menghela nafas. “menyebalkan.” lanjutnya

Hwasung menghela napasnya sambil menggigit bibirnya. Ia tahu alasan Seonjoo melakukan hal itu. Dan kini ia tahu, hal itu lebih baik. “Tapi mereka cantik-cantik, bukan?”

Cantik apanya?” Baekhyun terkekeh. Lalu terdiam. “Ah, ada satu. Dia manis.

Hah. Bodoh. Harusnya ia tidak berkata seperti itu. Itu malah membuat napas. Rasa sesaknya semakin menjadi-jadi. “Oh, ya? Bagus kalau begitu.” Hwasung menggigit bibirnya sekekuat yang ia bisa. Tak peduli bibirnya akan berdarah. “Kupikir itu awal yang bagus.”

Benarkah? Kupikir juga begitu.

Hwasung menghela napas, lalu berjalan dan menatap dirinya di depan cermin. Seperti yang ia duga, bibirnya berdarah. Ia sudah sekuat tenaga menahan airmatanya. dan kini airmatanya menggenang di pelupuk matanya dan jatuh begitu saja? Dengan mudahnya? “Ah, Baekhyunie. Sepertinya aku harus… mempersiapkan bahan-bahan kerjaku untuk besok.” Hwasung terdiam sejenak. “Ya, seperti itu.”

Helaan napas kecewa terdengar. Baekhyun. “Padahal aku masih ingin berbicara banyak padamu.”

“Kau bisa mengatakannya padaku besok.” selanjutnya, Hwasung menutup mulutnya. Bodoh, itu membuka kesempatan untuk Baekhyun agar bisa menghubunginya untuk besok, dan seterusnya.

“Benarkah? Kutunggu janjimu besok. Baiklah, selamat beristirahat. Jangan lupa untuk memimpikanku, ya.”

Hwasung tersenyum tipis, dan selanjutnya meringis.

Hwasung menghela napas sambil menatap handphonenya. Jika seperti ini, bagaimana ia bisa melupakan Baekhyun?

makeyoufeelmylove∞

Halo. Masih ingatkah dengan saya? Dan kali ini, saya lega banget karena akhirnya kepost jugaaa *elap keringet* Pertama, maaf karena ini lebih ke Hwasung’s side. Bukan Baekhyun’s side atau keduanya. Karena aku pengen lebih menguatkan posisi Hwasung disini. Gimana? Kecewa ya? Maaf._.vv

Untuk chapter selanjutnya (masih ada lagi. Kkk) bakal di post secepatnya. Beneran kok’-‘)v

Maaf sebelumnya karena ini udah lama gak di post-post juga. Dan makasih udah nunggu_._ *bow*

Komentarnya ditunggu. Kritik, saran atau lainnya diterima, kok’-‘

Visit my blog : jeasterflower.wp.com

P.S : The lyrics’ taken from Kyuhyun – Love Dust and Park Shin Hye – I Will Forget You (Heartstrings OST)

12 tanggapan untuk “Make You Feel My Love (Time to Forget) (Chapter 1)”

  1. Hwasung cinta ama Baekhyun yg notabene adalah sahabatx,bahkan dia sampe sengaja ‘melarikan diri’ utk menghapus perasaanx itu.dan aq rasa itu nggak mudah,tp bukan berarti nggak bisa ya….hehehe
    Semoga dgn adanya Xi Luhan bisa sedikit membantu Hwasung!

    Suka

  2. Huh berat bnget jadi hwasung,selalu merasakan sakit hati ketika brsma baekhyun.. Semoga dg adax luhan,baekhyun bisa mrasakan bhwa baekhyun juga suka hwasung.. Next chap jgn lma” tor. 🙂

    Suka

  3. huhuhu.. sedih banget T,T
    q ngerti kya gimana perasaan hwasung, soalnya kisah cinta q juga bertepuk sebelah tangan>< *curcol
    pokoknya ditunggu lanjutannya yaa
    hwaiting! ^^

    Suka

Leave Your Review Here!