[Full Of Fear] Lembaran Kelam (2nd)

fulloffearver1

[Full Of Fear] Lembaran kelam (2nd)

A Script by:

Slowlybell (@ranabilah) and Mizuky (@qy_zu)

 

|| Duration: Series | Main Cast: Kim Myungsoo (Infinite), Kim Jun Myeon (EXO-K) | Genre: Brothership, AU! Life, Sad, Hurt/Comfort, Psychology | Rating: PG-15 ||

Summary:

Rahasia dan sejarah ialah satu kesatuan yang saling berdampingan, bukankah begitu?

.

.

Mereka memiliki rahasia kelam di balik masa lalunya, sedangkan sesuatu dengan nama rahasia itu terletak pada masa lampau yang sering kita sebut dengan sejarah.

.

Kau bercerita kepada mereka tentang suatu hal rahasia yang sepele dan di detik berikutnya, cerita dan rahasia itu akan menjadi sebagian dari sejarahmu.

“Tolong pertimbangkan opsiku ini, Myungsoo.”

***

[1]

 

Pagi hari itu Myungsoo disambut tanpa secercah sinar mentari pagi yang biasa menyapa, melainkan dengan kilatan petir yang menggetarkan langit, berikut dengan rinai hujan yang mengguyur hampir sebagian kawasan kota. Myungsoo bersumpah bahwa ia merasa sangat buruk pada kala itu—terlebih jika ia harus bergerak barang sedikit saja.

Peluh keringat membasahi mulai dari dahi hingga ke ujung kaki, pun merembes tepat ke dalam lapisan sprei kasur serta selimut yang menemani malam terburuk sepanjang masanya. Ia merasakan pusing yang begitu kentara, alih-alih berusaha untuk menenangkan diri barang sejenak, sepasang kakinya justru bergerak untuk mendarat di atas permukaan lantai. Spontan tubuhnya menegang, begitu lapisan permukaan kulit kakinya terasa begitu kaku; kedinginan.

Hembusan angin menyibakkan jendela kamarnya yang memang belum terkunci rapat sedari tadi malam, lantas deru angin yang melaju kencang turut menyergap dirinya semakin dalam; membuat Myungsoo mengerang dahsyat lantaran membeku. Deruan napasnya mengepul, mencipratkan jejak putih yang melayang di udara sekitar.

Myungsoo menghela napas sebal, kemudian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan dan beralih kepada pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia yakin pasti bahwa Joonmyeon hyung ada di sini, di Apartemen miliknya. Toh, meskipun sekarang mereka tinggal berpisah, hunian mereka bersebelahan.

.

.

.

“Pagi, Myungs– wah, kau sudah bangun rupanya!” Joonmyeon melangkah masuk ke dalam kamar Myungsoo dengan dua cangkir teh hijau di atas nampan yang dibawakan olehnya. Lalu ia duduk di samping Myungsoo sesaat setelah menaruh dua cangkir tersebut terlebih dahulu di atas nakas.

Matanya pun turut fokus ke arah dua manik yang begitu kelam, sama kelamnya dengan masa lalu si pemilik—Myungsoo. Ia lihat tubuh Myungsoo yang semakin rikih dari hari ke hari. Gradasi warna mata panda pun begitu kentara terlihat di dua kelopak matanya. Joonmyeon masih mengeluh mengapa Myungsoo hanya tidur dengan mengenakan kaus oblong dan sebuah celana panjang hitam yang kelonggaran.

 

Dia tahu dia kedinginan tapi tetap saja pakaiannya seperti itu. Dasar Myungsoo. Dari dulu dia tak pernah bisa merawat dirinya sendiri, batin Joonmyeon

 

“Kau pasti lelah sekali dengan acara kemarin,” gumam Joonmyeon sembari menyeruput satu cangkir teh hijau miliknya. Kedua alis Myungsoo bertautan heran. Ah! Dia ingat sekarang, kemarin adalah tugas yang diberikan bosnya untuk meliput acara konser kecil-kecilan—yang entah kenapa bisa dipadati oleh banyak penonton—yang kebetulan terletak di depan kafe milik Joonmyeon. Bukankah semalam yang merasa begitu penat adalah Joonmyeon?  Myungsoo menggeleng pelan, menepis berbagai pikiran yang membuat sedikit denyutan berputar di otaknya.

 

“Hei, Myungsoo!” Joonmyeon bereaksi bingung ketika menyadari bahwa Myungsoo masih diam seribu bahasa.

“Apa kau bermimpi buruk, Myung?” Joonmyeon bertanya tiba-tiba dengan gurat khawatir yang tersirat jelas sesaat ketika ia melihat keresahan dari sorot mata Myungsoo. Lantas ia sodorkan satu cangkir berisikan teh hijau kepada Myungsoo; berharap dengan lekas ia akan segera membaik.

Myungsoo menoleh, kedua alisnya berjengit bingung. Dengan sigap ia memalingkan muka kembali. Sedikit pongah ia ketika melihat roman iras milik Joonmyeon. Ia merasa tak perlu dikasihani sebegitunya oleh Joonmyeon. Apa aku begitu terlihat menyedihkan?—ia membatin, lantas segera mengambil teh hijau Joonmyeon sebelum membuat hyung-nya itu marah karena Myungsoo tak lekas mengambil teh tersebut.

“Mungkin,” kata Myungsoo diikuti oleh helaan napasnya yang membaur bersama angin. Joonmyeon menyeruput kembali teh hijau miliknya, lalu melirik Myungsoo dengan alis yang tak kalah saling bertaut.

“Apa kau bermimpi tentang mereka lagi?” Myungsoo bisa saja tersedak, jika ia tidak dengan gerak cepat mengembalikan konsenstrasi tubuhnya kembali.

“Kelihatannya begitu, entahlah. Akhir-akhir ini mereka seringkali mampir ke dalam jangka waktu tidurku.” Myungsoo berkata dengan sedikit nada sebal di kalimat terakhir, lalu ia beralih menghirup wangi teh hijau yang begitu menusuk gendang perutnya.

“Kupikir ada sesuatu….” Joonmyeon berkata dengan menggantungkan kalimatnya, yang ditanggapi dengan kerutan di dahi Myungsoo. Apa?

Well, kau yakin mau mendengarnya?” tanya Joonmyeon hati-hati. Myungsoo berpikir sebentar lalu mengangguk mengiyakan; mengapa ia harus susah-susah untuk berpikir ‘kan?

 

***

 

“Ini tentang… err… kau serius?” Myungsoo memutar sepasang bola matanya lalu melirik kembali Joonmyeon. Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba saja Joonmyeon merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh kulit tangannya, telapak Myungsoo.

“Aku menghargaimu, Hyung,” ujar Myungsoo diselingi senyum yang mengembang meskipun tak secerah biasanya. Joonmyeon menarik napas dalam seraya menatap Myungsoo yakin selagi ia memikirkan kalimat yang pantas untuk diutarakan.

“Kupikir.. kau terlalu memaksa Myung—tentang mereka, setidaknya saat kau masih belia dulu.” Joonmyeon sempat melihat ekspresi Myungsoo yang dalam kurun waktu sekejap berubah bingung. Lalu ia kembali melanjutkan,

“Tidak masalah meskipun pada saat ini umurmu adalah 22 tahun, dan kau masih memaksa mereka untuk tetap tinggal dalam naungan atap yang sama kurasa itu cukup masuk akal, mengingat dirimu yang pasti sangat membutuhkan banyak aspek dari beberapa fungsi keluarga.

“Tapi, bukankah kini kau sudah dewasa? Aku bukan bermaksud untuk lancang, hanya saja … kau bilang bahwa mereka sudah berdiri di jalan hidup masing-masing saat kau hampir mendekati usia yang sekarang. Lantas kenapa kau tidak melakukannya, Myung?” Joonmyeon kali ini enggan untuk menatap ke arah Myungsoo, lantaran ia sempat mendengar gertakan gigi Myungsoo yang jengkel.

“Melakukan seperti apa yang kau maksud, Hyung?” Myungsoo bersuara dengan datar. Hanya butuh beberapa saat baginya untuk merasakan bahwa puncak amarahnya sudah tiba di ubun-ubun; jika sudah membahas tentang masa lalu.

Dinginnya udara yang menyelimuti kala pagi tersebut tidak ada membawa dampak rupanya, peluh di dahi Myungsoo semakin membara—begitupula dengan Joonmyeon.

 

Joonmyeon mengupayakan dirinya agar sanggup untuk menerima tatapan hina yang mungkin-mungkin akan dilemparkan oleh Myungsoo. Well, ia memang lebih senang menamai itu dengan ‘hina’ karena ia akan selalu merasa begitu; dihinakan oleh Myungsoo dengan pandangannya yang tajam.

 

Joonmyeon menarik napas dalam semungkin yang ia bisa lalu tersenyum. “Membiarkan mereka untuk menentukan jalan hidup sendiri, bukankah begitu?”

Myungsoo bangkit berdiri setelah meletakkan cangkir teh miliknya, lalu memandang Joonmyeon dengan tatapan mengintimidasi. “Lalu kau pikir apa yang telah kulakukan selama ini? Bukankah itu sudah benar?” Myungsoo mengembuskan napas keras, lalu berjalan ke arah jendela kamar yang membebaskan hawa dingin tersebut masuk menyentuhnya.

Myungsoo berani bersumpah bahwa ia telah membiarkan orangtuanya hidup dengan cara ia sendiri, terbukti dengan kaburnya ia dari rumah 5 tahun yang lalu, kemudian bertemu dengan Joonmyeon dan tinggal bersama dalam kurun jangka waktu tertentu.

 

Joonmyeon mengangkat kepala untuk menatap Myungsoo. Ia baru sadar bahwa wajah Myungsoo lebih pucat dari biasanya, mungkin efek dari mimpi buruk yang berkepanjangan. Sementara Joonmyeon merajut langkah mendekatinya, ia membalas kalimat tanya Myungsoo dengan yakin.

“Kau hanya berkata seperti itu kepadaku, Myungsoo. Bukan membiarkan mereka benar-benar melakukannya, apa kau mengerti?” Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pundak Myungsoo, lalu berujar kembali.

“Pikirlah baik-baik, aku tidak ada niat untuk membuatmu semakin dilanda rasa kebingungan. Aku hanya memberimu sebuah anjuran, alangkah baiknya pula jika kau mau untuk memertimbangkan opsiku ini.” Tangannya menepuk bahu pemuda itu dengan maksud untuk menenangkan. Namun ia masih sedikit cemas, jika saja Myungsoo enggan untuk mendengarkan apa pemikirannya mengenai hal ini.

Joonmyeon tahu bahwa Myungsoo tidak akan berani untuk melakukan tindakan yang gegabah. Ia sendiri paham, bahwa Myungsoo juga tidak akan berani untuk membiarkan rasa amarah dalam dirinya bebas menguasai.

“Kuberikan kau waktu untuk beristirahat sejenak, akan kuurus surat izin ketidakhadiranmu hari ini kepada bosmu. Aku pergi dulu, Chanyeol sudah menungguku di kafe.” Lalu Joonmyeon menghilang di balik pintu, menyisakan tanda tanya yang menggantung dalam benak Myungsoo yang malahan mengembalikan rasa pening yang sebelumnya telah mereda.

 

Myungsoo tidak pernah tahu bahwa pagi hari itu akan dimulai dengan sebuah perdebatan kecil antara dirinya dengan Joonmyeon yang ternyata menguras habis waktu yang tersisa untuknya.

“Menyebalkan.”

 

***

Kilat petir yang menyala di ufuk telah tenggelam oleh secercah cahaya yang timbul dari balik awan, menyembul melalui gumpalan-gumpalan kapas putih yang bertengger di atas langit. Myungsoo berdiri sejenak memandang suasana hiruk-pikuk Seoul yang ditemukannya dari atas balkon. Dinginnya lantai tak jua mampu untuk membuatnya pergi merentangkan kaki dari sana, ia justru bersender di sudut dinding seraya memejamkan mata.

Embusan angin pada pukul sembilan pagi itu tidak semengerikan seperti kala ia bangun tadi. Suasana langit mendadak cerah, dengan bentangan kuas biru yang menyelimuti hampir seluruh lapisan cakrawala di atas. Kawanan burung bersiul, menyambut sang Raja Cahaya yang kini mulai menampakkan diri dari batas tonggaknya.

 

Hyung sialan.” Myungsoo menguapkan kalimat tersebut dengan ekspresi malas yang dibuatnya, mengingat perdebatan kecil yang baru saja terjadi selang beberapa jam yang lalu. Ia berpikir sejenak, menanggapi perkatan Joonmyeon yang hinggap di kepalanya.

“Memikirkan tentang opsinya mengenai mereka? Apa?” Myungsoo mulai merasa jengkel, bukan dengan Joonmyeon atas perkataannya tadi pagi, melainkan dengan dirinya sendiri yang tak tahu harus bertindak bagaimana.

“Sebenarnya apa sih maksudnya?!” rutuk Myungsoo kesal, kemudian bangkit berdiri untuk masuk ke dalam kamar.

 

Myungsoo mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, dengan tiba-tiba tanpa semaunya. Mulai dari lemari besar yang berada di sudut ruangan, jam dinding yang menggantung di dinding kamar,  sebuah ranjang beserta nakas yang terletak berdampingan, serta sebuah rak yang digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan album foto. Tunggu dulu….

 

Album foto?

 

Tak pernah terlintas dalam otaknya bahwa ia pernah menyimpan sesuatu yang bernama album foto, sekalipun. Ia yakin pasti bahwa sesuatu tersebut tak akan pernah ada di salah satu sudut rak yang dimilikinya.

Ini aneh, Myungsoo tanpa sadar berjalan ke arah rak dinding yang bersebelahan dengan lemari miliknya. Lalu menyusuri setiap abjad yang tersusun secara urut di masing-masing buku yang berjejeran rapi di sana, hanya sekadar catatan semasa sekolah atas dan kuliah, juga beragam majalah fotografi yang digunakannya untuk menunjang keahliannya di bidang tersebut.

Entah kenapa Myungsoo justru mengambil sebuah catatan buku yang dikiranya memiliki ukuran kertas A4 bersampul warna merah usang, lalu membukanya secara perlahan. Tertera jelas sebuah nama yang tertulis secara bagus di halaman depan, bertuliskan,

 

Kim Myungsoo’s history

Ia mengernyit heran, merasa terlalu asing dengan bentuk tulisan itu—dari segi ujung manapun. Ia menebak bahwa mungkin ini hanyalah sebuah buku catatan yang digunakannya hanya untuk mencorat-coret asal, ketika ia dulu merasa malas untuk mengikuti pelajaran. Tapi, sebentar… sejak kapan ia memiliki buku sejarah? Tentang dirinya pula?

Lantas dengan rasa penasaran yang kelewat jalur, segera diraihnya lembaran kedua, dan—tanpa disadarinya ̶ tangannya gemetar, tatkala yang memasuki sepasang korneanya tersebut ialah sebuah foto, bukan sekadar sembarang foto, melainkan….

 

Myungsoo kecil beserta keluarganya.

 

***

“I.bu..” Myungsoo saling menubrukkan sepasang sendok dan garpunya ke lapisan piring, sembari bergumam memanggil sang Ibu. Wanita yang tengah menyiapkan hidangan makan malam itupun balas menjawab. “Iya, sayang?”

“Kenapa ayah tidak makan malam di rumah lagi?”

“Ayah sedang sibuk di kantor, mungkin masih banyak pekerjaan,” ujar ibu Myungsoo sembari duduk di kursi hadapan sang Anak. Myungsoo mendengus sebal mendengarnya, selalu saja begitu.

“Tapi aku maunya ayah makan di rumah, Bu….” Myungsoo mulai merengek kepada sang Ibu, berharap bahwa dalam sepersekian detik sang Ayah akan tiba-tiba muncul di depannya segera.

Namun, sepertinya itu mustahil. Myungsoo masih ingat jelas ketika pada pertengahan suatu malam, tiba-tiba ia terbangun dan mendapati suara ayah dan ibunya saling bercakap dengan nada yang tinggi. Myungsoo setidaknya tahu, jika ada dua atau lebih orang yang saling berbicara dengan frekuensi nada yang tinggi—itu tanda bahwa orang tersebut sedang marah.

Semenjak kejadian itu pula, Myungsoo selalu mendapati bahwa hampir di penghujung malam berikutnya ‘mereka’ akan selalu beradu mulut, entah apa alasannya. Sebagai pembalasannya, kursi makan ayahnya pun turut kosong—kecuali di pagi hari tentunya. Tapi ia tak pernah ambil pusing. Ah, masalah biasa.

 

Ia merengut kesal mengingatnya ulang, “Ibu dan ayah ada masalah apa sih?” tanya Myungsoo dengan sungut. Sang ibu segera menyudahi makannya, lalu menatap Myungsoo seraya mengelus puncak kepala anaknya.

“Kamu ini ngomong apa sih, Myungie? Ibu dan ayah gak kenapa-kenapa kok,” balas ibu dengan senyum yang merekah.

Myungsoo dibuatnya kesal, dan di detik berikutnya pun ia beranjak pergi dari tempatnya meninggalkan sang Ibu menuju ke kamar.

Ibu Myungsoo hanya dapat menatap kepergian Myungsoo dengan hati yang rana. Meratapi nasib buruk yang kemungkinan terjadi di kemudian hari.

 

Aku hanya selalu berharap semoga kau diberkati oleh Tuhan, Myung. Ibu selalu menyayangimu. Kau harus tumbuh menjadi anak yang baik dan kuat suatu hari nanti….

.

.

.

 

Hari itu Myungsoo terbangun lebih awal, lantaran sinar matahari yang mengintip masuk lebih cepat dari biasanya. Ia baru saja hendak melangkahkan kaki ke kamar mandi, ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh berasal dari lantai bawah. Piring jatuh?

Dengan tergesa-gesa Myungsoo berlari menuruni anak tangga, dan oh Tuhan ̶

Bekas-bekas pecahan kaca piring berserakan di lantai bawah, tapi bukan itu titik pokok permasalahannya. Ia melihat ayahnya yang mengacak rambut frustrasi sedangkan ibunya yang tengah menangis sesenggukan menatapnyaMyungsoodengan nanar.

Myungsoo bagai dipukul telak tepat ulu hatinya. Ia rasa kakinya sudah gemetar dan tak sanggup untuk menopang berat tubuhnya. Alhasil ia terjatuh ke bawah, dan dikucuri oleh derasan air keringat yang mengalir turun dari dahinya. Napasnya begitu memburu ketika melihat ibunya disakiti lagi oleh sang Ayah. Matanya yang sipit mengeluarkan air mata perih untuk kesekian kalinya.

Perlahan—walau tubuhnya masih bergetar—ia bangkit, dan berjalan terseok-seok mendekati ibunya yang masih bersimpuh di lantai. Ayahnya sudah membuang muka ke arah lain. Sepertinya ia sendiri tak tega melihat anaknya yang harus menyaksikan sendiri pertengkaran mereka.

 

“Ayah, Ibu… kalian sedang apa pagi-pagi begini? Ayah dan ibu sedang main perang-perangan ya? Mengapa ada banyak piring pecah di sini? Dan… mengapa ibu menangis? Jawab aku, Ayah, Ibu!” Myungsoo kecil mulai berani menaikkan seperempat pita suaranya—walau ia hanya menghasilkan kecitan suara yang begitu pelan.

 

Ibunya mengusap air mata yang sudah terlanjur disaksikan oleh Myungsoo berjatuhan dari kedua mata itu. Wanita paruh baya itu tersenyum—dan melupakan rasa sakit yang tengah menderanya—kemudian menyambut Myungsoo ke dalam sebuah pelukan hangat. Wanita berumur itu kembali menangis. Ia peluk anaknya erat-erat sekaligus mencoba untuk menyembuhkan hatinya yang terlanjur sakit.

“Iya, kau benar. Ayah dan ibu sedang bermain perang-perangan. Maaf kalau suaranya terlalu kencang hingga membangunkanmu. Nah, ayo kita bersiap. Nanti kau sekolah, ‘kan?” Ibu Myungsoo lantas mengusap rambut anaknya yang basah akibat keringat. Ia memaksakan tersenyum guna memberitahukan kepada anaknya bahwa keadaan kedua orang tuanya sedang baik-baik saja.

“Cih, sudah siap-siap sana! Dasar anak tak berguna!”

Mata Myungsoo melebar, diikuti oleh jantungnya yang berdenyut begitu cepat. Ayahnya membentaknya. Itu tak pernah terjadi sebelumnya. Kini, ayahnya membentaknya.

 

Kenapa… kenapa Ayah membentakku?

 

Ia melihat ke arah ayahnya yang sudah berjalan menjauhi mereka. Ia tatap lagi ibunya untuk meminta jawaban, namun yang ia dapati hanyalah tangisan ibunya yang pecah. Ia merasa begitu tercabik-cabik akan kenyataan yang baru ia terima kali ini.

Mengapa harus sekarang hal ini terjadi?

 

Mengapa mereka harus bertengkar di saat aku ingin menunjukkan nilai matematiku yang bagus? Kenapa mereka bertengkar? Kenapa mereka harus bertengkar?

 

.

.

.

| 2—E N D |

A/N:

Halo semuanya 🙂 adakah yang menunggu ff ini? Bagaimana menurut kalian? Kami—Mizuky dan Ranabilah—sebagai penulis ingin mengucapkan maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan pembuatan part dua dari ff ini :”) Mohon maklum, dan…

Jika kalian memiliki saran atau apapun, silahkan bisa membicarakannya di kotak komentar ^^ Terima kasih 😀

 

5 tanggapan untuk “[Full Of Fear] Lembaran Kelam (2nd)”

  1. Kira2 apa ya maksud “opsi” yg dibilang junmyun? Apa maksudnya nyuruh myungsoo buat bilang ke ortunya supaya cerai aja. Sedih ya kehidupan myung,dari kecil musti ngeliat ortunya bertengkar terus. Lanjut ya author-nim

    Suka

  2. Aq sdikit ga ngerti omongn suho. Maksud.n it spy myung mbiarkn orangtua.n hidup masing2, pisah, cerai gitu? Aigo~ ga konek gini aq..
    Bener2 menyedihkan myung nih.. //sini aq peluk lagi//ahaha~
    Update soon y!!!

    Suka

Leave Your Review Here!