Arsip Tag: Hoya

Be Back (part 2)

Be Back 2

 Chapter 2 – Page 1 of 365

 Title: Be Back

Scriptwriter: Cehae

 Main Cast: Chloe Yoon ( OC ), Yoon Yejoo ( Actress ), INFINITE Hoya, INFINITE L

 Support Cast This Chapter: All Infinite Member

 Genre: Family, Romance, Angst.

 Duration: Chaptered

 Rating: General / 15

A/N: Suggested Song: 24 Hours – Infinite. Happy reading!

 

*** Lanjutkan membaca Be Back (part 2)

Be Back (Prologue + Chapter 1)

Be Back

Be Back

Title: Be Back

Scriptwriter: Cehae

Main Cast: Chloe Yoon ( OC ), Yoon Yejoo ( Actress ), INFINITE Hoya, INFINITE L

Support Cast: Alice Song ( HELLOVENUS ), Kim Taehyung ( BTS ), and some secret cast.

Genre: Family, Romance, Angst.

Duration: Chaptered

Rating: General /15 

Summary

Karena sebuah rahasia bukan lagi rahasia bila kau tahu. Dan sebuah kenangan bukan kau yang menginginkannya. Karena, terkadang kau ingin mengingatnya tapi terkadang kau harus melupakannya.

Lanjutkan membaca Be Back (Prologue + Chapter 1)

Candy Jelly Love (Chapter 1)

CANDY JELLY LOVE cover

CANDY JELLY LOVE

Title: Candy Jelly Love (Chapter 1) | Scriptwriter: Megumi (@0729yes) | Casts: Kim Myungsoo (Infinite), Ryu Sujeong (Lovelyz) Other Cast : they are showing | Genre: Romance, School, Fluff Drama | Duration: Chaptered | Rating : G

Summary :

“ketika manisnya jelly datang dalam kehidupanmu”

***

Lanjutkan membaca Candy Jelly Love (Chapter 1)

[Oneshot] Only You

only you

Title: Only You

Scriptwriter: Coco

Main Cast:

  • Eunji’s Apink as Jung Eunji
  • Hoya’s Infinite as Lee Howon (Hoya)
  • Sunggyu’s Infinite as Lee Sunggyu
  • Hayoung’s Apink as Oh Hayoung

Genre: Romantic, Comedy, Friendship

Duration: Oneshot

Rating: PG 13

Summary:

Cinta itu susah ditemukan. Jalannya berliuk-liuk tiada akhir. Patah hati. Dendam. Putus asa menjadi korban.

Kita hanya bisa menunggu dan terus menunggu pemberhentian terakhir kereta kita. Ketika ia datang akhirnya kita sadar cinta bernilai untuk ditunggu.

Happy Watching

Lanjutkan membaca [Oneshot] Only You

[delapaNation] Dancing Angel

dancing angel

The Main Dancer’s Story:

Dancing Angel

Main Cast: Infinite’s Hoya | Minor Cast: Infinite’s Dongwoo & Sunggyu | Genre: Life, Supernatural | Duration: ficlet | Rating: G

“All of the characters are God’s and themselves’. They didn’t give me any permission to use their name on my story. Once fiction, it’ll be forever fiction. I don’t make money for this.”

Dancing Angel © 8NATION

Lanjutkan membaca [delapaNation] Dancing Angel

Resemble (Chapter 1)

resemble

Title: Resemble (Chapter 1)

Scriptwriter: DkJung (@diani3007)

Main Casts:

  • [A Pink] Jung Eunji
  • [Girl’s Day] Bang Minah
  • [Infinite] Lee Howon
  • [Beast] Lee Gikwang

Support Casts:

  • [F(x)] Jung Soojung
  • [Girl’s Day] Lee Hyeri

Genre: Friendship, Romance

Duration: Chaptered

Rated: PG 14

Disclaimer: terinspirasi dari film favorit aku. Cat: anggap di ff ini muka eunji-minah mirip identik.

Summary:

Apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan orang yang wajahnya serupa denganmu? Hal itulah yang dialami gadis cantik bernama Jung Eunji. Ia cucu dari pengusaha terkaya di Korea. Namun, tanpa disangka ia bertemu dengan Bang Minah, seorang gadis sederhana yang memiliki paras serupa dengannya.

 

Chapter 1

Lanjutkan membaca Resemble (Chapter 1)

Scatter Words

10428513_842321642463720_3972045254881684528_n 

Scatter Words

a movie  by Rizuki (@Rizuki29)

 

Infinite’s Howon, TVXQ’s Yunho and find the others by your self   |   AU, Dark, Surrealism, Crime, Psychology   |   ONESHOT (3000+ words)  |   PG13

The plot of this story is belong to me.

But, this story inspired by a Stephen King’s novel CARRIE

 

Big thanks for my hyung(?)Dindinfor the poster!

 

 

Aku lega, spekulasi yang selalu saja mendesak pikiranku ituakhirnya terbuktikan secara riil.

 

 

.

 

“Kau belum pulang?”

 

Aku—yang mulanya menelusupkan kepalaku di antara kedua lengan di atas meja— serta merta mendongak dan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Lantas, ku alihkan lirikanku kepada seorang gadis yang berdiri di hadapanku saat ini.

 

Aku memilih untuk bergeming dan merenggangkan buku-buku jemariku, dan berlanjut menyibukkan diri dengan merapikan beberapa peralatan tulis yang berserakan di atas mejaku.

 

“Kau bisa pulang. Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Yoon ssaem.” Gadis itu berbalik untuk kemudian merajut tungkainya menuju tempat duduknya yang hanya selisih dua meja di depan mejaku.

 

Deritan meja yang tertangkap gendang telingaku membuat saraf-saraf motorikku segera mengirimkan impuls kepada indera penglihatanku. Membuatku secara tak sadar menumbukkan pandangan ke arah gadis yang tengah membereskan beberapa buku-bukunya itu. Bibirku masih bungkam. Membiarkan hening dan desau angin mengisi ruang kelas yang sudah sepi melompong ini.

 

Gesekan daun dari pepohonan di luar ruang kelas ini masih belum mampu mengusik keheningan dalam ruangan ini. Kepulan napas segera ku hembuskan saat itu, tepat sesaat setelah kedua manikku menangkap pergerakan gadis itu yang tengah berjalan menuju daun pintu.

 

“Bahkan ucapan terimakasih-pun tak bisa ku dapatkan?”

 

Segera aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Oh Tuhan, bagaimana mungkin mulut dan hatiku tak bisa menjalankan kerjasamanya saat ini?

 

Suasana mendadak kaku. Dan geming seakan tak bosan mengisi ruang kosong yang senantiasa terbangun kokoh kala aku dan dirimu terjebak dalam suatu konversasi.

 

“Cepatlah pulang! Aku bukan termasuk gadis yang gemar mengutus seorang lelaki untuk sekedar menungguku—seperti yang kau lakukan saat ini.” Selepas mengucapkan kalimat itu, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan karena ucapanku.

 

Sial! Sikapnya sama sekali tidak berubah.

 

Aku mengumpat pelan sembari membiarkan kedua tanganku bekerja menyelempangkan tas di punggungku. Aku bergegas.

 

Namun, pergerakanku yang saat itu tengah siap merajut langkah, tetiba saja terusik oleh sesuatu. Kelebatan bayangan seakan menerpa permukaan retinaku. Aku mengerjap. Seperti silau akibat cahaya yang sangat terang dan entah mengapa tiba-tiba saja, arah pandangku berbelok menuju sebuah bangku di pojok ruangan.

 

Aku menelan saliva dengan susah payah. Hembusan angin yang masuk melalui jendela kaca yang tak tertutup membuat bulu kudukku meremang. Darah dari jantungku seakan terpompa beberapa ratus kali lebih cepat dari biasanya. Degupnya mulai tak berirama.

 

Telisik oleh kedua lensaku ke arah bangku di pojok ruangan itu, membuat langkahku spontan mundur beberapa jengkal. Ini terlihat semakin janggal. Disana, di bangku itu—aku kembali melihatnya. Sorotku kembali menemukannya. Seperti klise lama yang setiap hari diputar agar dapat ku perhatikan.

 

Oh, masihkah ini akan berlanjut lagi?

 

 

 

.

 

 

 

Genap roda besi kereta yang ku tumpangi mulai melaju. Awal mulanya berjalan pelan, hingga beberapa saat tak terkejar lagi. Mesin pendingin ruangan sudah menyala sedari tadi, tetapi baru terasa kini. Terlampau sejuk. Membuat tubuhku sedikit bergetar, merasakan gigil yang semakin menjalar ke seluruh bagian tubuhku.

 

Pemandangan dari luar jendela kereta sungguh membuat bosan. Tak ada apa pun. Hanya gelap dan cukuplah bintang, juga bulan, yang menghias pekatnya malam. Aku menghela napas, perjalanan ke depan—hampir pasti akan ku habiskan dalam lelap, yang senyap.

 

“Aku mau dibuatkan sebuah lukisan,” tulisku—pada layar ponselku—mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang.

 

Tak berselang lama, ponselku menyala dan berkedip merah lampu diode-nya.

 

“Apa yang harus kulukis untukmu?” kedua sudut bibirku terangkat beberapa derajat setelah membaca balasan pesan dari Grace—gadis yang ku kirimi pesan—teman sekelasku.

 

“Aku akan menceritakan padamu—besok pagi.”

 

 

 

.

 

 

 

Langkahku terarah perlahan—mungkin lebih pantas jika disebut tengah mengendap. Fokusku masih tertuju pada seorang gadis yang tengah duduk di depan sebuah kanvas sembari menyaputkan kuas yang telah tercelup warna di dasar kanvas itu.

 

Niatan awalku yang ingin mengejutkannya pupus segera, sesaat setelah lebih dulu gelombang suara serak gadis itu menginterupsiku.

 

“Berhenti mengendap-endap seperti itu, Lee Howon!”

 

Yah, ku pikir jika aku memang tak pantas menjadi seorang detektif.

 

Mau tak mau, aku pun segera menghampirinya—menarik sebuah kursi untuk duduk di sampingnya.

 

“Jangan membuatku geram dengan tingkah kekanakanmu, Lee Howon. Kau mengerti?” gadis itu menatap tajam ke arah kedua manikku. Kedua bola mata kebiruannya seakan memendarkan cahaya menyilaukan yang mungkin bisa saja membunuhku yang tengah menatapnya saat ini.

 

“Maafkan aku, Grace. Aku hanya…”

 

“Aku sudah mengatakannya padamu berulang-ulang, Lee Howon. Aku tak berminat membantumu untuk hal itu. Apa kau belum jelas, huh?” dengan cepat suara Grace memutus kalimatku.

 

“Grace, kau hanya perlu melukis dia. Bukankah kau suka melukis? Kali ini saja, bantulah aku, Grace. Kumohon..” aku menatap penuh harap ke arah Grace yang masih menyaputkan kuas di atas kanvasnya.

 

“Bodoh! Bagaimana mungkin aku bisa melukis sebuah bayangan? Kau gila, Howon-a!”

 

“Grace…”

 

Jeda beberapa saat lamanya.

 

“Tidak, Howon-a! Aku tetap tak bisa mengabulkan permintaanmu itu. Itu terlalu naif, Lee Howon. Bahkan untuk seorang pelukis yang—oleh kebanyakan orang—dianggap sebagai salah satu orang naif di dunia ini.”

 

 

 

.

 

 

 

Jemariku tergerak menyerbu lapisan debu yang menggumpal di salah satu jendela ruang kelasku. Jam kampus telah usai puluhan menit yang lalu, tapi aku masih bertahan dan memilih untuk menunggunya di sini.

 

Dengan segenap keyakinanku, aku percaya dia akan kembali datang. Dia akan kembali menunjukkan eksistensinya kepadaku. Dia akan menyapaku.

 

Aku beralih memposisikan diriku untuk duduk di salah satu meja, dengan pandangan lurus penuh telusur ke arah bangku di pojok ruangan itu. Kedua tanganku sengaja ku lipat di depan dada, dan masih membiarkan manikku menyorot obyek atensiku saat ini.

 

Tak berselang lama, kembali cahaya menyilaukan itu menjebak penglihatanku. Memerangkapnya dalam sebuah dimensi antara perangai terang juga pekat yang menyangsikan.

 

“Kau datang?”

 

Akhirnya kedua lensaku kembali dapat membiaskan bayangannya. Terduduk di atas bangku—seperti yang ku lihat selama ini—sembari melayangkan tatapan lurus ke arah papan tulis yang masih penuh coretan tentang algoritma di depan ruangan.

 

Pertanyaanku tak juga mendapat tanggapan. Akan tetapi, aku tak terlalu memusingkannya. Aku lebih suka untuk memperhatikannya.

 

Penampilannya…

 

Tak ada yang aneh. Bayangan itu terlihat seperti manusia pada umumnya. Semua anggota tubuhnya lengkap, hanya saja—aku dapat melihat separuh dari wajahnya menggelap, seolah-olah terdapat sebuah gradasi di sana. Pun, sorotnya terlihat sayu dan tak berekspresi.

 

“Siapa kau sebenarnya? Apa aku mengenalmu?” aku menilisik penuh tanya ke arahnya—yang masih saja bergeming. Seakan tak acuh akan eksistensiku.

 

“Kurasa kau memang tak punya rumah, Lee Howon!”

 

Aku membalikkan pandanganku ke ambang pintu—tempat dari mana suara yang baru saja ku dengar berasal.

 

Sosok Grace terlihat di sana. Raut wajah gadis itu terlihat biasa saja. Tak ada mimik muka terkejut ataupun shock. Aku enggan menanggapi kalimat gadis keturunan Eropa itu. Fokusku masih kepada dia. Kepada bayangan itu.

 

Aku kembali menelisik ke arah bangku di pojok ruang kelas. Dan betapa terkejutnya diriku saat ku lihat bangku itu sudah kosong. Tak ada lagi seseorang yang mendudukinya. Seakan bayangan itu mengabur dan lenyap bersamaan dengan gema suara Grace yang tiba-tiba saja mengusik ketenangan.

 

Aneh. Aura di dalam ruangan ini terasa berbeda saat ini. Terasa lebih hangat dan—damai.

 

Sebenarnya siapa dia?

 

“Apakah kau memang terlalu mencintai kelas kita, Lee Howon?”

 

Aku segera menyambar tasku dan bergegas menguntai langkah menghampiri Grace.

 

“Apa pedulimu tentang aku, huh?”

 

 

 

.

 

 

 

Pendar cahaya menyilaukan itu membuat kedua manikku mengerjap pelan, menyesuaikan pencahayaan di sekitar sini. Berkali-kali aku mengerjap, mencoba menerobos cahaya yang bersinar sangat terang ini, hingga akhirnya semua tampak jelas. Aku bisa melihat hamparan ilalang melambai terendus sepoi angin, di bagian yang lain juga tampak padang rumput yang menghijau kontras dengan warna ilalang yang berada  tepat di depan mataku kini.

 

Aku melayangkan pandangan ke sekelilingku. Hening, senyap. Aku berani bertaruh jika di sini tak mungkin ada kehidupan.

 

“Kau sudah datang, Lee Howon?”

 

Aku membalikkan badan dan mendadak terlonjak setelah memastikan siapa yang baru saja menyapaku.

 

“Kau…”

 

“Benar. Aku bayangan itu—yang selalu kau lihat saat jam kampus usai di bangku pojok ruang kelasmu.” Dia tersenyum.

 

“Apa?”

 

Aku menyorotnya tajam, memperhatikan setiap detail penampilannya. Dia terlihat berbeda dengan yang ku lihat di dalam kelas tempo hari. Penampilannya lebih rapi dan juga air mukanya yang kentara sekali menyiratkan sebuah ekspresi.

 

Tunggu dulu, ada yang berbeda dengan wajahnya. Ya, wajah itu kenapa—

 

“Dan aku adalah—saudaramu.”

 

—sangat mirip dengan wajahku?

 

Suara terakhir yang tertangkap gendang telingaku itu membuatku terhenyak. Terhempas jauh ke dalam memori ingatanku. Mencoba dengan keras untuk mengingat semuanya. Berpikir apa yang sebenarnya telah terjadi. Memikirkan siapa dia sebenarnya?

 

Kepalaku semakin pening. Ilalang tempatku berpijak ini seakan berguncang, dan angin yang berhembus kini semakin cepat intensitas gerakannya. Lamat-lamat aku masih dapat mendengar gaungan suara-suara yang semakin mendesak memaksa masuk dalam pendengaranku. Meminta kepada otakku untuk segera merespon dan menanggapinya.

 

Aura kegelapan semakin mendekat. Dan akhirnya pekat itu menelan segalanya, membuat pandanganku kabur dan seluruh sistem dalam tubuhku hilang akan kendalinya.

 

Aku terhempas dalam angan.

 

 

 

.

 

 

 

“Selamat pagi, sayang!”

 

Mom!

 

Benar. Wanita yang baru saja mengecup pipi pemuda yang duduk di depanku ini adalah Momma. Momma-ku.

 

“Momma sudah menyiapkan bekal untuk makan siangmu, sayang. Kau pasti akan pulang telat lagi hari ini, kan?” Mom segera duduk di sampingku. Aku masih bungkam, kalut dalam banyak pemikiran.

 

Ku lihat pemuda yang duduk di depanku itu mengangguk sembari memamerkan senyuman cerah.

 

Hey, siapa yang mengizinkanmu tersenyum seperti itu kepada Mommaku?

 

“Hari ini tepat satu tahun kematian Ayahmu, sayang. Apa kau tak berniat untuk mengunjunginya di pemakaman? Kau lebih memilih dunia musikmu dibandingkan Ayahmu sendiri, eoh?”

 

Kedua alisku tertaut. Apa maksud pembiacaraan ini? Siapa yang dimaksud Ayah? Siapa pemuda ini? Kenapa Momma tidak menyadari eksistensiku saat ini?

 

Aroma teh hijau panas—yang terhidang di atas meja makan—sejenak mengalihkan perhatianku. Aromanya yang menusuk dan menguar ke segala arah itu terpaksa sedikit menginterupsi perhatian dan pikiranku. Dan, tetiba saja indera penglihatanku tertumbuk pada pergerakan tangan Momma yang meraih cangkir teh hijau panas yang tampak mengepulkan asap penuh itu.

 

“Hati-hati Mom! Itu masih panas.”

 

Aku kembali terhenyak mendapati pemandangan yang baru saja tersuguhkan. Momma tersenyum lembut ke arah pemuda di depanku yang selesai menegurnya.

 

“Aku akan ke makam Ayah mungkin sepulang sekolah, Mom.”

 

“Baiklah. Kau jaga baik-baik dirimu, sayang! Momma juga akan mengunjungi Ayahmu dengan Howon nanti.”

 

Howon?

 

Bibirku semakin terasa kelu, sebenarnya apa yang telah terjadi? Aku kembali menelisik lekuk wajah Momma dan pemuda itu bergantian, namun aku mengalah. Aku gagal memahami semua ini. Nalarku seakan tak sanggup lagi memikirkannya. Logikaku juga sudah tak mampu menjangkaunya.

 

Pandanganku kembali membelok arah. Kini, terpaku pada sebuah kalender meja yang terletak di atas sebuah nakas yang tertata rapi di ujung ruang makan.

 

29 Desember 1997

 

Tenggorokanku tercekat, pening kembali menyerang kepalaku. Aku semakin bingung. Apa arti semua ini? Mengapa aku kembali pada masa ini? Dan, pemuda itu—oh, apa yang sebenarnya telah terjadi?

 

Dan, belum sempat aku menemukan jawaban atas semua pertanyaanku, cahaya itu kembali menghimpit retinaku, membuat pupilku mengecil dengan sendirinya dan perlahan gelap mengaburkan semuanya.

 

 

 

.

 

 

 

“Apa yang kau lakukan di sini, Lee Howon?”

 

Kedatangan pemilik suara yang baru saja menyapaku, membuatku mendongak. Dan sudah dapat ku simpulkan, Grace baru saja datang dan mengambil posisi untuk duduk di hadapanku.

 

Sepersekian detik setelah dia menatapku, aku mengerling sekilas ke arahnya sembari memberikan sebuah senyuman kecil. Aku sedang tidak berada pada moodku saat ini.

 

“Apa kau percaya jika kita bisa kembali pada masa lalu?”

 

“Maksudmu?”

 

Aku menyesap teh hijau panas—yang telah turun suhunya—kemudian membenarkan posisi dudukku.

 

“Aku memiliki keyakinan, jika semua spekulasi yang mendesak pikiranku akan mendapatkan jawabannya dari dimensi yang berbeda, Grace. Yakni, di saat aku dapat kembali pada masa lalu—hanya sebagai pengamat, bukan sebagai pemeran akan kehidupannya. Semua muara dari masalah ini ada pada masa lalu. Dan aku percaya, jika kehidupan bayangan—yang selalu aku lihat di bangku pojok ruang kelas kita—itu memiliki suatu keterkaitan dengan kehidupanku.”

 

Grace menatapku penuh kebingungan.

 

“Tunggu, jadi maksudmu kau bisa menemukan akar dari semua masalah yang menghantuimu itu dari masa lalu?”

 

“Yah, bisa jadi seperti itu, Grace.”

 

“Selamat! Kau diterima dalam daftar orang naif setelah aku, Lee Howon!”

 

Aku tertohok akan kalimat terakhir Grace. Sialan! Dia pikir aku bercanda?

 

“Terimakasih untuk ucapanmu yang terburu-buru itu, Nona. Akan tetapi, aku masih belum memiliki minat untuk bergabung bersamamu. Karena aku yakin, takdirku bukan berada pada golongan orang-orang naif seperti dirimu.”

 

Aku menyelempangkan tasku kemudian bergegas pergi, memilih untuk meninggalkan Grace yang mungkin saja semakin bingung akan sikapku.

 

 

 

.

 

 

 

Langkah panjangku akhirnya terhenti di depan sebuah deretan besi berujung runcing yang tertanam kokoh membatasi sebuah pekarangan rumah mewah di dalamnya dan jalanan umum. Ukiran-ukiran artistik yang memenuhi tiap sentimeter bagian besi itu membuatnya semakin terlihat rumit namun indah.

 

Aku mendorong pintu gerbang dengan cat cokelat itu. Hingga suara deritan akibat pergeseran roda pagar ini tertangkap pendengaran.

 

Belum genap langkahku menyentuh lantai rumah, kedua kakiku secara tiba-tiba tersandera oleh suara lembut seorang perempuan yang berasal dari ambang pintu kayu yang saat ini telah terbuka lebar. Tampak oleh retinaku, sosok Momma yang tengah tersenyum cerah menyambutku.

 

“Kau sudah pulang, Sayang?”

 

Aku tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Momma, kemudian bersegera untuk menghampirinya.

 

“Apa kau menungguku, Mom?”

 

“Tentu. Momma baru saja selesai menyiapkan makan siang untukmu,”

 

Momma meraih bahuku untuk kemudian dirangkul olehnya. Kami berjalan menapaki marmer putih berkilau dan melewati beberapa lukisan abstrak yang tertempel di setiap petak dinding rumahku.

 

“Mom, apa aku memiliki saudara?”

 

Kali ini, aku dan Momma telah duduk berhadapan di depan meja makan. Momma yang baru saja menyuapkan nasi ke dalam kerongkongannya mendadak tersedak mendengar pertanyaanku yang menghapus keheningan.

 

Tangan Momma yang putih dan mengerut di beberapa bagian terulur mengambil selembar tissue. Aku masih meletakkan fokusku pada Momma dengan segala pergerakannya. Memilih untuk menunggu jawaban Momma.

 

Momma berbalik menatapku sembari mengangkat sebelah alisnya. Jemarinya terlihat saling meremas. Dan entah mengapa aku seperti menangkap sebuah kegelisahan tersirat pada air muka Momma.

 

Akan tetapi, katup bibir Momma masih bungkam. Dan beberapa detik berselang, raut wajah Momma kembali berubah. Kembali pada ekspresinya beberapa waktu yang lalu. Tenang dan santai. Momma mendesah panjang seraya menggumamkan namaku pelan.

 

“Howon-a..”

 

Aku tak lagi perduli bagaimana irisku kala menyorot Momma saat ini. Mungkin seperti detektif yang tengah mewawancarai seorang saksi, atau bahkan seperti jaksa yang tengah menjatuhkan hukuman kepada seorang tersangka.

 

“Apa kau sebegitu ingin mengetahuinya, Sayang?”

 

Aku memberikan sebuah gumaman kecil sebagai jawaban untuk pertanyaan Momma yang terdengar sangat retoris itu.

 

Momma menghela napas, dia meletakkan garpu yang baru saja digenggamnya. Kemudian, dia meraih secangkir grean tea kesukaannya dan menyeduhnya tenang.

 

Aku masih menunggunya, dan saat ini aku merasa jika selera makanku telah lenyap. Hilang bersamaan dengan dentang waktu yang menggema di ruang makan dan juga jeda yang sedaritadi dibangun oleh Momma.

 

“Benar. Kau memiliki seorang saudara—lebih tepatnya hyung. Dia lebih tua lima tahun darimu. Andai saja, jantungnya masih berdetak hingga saat ini, mungkin kalian akan menjadi sangat akrab—”

 

“Maksudmu dia sudah meninggal?” aku menyela cerita Momma.

 

Momma mengangguk, “Dia anak kandung Ayahmu—yah, dia kakak tirimu, Howon-a.”

 

“Kenapa dia meninggal? Kapan dia meninggal, Mom?”

 

Kedua manik mata Momma menelisik ke arahku—dan aku tak dapat mengartikan arti tatapan mata Momma.

 

“1997. Tepat saat setahun hari kematian Ayahmu—”

 

Paru-paruku seketika saja krisis akan oksigen. Udara di tengah ruang makan mendadak berubah menggerahkan. Aku menuangkan air putih ke dalam gelasku lantas segera membasahi tenggorokanku dengannya.

 

“—dia mengalami kecelakaan. Malam hari selepas aku mengatarmu pulang ke rumah nenekmu—tepat saat aku membuka pintu rumah ini—aku mendapati kakakmu itu sekarat di lantai. Seluruh tubuhnya lebam dan darah mengalir bagaikan saus fla memerahkan marmer yang kau pijak saat ini, Howon-a.”

 

Gema suara Momma yang tengah bercerita menginterupsi semua bebunyian yang mulanya memenuhi ruangan ini.

 

“Aku segera menghubungi 119 dan kakakmu pun dilarikan ke rumah sakit. Tapi sayang, Tuhan memiliki rencana mulia yang lain. Tuhan memilih untuk menariknya ke surga. Tuhan memberikannya takdir untuk segera meninggalkan dunia ini. Kakakmu akhirnya pergi dalam kedamaian.”

 

“S-siapa namanya, Mom?”

 

“Yunho. Jung Yunho!”

 

Detik itu juga aku memutuskan untuk bangkit berdiri, meninggalkan Momma sendiri dan mengarahkan langkahku untuk melesat menuju kamar.

 

Aku semakin bingung akan semuanya. Mungkinkah semua ini akan berikatan satu dengan lainnya? Mungkinkah dia yang selama ini menghampiriku adalah refleksi hyungku? Jika memang iya, lantas untuk tujuan apa dia kembali menunjukkan eksistensinya kepadaku? Apakah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan?

 

Ah, sial! Kenapa semua terasa semakin memberatkan kepalaku?

 

 

 

.

 

 

 

Derap langkah kaki yang tersengal, menggema memenuhi pendengaranku. Bunyi langkah itu semakin menyergap keheningan yang terasa semakin mencekam saat ini. Aku berdiri di depan ambang pintu seraya menolehkan kepalaku dan mencari sesuatu untuk aku fokuskan pada perhatianku.

 

Tepat saat kedua lensaku menumbuk arah jam 9—dari tempatku berdiri saat ini—aku akhirnya terbungkam oleh pemandangan yang terlihat saat ini. Seorang pemuda terduduk di atas lantai marmer dengan kepala menengadah ke atas, menatap pergerakan jarum jam yang bahkan suaranya tertangkap gendang telingaku saat ini.

 

Sorot sayu pemuda itu membuat tenggorokanku kering. Terlebih, dapat ku lihat kucuran merah oleh darah mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. Namun, sorot sayu itu tergantikan posisinya dengan cepat saat kedua maniknya kini menyalak penuh amarah pada sebuah obyek yang baru saja muncul.

 

Akhirnya aku pun mengarahkan fokusku pada obyek yang tiba-tiba saja merubah keadaan itu. Alhasil, aku kembali dikejutkan oleh sosok yang baru saja muncul dari balik dinding yang membatasi beberapa ruangan itu. Sosok wanita berbalut dress panjang berwarna putih tulang itu merajut langkahnya hati-hati. Dan serta merta ku dapati di tangan kanannya terselip sebuah pistol hitam sementara di tangan kirinya terlihat sebuah belati yang masih berkilau tajam.

 

Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku menggosok mataku beberapa kali, berharap pemandangan yang baru saja terjadi akan segera terhapus begitu saja. Berharap pemeran wanita dengan senjata di kedua tangannya itu segera digantikan oleh wanita lainnya. Atau bahkan berharap agar kisah yang sedang ku saksikan saat ini dihentikan detik ini juga.

 

Aku tak ingin melihatnya—

 

Nyalak tajam dan pendar emosi terpancar dari kedua sudut mata wanita paruh baya itu. Langkah yang ia rajut semakin mendekat. Menghapus jarak antara dirinya dan pemuda tak berdaya berbalur darah di depannya itu.

 

melihat Momma menjadi seorang antagonis.

 

“Apa kau benar-benar sudah tak mau mendengarkanku lagi?” aku mendengar Momma mengeluarkan suaranya. Getaran gelombang suara yang ku tangkap barusan terasa kontras dengan suara Momma yang selama ini ku dengar.

 

“Kau sudah tak mau mengakui keberadaanku sebagai Ibumu, huh?” Momma berteriak dan sekarang tangan kirinya melepas belati yang mulanya ia genggam. Momma menunduk, mendekatkan wajahnya dengan wajah pemuda itu.

 

“Mom, aku hanya kalut. Dan saat itu aku benar-benar sudah tak sanggup memainkan logikaku dan…”

 

Belum sempat pemuda yang seumuran denganku itu melanjutkan kalimatnya, tangan kiri Momma sudah mengayun tiba-tiba dengan kecepatan yang tak terduga. Punggung tangannya secara cepat menghantam rahang pemuda itu hingga tubuhnya semakin terpental dan akhirnya ia menangis keras.

 

“Seharusnya kau mendengarkan aku, Yunho! Kau tahu betapa aku menyayangimu? Setiap detik dalam hitungan hari aku selalu memperingatkanmu tentang itu. Tentang kebodohan seorang lelaki dalam mengontrol emosinya. Tentang keluargamu; terutama Ayahmu; yang sungguh-sungguh menjaga kehormatannya. Tentang betapa keluargamu ini termasuk dalam keluarga orang-orang terpandang. Tentang—”

 

Yunho… Bukankah…

 

“Momma…”

 

Histeris ketakutan seakan sengaja diperdengarkan pemuda itu agar Momma menghentikan semua perbuatannya. Namun sayang, Momma masih saja terus meracau dengan deretan kalimat kasar atau bahkan umpatan yang saat ini sudah memenuhi ruangan. Bercampur baur dengan oksigen dan juga nitrogen yang melayang di udara.

 

“Momma aku khilaf. Maafkan aku. Aku hanya berkelahi selayaknya laki-laki muda pada umumnya. Tapi kenapa kau terlalu mempermasalahkannya?”

 

Hey! Kau mencoreng nama baik almarhum Ayahmu. Terlibat dalam suatu perkelahian dengan hanya memperebutkan seorang wanita? Terlebih wanita itu adalah gurumu sendiri? Sial! Asal kau tahu kendatipun kau tebus dengan darah dan dagingmu pun nama baik itu masih tak akan bisa disucikan lagi, Bodoh! Kau tahu bagaimana aku mengorbankan semuanya demi mempertahankan nama baik dan  harga diri keluarga Ayahmu ini? Tapi kenapa kau—anak kandungnya sendiri—menghancurkan semuanya? Kenapa?”

 

Pemuda itu mencoba bangkit dari keadaan sekaratnya, namun kaki-kaki Momma menahannya agar tetap tertelungkup mencium marmer yang dingin malam ini.

 

Tidak! Dia bukan Momma. Dia bukan Momma-ku.

 

Lesir suara angin yang masuk melalui celah jendela kayu yang terbuka setengah membuat suasana semakin terasa mencekam. Firasatku mengatakan jika sebentar lagi—ya, tak akan lama lagi— wanita itu akan mengakhiri semua ini. Semua kegaduhan berdarah yang merusak keheningan malam di rumah megah ini.

 

Momma lantas tertawa dan suaranya yang menggema di seluruh penjuru ruangan dapat dipastikan mampu membuat semua orang bergidik. Ia menatap buas ke arah pemuda yang masih bertahan pada posisinya.

 

“Kau mengecewakanku, sayang. Kau merusak semua rencana mulia yang sesungguhnya telah kusiapkan untukmu.”

 

Manik kelelahan dan pasrah milik pemuda itu bersitatap dengan manik kelam Momma. Kemudian dia meronta lagi, namun Momma juga masih setia menahan segala pemberontakannya.

 

Dan, degup jantungku akhirnya berhenti berdetak selama beberapa jenak kala gendang telingaku dikejutkan oleh bunyi lecutan peluru yang keluar dari mulut pistol yang dipegang Momma. Dalam sekejap, aroma mesiu menyergak indera penciuman dan kepala pemuda itu tergeletak tanpa daya di atas lantai dengan satu lubang menganga di sana.

 

Tubuh pemuda itu mengejang sejenak sebelum akhirnya napas yang tertahan di tenggorokan terlepas, dan ruhnya terbang meninggalkan tubuh penuh luka itu.

 

Dalam sekejap, darah merembes dan membanjiri seluruh lantai yang ku pijak ini. Aku menegang di tempatku berdiri kala tawa wanita itu berdenging menerobos ke dalam telingaku.

 

Aku melangkah mundur beberapa meter, menjauhi posisi wanita itu yang saat ini sudah mengangkat berat tubuhnya dan berbalik badan untuk kemudian merajut langkahnya. Dia abai pada pemuda yang tengah tergeletak dengan mulut menganga dengan darah yang terus mengucur dari lubang di lehernya yang juga menguarkan anyir.

 

Beberapa detik berselang, kembali ku rasakan pening pada kepalaku. Dan seperti yang telah aku hipotesiskan bahwa cahaya terang itu sesaat saja merabunkan pandanganku. Dan gulita akhirnya menutup adegan yang baru saja ku saksikan.

 

 

 

.

 

 

 

Aku mengawali aksiku dengan memutar kenop pintu ruang seni. Hingga, lamat-lamat kelopak mataku tersibak oleh siluet tubuh seorang gadis—yang sudah ku pastikan itu Grace—tengah duduk di depan sebuah kanvas dengan seriusnya.

 

Kedatanganku bahkan tak mampu membuat atensi Grace yang fokus pada lukisannya itu teralihkan. Aku mati-matian meluruskan hatiku untuk menemui gadis keras kepala itu. Inginku saat ini adalah untuk melepas segalanya, kendatipun seluruh anggota tubuh dan sistem dalam tubuhku melemah karena lelah.

 

Tungkaiku akhirnya tergerak mendekati Grace yang sepertinya sengaja tak acuh akan kedatanganku. Ia masih bergeming dan lebih menuntut fokusnya pada gerak tangannya yang terlihat sangat terampil mengayunkan kuas di atas kanvas itu. Aku memandanginya.

 

“Grace!”

 

Suaraku akhirnya berhasil menginterupsi sunyi yang menyelimuti ruang seni ini. Ku pikir, usahaku untuk melepas semuanya bersama Grace akan berakhir sia-sia saja. Bukan tanpa alasan, hanya saja aku merasa jika sikap kepala batu yang dimiliki Grace bisa saja membuatku semakin ingin meledakkan semua isi otakku.

 

Namun, semua praduga penuh kekhawatiran itu rontok bergitu saja selepas Grace meletakkan kuas dan palet yang sedaritadi ia pegang untuk kemudian menumbukkan pandangannya ke arahku. Grace menatapku tanpa ekspresi.

 

“Kau benar-benar bodoh!” itulah kalimat pertama yang dapat tertangkap oleh telingaku. Aku menghela napas segera. Baiklah, setidaknya aku sedikit lega karena gendang telingaku masih berfungsi normal setelah berhasil mendapatkan jejak gelombang suara milik Grace.

 

“Ya, kau sungguh bodoh, Lee Howon—” Grace dengan segera membalikkan kanvas yang baru saja menjadi obyek fokusnya.

 

“—coba kau lihat lukisan yang baru saja aku selesaikan!”

 

Aku tersentak dengan lukisan Grace. Dia baru saja menyelesaikan sketsa wajah seseorang. Dan setelah arah pandang mataku menyorot kembali ke arahnya, ia hanya tersenyum simpul.

 

“Bagaimana kau bisa—”

 

Ck. Dasar bodoh! Apa kau lupa jika semalam kau menghubungiku?”

 

Kedua alisku tertaut spontan. Menghubunginya? Semalam?

 

“Ya Tuhan, kenapa kau begitu tolol, Lee Howon? Semalam kau menghubungiku. Tengah malam. Catat itu! Kau menceritakan bagaimana detail wajah bayangan seseorang yang selalu kau lihat itu. Kau menggambarkan semua bagiannya  dengan rangkaian kata-kata yang sangat jelas dan juga sangat spesifik, Howon-a. Kau memaksaku untuk melukiskannya untukmu. Dan tadi pagi, aku akhirnya memutuskan untuk melukisnya untukmu. That’s it! Apa kau lupa?”

 

Aku melejitkan bahu sembari menggeleng pelan. Grace memahat tatapannya ke arahku beberapa detik lamanya. Ia menggumam kesal, kemudian menghembuskan napas dengan cepat.

 

“Tidak perlu kau ingat lagi, Lee Howon…” Grace menatapku seraya tersenyum, “aku tahu kau begitu tersiksa.”

 

I’m sorry, Grace..”

 

Forget it, Howon-a! Aku bisa memahaminya. Maafkan aku juga yang pernah meragukan semua ceritamu tentang bayangan itu.”

 

“Dia hyungku, Grace. Namanya Jung Yunho.Akhirnya aku mengerti siapa bayangan itu—wajah seseorang yang kau lukis itu—dia adalah kakak tiriku. Aku merasa sangsi kepada Momma, Grace. Entahlah, semalam aku kembali dikirim ke dalam memori 1997 itu. Seakan aku melihat secara live kejadian sesungguhnya yang terjadi pada hari kematiannya.”

 

“Lantas apa hubungannya dengan Momma, Howon-a?”

 

Aku menghembuskan napas, membuang karbondioksida dan udara kotor hasil sirkulasi pernapasan di dalam tubuh. Aku lega kala kedua manikku mendapati bibir Grace yang tengah melengkungkan sebuah senyuman ringan. Seakan senyuman bocah milik Grace itu mampu melenyapkan kegelapan yang selama ini mengikuti arah pandangku.

 

“Manusia memang memiliki dua sisi seperti halnya mata koin yang saling berlawanan. Dan aku rasa, sisi gelap dan hitam telah melingkupi kehidupan Momma, Grace…”

 

 

 

.

 

 

 

Deritan panjang yang timbul karena pintu kamarku terbuka, membuat aku segera mengalihkan konsentrasiku. Ku lihat, Momma tersenyum sambil melangkah mendekatiku.

 

Aku gugup dan secara refleks segera memasukkan beberapa lembar kertas ke dalam loker kecil di meja belajarku.

 

“Ada apa, Mom?”

 

“Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dari Momma, sayang?”

 

Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba meraih kekuatan untuk menghadapi Momma—dan juga segala pertanyaan yang mungkin saja akan ia ajukan.

 

“Tidak, Mom. Hanya saja, aku tengah menyiapkan beberapa materi untuk presentasiku besok pagi,” dustaku.

 

Dan Momma kembali memperlihatkan senyuman keibuannya. Sungguh, aku merasa sangat gamang dengan keberadaan Momma saat ini.

 

“Aku rasa kau berada dalam transisi untuk berubah menjadi anak durhaka, Howon-a.”

 

Sial! Kalimat tanpa dasar yang terucap dari bibir Grace tadi pagi kembali terngiang di dalam indera pendengaranku. Bahkan dengingan suara Grace juga masih terasa memenuhi telingaku.

 

“Sejak pagi tadi Momma rasa kau tak ada di rumah, sayang. Apa ada masalah?”

 

“Mom, aku lelah. Dan besok pagi, aku harus mempresentasikan tugasku. Bisakah Momma meninggalkanku untuk beristirahat?”

 

Dan—yeah, mungkin kau sudah benar-benar berada dalam masa transisi, Lee Howon.

 

Momma tertawa kali ini, dan aku bisa menangkap ekspresi kekecewaan dan juga getir di dalam air muka Momma.

 

“Baiklah, Momma pergi!”

 

Ketukan langkah Momma yang bergerak menuju pintu kamarku masih menjadi fokusku saat ini. Selang beberapa saat, aku beralih menatap punggung Momma yang semakin menjauh.

 

Mungkinkah selama ini kau benar-benar membohongiku, Mom?

 

“Mom—”

 

Momma menghentikan langkahnya sejenak tanpa membalikkan badannya. Dia menunggu kalimatku selanjutnya.

 

“—aku harap kau tak pernah mengecewakanku, Mom. Aku menyayangimu.”

 

Punggung Momma akhirnya berbalik dan kembali ia memberiku sebuah senyuman hambar. Ya, senyuman itu terasa senyap tanpa rasa.

 

“Cepatlah tidur, Lee Howon!”

 

 

 

.

 

 

 

Tungkaiku masih terajut perlahan menuju sebuah ruangan yang terletak tepat di samping kamar Momma. Ruangan kosong yang sebenarnya adalah sebuah kamar, namun Momma melarang keras siapapun untuk mendekati kamar tersebut.

 

Dentang waktu yang sesaat lagi akan menunjuk angka 12 tengah malam membuatku sedikit menambah kecepatan langkahku. Menghindari kehadiran Momma yang mungkin saja bisa memergoki aksiku lantas membunuhku atas dasar melanggar aturan yang telah dibuat olehnya.

 

Bayangan Yunho hyung seperti tengah mengikuti langkahku. Menyuruhku untuk sekadar menguatkan diri sendiri ataupun menambal rasa penasaran yang semakin lama membuatku ingin segera memecahkan semua misteri ini.

 

Kedua tanganku sudah menggenggam kenop pintu kamar itu dan mendadak tremor kecil menyerang pergelangan tanganku. Namun segala kesangsian yang terbesit dalam kepalaku membuatku memilih untuk menahan gangguan tremor akibat gugup yang mendera itu.

 

Gulita seakan memakan segalanya kala kedua manikku tak dapat melihat apapun yang berada dalam ruangan itu. Intuisiku mengembang hingga akhirnya berhenti pada kesimpulan untuk melanjutkan langkahku memasuki barung-barung kegelapan yang mungkin saja siap menelan diriku juga.

 

“Howon-a!”

 

Melalui ujung-ujung mataku yang panas juga pedih, aku menoleh pelan ke arah sumber suara. Tepat saat kedua lensaku selesai membiaskan siapa pemilik suara itu, dentang waktu pukul 12 malam terdengar oleh pendengaranku.

 

 

“Apa yang kau lakukan?”

 

Dingin. Suara Momma kali ini terdengar sangat keras dan mungkin saja sanggup memecah gendang telinga bagi siapapun yang mendengarnya.

 

“Tidak Howon-a! Jangan menyerah kepadanya. Tetaplah lanjutkan langkahmu. Kau akan segera mendapati kebenarannya di sana, Howon-a,”

 

“Cepat kembali ke kamarmu, Lee Howon! Selagi Momma masih mengasihanimu, cepatlah kembali!”

 

“Jangan pernah Lee Howon!”

 

Aku tertahan untuk menatap ke arah Momma di ambang pintu. Seberkas sinar yang masuk melewati pintu yang terbuka itu membuatku dalam menyaksikan dengan jelas bagaimana Momma menampilkan ekspresinya saat ini.

 

Tak ada senyuman. Tak ada pendar kehangatan dari dua kelopak matanya. Hanya dingin, beku dan kegetiran penuh yang terpancarkan olehnya.

 

“Momma…”

 

“Kembalilah Lee Howon!”

 

“Tidak! Lee Howon, kau harus melihatnya. Kau harus menyaksikan sendiri bagaimana kebenaran itu akan terbuktikan di sana.”

 

“Jangan mengecewakan Momma, sayang!”

 

“Justru dia yang telah mengecewakanmu, Lee Howon.”

 

Aku mengigit bibir bawahku keras-keras. Berpikir dan lebih memilih menenggelamkan perasaanku untuk memilih. Ku lihat Momma semakin penuh dengan kegetiran sedangkan bayangan Yunho hyung terlihat biasa dengan ekspresi setengah memaksa.

 

“Howon-a” panggilan dari bibir Momma itu terdengar bagai sembilu.

 

Aku memandang Momma sembari tersenyum, “Aku mencintaimu, Mom. Akan tetapi, aku juga ingin mengetahui kebenaran yang sepertinya memang tersimpan dalam ruangan ini. Maafkan aku, Momma.”

 

Tubuhku berbalik dan memunggungi Momma. Kedua kakiku yang ku akui tengah bergetar, namun tetap siap untuk menguntai langkah untuk memasuki ruangan ini.

 

Belum sempat langkahku tertaut, aku mendengar sebuah helaan napas tepat di samping telingaku.

 

“Berhenti sekarang juga atau aku akan mengirimmu ke surga seperti aku mengirim kakak tirimu ke surga, Lee Howon!”

 

Tidak! Aku mati-matian menahan gugup dan debaran jantungku dikala Momma sudah benar-benar berdiri di sampingku. Tapi, ini terasa menjanggalkan. Bagaimana mungkin hatiku yang tengah berdentum hebat belum mampu membuat nyaliku mengecil. Sedikitpun aku tak merasakan sesuatu yang bernama ketakutan itu.

 

Pun ketika sebuah pistol laras panjang sukses menempel sempurna tepat di kepalaku. Bayangan akan kejadian yang menimpa Yunho hyung kala itu membuatku sedikit merasakan ketegangan.

 

“Kau ingin bertemu kakak tirimu, huh?” dorongan moncong pistol di pelipisku semakin terasa kala Momma juga meraih sebelah tanganku untuk masuk bersama ke dalam ruangan itu.

 

Sejurus kemudian, Momma menekan saklar listrik yang sepertinya sengaja ia sembunyikan tempatnya. Hingga silau cahaya yang menyerbu retinaku membuat kedua manikku memejam beberapa saat lamanya.

 

“Sekarang kau bisa bertemu dengan kakak tirimu, sayang.”

 

Dengan kecepatan lambat, aku membuka kelopak mataku. Dan tersibaklah bayangan-bayangan yang terpantul oleh lensaku. Aku terperenyak dalam sesak menyadari pemandangan yang terpapar di depan mataku saat ini. Seluruh tubuhku tetiba berada dalam gigil yang menyakitkan.

 

Dan dalam keadaan yang masih menapak lemah di atas lantai, aku membiarkan aliran air asin yang keluar dari mataku membelah beberapa bagian wajahku. Isakan kecilku terdengar memilukan. Namun gelegar tawa kejam Momma serta merta menghapus kesedihan yang beberapa saat lalu menghinggapi hatiku.

 

“Tidakkah kau ingin memberikan salam perkenalan kepada mereka semua, sayang?”

 

Segenap rongga dadaku mendadak mengejang dan butuh pasukan oksigen dalam jumlah maksimal. Apa yang kau lakukan kala melihat bagaimana Ayahmu tergeletak tanpa daya dengan mata terbelalak membuka lebar di permukaan lantai dengan darah yang mengering di beberapa bagian tubuhnya. Terlebih kau bisa melihat jika ada sebuah belati tajam yang masih terhunus kokoh tepat di bagian dadanya. Sementara di sebelah kiri sosok kaku Ayahmu, kau juga dapat menyaksikan seonggok tubuh—yang lagi-lagi kaku—tengah duduk bersandar pada sebuah kursi kayu dengan mulut terbuka lebar dan di bagian kiri lehernya yang berlubang akibat timah panas yang menembusnya. Ceceran darah yang mengering di atas lantai membuat perutku mual.

 

“Tidak!” aku menjerit histeris. Kepalaku mendadak pening dan sedikit demi sedikit pandanganku bersiap mengabur. Namun aku masih mencoba menguatkan diri. Aku tak akan kalah dengan kekejian ini. Semua harus segera diakhiri saat ini juga.

 

“Kenapa, sayang?” dan Momma kembali menempatkan pistolnya di pelipis kananku. Kedua tanganku yang refleks terkepal menjadi bukti bagaimana hatiku tengah berapi-api saat ini.

 

“Mungkin ini saat yang tepat untuk mengirimmu bersama mereka berdua. Benarkan?” Tangan Momma telah bersiap menarik pelatuk pistolnya. Aku menarik napas panjang dan memejamkan kedua mataku hingga akhirnya aku mendengar suara letupan peluru yang baru saja keluar dari sarangnya menggema dalam ruangan ini.

 

Grace….

 

aku sudah mati…

 

“Lee Howon!”

 

Tidak mungkin. Semestinya aku sudah terbang menuju surga dan meninggalkan fananya dunia ini. Tapi kenapa? Kenapa telingaku masih dapat mendengar pantulan suara nyaring milik Grace.

 

Mungkinkah….

 

 

 

.

 

 

 

Kelenjar pengampu air mataku pecah kala aku menyaksikan bagaimana jenazah Ayah, Yunho hyung yang sedang berada dalam proses kremasi. Seharusnya aku tahu akan hal ini lebih awal. Seharusnya aku menjadi anak yang lebih berbakti dengan membongkar rahasia Momma ini sejak dulu.

 

Hatiku semakin tercabik saat memoriku kembali berkelana membayangkan Momma yang saat ini tengah berada di sebuah panti rehabilitasi. Betapa idiotnya aku yang tak pernah mengetahui kelainan yang selama ini menjangkit raga Momma.

 

Rasa sakit yang menggerogoti hatiku semakin menjalar ke setiap jengkal jiwa bahkan ragaku.

 

Sinar mentari redup-redup, membiaskan segala bayangan yang terjadi sejak beberapa minggu yang lalu. Selayaknya film dokumenter yang akan berada abadi dalam memoriku yang dapat ku putar kapan saja dikala aku menginginkannya.

 

 

“Lee Howon!

 

Terimakasih telah menjadi adikku. Barang sejenak kita bertemu dan berpagut kasih, aku sungguh menyayangimu. Terimakasih untuk segalanya, Lee Howon! 

Sekarang, tugasmu tak lagi memberatkan. Kau hanya perlu menjaga Momma dan mengembalikannya menjadi Ibu yang berhati lembut seperti sedia kala.

 

Howon-a, Momma kita adalah wanita yang lebih lembut dari lembayung, namun dia bisa menjadi wanita yang lebih hebat dari sebuah prahara.

 

Kau tahu? Aku telah menitipkan namamu dan nama Momma pada Tuhan. Aku meminta agar Tuhan selalu menjaga kalian dalam kedamaian. Berjuanglah untuk kehidupanmu, Lee Howon.

 

Aku mencintaimu.” — Yunho

 

 

 

fin.

 

 

 

a/n:

Hollaw Movie freaks! ^^

((sujud syukur)) akhirnya selesai ngedit ulang fic ini. Hehehe. Sebenernya, fic ini adalah fic yang mau saya ikutin LoS Movie Week. Tapi—yeah, berhubung sifat lupaku yang suka kambuh plus cerobohnya diri ini (uhuk), akhirnya file yang aku kirimin ke Fikha salah. Wkwkwk. dan maafkan saya yang tiba-tiba post fic, padahal masih punya hutang banyak sepot di Movie Week. XD

Jadi, saya putuskan untuk post fic ini sebagai ganti Movie Week-ku yang failed. Lol. Maaf pulak jika ini feelnya enggak banget dan ceritanya terkesan memaksakan. hahahhaks

Review as always, okay? ^^

 

Ohiyaa, abaikan judul dan cerita yang enggak ada hubungannya sama sekali, please? Hhohoo. XD

 

 

Regards,

 

Riris. 🙂

[Vignette] Black Paper

black paper

BLACK PAPER

By Viayamada [@INFINITEVIAKIM]

|| Duration: 2000++ || Genre: Detective Story Crime || Rating: PG-15 ||

|| Cast: L.KIM[INFINITE] as Jack Original Character Hoya[INFINITE] as Derek|Etc||

 

Semua orang menggunakan topeng dengan cara mereka masing-masing dan ada masa dimana topeng itu terbuka—menunjukan sosok asli dibalik topeng itu yang terkadang diluar dugaan para manusia.

.

Lanjutkan membaca [Vignette] Black Paper

[LoS Movie Week] Paralyzed – Rizuki

Paralyzed

Paralyzed 

a movie  by Rizuki (@Rizuki29)

Infinite’s Howon, TVXQ’s Yunho and someone   ||   Crime, AU, Dark, Psychology, Tragedy   ||   Vignette  ||   PG13

This story is belong to me.

Cahayamu akan segera aku lumpuhkan, hyung!

 

.

Lanjutkan membaca [LoS Movie Week] Paralyzed – Rizuki

[Vignette] Shadow

shadow-dkjung

Title: Shadow

Scriptwriter: DkJung (@diani3007)

Casts:

o   [Infinite] Lee Howon

o   [A Pink] Jung Eunji

Support Cast:

o   Infinite Members

Genre: Romance, sad

Rated: G

Duration: Vignette

Disclaimer: terinspirasi dari MV U-KISS – 0330

 

*

“Aku sudah mencoba, tapi…”

*

Lanjutkan membaca [Vignette] Shadow

A Lie

A Lie connyjulanda

Lie

Story by: connyjulanda

Lee Sungyeol & Nam Jihyun | Romance – slight! Angst – Life – AU | Teen | Vignette

Special appearance: Lee Howon (Hoya)

Disclaimer: all the casts belong to themselves. The basic idea is inspired by this poet. I just own the development of the story itself.

.

.

Meski kamu selalu memamerkan senyum termanismu padaku. Meski kamu rela melakukan apapun untukku. Meski kamu bersedia memberikan segalanya untukku. Meski kamu terus mengucapkan jutaan kata cinta, berulang kali tanpa merasa jengah.

Tapi ini adalah tentang hati yang tak bisa berpaling.

Sesuatu yang tak bisa benar-benar kumiliku meski kamu memberinya,

Lanjutkan membaca A Lie

[Drama Week] Seokhyun’s Family by Sasphire

Seokhyun Family

Seokhyun’s Family

By Sasphire

.

.

Main Cast

Seokhyun Wang

Support Cast

Baek Seunghyun | Kim Dasom Sistar | Lee Howon Infinite

Vignette (+2500 W) | Family |  General

Lanjutkan membaca [Drama Week] Seokhyun’s Family by Sasphire

Blind (Chapter 5/END)

blindcover

Title: Blind (Chapter 5/END)

Scriptwriter: DkJung (@diani3007)

Main Cast:

  • [A-Pink] Jung Eunji
  • [Infinite] Lee Howon
  • [BTOB] Lee Minhyuk
  • [Girl’s Day] Lee Hyeri

Genre: Romance, Life, Angst

Rating: PG 13

Duration: Chaptered

Previous part: 1. 2. 3. 4

Disclaimer: ff ini terinspirasi dari sebuah drama Korea & sebuah film layar lebar Indonesia. Semoga ada yang mau baca, Happy Reading… [NOT FOR SILENT READER AND PLAGIATOR]

*

Lanjutkan membaca Blind (Chapter 5/END)

Ancestor Chants [Prequel of “Et Grave Odium”]

anchestor chant

A Movie by :

SASPHIRE

(@sasphire1501)

Ancestor Chants (Prequel of “Et Grave Odium”)

Fantasy Series of New Atlantic Kingdom

Starring :
Hyerin (2eyes) as Claire, Lee Howon (Infinite) as Prince Orion

Drabble (<600 W) | AU, Fantasy, Romance | Teen

Read the Series :

CapricornVirgoAries

Inspired by : Gita Gutawa’s Song – Remember
(Harmoni Cinta Album)

Jadi, ini yang mengetuk hati Claire untuk balas dendam ke Raja Athos melalui Pangeran Orion, karena setelah Raja Athos mati, udah pasti Pangeran Orion bakal naik tahta. dan yang buat dia percaya sepenuhnya pada Orion…. karena…

Check this out! 😉

Lanjutkan membaca Ancestor Chants [Prequel of “Et Grave Odium”]

(Oneshot) Et Grave Odium

et grave odium

A Movie by :

SASPHIRE

(@sasphire1501)

Et Grave Odium

Fantasy Series of New Atlantic Kingdom

Starring :
Hyerin (2eyes) as Claire, Lee Howon (Infinite) as Prince Orion

Oneshot (4000 W) | AU, Angst, Fantasy, Romance | Teen

Read another Series :

CapricornVirgo

Now :

Aries

Okey…hey hello… enjoy ya enjoy xD di sini semi thrill (dikit banget sih thrillnya), jadi agak warning ya

dan maap kalo cerita kali ini sweet moment-nya kurang banget -_-

dan btw, kali ini full di Kerajaan Atlantis lho, xD

Lanjutkan membaca (Oneshot) Et Grave Odium

Engraved

page

/ / E N G R A V E D / /

a movie by Tsukiyamarisa

starring Nam Woohyun, Park Chorong sub cast Lee Howon/Hoya duration Oneshot genre Romance, Surrealism, AU, Angst rating 17

disclaimer I own the poster and storyline. Do not plagiarize or copy my work without permission.

inspired by Inception

recommended song VIXX – Only U // EXO – Miracle in December // Jin – Gone

summary Cinta membuatmu melakukan hal-hal yang bodoh, dan sesuatu yang sama pun sedang terjadi pada Woohyun dan Chorong. Pada satu titik di mana batas dua dunia menjadi semu, sepasang sejoli itu berusaha untuk melakukan segala cara demi mempertahankan cinta mereka.

Lanjutkan membaca Engraved

[Ficlets] Unpredictable

unpredictablecover

Title: Unpredictable

Scriptwriter: DkJung (@diani3007)

Casts:

1st story: [15&] Baek Yerin ~ [JJ Project] Im Jaebum

2nd story: [F(x)] Jung Soojung ~ [CN Blue] Kang Minhyuk

3rd story: [A Pink] Jung Eunji ~ [Infinite] Lee Howon

4th story: [A Pink] Son Naeun ~ [Infinite] Kim Myungsoo

Genre: Romance

Rated: Teen

Duration: One-shoot

Disclaimer: Cerita ini pure hasil karya aku. Kalo ngga suka sama pairingnya ngga usah baca, karena aku ngga mau nerima comment yang isinya bashing. Untuk para silent reader, aku mohon dengan sangat kesadarannya untuk meninggalkan comment! Mohon dihargai ya^^

Summary:

Ini kisah tentang kejadian-kejadian yang tidak terduga dalam sebuah kisah cinta. Ada yang manis, juga ada yang pahit. Ada yang mengundang senyum, dan ada juga yang mengundang tangis.

Lanjutkan membaca [Ficlets] Unpredictable

[INFINITE Drabble Series 1st] Should

should

Scriptwriter: Shafirgirl || Cast(s): Lee Howon [INFINITE] & Ahn Raejin [OC] || Genre(s): AU, Hurt (If you can feel it.). || Rating: Teen || Duration: Drabble || Disclaimer: The story is belong to me & the cast belong to god. || Inspired by: BoA – Between Heaven and Hell.

Summary:

“Seharusnya aku menundanya, Seharusnya aku membencimu, Seharusnya aku melupakanmu,

Seharusnya.”

—–——–—

Lanjutkan membaca [INFINITE Drabble Series 1st] Should