13
Scriptwriter: lightless_star | fandom: BIGBANG/2NE1 | main cast: Kwon Jiyong/GD, Lee Chaerin/CL | other cast: Choi Seunghyun (TOP) | pairing(s): GD/CL, Broken!TOP/CL | genre: Romance, A little bit suspense, Angst, Hurt | duration: multichapter | rated: PG-13 |
note: the adaptation fic from “13 reasons why”, so the plot isn’t mine.
xxx
Paket seukuran kotak sepatu itu tergeletak manis di teras rumahku hari senin kemarin, seakan menyambutku yang baru saja tiba di rumah. Pintu rumahku punya celah kecil dibawahnya, namun celah itu hanya bisa dimasuki surat-surat. Mungkin karena itu kurir tadi meletakkannya di teras saja. Aku menimbang-nimbang paket itu dengan kedua tanganku. Tidak ada nama pengirim tertera disana, namun karena paket itu dialamatkan untuk Kwon Jiyong, aku membawanya masuk.
Apa paket ini dikirim oleh salah satu penggemar rahasiaku? Semoga saja. Hahaha. Senang sekali rasanya mengingat seumur hidup aku tak pernah punya seorang penggemar rahasia.
Oke, mungkin itu cuma khayalanku saja.
Aku mencari-cari gunting di laci meja belajarku, penasaran apa isi paket tanpa nama pengirim itu. Meletakkan paket itu diatas meja belajar, aku menggunakan gunting untuk melepaskan selotip bening yang membungkus kotak sepatu itu. Didalam kotak itu terdapat gulungan yang dilapisi plastik bergelembung. Saat aku membukanya, aku menemukan tujuh buah kaset rekaman yang sudah agak tergores didalamnya.
Di sudut kanan kaset-kaset itu ditulisi nomor yang berwarna oranye terang. Saat aku mencoba mengelupasinya, aku tahu bahwa nomor-nomor tadi mungkin ditulis dengan cat kuku. Tiap sisi kaset itu memiliki nomor yang berbeda. Nomor satu dan dua ada dikaset pertama, tiga dan empat dikaset kedua, dan begitu seterusnya. Namun hanya ada nomor tiga belas disalah satu sisi kaset ketujuh.
Aneh. Siapa orang yang mengirimiku kaset-kaset rekaman ini? Dan kenapa juga harus kaset rekaman? Memangnya masih ada orang yang menggunakannya zaman sekarang? Apa menurutnya aku masih punya alat pemutarnya?
Mataku melebar saat menyadari sesuatu. Garasi. Aku ingat kalau Ayahku punya stereo tua yang di-museum-kannya disana karena sudah tak dipakai lagi. Aku ingat sekali kalau ketika aku kecil dulu, Ibu sering memutar lagu dengan stereo itu saat aku hendak tidur. Memang sih, benda itu pasti sudah usang. Diselimuti oleh debu dan penuh dengan percikan cat. Tapi semoga saja stereo itu masih bisa digunakan untuk memutar kaset.
Aku berdiri dari kursiku. Lalu berjalan cepat kearah garasi dan mencari-cari stereo itu. Ketika aku sudah menemukannya, aku kembali ke kamar dan siap untuk mendengarkan kaset-kaset ini.
Aku kembali duduk tenang dikursi, lalu meletakkan stereo usang tadi diatas meja. Aku menekan tombol eject-nya hingga pintu plastik stereo itu terbuka. Aku memasukkan kaset pertama, kemudian melipat tanganku diatas meja dan mendekatkan tubuhku agar aku bisa mendengar dengan lebih jelas dan fokus. Suara dengung statis menghiasi bagian awal rekaman ini, disusul dengan suara seorang gadis yang sangat familiar untukku.
xxx
Halo, para pendengar! Dengan Lee Chaerin disini! Hidup dan bernapas dalam stereo kalian masing-masing.
Tunggu, aku tidak bisa percaya ini.
Ayo, taruhan. Pasti kalian sedang mengerutkan alis disana, atau menggelengkan kepala, atau menggigit bibir atau melakukan apapun yang biasanya kalian lakukan kalau sedang bingung. Ini memang Lee Chaerin. Ada berapa banyak Lee Chaerin yang kalian kenal? Lee Chaerin yang mana? Chaerin yang kalian pikir tak akan kembali, yang sudah tidak ada ketika kalian menerima rekaman ini.
Tidak mungkin. Chaerin sudah bunuh diri dua minggu yang lalu.
Sekali lagi kuulangi. Ini memang Lee Chaerin.
Nah, terima kasih sudah mendengarkan rekaman ini. Ah, mungkin aku lebih senang menyebutnya sebagai audio-biografi. Kedengaran keren, kan?
Tidak tidak tidak tidak tidak. Apa ini pesan bunuh diri sinting?
Untuk menghilangkan kebingungan kalian, mari kujelaskan. Seperti biografi lain, audio-biografiku juga akan menceritakan kisah hidupku pada kalian semua. Lebih tepatnya, kenapa kehidupanku berakhir. Dan bila kalian mendengarkan kaset ini, berarti kalian salah satu alasannya.
Kaget, ya? Semoga kalian siap.
Aku tidak akan sebutkan nama kalian ada di urutan keberapa. Lagipula, cerita-cerita ini saling berkaitan. Jadi dengarkan saja dan tunggu sampai nama kalian muncul, oke? Tapi bila kalian sudah menerima paket itu, nama kalian pasti akan muncul kok. Aku janji.
Kau gadis gila, Chaerin. Kita bahkan tak pernah akrab sebelum ini dan kau bilang bahwa aku salah satu alasan berakhirnya hidupmu?
Mungkin ada diantara kalian yang tidak percaya pada apa yang sedang kalian dengarkan ini. Apa benar isi kaset ini sebegitu mengerikannya?
Dengarkan aku. Untuk apa seorang gadis yang sudah mati masih berbohong? Tidak ada gunanya, kan?
Jadi, buktikan saja sendiri kalau kalian tidak percaya.
Nah, para pendengar. Aku punya dua peraturan disini. Yang pertama: Kalian harus mendengarkannya. Kedua: Setelah itu kalian harus mengedarkannya. Aku harap kalian bisa mematuhinya. Sekali ini saja.
Suaranya terdengar sendu dibagian akhir, semakin membuat bulu kudukku merinding. Chaerin merekam setumpuk kaset sebelum ia pergi. Untuk apa gadis itu melakukannya?
“Jiyong, apa yang kau dengarkan itu?”
“Noona!”
Aku dengan cepat meraih stereo itu, lalu menekan beberapa tombolnya sekaligus karena terkejut.
“Noona, kau membuatku kaget!”
“Memangnya kau sedang mendengarkan apa, hah?”
“Bukan apa-apa, kok. Ini Cuma bahan untuk tugas sekolah.”
Ah lagi-lagi jawaban itu. Urusan sekolah selalu aku jadikan alasan untuk banyak hal. Saat aku pulang telat, aku bilang itu karena urusan sekolah. Saat aku perlu uang tambahan, aku juga bilang itu untuk urusan sekolah. Namun baru kali ini aku memberikan alasan ini untuk mendengarkan rekaman dari seorang gadis yang sudah bunuh diri dua hari lalu dengan perut kenyang setelah menelan segenggam pil.
“Boleh aku dengarkan?”
“Tidak usah, noona. Ini bukan milikku, tapi milik temanku,” ucapku gugup, jemari tangan kananku memainkan ujung kemejaku.
Mulut perempuan yang lebih tua dua tahun dariku itu membulat tanda ia paham.
“Baiklah. Lanjutkan saja tugasmu, Jiyong,” katanya kemudian tersenyum, mengusap kepalaku lalu membalikkan badan hendak keluar dari kamar.
Aku kembali duduk dimeja, menunggu pintu benar-benar tertutup sebelum aku lanjut mendengarkan kaset-kaset tadi. Aku memasang telinga baik-baik, terbayang suara Chaerin yang barusan kudengar tadi. Bulir-bulir keringat aku dapati meluncur turun dari pelipisku, padahal ruangan ini tidak panas. Tangan kananku bergetar saat aku hendak menekan tombol play. Berbeda saat aku pertama menekannya tadi.
Setelah kalian selesai mendengarkan kaset-kaset ini, kembalikan ke kotak dan kirim ke siapapun yang ceritanya ada setelah nama kalian. Nah, untuk kau yang terakhir, kau bisa membawa kaset-kaset ini dan mengembalikannya padaku jika kita bertemu di neraka nanti. Aku tunggu, loh.
Aku sudah bilang, tolong patuhi aturanku. Karena jika tidak, aku sudah menyiapkan copy dari kaset-kaset ini. Yang perlu dilakukan jika kalian melanggar aturan hanyalah menyebarkan kaset-kaset itu dan semua orang akan tahu apa isi kaset ini. Pikirkan saja apa yang akan terjadi pada kalian setelah itu.
Ataukah kalian berpikir, jika kalian melanggar peraturan aku tak akan tahu?
Itu benar juga, sih. Aku kan sudah mati saat kalian menerima kaset-kaset ini.
Tapi jangan salah, pemirsa. Walaupun aku tidak tahu, kalian tetap diawasi. Jadi cukup saja kalian permainkan aku ketika aku masih bersama kalian dulu, dan sekarang aku mohon jangan permainkan aku lagi.
Tidak mungkin Chaerin berpikir seperti ini. Chaerin yang biasa aku lihat tidak mungkin melakukan ini.
Ingat, kalian sedang diawasi.
Aku menekan tombol pause.
Perutku terasa melilit dan kepalaku mendadak pusing. Aku bisa saja muntah bila kubiarkan. Aku bisa saja berlari cepat ke kamar mandi bila aku mau.
Jujur saja, aku tak pernah mengenal Lee Chaerin secara dekat. Maksudku, aku ingin mengenalnya. Aku ingin, ingin sekali mengenal Chaerin lebih jauh daripada kesempatan yang pernah aku dapatkan. Selama liburan musim panas, aku dan dia sama-sama bekerja disebuah cafe. Dan beberapa minggu sebelum ia pergi, aku sempat menciumnya disebuah pesta. Namun setelah itu, kami berdua tak pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih akrab. Dan aku menyesali hal itu.
Tapi aku tak merasa pernah mempermainkan Lee Chaerin.
Jadi, untuk apa aku ada dalam daftar ini?
Aku menundukkan kepala, menelusupkan jari diantara rambut-rambutku kemudian mengacak-acaknya frustasi. Kaset-kaset ini tak semestinya tiba didepan rumahku, aku tidak berhak ikut-ikutan dalam masalah seperti ini. Pasti ada yang salah.
Aku menarik kembali kotak sepatu yang tadi dipakai untuk meletakkan kaset-kaset ini. Pasti ada nama pengirimnya, hanya saja tadi aku terlalu buru-buru dan tidak melihatnya. Aku membolak-balik kotak itu, mencari nama pengirim –orang yang bisa aku tanya-tanya mengenai kaset-kaset ini. Namun hasilnya nihil, kotak sepatu itu memang tak ditulisi nama pengirim.
Oh, aku mengerti. Mungkin saja, aku bukan salah satu orang dalam daftar. Tapi, salah satu orang dalam daftar Chaerin melanggar peraturan dan sekarang kaset-kasetnya sedang disebarkan kesemua orang. Semua orang termasuk aku.
Mungkin saja, sih.
Lalu? Apa yang kemudian aku lakukan setelah mendengar rekaman ini?
Aku belum tahu.
Nah, untukmu yang ada didalam daftarku, aku sudah siapkan sebuah peta untuk kalian dan sudah aku kirim jauh-jauh hari sebelum ini, ketika aku masih bisa mengirimkannya pada kalian semua. Apa kalian masih menyimpan petanya?
Aku kembali menyandarkan punggung kesandaran kursi sambil menghela napas berat. Aku memejamkan mataku dan membiarkan suaranya mengalir begitu saja menghantam gendang telingaku.
Aku memang ada dalam daftar ini.
Satu minggu sebelum kematian Chaerin, aku mendapati sebuah amplop cokelat terselip di lokerku. Dibagian depannya tertulis “SIMPAN INI. KAU PASTI AKAN MEMBUTUHKANNYA” dengan huruf besar yang ditulis dengan spidol tebal warna hitam. Namun saat itu, aku sama sekali tak menyangka bahwa peta itu dari Chaerin. Aku juga tidak terlalu peduli.
Saat aku melihat isinya, aku mendapati sebuah peta kota kami didalam amplop itu. Lengkap dengan sekitar selusin bintang-bintang yang digambar dengan spidol merah untuk menandai beberapa tempat di kota. Tempat-tempat itu tidak terlalu jauh satu sama lain, diatasnya diberikan nomor yang berurutan dari 1 sampai 12. Aku mengerutkan dahi karena tak mengerti apa maksudnya, tapi setelah itu aku kembali mengabaikan peta yang diberikan Chaerin.
Aku sempat bermaksud menanyai orang-orang, siapa tahu mereka mendapatkan peta yang sama. Namun, seiring waktu berjalan aku akhirnya lupa dan membiarkan peta itu mengendap di ranselku sampai detik ini.
Kuharap masih. Karena, peta itu penting, loh. Sepanjang rekaman, aku akan memberitahu tempat-tempat yang bisa kalian kunjungi untuk lebih memahami alur ceritaku. Tidak masalah sih kalau kalian tidak mau pergi kesana, aku juga tidak memaksa. Aku hanya menyarankan, agar kalian tahu lebih banyak dan bisa ikut merasakan tiap kejadian itu. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa, kalian bisa membuang petanya dan aku tidak akan pernah tahu.
Lebih baik kita langsung menuju ke nama yang pertama.
Apa kau siap, Choi Seunghyun?
-tbc-
author’s note:
halo ._.)/ maaf untuk update yang super-duper-mega telat ini -_- chapter 1-nya dibagi 2, ya. maaf lagi kalo yang ini terlalu pendek, abis kalo disatuin ntar takutnya kepanjangan nyahahaha.
susahnya nulis fic ini, karena POV-nya ada 2. susah nentuin gimana 2 POV bisa jalan diwaktu yang bersamaan gini ==” tapi semoga gak mengecewakan. ^^ dan karena sekarang udah masuk waktu liburan, semoga saya bisa nge-update fic ini secepatnya ahahahaha -___-
thanks for reading. mind to leave comment?